Berbagai manuver diadakan menjelang Mahasabha XI PHDI Pusat. Ada yang melakukan survey, ada yang mengadakan dialog dengan mengundang ormas Hindu yang namanya belum dikenal, ada sekelompok pandita yang terus berembug, ada yang membuat rapat kordinasi. Tentu banyak pula yang sudah berkeliling mencari dukungan. Kenapa berebut? Apa kalau suda terpilih benar-benar mau bekerja?
Mahasabha Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat akan berlangsung bulan ini di Surabaya pada 21-23 Oktober 2016. Berbagai manuver dan kasak-kusuk untuk mencari pimpinan Parisada yang bertugas untuk masa jabatan 2016-2021 sudah dilakukan. Terutama tentu saja jabatan puncak seperti Dharma Adhyaksa yang memimpin Sabha Pandita, Ketua Sabha Walaka dan Ketua Umum Pengurus Harian. Di berbagai daerah sudah terjadi konsolidasi untuk menjaring sejumlah tokoh umat yang digadang-gadang menjadi pimpinan Parisada.
Di Bali yang merupakan pusat dari masyarakat pemeluk Hindu yang mayoritas, manuver itu pun sudah digelar beberapa kali. Terakhir dilangsungkan pada Jumat 23 September yang dihadiri oleh para pengurus PHDI Bali dan sejumlah tokoh-tokoh Hindu dan aktifis Hindu di berbagai Lembaga Sosial Masyarakat. Pada pertemuan atau Pesamuhan Madya PHDI Bali itu disepakati bahwa PHDI Bali akan mengusulkan tiga nama tokoh yang dianggap pantas untuk duduk di lembaga tertinggi umat Hindu tersebut.
Nama-nama itu adalah Kolonel (Purnawirawan) I Nengah Dana, Prof. Dr. Made Bhakta, dan petahana Mayjen (Purnawirawan) Sang Nyoman Suwisma. Nengah Dana adalah mantan Sekjen PHDI Pusat yang sudah malang melintang di PHDI, Prof Made Bhakta adalah mantan Rektor Udayana yang selama ini sudah duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat dan Sang Nyoman Suwisma masih menjabat Ketua Umum PHDI Pusat). Menurut Ketua PHDI Bali Prof. Dr. IGN Sudiana M.Si. ketiga calon tersebut bisa membawa perubahan dan pembaharu untuk lembaga PHDI ke depannya. Lantas, apa alasannya? Untuk Nengah Dana, di mata Sudiana, ia merupakan sosok rohaniawan yang telah aktif di PHDI Pusat dengan kedudukan sebagai sekertaris jendral selama dua kali.
Menurutnya, Dana memiliki kemampuan dan wawasan yang mumpuni tentang keumatan. Di samping itu, sikap yang luwes dan mengetahui peta Hindu di nusantara. Itu, tambah Sudiana, merupakan modal bagi calon pemimpin PHDI ke depan.
“Untuk dipilih kedua kali Pak Suwisma juga masih layak,” tambah Sudiana tanpa memberikan pernyataan kenapa layak dipilih lagi. Terkait kinerja Sang Nyoman Suwisma, sebagai Ketua Umum PHDI Pusat yang sempat dinilai kinerjanya buruk mengacu pada jejak survey KMHDI dan Peradah beberapa waktu lalu, Sudiana enggan berkomentar. Hal itu dikembalikan lagi kepada umat Hindu. Yang terpenting, tambah Sudiana, siapapun yang terpilih nanti, mesti memiliki semangat mengabdi dan ngayah.
Kendala Pengurus
Jauh sebelumnya, di Jakarta dilansir sebuah survey yang dilakukan oleh Persatuan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia bersama Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). Tak kurang dari 51 tokoh yang dihasilkan dari survey itu. Di situ pula disebut kepemimpinan Suwisma dianggap kurang berhasil.
Minat menjadi pimpinan Parisada memang besar, bahkan di setiap Mahasabha acara pemilihan itulah yang paling meriah sekaligus seringkali ribut. Banyak tokoh dan yang “merasa tokoh” bersaing merebut kepemimpinan ini. Ada tiga jenis kepemimpinan di Parisada tingkat pusat. Yang pertama adalah Sabha Pandita, ini adalah kumpulan para pandita dari berbagai daerah dan juga berbagai aliran. Jumlahnya ada 33 orang dan Sabha Pandita ini merupakan organ tertinggi di dalam Parisada. Sabha Pandita dipimpin oleh seorang Dharma Adhyaksa dengan beberapa orang wakilnya.
Lalu ada Sabha Walaka yang juga disebut sebagai Dewan Pakar yang tugasnya memberikan masukan kepada Sabha Pandita. Jumlah anggotanya ada 55 orang, dipimpin seorang ketua dengan beberapa wakilnya. Kemudian ada yang disebut Pengurus Harian, tugasnya sebagai pelaksana keputusan yang telah diambil oleh Sabha Pandita termasuk menggerakkan organisasi. Pengurus Harian dipimpin oleh ketua yang disebut Ketua Umum, beberapa ketua bidang dan perangkat lainnya.
Yang unik dari majelis agama Hindu ini adalah jika pada saat Mahasabha berlomba untuk menjadi pemimpin, ketika sudah terpilih malah tak pernah kerja. Coba saja diamati dalam beberapa tahun belakangan ini, dari 33 Sabha Pandita berapa orang yang aktif? Kurang dari separohnya. Rapat Sabha Pandita pun sering gagal karena terbatasnya kehadiran para pendeta Hindu ini. Ada yang beralasan sibuk urusan ritual, tetapi lebih banyak kendalanya soal akomodasi yang tidak jelas dari mana anggarannya. Intinya tidak ada dana untuk menggerakkan Sabha Pandita itu. Kalau rapat di Bali pandita dari luar Bali kesulitan dapat dana untuk tiket ke Bali, begitu pula sebaliknya.
Hal serupa juga terjadi di Sabha Walaka. Jumlah anggotanya 55 orang, tapi berapa banyak umat yang tahu siapa saja yang duduk di sana? Jangankan umat yang selama ini tak memperhatikan Parisada, di antara anggota Sabha Walaka saja ada yang saling tak kenal. Betapa buruknya komunikasi itu. Lagi-lagi kendalanya adalah tidak ada dana untuk menggerakkan Sabha Walaka.
Kalau Pengurus Harian masih lebih jelas karena punya kantor di Jakarta dan kebanyakan pengurusnya juga berdomisili di Jakarta. Umumnya mereka adalah tokoh yang sudah mapan dari sisi materi. Kalau mau aktif mereka dengan mudah datang ke Jalan Anggrek Nely Murni, Slipi, tempat kantor PHDI Pusat itu. Satu-satunya pengurus harian yang aktif tetapi berada di luar Jakarta adalah Ketut Wiana dengan jabatan Ketua Bidang Agama.
Melihat kenyataan ini, sesungguhnya apa yang dicari untuk berlomba-lomba menjadi pemimpin Parisada pada saat Mahasabha? Toh setelah terpilih justru tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan. Apakah merasa gengsi setelah duduk di lembaga umat ini? Mungkin ini warisan di era Orde Baru. Pada saat itu, pimpinan PHDI Pusat pastilah dengan mudah mendapat jabatan di pemerintahan Suharto, apakah itu menjadi Utusan Golongan di MPR, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan sebagainya. Di era reformasi saat ini jabatan itu sudah hilang. Jadi tidak jelas apa yang diperebutkan meraih jabatan itu.
Namun ada alasan klasik kenapa pemimpin Parisada yang sudah terpilih itu tidak sepenuhya aktif. Memang betul-betul soal keterbatasan dana. Ini sudah diakui oleh Dharma Adyaksa Sabha Pandita PHDI Pusat Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa. “Memang kinerja PHDI Pusat masih belum maksimal. Pendanaan menjadi masalah krusial kami. Kepada umat Hindu di seluruh Indonesia semoga bisa memakluminya,” demikian Ida Pedanda memberi pernyataan lewat koran Pos Bali. Pedanda yang sudah tiga periode ini menjadi Dharma Adyaksa menambahkan, “Ketika kita menggelar rapat, jujur saja berat akomodasi dan tranport.”
Parisada di tingkat provinsi juga begitu, tak banyak yang bisa dilakukannya. Di tingkat provinsi yang ada adalah Pengurus Harian, Paruman Pandita dan Paruman Walaka. Dalam anggaran dasar dan rumah tangga PHDI, struktur Parisada ini sampai ketingkat kecamatan dan desa. Namun, kalau kita melihat kenyataan di Bali, Parisada Kecamatan manakah yang aktif? Kalau di kecamatan saja Parisada tak banyak terdengar, bagaimana dengan Parisada Desa? Di luar Bali justru Parisada Kecamatan dan Desa menjadi ujung tombak dari permasalahan umat.
Belum lagi masalah konflik interen, adanya Parisada kembar. Ini betul-betul PHDI yang kembar, bukan dengan lembaga parisada sejenis seperti yang pernah ada di Bali yakni PDHB (Parisada Dharma Hindu Bali) yang dipimpin almarhum Ida Pedanda Made Gunung. “PHDI Kembar” itu ada di Kabupaten Badung. Yang satu memang di bawah struktur PHDI Bali, yang satu lagi lahir dari rapat Bendesa Adat se Kabupaten Badung yang justru disahkan oleh Bupati Badung (pada era Anak Agung Gede Agung). Kenapa itu bisa terjadi? Seolah-olah Parisada ini menjadi rebutan, padahal yang bekerja untuk umat atas nama Parisada tak jelas siapa orangnya.
Menurut para pengamat sosial keagamaan, PHDI Bali sepertinya hanya mengurusi PHDI Kabupaten, tidak sampai PHDI Kecamatan, apalagi PHDI Desa. Ini tentu ada benarnya karena tanggung jawab dan pembinaan berjenjang. Tetapi apakah PHDI Kabupaten mau mengurusi, apalagi membina, PHDI Kecamatan? Hampir tak ada. Mungkin penyebabnya karena Parisada di Bali “kalah wibawa” oleh Majelis Desa Pekraman. Di desa-desa di Bali, Desa Pekraman lebih punya pengaruh termasuk dalam urusan agama. Padahal secara teori, adat dan agama itu adalah dua hal yang berbeda. Kalau kenyataan seperti ini AD/ART Parisada yang mengatur eksistensi PHDI sampai struktur terbawah di desa, menjadi tidak relevan. Ini harus dipikirkan oleh PHDI Pusat lewat Mahasabha nanti, apakah akan terus membuat struktur Parisada sampai tingkat desa, terutama di Bali. Atau yang diperlukan adalah sinergi dan komunikasi dengan majelis desa pekraman, yang mana urusan adat dan yang mana urusan agama.
Dengan segala masalah itu, Mahasabha PHDI Pusat di Surabaya nanti bisa berlangsung alot dan semoga tidak ribut. Padahal kalau berlangsung dengan baik ini kesempatan memperjelas dan mempertegas tugas-tugas Parisada. Dan juga tidak cuma menghasilkan pemimpin-pemimpin yang hanya bersuara lima tahun sekali, setelah itu bersikap masa bodoh dengan permasalahan umat. Menjadi tugas berat buat panitia bagaimana mengatur jalannya Mahasabha dan tentu diawali dengan tugas yang tak kalah beratnya, siapa saja yang akan diundang dan bisa memberikan suaranya pada Mahasabha.
(Raditya edisi Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar