Nyoman Sumawijaya
Dimensi Agama Dalam Membangun Keseimbangan Hidup adalah judul tulisan I Nyoman Sugiarta dan Ketut Sukayasa dimuat alam majalah Raditya edisi 228, Juli 2016. Ini adalah satu dari sekian banyak tulisan dan mungkin juga acara yang mengulas kondisi sosial masyarakat, khususnya umat Hindu. Yang lebih khusus mungkin yang disoroti adalah di Bali. Seperti disampaiakn dalam awal tulisannya, Nyoman Sugiarta dan Ketut Sukayasa menyatakan bahwa agama diharapkan menjadi penuntun umatnya menjalani kehidupan sosial yang dilandasi cinta kasih. Namun faktanya, jauh dari yang kita harapkan.
Lalu apa penyebabnya? Siapa yang harus bertanggungjawab? Kita tidak bisa berhenti sampai pada tahap mengenali dan berharap. Kita harus mencari jalan keluarnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Agama berarti suatu jalan atau paham yang dianut seseorang atau sekelompok orang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Keberagamaan seseorang dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa ada suatu kekuatan atau zat yang maha besar, maha mengetahui dan serba sempurna yang disebut Tuhan dalam bahasa Indonesia atau Sanghyang Widhi dalam bahasa Bali dan disuarakan Om dalam agama Hindu atau sebutan lainnya menurut agama dan bahasa setempat. Manusia yang beragama meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan akan/harus kembali ke asalnya (Tuhan-Surga). Atau agama tertentu menyatakan manusia berada di dekat Tuhan. Kembali ke sisiNya. Demikian juga segala yang ada di dunia ini diyakini berasal dan akan kembali ke Tuhan. Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pemralina.
Untuk bisa masuk ke sorga (manunggal dengan Ida Sanghyang Widih) tentunya kita harus bebas dari segala dosa; tidak lagi tertarik dengan segala kenikmatan benda dan lainnya yang bersifat duniawi. Manusia meyakini bahwa melalui jalan agama dia akan bisa menyempurnakan dirinya dan bisa kembali kepada Sang Pencipta (Moksa).
Praktek Beragama
Apakah dengan beragama manusia dapat mencapai sorga dan menyempurnakan dirinya? Sesuai dengan definisi agama seperti dinyatakan dalam Kamus Bahasa Indonesia, agama adalah suatu ajaran yang berdasarkan keyakinan, maka agama baru akan memberikan manfaat kalau dilaksanakan dengan baik dan benar. Jika tidak maka tidak akan ada manfaatnya. Hanya sekedar menempelkan kata agama di dalam KTP, atau menjalankan ritual-ritual persembahyangan atau memakai pakaian tertentu, tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
Berbagai bentuk praktek keagamaan dilakukan. Bukti keberagamaan sesorang dapat dilihat mulai dari pencantuman agama dalam identitas diri seseorang (KTP). Kemudian juga dapat dilihat dari cara berpakaian (busana). Beberapa masyarakat agama berusaha menunjukkan keberagamaannya melalui pakaian (busana) yang dikenakan untuk menutup tubuhnya. Keberagamaan juga dapat dilihat pada saat dia sembahyang, membuat banten dan membuat tempat sembahyang. Tapi nilai keberagamaan yang sebenarnya lebih dri itu; yaitu mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana disebutkan dalam pembukaan bahwa agama adalah suatu paham dan keyakinan bahwa manusia berasal dan akan kembali ke Tuhan. Untuk bisa menyatu dengan Tuhan, maka kita harus membuat diri kita mendekati, jika tidak mungkin menyamai sifat-sifat Tuhan (Maha Mengetahui, Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Oleh karena itu maka kita harus selalu meningkatkan pengetahuan kita (pengetahuan agama dan ilmu lainnya), meningkatkan rasa cinta kasih. Cinta kasih kepada sesama, lingkungan dan terutama kepada Tuhan.
Penerapan Nilai Agama Dalam Kehidupan Sehari-hari
Agama selain harus dipahami dan dilaksanakan dalam bentuk ritual (sembahyang, sholat atau istilah lainnya) seharusnya dapat digunakan dan harus digunakan sebagai pengarah dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah “way of life”. Pedoman dan acuan kita dalam berbangsa dan bernegara. Untuk individu maka agama adalah pedoman menjalankan perikehidupan sehari-hari. Nilai-nilai agama (dharma) haruslah menjadi landasan (falsafah) dalam menjalankan kehidupan kita. Agama mengajarkan, kita harus menyempurnakan pikiran, perkataan dan perbuatan kita (Tri Kaya Parisudha). Mulai berpikir, kemudian berkata dan bertindak. Semuanya harus berlandaskan nilai-nilai agama, Meneladani sifat Tuhan, Maha Pengasih, Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Segala pikiran, perkataan dan perbuatan kita harus dilandasi rasa cinta kasih. Perkataan yang diucapkan harus dilandasi pemikiran yang kasih, tidak asal bunyi. Apalagi dengan niat menyakiti perasaan orang lain. Demikian juga perbuatan kita, mulai melangkahkan kaki, menggerakkan tangan dan seluruh anggota badan lainnya harus berlandaskan kasih dan kecintaan. Segala pikiran, perkataan dan perbuatan kita merupakan bakti kita kepada Tuhan. Jika ini dapat dilakukan maka rasa damai akan terasa di hati, tidak ada rasa curiga, tidak serakah, tidak korupsi dan tidak akan merusak lingkungan. Tidak akan pernah irihati pada milik dan kemampuan orang lain. Bahwa kita ingin bisa, mampu dan memiliki sesuatu adalah sah-sah saja. Tapi harus dilandasi pemikiran yang positif, tidak curiga pada orang lain.
Sampai sejauhmana kita sebagai umat dan bangsa yang mengaku dan mengklaim sebagai masyarakat beragama sudah mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan kita sehari-hari? Sebuah pertanyaan yang layak dan patut kita coba kemukakan dan cari jawabnya.
Berkorban: apakah yang paling pantas dan berniali untuk kita korbankan? Apakah emas, perak, binatang atau benda lainnya?. Itu semua sudah dilakukan. Tapi faktanya seperti yang dibahas olek Nyoman Sugiarta dan Ketut Sukayasa. Kondisi sosial masyarakat kita jauh dari cinta kasih. Korban dalam bentuk materi justru kelihatnnya bukan korban, tetapi pamer. Yang paling pantas dikorbankan adalah nafsu. Kita harus mau dan mampu mengorbankan nafsu kita, baik nafsu untuk memiliki harta yang berlebih, nafsu untuk mendapatkan jabatan dan nafsu lainnya. Terjadinya korupsi karena kita terlalu salah mengartikan materi yang sudah disediakan Tuhan untuk kita semua. Kita lupa semua yang ada di dunia ini, yang pernah ada dan yang akan ada berasal dan akan kembali kepada Penciptanya (Tuhan). Jika ini dipahami dengan baik dan benar, maka tidak ada orang yang akan korupsi. Lalu, kenapa ini sampai terjadi ?, Siapa yang harus bertanggung jawab?
Jika kita amati berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka wajar kita untuk bertanya, apakah makna agama? Seolah-olah, atau bahkan mungkin demikian adanya: agama itu tanpa makna. Agama belum bisa menuntun kita menjadi manusia yang sebenarnya sebagaimana yang kita harapkan bersama: manusia yang penuh cinta kasih.
Peran Pemuka Agama
Kalau kita dengarkan ceramah-ceramah keagamaan; tidak dapat dsangsikan lagi bahwa para pemuka agama begitu semangat dan yakin akan kebenaran nilai yang disampaikannya. Dan memang demikian adanya, agama adalah tuntunan hidup menuju kehidupan yang baik dan mulia. Masing-masing menggunakan bahasa dan gayanya. Jelas tujuan penyampaian ceramah, dharma wacana atau apa pun istilahnya tentunya adalah agar nilai-nilai filosofis agama dapat dipahami dengan baik oleh umatnya. Dan kemudian mempengaruhi perilaku hidupnya sehari-hari. Tidak berhenti hanya rajin sembahyang, mebanten dan membangun pura.
Bagaimana sebaiknya ceramah atau dharmawacana itu dibawakan? Masing-masing punya gayanya, tetapi yang pasti adalah maksudnya: harus bisa memberikan pembelajaran kepada umat menuju kehidupan yang lebih baik. Caranya tentunya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Ketika nilai itu tidak mempan untuk menuntun dan mengarahkan umatnya untuk berprilaku seperti apa yang diamantkan oleh agama, maka para pemuka agama harus mencari metode yang lain. Nilai agama tetap, abadi. Tetapi cara penyampaian harus disesuaikan dengan situasinya. Sesuai tantangan zaman, seperti kerusakan lingkungan, korupsi, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain yang harus dapat dicegah.
Para pemuka agama tidak bisa sekedar menyiarkan dan menyampaikan nilai-nilai agama kepada pengikutnya, tetapi dia juga harus bisa yakin dan memastikan bahwa nilai-nilai filosofis dalam ajaran agama tersampaikan dengan baik dan dimengerti dan kemudian dijadikan pegangan berprilaku bagi umatnya atau masyarakatnya. Perlu cara baru yang kekinian (uptodate) dalam mengartikan dan menerjemahkan nilai-nilai filosofis dalam kitab suci. Harus mengena dengan situasi sekarang. Tiga dasar agama: filsafat, ritual, dan susila (sikap dan tingkah laku) harus dipahami dan dilaksanakan secara seimbang. Soal bahasa dan sarana; bisa disesuaikan dengan keadaan (desa, kala , patra).
Dalam menyampaikan ceramah agama, para pemuka harus bisa menyentuh perasaan (rasa) audiennya. Karena dasarnya adalah keyakinan, jadi pemuka agama harus bisa meyakinkan umatnya bahwa dengan menjalankan ajaran agama maka kehidupan akan lebih baik, bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia ini, dunia nyata. Pemuka agama juga harus bisa memperluas jaringannya sehingga dapat membantu umatnya dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan jejaring sosialnya. Beragam masalah dihadapi masyarakat : lapangan pekerjaan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Pemuka agama tidak mungkin bisa menjawab dan menyelesaikan itu semua, tetapi dengan memperluas jejaring sosial maka pemuka agama akan bisa mempertemukan umatnya dengan pihak (instansi atau perorangan) yang bisa membantu memecahkan permasalahan yang di hadapi umatnya.
(Penulis tinggal di Cimahi, Jawa Barat nyoman_sumawijaya@yahoo.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar