Oleh Agung Paramita
Semenjak majunya segala jenis teknologi – informasi yang sudah menebarkan bau dunia modern di Indonesia, semua pulau besar, sampai pulau kecil yang masyarakatnya tergolong berkredo primitif-animistik tak luput terkena imbasnya. Kemajuan dimaksud tidak hanya berdampak pada gaya hidup (life style) masyarakat, melainkan juga berdampak pada pola pikir masyarakat yang cenderung rasional, tentunya yang lebih mengedepankan aspek realistis (dunia nalar) tinimbang ilusif. Budaya (kredo) lama seperti kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat ilusif (klenik) yang ditawarkan oleh beberapa media seperti “Balian” atau Saman semakin lama mengalami kepunahan, bahkan hilang, memang. Namun, kepunahan itu tidaklah berlaku bagi para “Balian” yang ada di Pulau Bali, ia cenderung sering digandrungi sebagai mediasi segala jenis aspek ritualisme, benarkah? Dan mengapa?
Balian atau yang sering disebut sebagai jero dasaran merupakan suatu fenomena keberagamaan ala masyarakat animistik dan dinamistik yang masih mewarnai umat Hindu Bali. Ini tidak hanya terlihat pada masyarakat tradisional, melainkan mulai tampak dalam masyarakat modern. Ketika peran daya nalar manusia sudah mulai tak bisa memenuhi keinginan, ketajaman akal sudah mulai tumpul dalam memecahkan masalah, ketika rasio sudah tidak bisa memuaskan keinginan jasmani dan rohani, maka kecendrungan untuk mendapatkannya hanya ada di dunia magis. Itulah nunasang, matuunan, termasuk dalam menjalankan upacara keagamaan, khusunya aspek ritual. Manusia yang terimbas bau modern kini justru cenderung mengagumi dunia klenik, takut salahang Bhatara, pemastu, yakni tradisi turun-temurun yang tunduk di bawah himbauan dunia imaji, tentunya sangat jauh dari dunia nalar manusia. Segala jenis penyifatan ilusif manusia tersebut merupakan suatu kejadian ada dan tiada, sering terlihat dalam dunia sekarang.
Kebiasaan meluasang pada saman, cenayang, dan jero dasaran secara tidak langsung menjadi kredo yang tidak bisa punah di tengah gencatan arus jaman, sebaliknya justru kebiasaan itu menjadi sebuah kebutuhan yang setara dengan kebutuhan primer. Sering terjadi ketika masyarakat agraris mengalami permasalahan berat, terutama dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Mandra, seorang petani miskin yang dekat dengan klenik, setiap ada masalah ia tak kunjung datang ke seorang sulinggih, dokter medis, melainkan lebih plong bila datang ke para Balian, jero dasaran. Kali ini Mandra menemukan masalah yang paling berat semasa hidupnya, anaknya sakit keras. Sejenis penyakit maha besar yang nge-trend didengungkan sekarang, yaitu Atresiabilia kalau gak salah, penyakit yang tidak mungkin disembuhkan dengan biaya yang minim, tentu dengan biaya yang berjumlah besar.
Ketidakmungkinan Mandra mendapat biaya yang besar untuk menyembuhkan anaknya membuatnya memilih jalan pintas, irit biaya, sekali komat-kamit langsung sembuh. Tidak berpikir lama lagi Mandra berangkat mengunjungi salah satu balian yang bisa dikatakan kondang di desanya, Pica namanya. “ Ratu jero balian, punapiang mangkin pianak titiang sane banget sayangang tiang, sakitne nenten dados ubadin niki, napi sane ngeranayang sapunike?“ ungkap Mandra setelah bertatap muka dengan balian itu. Dengan muka yang mendadak lebam, balian Pica mulai memejamkan mata, bibirnya komat-kamit mengeluarkan beberapa bait mantra yang sakral, soleh, sambil meminta petunjuk kepada seluruh elemen yang bisa membantunya, tentu makhluk dalam dunia tiada. Tak lama kemudian Pica memberikan solusi kepada Mandra, ia memberitahu agar Mandra membuat sesajen besar di penunggu karang rumah kalau ingin anaknya selamat. Sejenis caru Bhuta Yadnya, caru agung, karena anaknya sedang diganggu oleh beberapa penunggu di rumahnya. Itu semua karena anaknya melakukan kesalahan, dan bukan karena penyakit yang diungkap medis. Artinya penyakit yang diderita anaknya buatan yang gaib, perlu diupacarai dengan yadnya, katanya kepada para bhuta.
Mendengar penjelasan balian, Mandra langsung berangkat pulang dan menyediakan sesajen itu. Berupa caru agung, caru mancawarna, dalam aspek yadnya agama Hindu ini termasuk Bhuta Yadnya, yang dipersembahkan kepada penyeneng karang seperti ungkap Pica. Hal ini menunjukkan betapa balian, jero dasaran, dan para saman di Bali sangat berperan dalam aspek keagamaan di Bali, terutama aspek ritualistik. Segala jenis ritual yang diintruksikan para jero dasaran kepada masyarakat, dianggap seimbang dengan wahyu ilahi, patut dilaksanakan, karena jika tidak, masalah tak kunjung sirna. Kembali menilik kisah Mandra, ternyata anaknya tak kunjung sembuh, karena secara medis anaknya mengalami gangguan hati yang tidak ada hubungannya dengan penyeneng karang, itu karena Mandra tidak memakai wiweka, wikrama (akal sehat), dan terlalu terlarut dalam dunia klenik. Namun, tidak dipungkiri itu merupakan salah satu warisan animisme yang masih mewarnai kehidupan sosial-religi masyarakat Bali, termasuk Mandra.
Menjalankan ajaran agama terkadang lebih didominasi oleh keterangan para saman, bukan teks-teks suci, apalagi para pendeta yang notabene sebagai media utama keberagamaan. Ini cenderung membuat agama Hindu Bali sering dikatakan menganut “agama rakyat”, yang informasi agama dan ritual tidak hanya didapat dalam doktrin agama, melainkan juga didapat oleh para balian, jero dasaran, dan para saman, yang selalu dekat dengan dunia ilusif, pembisik imaji, yang sangat jauh dari nalar manusia. Inilah kenapa manusia Bali masih memikul kepercayaan itu, disakralisasi sebagai salah satu sisi atau aspek keberagamaan masyarakat yang cenderung dekat dengan ritualistik-magis, warisan nenek moyang katanya.
Tweet |
saya rasa jangan hanya dilihat dari sisi negatif karena adanya jero dasaran atau balian juga ada sisi positifnya bagi semeton bali , suksma
BalasHapus