Gede Wisnu
Dalam tri kerangka dasar agama Hindu yang terdiri dari, tattwa (filosofi), susila (moralitas), dan upacara (ritual), dimana ketiganya itu tidak bias dipisahkan satu sama lain. Ibaratnya sebuah telur, kuning telur adalah tattwanya, putih telur adalah susilanya dan kulit telur adalah upacaranya, sehingga kurang sempurna apabila dipisahkan satu sama lainnya. Dalam upacara, banyak orang selama ini menganggap bahwa upacara adalah erat kaitannya dengan bebantenan/sesajendan ritual-ritual (ceremonial), namun bila kita tinjau lebih mendalam, bahwa yang dimaksud dengan upacara adalah tata cara dalam mempraktikkan agama Hindu, dimana tata cara mempraktikkan agama Hindu menyesuaikan adat-budaya tradisi setempat.
Kita semua sepakat bahwa tidak ada istilah Hindu Bali, Hindu Jawa, dan Hindu India, dan lain-lain, karena Hindu adalah Hindu, karena Hindu adalah sama tattwa dan susilanya di seluruh dunia, dimana pun berada. Yang berbeda hanyalah praktiknya yang menyesuaikan adat-budaya tradisi setempat.
Kembali ke topik upacara agama, selama ini banyak yang mengeluhkan upacara agama ribet dan mahal, membutuhkan banyak waktu dan biaya, kemudian ditambah lagi dengan isu-isu yang tidak benar yang tidak jelas sumbernya yang seolah-olah bernada menakut-nakuti sekaligus mengancam, seperti, “Bila tidak melakukan upacara ritual A, nanti dewa bias marah” dan “Bila mengubah pakem banten nanti dewa bias marah, sehingga ukuran kuantitas banten/sesajen tidak boleh diubah,” dan lain-lain. Padahal isu-isu yang seperti itu adalah informasi yang keliru dan tidak bias dipertanggungjawabkan kebenarannya dan juga berbahaya bagi perkembangan spiritual kita.
Dalam hal ini timbul rasa penasaran dalam benak saya terhadap ritual upacara tersebut, kemudian saya mulai belajar dan berdialog kepada guru-guru spiritual dan merenungkan secara pribadi, “Apakah sebenarnya makna essensi dari ritual upacara agama tersebut?” sehingga akhirnya saya memperoleh pemahaman mengenai hakikat upacara yang mana penjelasannya langsung saya rangkumkan sebagai berikut.
Kitab suci Hindu adalah Weda yang terdiri dari Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda, diibarakan Weda sebagai samudera pengetahuan yang mahaluas dan sulit dipahami, namun para brahmana/maharsi zaman dulu dengan kebijaksanaannya berhasil menerjemahkan dan menafsirkan Weda menjadi sebuah simbol-simbol suci, dari simbol-simbol suci berkembang menjadi konsep-konsep ajaran berupa rumus-rumus yang mudah untuk diingat yang tertuang dalam Weda Smerti (berisikan konsep ajaran Weda yang mudah untuk diingat). Kemudian berkembang lagi dalam bentuk cerita-cerita (Purana) yang mengandung ajaran Weda secara tersirat, kemudian berkembang juga menjadi kitab-kitab suci local, yaitu lontar-lontar yang menjelaskan ajaran Weda dan terakhir menjadi sebuah upacara atau ritual yang mengandung ajaran Weda.
Dengan demikian ritual atau upacara agama tersebut esensinya adalah untuk menjelaskan ajaran Weda, sehingga boleh dikatakan ritual atau upacara agama adalah kitab suci yang hidup. Jadi, karena kitab suci Weda adalah bagaikan samudera pengetahuan rohani yang mahaluas dan sangat sulit untuk dipahami, sehingga oleh maharsi zaman dulu menyederhanakan ajaran Weda dalam berbagai bentuk atau manifestasi, agar lebih mudah dipahami, berupa simbol-simbol suci, kitab suci lainnya (Wedasmerti), cerita-ceritasuci (Purana) dan ritual upacara agama yang mana semuanya itu bertujuan menjelaskan ajaran Weda dalam bentuk yang lebih sederhana.
Oleh karena itu, hakekat ritual/upacara agama dalam Hindu adalah menjelaskan makna-makna dari ajaran Weda dalam versi yang lebih sederhana. Inilah salah satu sifat agama Hindu yang fleksibel yang menawarkan banyak jalan untuk mempelajari ajaran Weda. Ibaratnya ada banyak jalan menuju roma, begitu juga Weda bias dipelajari dengan banyak cara/jalan, tidak mutlak harus membaca Weda secara langsung, tetapi kita bias belajar Weda melalui banyak jalan/cara, karena dalam menjalankan ajaran Hindu yang terpenting adalah memahami konsep ajarannya secara sederhana dan mengimplementasikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman hidup.
Dengan menyadari bahwa esensi hakekat ritual upacara agama Hindu adalah untuk menjelaskan ajaran Weda, sehingga berupacara dalam volume yang besar atau yang kecil nilainya adalah sama saja dan dalam jangka waktu yang lama atau sebentar nilainya juga sama saja, yang terpenting adalah ketulusan hati kita dalam beryadnya, karena sesungguhnya yang kita cari dari upacara tersebut adalah maknanya kemudian menjadikannya sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Seperti misalnya praktik agama Hindu di Bali ada berbagai ritual upacara agama, seperti ritual melukat, mebayuh dan metatah/mesangih yang tujuannya untuk membersihkan diri dan menetralisir sifat-sifat negative dalam diri. Namun sayangnya masih banyak umat se dharma yang berpikir bahwa dengan menggelar upacara melukat, mebayuh dan mesangih langsung dapat membersihkan dan menetralisir sifat-sifat negative dalam diri kita sendiri, padahal makna sebenarnya adalah ritual melukat, mebayuh dan mesangih adalah sebagai simbolis bahwa dengan ini kita membersihkan diri dengan melakukan latihan pengendalian diri. Kita membersihkan diri dengan melakukan latihan pengendalian diri. Jadi, ritual melukat dan mebayuh hanyalah sebagai simbolis saja untuk menjelaskan maksud dari ajaran Weda bahwa kita mesti rutin membersihkan diri dengan latihan pengendalian diri.
Sama seperti metatah atau mesangih, maknanya adalah menetralisir atau menghilangkan sad ripu dalam diri, namun bukan berarti dengan menggelar upacara mesangih sifat sad ripu kita langsung auto hilang, tetapi hanya sebagai simbolis bahwa dengan ini kita mesti menghilangkan sifat sad ripu dalam diri. Ritual upacara mesangih adalah mengingatkan kita dan menjelaskan ajaran Weda secara sederhana bahwa kita mesti berusaha untuk menetralisir dan menghilangkan sifat sad ripu dalam diri dengan cara melakukan latihan pengendalian diri.
Dengan menyadari bahwa ritual keagamaan esensinya adalah untuk menjelaskan maksud ajaran Weda dalam versi yang lebih sederhana, sehingga sebenarnya dalam berupacara tidak mesti harus ribet, mahal dan lama, karena besar atau kecilnya upacara, maknanya adalah samasaja. Dan kita tidak perlu takut menggelar upacara yang sederhana dan murah meriah, karena meskipun berupacara secara sangat sederhana dan murah meriah, tetapi kita tulus dan yang terpenting adalah kita paham esensinya secara sederhana dan menjadikannya sebgaai falsafah hidup, sehingga hal tersebut dapat memberikan kita pencerhaan.
Kesimpulan dari topik ini adalah, ketika kita melihat ritual agama sebagai sesuatu yang secara ajaib dapat membersihkan dan menetralisir sifat-sifat buruk kita meski tanpa usaha pengendalian diri, maka upacara tersebut tidak bias membebaskan diri kita dari sifat-sifat negatif dan penderitaan, namun ketika kita memandang ritual upacara agama hanya sebagai simbol suci yang menjelaskan maksud dari ajaran Weda dan memahami esensinya sebagai falsafah hidup, maka dengan demikian upacara agama dapat membebaskan kita dari penderitaan. Karena dengan usaha dari diri kita sendiri dengan selalu berupaya berkarma baik dan terus melakukan usaha pengendalian diri, kita dapat terbebas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar