Oleh Luh Made Sutarmi
Di tepi sungai Yamuna itu, Prabu Sentanu merenung dan menghayati hidup menduda setelah ditinggalkan oleh Dewi Gangga ke Kahyangan. Hatinya berbunga menyambut pagi yang cerah. Dia berbisik lirih, “Pagi mempesona secerah wajahmu yang ada dalam benak ini, senyumanmu seperti desau semilir angin timur yang mendesir sejuk, memberikan rasa bahagia tiada tara. Bibirmu manis memberikan harapan yang selalu muncul untuk memberi makna sempurna hidup ini, nafasku selalu berima ritmis, sebab bayanganmu ada dalam setiap kisi-kisi hati ku yang merindu.” Itulah yang selalu berkecamuk dalam pikiran dan hati Prabu Sentanu.
Lalu kakinya memainkan air, karena dia duduk di pinggir sungai, lalu dia pun berucap lagi, “Cintaku selalu memberikan warna keindahan yang tulus dalam setiap langkah kehidupan bersamamu dalam menggapai hidup ini. Hati ini menunggu dekapanmu yang hangat sehangat sinar surya pagi. Hasratku menguak dengan bisikan lembut, cepat datanglah dan jadilah istriku, kecantikanmu selalu membuat hatiku berbunga dengan warna yang indah merona. Semoga dirimu bahagia dan selamat dan kupeluk dirimu dengan mesra.”
Dalam menyambut mentari pagi bumi seakan tersenyum, muncullah wanita belia dari balik rumah seorang nelayan. Tak ada yang tahu, bahwa perempuan itu adalah janda, pernah menikah dengan seorang Rsi, dia adalah Dewi Satyawati. Memandang sosok itu hati Prabu Sentanu berbinar lalu diberucap lirih, “Kekasihku akhirnya datang juga menemuiku.”
“Yang mulia, selamat pagi!” sahut Dewi Satyawati. “Kanda sangat sadar tak ada yang dapat mengobati hatiku yang merindu dan luka karena kesedihan yang panjang ini,” kata Prabu Sentanu.
Dewi berkata dengan sangat romantis, “Aku ingin meraih kembali cintamu yang hilang, sehingga kini harus menjadi kenyataan. Saat diriku dalam siksaan cinta, dirimu melenggang pergi tanpa pernah memikirkan aku. Tak ada yang salah dengan cinta. Karena ia hanyalah sebuah kata dan kita sendirilah yang memaknainya. Jika esok pagi menjelang, akan aku tantang matahari yang terbangun dari tidur lelapnya. Ketulusan cinta hanya dapat dirasakan mereka yang benar-benar mempunyai hati tulus dalam cinta.” Demkianlah Prabu Sentanu mabuk cinta, dan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, namun cinta yang ditunjukkan sang Dewi penuh persyaratan. Syaratnya adalah, kala nanti dirinya memiliki anak bersama Santanu, maka anak itulah sebagai pewaris kerajaan. Keinginan itu berebut dengan ketulusan cinta sang Prabu Sentanu.
Namun demikian, Sang Prabu Sentanu selalu ingat pesan-pesan ayahnya ketika dia berdiskusi waktu masih remaja, “Lewat cinta engkau akan merasakan kehadiran Tuhan dalam semua makhluk, maka lambat laun keinginanmu meningkat untuk memperoleh darsan, yaitu penghayatan dan penglihatan langsung perwujudan Tuhan. Bagaimana engkau dapat melihat Tuhan dengan cara ini? Jika engkau hanya mengharapkannya, hal ini tidak mudah terpenuhi. Engkau harus benar-benar merindukan penglihatan ini; engkau harus tak henti-hentinya berhasrat untuk melihat Tuhan. Kini engkau mesti berkeinginan melihat serta menghayati secara langsung wujud atau aspek Tuhan yang mana saja yang telah kau ketahui karena membaca atau mendengarnya. Jika kerinduanmu itu sungguh-sungguh dari hati, maka lambat laun Tuhan akan menampakkan diri-Nya secara amat pribadi kepadamu dalam perwujudan yang nyata, dan memberimu penampakkan yang indah.”
“Kerinduhan pada Tuhanlah yang paling menarik dan utama,” demikian pesan ayah prabu sentanu. “Dengan membayangkan dalam hati wujud Tuhan yang mana saja yang telah kau dengar uraiannya, kemudian memikirkan dan merenungkan wujud itu terus menerus. Apa pun yang kau kerjakan, apa pun yang kau lihat, dan apa pun juga yang kau dengarkan, engkau harus menyatu dengan citra yang tergambar di hatimu.
Sampai disini, renungan itu membuat Prabu Sentanu tersadar, walaupun bagaimanapun, hatinya sudah tertambat dengan Dewi Satyawati, “Bersandarlah di pundakku sampai kau merasakan kenyamanan, karena sudah keharusan bagiku ununtuk memberikanmu rasa nyaman. Air mata merupakan satu-satunya cara bagimana mata berbicara ketika bibir tidak mampu menjelaskan apa yang membuatmu terluka. Hidup tidak bisa lebih baik tanpa ada cinta, tapi cinta dengan cara yang salah akan membuat hidupmu lebih buruk,” kata Prabu sentanu. Itu sebabnya, kegagalan sebetulnya sebuah misteri ilahi yang dibuat untuk membentuk kita agar semakin kuat. Kegagalan juga membentuk kita tangguh saat sukses benar-benar sudah di tangan.
Sambil menatap langit yang semakin cerah, Dewi Satyawati pun berkata mesra, ”Mencintai dirimu Yang Mulia hanya butuh waktu beberapa detik, namun untuk melupakanmu butuh waktu seumur hidupku, yang mulia.”
“Hamba menyadari benar,” kata Dewi Satyawati, “Cinta merupakan keteguhan hati yang ditambatkan pada kemanusiaan yang menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan. Cinta memasukkan kesenangan dalam kebersamaan, kesedihan dalam perpisahan, dan harapan pada hari esok. Lalu Prabu Sentanu berbicara dengan lembut selembut desau angin selatan. “Ketika mencintai seseorang, cintailah apa adanya. Jangan berharap dia yang sempurna, karena kesempurnaan adalah ketika mencinta tanpa syarat. Cinta bukanlah tentang berapa lama mengenal seseorang, tapi tentang seseorang yang membuatmu tersenyum sejak mengenalnya. Ketika mereka bertanya tentang kelemahanku, aku ingin mengatakan bahwa kelemahanku adalah jauh dirimu. Aku merindukanmu di mana-mana dan aku sangat mencintaimu. Kehadiranmu dalam hidupku, aku tahu bahwa aku bisa menghadapi setiap tantangan yang ada di hadapanku, terima kasih telah menjadi kekuatanku. Meneriakkan namamu di derasnya hujan, memandangmu dari kejauhan, dan berdo’a di hening malam. Cinta dalam diam inilah yang mampu kupertahankan. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat pantas untuk dijalani dan kepercayaan itu akan membantu kita menciptakan kenyataan.”
Prabu Sentanu sangat mengerti akan hiup yang selalu merindu dan ingin bertemu dengan sang pujaan hati, sebab kesedihan dan kebahagiaan adalah permainan bagi jiwa yang sedang bertumbuh jadi dewasa. Bagi jiwa yang sudah dewasa tahu kalau keduanya bersifat sama: tidak pasti, datang dan pergi. Di sanalah cinta menemukan tempat duduknya. Om Gam ganpataye namaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar