Sulinggih atau pendeta Hindu di Bali belakangan ini mendapat sorotan tajam. Ada yang berbuat cabul, ada yang berbisnis banten dan menyebabkan upacara yadnya jadi mahal, ada yang mediksa (menjadi sulinggih) tanpa aturan. PHDI seharusnya bertindak lebih keras.
Seorang sulinggih bergelar dengan inisial IBRASM atau nama walaka inisialnya IWM (38 tahun) harus berurusan dengan pihak penegak hukum setelah dilaporkan melakukan tindak pidana asusila berupa pelecehan seksual terhadap seorang perempuan berusia 33 tahun. Pencabulan dilakukannya saat mendampingi korban bersama suaminya melakukan tirthayatra pada tengah malam di sebuah campuhan di Gianyar.
Peristiwa
tersebut sudah cukup lama, yaitu 4 Juli 2020, dan dilaporkan oleh suami korban ke Kepolisian
Daerah Bali (Polda) Bali pada 9 Juli 2020. Namun, kasus ini mulai ramai di
media sejak Februari 2021 setelah pelaku resmi menyandang status
tersangka. Direktur Reserse Kriminal
Umum (Dir Reskrimum) Polda Bali, Kombes Pol Djuhandani Rahardjo Puro melalui
Kasubdit IV PPA Polda Bali, AKBP Ni Luh
Kompyang Srinadi menyatakan telah
menetapkan status tersangka kepada sulinggih yang dimaksud. Demikian berita yang dikutip dari
bali.idntimes.com.
Sementara itu sebagaimana
disebutkan media online balebengong.id., salah seorang pengacara di tim LBH Bali WCC, yaitu Made
Kariada, menyebutkan tersangka dikenai Pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan
bisa terancam pidana maksimum 9 tahun. Pihaknya berharap kasus ini menjadi
edukasi dan pengalaman agar tak terulang lagi.
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 21 ayat 1 menyebutkan perintah
penahanan atau penahan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana. “Paling prinsip agar kasus tak berulang, apalagi
ini ancaman 9 tahun,” jelas Kariada.
Sabha Pandita PHDI Pusat |
Peristiwa
memalukan yang mencoreng dunia keagamaan di Bali ini menjadikan PHDI Bali
segera merespon dengan menggelar rapat yang dihadiri PHDI Kabupaten/Kota se
Bali pada Selasa, 16 Februari 2021 di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna, Denpasar.
Rapat tersebut sengaja membahas kasus oknum sulinggih yang diduga melakukan
pelecehan seksual tersebut serta mengantisipasi supaya tindakan oknum tersebut
tidak mencemarkan nama baik sulinggih lainnya.
Dalam rapat
tersebut terungkap bahwa IWM status kesulinggihannya tidak tercatat resmi, sehingga tidak memiliki
Surat Keputusan (SK) Kesulinggihan dari PHDI. Menurut Ketua PHDI Bali, Prof.
Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, PHDI hanya mengesahkan sulinggih yang hasil diksa
pariksa dari PHDI. Jadi seadainya di luar itu terdapat sulinggih, maka PHDI tidak
ikut bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu, misalnya, kalau oknum tersebut
sampai tersangkut dengan hukum, maka nabenya yang mestinya mencabut status
kesulinggihannya. PHDI tidak memiliki kewenangan sampai sejauh itu.
Tidak ada informasi yang
jelas, bagaimana status kesulinggihan IWM ini. Belum diketahui juga siapa
nabenya dan kapan melakukan diksa dwijati sebagai sulinggih. Besar kemungkinan
ini adalah sulinggih abal-abal atau tidak memenuhi syarat atau bisa jadi pula
hanya mengakui sebagai sulinggih tanpa ketentuan yang ada. Karena usianya di
bawah 40 tahun, sementara persyaratan sebagai sulinggih usia minumun adalah 40
tahun.
Di tempat
terpisah Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba
mengatakan kepada Raditya pada Rabu, 24 Februari 2021, bahwa sebaiknya
siapa pun yang memiliki niat menjadi sulinggih, medwijati lebih baik melalui
jalur yang prosedural, yaitu melalui pintu PHDI. Karena melalui PHDI track
record calon sulinggih akan diteliti
meliputi latar belakangnya di masyarakat, tanggapan masyarakat sekitar
terhadap calon tersebut, kemudian perilakunya di mata hukum, keseriusannya
dalam mengisi diri termasuk dalam proses paneban (aguron-guron)
dan sebagainya. Menurut Ida Pedanda,
pentingnya seorang sulinggih terregistrasi di PHDI agar memudahkan koordinasi
termasuk menyangkut hubungan dengan pemerintah. Karena bagaimanapun seorang
sulinggih yang melayani umat, maka apabila terdapat sesuatu di kemudian hari,
maka pemerintah selaku pelaksana pemerintahan akan lebih mudah dalam mengatur
dan menanganinya. Termasuk misalnya kalau terjadi peristiwa seperti ulah oknum
sulinggih tersebut, maka lebih mudah pula jalur pengawasan dan penindakan
menurut aturan organisasi.
Ida Pedanda
Bang Buruan Manuaba berhati-hati dalam mengomentari kasus tersebut mengingat
peristiwanya tidak jelas semuanya, tetapi secara normatif ia menyebutkan
seandainya benar peristiwa itu terjadi pada tengah malam dan di tempat sepi,
maka menurutnya hal itu sudah salah masa. Sebab menurutnya, secara etika
sulinggih mestinya menerima umat di tempat yang pantas, pada waktu yang lumrah,
seperti siang hari atau malam sebelum jam istirahat, dan itu pun dilakukan di
tempat terbuka. “Andaipun misalnya itu berkaitan dengan proses penyucian, penglukatan,
bahkan metetamban, yaitu pengobatan misalnya, maka hal tersebut dapat
dilakukan dengan penglukatan atau pebayuhan di geriya.”
Beliau menambahkan apabila sulinggih berkehendak membantu umat untuk menangani
suatu keluhan peyakit, maka hal itu sah-sah saja sepanjang tidak terjadi kontak
fisik dengan “pasien”. Apabila diharuskan melakukan suatu sentuhan fisik
seperti mengurut, pijat, atau lainnya, maka tindakan tersebut sebaiknya
dikerjakan oleh pengiring Ida Pedanda yang berstatus ekajati (pemangku) dan
melakukan terapi atas arahan Ida Pedanda (sulinggih). “Dan sekali lagi
dilakukan di tempat terbuka untuk menjauhkan suatu prasangka negatif dan ekses
lainnya,” kata Pedanda Bang Buruan.
Lantas
mengapa sampai terjadi kasus seperti pelecehan oleh oknum sulinggih tersebut?
Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba tidak berani menyimpulkan apa penyebabnya,
namun beliau mengingatkan bahwa menjadi sulinggih itu lebih merupakan suatu
komitmen pada diri sendiri untuk tujuan menyucikan diri, setelah itu baru ngayah
mengabdi dengan ngalokapalasraya. Nah, ini yang sulit, karena dalam hati
orang siapa yang tahu motivasinya mengambil diksa dwijati, karena peristiwa
buruk sudah terjadi akhirnya kembali pada hukum bahwa setiap warga Negara sama
kedudukannya di mata hukum. “Ya biarlah hukum yang memberikan keadilan, ya
kalau terbukti seperti itu, maka akan kena sanksi pidana, sebaliknya kalau
tidak terbukti, maka nama baiknya harus dipulihkan,” kata Bang Buruan.
Pada bagian
akhir Ida Pedanda mewanti-wanti kepada seluruh umat Hindu, agar waspada di
dalam menilai siapa pun termasuk sulinggih, karena nuwur atau memohon sulinggih
untuk hadir muput upacara sangat terkait dengan keyakinan yang melaksanakan
upacara. Ada umat yakinnya terhadap sulinggih A, sedangkan umat lain lebih
mantap mohon pemuputnya kepada sulinggih B. Semua itu baik, karena untuk
atmanstuti atau kepuasan batin, tetapi tetap harus hati-hati, karena itu umat
Hindu ada baiknya lebih dekat dengan sulinggihnya supaya tahu “kualitas” dan
kinerjanya dalam melayani umat.
Sementara itu Jro Mangku Wayan
Sunasdyana juga menyoroti fenomena sebagian sulinggih pada era belakangan ini.
Menurutnya, fenomena yang terjadi di masyarakat walaupun telah diberikan empat
jalan menapak kehidupan yang sempurna dalam Agama Hindu, sering terjadi Diksa
dilakukan saat masih memiliki tanggung jawab sebagai seorang Grhasta
(berumah tangga), sehingga kebanyakan sesana sulinggih yang telah
digariskan sering sangat sulit untuk tidak dilanggar terutama dalam hal
tuntutan kehidupan material, dan tentu tidak menutup kemungkinan melanggar
sesana lain seperti mencuat kasus pelecehan seksual oleh seorang oknum sulinggih
di Gianyar.
Sulinggih Massal
Yang juga ramai
diperbincangkan belakangan ini adalah adanya sulinggih yang melakukan diksa
dwijati tidak mematuhi aguron-aguron mau pun yang ditetapkan oleh PHDI Bali.
Selain usianya yang tidak memenuhi syarat, juga jenjang kesulinggihannya tidak
jelas. Belum berpengalaman sebagai pemangku sudah melakukan diksa sebagai
sulinggih. Bahkan ada sulinggih yang didiksa masal sampai 30 orang sekaligus
oleh sebuah Yayasan yang bernapaskan Hindu. Dari perbincangan di media sosial,
sulinggih yang didiksa massal ini dikatagorikan sebagai sulinggih dari
sampradaya tertentu. “Bagaimana prosesnya bisa menjadi sulinggih kalau disiksa
secara massal sampai 30 orang, apakah ada upacara seda raga-nya?” demikian
pertanyaan warganet di media sosial. Seda raga itu adalah upacara kematian
karena sulinggih itu disebut dwijati karena dianggap lahir dua kali. Pertama
lahir dari rahim ibu kandungnya, kelahiran kedua dari guru nabenya.
Karena itu banyak orang
berharap PHDI sebagai majelis umat harus lebih tegas lagi dalam memberikan izin
dan sertifikat kepada sulinggih. Kalau memang tidak memenuhi syarat harus
dicegah dan dilarang.
Sementara itu, Ida Pandita
Mpu Jaya Prema Ananda selaku salah satu pengurus Sabha Pandita MGPSSR Pusat
mengatakan, pediksa sulinggih di Warga Pasek sudah sangat baku, meski pun terus
menerus disempurnakan. Tidak bisa ujug-ujug orang menjadi sulinggih. Harus
lewat pemangku dan pemangku itu pun bukannya pemangku seperti di pura tertentu
yang berdasarkan keturunan atau main tunjuk. Tetapi pemangku yang mengikuti
pendidikan atau kursus pemangku. “Setelah lulus menjadi pemangku calon
sulinggih melanjutkan pendidikan calon bhawati. Setelah dianggap lulus dengan
tes yang benar, maka calon itu bisa dinobatkan sebagai bhawati dengan upacara
yang disebut pewintenan bhawati. “Setelah itu baru bisa diberi gelar Ida
Bhawati,” kata Mpu Jaya Prema.
Bhawati ini boleh
dikatakan sebagai magang pandita dan itu lamanya minimum 6 bulan sampai 2
tahun, tergantung kemampuan seseorang. Setelah itu diadakan tes lagi yang
disebut diksa pariksa beik oleh MGPSSR maupun oleh Parisada. Kalau sudah lulus
baru memohon izin melakukan diksa. “Jadi prosesnya panjang dan tak bisa
ujug-ujug apalagi didiksa massal.” Kata Mpu jaya Prema.
Kalau semua
ini terus ditegakkan maka kecil kemungkinan seorang sulinggih menghadapi kasus
pidana, apalagi sampai masuk ke pengadilan. Sulinggih yang sampai ditahan dan
diadili harus diputus dulu gelar sulinggihnya. “Ada upacaranya itu yakni
rambutnya dipotong oleh nabenya sehingga kembali menjadi walaka,” imbuh Mpu
Jaya Prema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar