Rabu, 26 September 2012

Menegakkan Dewasa Ayu pada Ritual di Zaman Modern


Dalam Bhagavata Purana dikisahkan saat Parikesit lahir, para rsi dan muni berkumpul untuk menghitung formasi bintang dan benda-benda angkasa guna mengetahui nasib si bayi yang baru lahir itu. Alhasil, konon dengan perhitungan ilmu Jyotisha, sejak kelahirannya Parikesit sudah diramalkan bakalan meninggal akibat dipatuk ular.

Astrologi dan astronomi dalam khasanah Weda dikenal dengan nama Jyotisha. Jyotisha secara harfiah berarti "Lord of Light" atau "studi tentang cahaya" mencakup terang dari langit maupun dalam "melihat" seseorang. Ini adalah model dari realitas yang menafsirkan kondisi diamati kosmos pada saat acara - seperti kelahiran - dalam rangka untuk memberikan gambaran ke dalam sifat dan peristiwa pada periode selanjutnya.

Jyotisha berdiri di garis depan sistem ramalan India dan dikenal sebagai "mata dari Veda". Veda (pengetahuan) adalah kognisi besar dari Resi kuno (orang bijak) yang merupakan dasar dari budaya India dan filsafat yang menguraikan inti pengetahuan tentang Brahman - roh murni abadi yang mendasari semua makhluk, semua objek dan pengalaman. Jyotisha sendiri adalah Vedanga - salah satu dari enam anggota badan dari Veda yang mendukung dan mempertahankan pengetahuan berharga dan memungkinkan untuk ditekuni terus dari generasi ke generasi.


Jyotisha adalah unik dalam kemampuannya secara umum dan berlaku untuk semua waktu, tempat dan individu. Karena alasan ini bahwa Jyotisha karena itu relevan dalam membimbing setiap orang menuju pemahaman yang lebih luas sehubungan dengan tempat kita di alam semesta, sehingga dapat mengetahui siapa diri kita di bentangan semesta yang maha luas ini. Juga pengetahuan mengenai dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi. Jyotisha adalah alat yang ampuh dalam menerangi apa yang sebelumnya mungkin telah menjadi misteri dari rantai sebab dan akibat dan dengan demikian memungkinkan seorang individu untuk memahami dan menemukan keselarasan dengan hidupnya di masa kini.

Seperti semua mata pelajaran klasik India, Jyotisha benar-benar sebuah studi yang indah yang mencakup disiplin ilmu lain dan berkembang pada pengikutnya perpaduan unik dari logika, intuisi, pragmatisme, analisis dan sintesis. Memang, Jyotisha adalah "sadhana", sebuah jalan spiritual yang dapat mengubah kehidupan seseorang secara permanen.

Ala Ayuning Dewasa

Menurut Jyotisha, setiap waktu dipengarhui oleh konfigurasi benda-benda angkasa dan siapa yang lahir pada masa tertentu, maka bakat, watak dan nasibnya dapat dibaca berdasarkan pengaruh kosmos itu. Adalah Karma Phala yang memungkinkan seseorang terlahir pada waktu tertentu sesuai bobot karma yang telah dibuatnya pada masa sebelumnya. Demikian berpengaruhnya konfigurasi planet-planet angkasa, bagi kehidupan di bumi, maka bila hendak memulai suatu aktifitas baru diusahakan memilih waktu yang tepat. Seseorang berpikir untuk memulai usaha-usaha di bidang kebaikan, entah pembangunan, ritual, perjalanan dan sebagainya, maka diusahakan memperoleh dukungan dari energi makrokosmos yang terbaca lewat ilmu Jyotisha. Dan di Bali ilmu ini lumrah dikenal sebagai uger-uger padewasan atau uger-uger ala ayuning dewasa.

Ala ayuning dewasa di Bali menguraikan tentang perhitungan hari – hari yang sangat baik untuk melaksanakan upacara dan dan kegiatan lainnya, serta ada juga hari yang harus dihindari dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Ida Pandita Mpu Nabe Reka Dharmika Sandhiyasa dari Geriya Kayumas Kaja mengatakan, dalam penentuan waktu ritual ada banyak pilihan, karena ketentuannya adalah, wewaran alah dening wuku, wuku alah dening panglong, panglong alah dening sasih, sasih alah dening dauh dan dauh alah dening ning.

Menurut Ida Pandita Mpu Nabe, misalnya dewasa ayu berdasarkan sasih untuk upacara pawiwahan (Pernikahan), maka ketentuannya adalah Sasih Kaso, Karo (Buruk). Sasih Kasa buruk untuk melakukan pernikahan karena “kasengsaran” artinya dalam membangun rumah tangga akan menemui kesengsaraan, anak sakit – sakitan. Kemudian Sasih Karo juga buruk untuk melakukan pernikahan karena “Punggung Tiwas, Nemu Sungsut” artinya dalam membangun rumah tangga akan menemui kesengsaraan.

Sasih Katiga adalah waktu yang baik untuk melakukan pernikahan karena “Akeh Madue Putra” artinya dalam membangun rumah tangga akan banyak memiliki keturunan. Demikian juga pada Sasih Kapat sangat baik untuk melakukan pernikahan karena “Madruwe Artha Brana, Kinasihan Olih Sawitra” artinya dalam membangun rumah tangga akan hidup berlimpah dan dicintai para sahabatnya. Sementara sasih Kalima juga berkategori baik (ayu), untuk melakukan pernikahan karena “Rejeki Akeh” artinya dalam membangun rumah tangga akan berlimpah.

Tapi pada Sasih Kanem hendaknya dihindari untuk melangsungkan pernikahan, karena “Kapunggelan Tresna” artinya cinta kasih yang tidak kesampaian, susah memiliki keturunan. Sasih Kapitu (Baik), Kawulu dan Kasanga (Tidak baik). Sasih Kawulu, tidak baik melakukan pernikahan, karena “Tan Pasangu, Nandang Sengsara” artinya akan menemukan penderitaan. Sedangkan sasih Kasanga disebut “Kelaran, Kaos Tiwas Liglig” artinya akan sengsara dan miskin selama hidupnya.

Kadasa (Baik) Jyestha dan Sada (Buruk). Sasih Jyestha buruk untuk melakukan pernikahan karena “ngawe uyut” artinya sasih sumber keributan dan kericuhan dalam memulai rumah tangga. Selanjutnya Sasih Sadha dinyatakan buruk untuk melakukan pernikahan karena “ngawe uyut” artinya serba kekurangan dalam memulai rumah tangga. Sedangkan dari perhitungan ingkel yang buruk untuk melangsungkan pernikahan adalah ingkel wong.

Banyak perhitungan jelimet yang harus diperhatikan ketika seorang sulinggih atau pemangku ngelebang dewasa (Memberikan patokan hari baik kepada umat yang hendak menggelar ritual). Selain sasih, wuku, wewaran, ingkel, juga bilamana pada suatu hari memiliki perhitungan baik, seperti, dina jaya, kamajaya, dasamerta, dina kahuripan, panca werdi dan sebagainya.

Caru Pengalang Dina Ala

Seorang umat Hindu (Bali) yang berdomisili di Kalimantan, sebut saja namanya Made Wuku ingin pulang ke Bali untuk melangsungkan pernikahannya. Sayangnya ia terkendala waktu. Cuti hanya tiga hari membuatnya sulit untuk memenuhi kreteria ala ayuning dewasa di dalam menggelar hajatan sakral itu. Tapi, Ida Pandita Mpu Nabe Reka Dharmika Sandhiyasa yang kemudian memuput upacara tersebut dapat mencarikan solusi, sehingga keinginan menggelar ritual bisa berjalan lancar demikian juga swadharma-nya sebagai seorang walaka yang dituntut melakukan Karma Yoga tetap dapat berlangsung. Ida Pandita menjelaskan, ada upakara (bebantenan) yang diperuntukkan untuk pengalang dina ala (tumbal hari buruk), sehingga ‘dewasa ala’ pun masih bisa dilaksanakan yadnya. Untuk pernikahan banten pengalang dina dilakukan upakara di halaman (natar), di bawah tempat tidur (beten rongan) dan di atas tempat tidur. Dan dengan runtutan upakara pengalang dina ala itu, mereka yang melakukan upacara dan ikut terlibat di dalamnya diupayakan pikirannya menjadi ‘ning’. “Sebenarnya yang utama dalam sebuah perhelatan yadnya adalah manah ening, tetapi bagi kita semua kondisi itu sangat sulit dicapai, sehingga masih diperlukan upakara, perhitungan hari baik dan sebagainya guna membuat perasaan nyaman,” tutur Ida Pandita.

Beliau menambahkan, agama Hindu yang dipraktikkan di Bali terkesan rumit, tetapi sesungguhnya semua solusinya sudah disediakan, tinggal bagaimana kita menerima solusi itu sebagai sebuah kewajaran. Jika untuk melakukan upacara harus menunggu sasih tertentu, sementara yang bersangkutan harus segera berangkat bekerja ke kapal pesiar selama berbulan-bulan, apakah upacaranya harus ditunda? Menurut Ida Pandita yang sering muput di Jawa ini, niat baik termasuk beryadnya hendaknya jangan ditunda-tunda. Bilamana waktu yang dianggap baik tidak ada mengingat singkatnya kesempatan libur dan seterusnya, maka selaian ada banten pengalang dewasa ala untuk menetralisir pengaruh buruk hari dimaksud, juga pentingnya memiliki hasrat ketulusikhlasan dan kepasrahan di dalam beryadnya. Lebih-lebih yang bersangkutan hendak pergi menunaikan Karma Yoga (bekerja) yang juga sangat utama sebagai seorang grhastin atau yang bersiap melangkah ke jenjang itu. Ritual bukanlah satu-satunya kewajiban umat Hindu, jalan Karma Yoga sangat utama di zaman ini, karena itu ketentuan lain dari agama Hindu hendaknya mendukung kelancaran Karma Yoga ini, sehingga umat Hindu semakin aktif dan produktif, di mana saja berada dengan tetap berpijak pada sradha keagamaannya yang kuat.

N. Putrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar