Bali memang sudah tersohor ke seluruh dunia dengan berbagai keunikannya. Para pelancong, pendatang memuji Pulau Bali seperti mereka memuji gadis cantik. Puji-pujian itu mengalir dari zaman dahulu hingga sekarang dan hal tersebut sering membuat warga kita lupa untuk introspeksi diri. Mereka semakin bangga dengan pujian tersebut apalagi di zaman sekarang ini dimana taraf kehidupan semakin meningkat.
Sehubungan hal tersebut diatas, ada suatu kejadian unik pada Purnama Kapat, tanggal 15 Oktober 2016 lalu di suatu desa dimana masyarakat di daerah tersebut diadakan upacara “ngenteg linggih”. Warga yang merayakan pelaksanaan upacara tersebut berusaha menampilkan hal terbaik bagi dirinya dengan segala aksesories kemewahannya. Para wanita memakai kain kebaya yang harganya ratusan ribu rupiah, tas bermerk seperti Michael Kors, sandal kelas atas serta atribut-atribut lainnya. Hal ini bisa dimengerti karena perayaan semacam itu tidaklah dilaksanakan setiap tahun. Penampilan yang sangat mewah pada perayaan seperti itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Karena para pemakai aksesoris tersebut memakai hasil jerih payahnya sendiri. Namun yang perlu diingat adalah bahwa penampilan yang mewah seharusnya diimbangi dengan kesadaran akan kebersihan lingkungan di sekitarnya, baik sekala kecil maupun sekala luas.
Sebagai warga Hindu yang memiliki banyak filsafat dan petuah-petuah kehidupan setidaknya bisa melaksakan beberapa persen dari teori kebijaksanaan kehidupan tersebut, misalnya tentang ajaran keharmonisan manusia dengan alam, keharmonisan manusia dengan manusia ataupun keharmonisan dengan Tuhan. Selama ini keharmonisan yang paling menonjol hanyalah keharmonisan manusia dengan Tuhan. Mereka berani mengeluarkan atau menghabiskan biaya berjuta-juta demi menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan fasilitas pendukungnya, misalnya pura yang megah, upacara yang mewah, prosesi yang meriah. Namun sayangnya perhatian terhadap keharmonisan hubungan dengan alam sangatlah kurang. Hal ini bisa kita saksikan di lingkungan kehidupan kita, entah itu dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan spiritual. Seperti yang penulis saksikan sendiri di sebuah perayaan upacara. Para “pemedek” yang bernampilan serba mahal dengan tanpa rasa malu meludah dan membuah sampah tanpa peduli orang di sekitarnya. Kalau saja sampah itu adalah sampah organik, mungkin hal tersebut bisa ditolerir, namun sayangnya pembungkus makanan yang hampir semuanya terbuat dari plastik seharusnya dibuang di tempat yang disediakan. Bila perlu sampah-sampah tersebut dipisahkan sesuai dengan jenisnya, entah itu sampah plastik, kaleng, atau sampah pecah belah. Kebanyakan dari kita sering tidak memperhatikan hal-hal kecil itu, kita lebih banyak terfokus pada penampilan pribadi saja tanpa peduli lingkungan di sekitar. Ada banyak contoh mengenai kontradiksi penampilan warga dengan realita perilaku mereka dengan lingkungannya, atau tepatnya bisa dibilang bahwa kita melaksanakan ajaran tersebut baru setengah hati.
Kontrakdiksi seperti yang disebutkan di atas kita bisa saksikan dengan nyata di lingkungan sekitar kita, misalnya saja kita mengajarkan anak-anak bayi untuk memakai “tangan manis” untuk menerima atau mengambil sesuatu, namun sayangnya kita lupa mengajarkan mereka untuk memakai “tangan manis” tersebut untuk mengambil benda-benda yang bisa membuat lingkungan di sekitar kita tampak tidak asri. Kita sering hanya mengajarkan kebersihan pada diri sendiri namun jarang peduli akan lingkungan sekitar. Ada fenomena sebagian orang cenderung membuat sesuatu bersih dengan cara menyembunyikan kotoran atau sampah tersebut pada tempat tersembunyi, misalnya saja saat menyapu halaman rumah mereka. Sampah halaman rumah tersebut dengan mudahnya dibuang ke got yang tertutup karena mereka beranggapan bahwa sampah tersebut tidak tampak di hadapannya. Tapi mereka lupa bahwa suatu saat sampah yang tersembunyi di got tersembut akan menampakkan dirinya saat musim hujan. Sampah-sampah yang tersembunyi tersebut akan “melawan” dengan menyumbat lobang got sehingga sampah tersebut akan meluber keluar got. Inilah namanya “aksi ganda” dimana kita sembunyikan sampahnya saat musim kemarau dan musim hujan kita “angkat” dia bersamaan dengan air hujan tanpa peduli entah dimana sampah tersebut nanti nyangkut yang penting hilang dari pandangan kita.
Kebiasaan kita yang cenderung menampilkan kebersihan di permukaan saja sering menghasilkan kebersihan dan kerapian semu. Kebiasaan seperti ini hendaknya diubah secara perlahan hingga suatu saat bisa menampilkan kehidupan yang bersih secara keseluruhan dan bukan kebersihan di tahap “surface” saja. Mengutip ucapan Swami Wiwekananda yang menyatakan bahwa seseorang itu tampak “gentle” bukan ditentukan oleh penampilannya, namun ditentukan oleh karakternya. Itu artinya bahwa penampilan bersih dan mewah yang tidak disertai dengan perilaku bersih lingkungan sama saja dengan me “make up” monyet untuk bernampilan glamour namun perilakunya tetap saja monyet. Apakah kita hidup dengan pola seperti ini? Jika hidup dengan pola seperti itu maka introspeksilah gaya hidup sehari-hari dan ubah pandangan mengenai penampilan. Hendaknya diingat bahwa kehidupan seharusnya seimbang pada diri kita dan di lingkungan sekitar. Kita harus berani merubah kebiasaan buruk dalam kehidupan sosio-religius. Perlunya bercermin dan mempraktekkan ajaran kebijaksanaan leluhur, agar bisa mewujudkan kehidupan yang bersih secara seimbang. Seandainya kehidupan seimbang antara penampilan pribadi dan kebersihan lingkungan tersebut, maka sudah tentulah tidak akan ada lagi kehidupan pincang di lingkungan kita.
Bila keadaan ideal seperti yang disebutkan di atas bisa terwujud, maka sudah dipastikan tidak ada lagi kesan lingkungan kumuh yang dipenuhi sampah dengan bau busuk yang menyengat. Begitu juga tidak akan ada lagi lalat yang menari-nari dengan riangnya di tumpukan sampah. Kita perlu sadar bahwa dengan kehidupan yang higienis, maka sudah pasti kita akan dijauhi oleh berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh efek samping dari kehidupan kumuh tersebut. Begitu pula sebaliknya jika kita hanya mengutamakan penampilan yang “syur” namun kesadaran terhadap kebersihan pada lingkungan sangat rendah atau bahkan tidak peduli, maka bukan hal yang mengherankan jika di lingkungan seperti itu kehidupan warganya dihantaui oleh kehidupan yang penuh dengan resiko gangguan kesehatan. Banyak ada contoh kehidupan seperti ini, misalnya ada orang yang secara fisiknya tampak kuat namun di dalam dirinya sangat rapuh atau digerogoti penyakit. Kejadian seperti ini biasa terjadi karena orang hanya terpaku pada penampilan bersih secara permukaan saja dan tidak peduli lingkungan di sekitarnya. Betapapun mewahnya penampilan seseorang namun lingkungan tempat tinggal berada dalam lingkungan “skid row” maka kemungkinan akan adanya penularan penyakit di wilayah tersebut sangatlah besar. Untuk menghindari kehidupan seperti ini maka mulailah kehidupan bersih diri, bersih lingkungan dengan berdasarkan kehidupan materi dan rohani yang seimbang.
Untuk mewujudkan kehidupan ideal seperti yang dicita-citakan di atas tentulah bukan hal yang mudah, namun bertindak nyata walau lambat akan lebih baik daripada tidak bertindak sama sekali. Sekecil apapun tindakan kita untuk mengubah kebiasaan buruk dalam memaknai kehidupan bersih itu tentu akan memiliki manfaat yang sangat besar di masa datang. Kita harus ingat pesan-pesan implisit dari Swami Wiwekananda bahwa penampilan “gentle” tersebut bukan tergantung pada apa yang kita pakai, namun tergantung pada karakter yang kita miliki. Artinya walaupun penampilan kita dihiasi berbagai perhiasan berlian, emas puluhan gram atau kilo namun jika tidak peduli pada keadaan di sekitar, entah itu mengenai kebersihan ataupun aspek-aspek lain, maka hal itu sama seperti kita makan nasi basi dengan piring emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar