Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Maret 2010

CITRA DUALISME DALAM AGAMA

“Makna di Balik Keberlangsungan Umat Beragama”

Oleh Agung Paramita

Fenomena yang terjadi terkait dengan keberadaan agama adalah, mengapa kini semakin membangunkan sendi-sendi pertikaian.


Betapa tidak, di satu sisi agama selalu menjadi sektor yang memudarkan nilai-nilai multikultural, padahal ajaran agama selalu mengajarkan umatnya untuk mencintai semua makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak hal yang dapat dianggap sebagai bukti penting memudarnya multikultural dan toleransi karena agama.
Negara India – Pakistan merupakan satu integritas wilayah yang berseteru secara abadi, karena perbedaan agama. Sebenarnya Pakistan merupakan salah satu wilayah India, akibat ideologi fundamentalisme kaum Islam politis yang di andili oleh Muhamad Allijinah, wilayah tersebut terpecah belah dan membentuk sistem pemerintahan Islam baru, yakni Pakistan. Pemisahan tersebut karena perbedaan agama, yakni agama yang cenderung bersifat skripturalisme – yang menolak adanya pluralisme.

Pertikaian selanjutnya yakni antara Amerika – Afghanistan yang bermula adanya dugaan terorisme yang membawa misi keagamaan, sehingga banyak meraup korban sipil yang tidak berdosa, dan ini sekiranya karena agama. Dari kedua kejadian besar itu dapat dipandang, betapa agama sangat berperan besar bagi kelangsungan hidup manusia kini. Di satu sisi agama dianggap sebagai pedoman hidup manusia untuk mencari kebenaran dan tujuan hidup, namun di sisi lain, akibat adanya kaum puritan yang memiliki sifat dogma terhadap teks agama, wahyu dalam doktrin dianggap sebagai misi agama yang mesti dijalankan demi pencapaian surgawi.

Terkadang perbedaan dalam agama selalu ingin disamakan, sedangkan persamaan dalam agama juga selalu dibeda-bedakan. Cukup asasi apabila ada yang mengatakan, bahwa agama bagaikan pisau bermata dua dengan karakteristik elegan – antagonis (dualisme). Elegansi agama akan cenderung menelorkan sikap moderat para pemeluk agama yang menerima suatu perbedaan kultur, etnis, teologi, serta rasial. Kebenaran mendasar semua agama akan diterima sebagai bentuk toleransi beragama, berbeda dengan kaum puritan yang menganggap kitab suci adalah wahyu Tuhan yang rigid, literal, dan tidak boleh diganggu gugat, sehingga ilmu hermeneutika tidak diterima olehnya.
***

Perjuangan Hindu Membawa Pluralisme (antagonis)

Selanjutnya akan dibahas betapa salah satu agama tertua, yakni Hindu mengalami pergolakan politis yang keras di Indonesia, sedihnya lagi-lagi karena agama. Sempat hanya diakui sebagai aliran kepercayaan – aliran kebatinan para Hindu di Indonesia hampir dikonversi besar-besaran. Itu disebabkan, karena Hindu masih mengadopsi konsep dinamisme, pluralisme, dan politeisme yang diklaim sebagai sebuah aliran kepercayaan yang sesuai dengan Peraturan Kementrian Agama No 9/1952/ pasal VI aliran kepercayaan, yakni suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang terbelakang. Untuk itu agar suatu komunitas dikatakan telah “beragama”, komunitas tersebut seyogianya menyatakan kredo monotheistik yang diterima secara internasional – telah disampaikan oleh seorang nabi dalam sebuah kitab suci. Keadaan ini semakin mempersulit pertahanan budaya Hindu yang sepertinya masih sangat terbelakang – dianggap masih menyatakan kredo politeistiknya.

Sejalan dengan peraturan Kementrian Agama yang menjadi tonggak sejarah pengakuan Hindu Indonesia, terdapat suatu kebijakan yang sangat genting, pasalnya ingin menggunting budaya Hindu kala itu. Kebijakan itu dikeluarkan oleh Kepala Kementrian Agama, yakni tepatnya pada tahun 1952. Kebijakan frontal tersebut ialah ingin mengimplementasikan amanah Kementrian Agama yang isinya “meminta orang yang belum beragama dimasukkan ke dalam salah satu dari agama-agama yang sudah diterima.” Kebijakan tersebut sangatlah memihak dan terselimut tujuan tertentu, saya tekankan lagi, itu karena agama.

Hindu kala itu menjadi kalang kabut dan membentuk suatu wilayah keagamaan otonom agar tidak dimasukkan ke dalam salah satu dari agama-agama yang sudah terlegitimasi menjadi agama negara. Masalah tersebut sering disebut sebagai upaya konversi, ibarat semut yang berada dalam kawanan gajah, namun akibat sikap elegansi semut akhirnya perjuangan berpengharapan menemukan celah terang. Hindu berhasil lepas dari keterkepungan pengkonversian agama dengan dalih Hindu dianggap sebagai aliran kepercayaan (Baca: Pencarian Budaya Hindu Yogya: Jayakumara). Sejarah ini menunjukkan betapa besar peran agama kala itu sampai kini. Pihak agama yang cenderung antagonis selalu ingin mencari pengikut sebanyak-banyaknya, tidak memperdulikan cara apa yang diadopsinya – membunuh pun tak masalah demi perintah besar misi yang tertuang dalam teks agama. Sangat asasi apabila kitab suci Veda takut dibaca oleh orang yang belum siap menafsirkannya secara fleksibel. Karena apabila tidak, yakni “makan kacang sama kulitnya” terlahirkan sisi antagonis orang beragama yang selalu bertindak konfrontatif terhadap agama lain. Inilah satu sisi dalam citra dualisme agama.

Berbeda dengan India – Pakistan, Amerika – Afghanistan, dan kaum puritan Indonesia yang selalu memandang dari sisi antagonis. Di Bali yang merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia, terjadi fenomena keberlangsungan beragama yang penuh toleransi, berintegritas, elegansif, menjunjung tinggi nilai plural dan multikultural. Fenomena kebersamaan itu seyogianya dapat dijadikan soritauladan bagi masyarakat domestik, bahkan masyarakat dunia sekalipun.

Mari kita simak fenomena beragama Hindu – Islam di Desa Kepaon, yang sampai kini tak pernah bersinggungan, apalagi menumpahkan darah karena perbedaan agama. Keduanya berbulan madu, tak bercerai berai, bak kumbang dan bunga yang sama-sama memberikan keharuman toleransi.
***

Bulan Madu Hindu – Islam di Kepaon (elegansi)

Di tengah pertautan dan pergolakan sosial yang diduga karena sisi antagonis agama, keberadaan agama yang berbeda di Desa Kepaon, Denpasar justru menyadarkan masyarakat akan pentingnya kesadaran kolektif. Hindu – Islam di Kepaon tak seperti Hindu – Islam di India. Perbedaan signifikan sangat terlihat di wilayah tersebut, terutama sama-sama menyadari, bahwa agama merupakan tali pengikat sosial, bukan gunting penyembelih hubungan sosial.

Keberadaan agama Islam di Kepaon diperkirakan dibawa oleh kaum pedagang pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah pada tahun 1460-1550. Sejak itu komunitas Muslim mulai ada di Bali dan dari waktu ke waktu terus berkembang, walaupun tidak sepesat di Jawa. Betapa pun kecilnya, masyarakat Islam turut pula mewarnai khazanah kebudayaan Bali. Hal itu nanti akan terlihat pada saat ada upacara agama. Pengakuan eksistensi masyarakat Islam oleh masyarakat Bali (Hindu) ada yang teraktualisasikan dalam wujud pendirian tempat pemujaan (pesimpangan Betara di Mekah) pada beberapa pura di Bali (Mengwi, Badung, dan Bangli). Jejak interaksi masyarakat Islam di Bali dapat pula dilihat lewat beberapa karya sastra yang mengandung kebudayaan Islam. Hinga kini, warga Kampung Islam kepaon tetap menjalin hubungan dengan Hindu di Kepaon, terutama di Puri Pemecutan. Jika di Puri ada hajatan seperti Pitra Yadnya, atau potong gigi (Masangih) tokoh-tokoh masyarakat maupun agama Kampung Islam Kepaon ini rajin berkunjung ke puri dan sangat diterima serta diistimewakan tanpa adanya prasangka sinis dari kedua agama itu.

Kesenian asal Kampung Kepaon, seperti rodat, rebana hadra sering juga ditampilkan di Puri Pemecutan mengiringi upacara. Tradisi di bulan suci Ramadan ini, oleh warga setempat biasanya menyediakan cendana, gergaji kayu, minyak wangi, sampalan, kemudian dibakar dan ditaruh di sudut-sudut bangunan rumah. Selanjutnya ditaburi aneka bunga mulai cempaka, melati, sampai mawar. Inilah salah satu bukti betapa selarasnya keberlangsungan kedua agama tersebut menghadapi pertautan agama. Mungkin kata yang relevan diberikan terhadap kedua agama itu adalah “bulan madu” saling menyayangi, menunjukkan citra elegansi beragama, yang sangat awas dengan sentuhan fisik. Posisi Kampung Islam Kepaon termasuk wilayah Desa Pemogan, namun masuk Desa Adat Kepaon. Mereka hidup rukun berdampingan dengan umat Hindu setempat. Kerukunan itu didapat karena sifat tolerir kedua pihak. Kerukunan itu tidak hanya terlihat pada aspek sosial, namun ditunjukkan juga ketika masing-masing merayakan hari raya keagamaannya. Di antara mereka saling memberi “give and take” dengan tetangganya yang sebagian besar beragama Hindu. Tak cuma itu, sering dalam upacara kematian, para pelayat yang mengantarkan ke kuburan membaur antara yang berpakaian adat Bali dan muslim yang mengenakan songkok (kopiah).

Mereka pun hidup damai di tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Suasana harmonis dan penuh toleransi itu tidak hanya diakui oleh pihak yang beragama Islam, melainkan beberapa tokoh Hindu juga menyadari dan mengakuinya. Fenomena ini patut ditiru, seperti yang diungkap Gandhi: kebenaran fundamental ada di semua agama– jadi buat apa dipertentangkan. Namun tidak dipungkiri citra dualisme baik itu elegansi – antagonis selalu muncul dalam agama, parahnya itu tidak bisa diapa-apakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar