Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 21 Agustus 2017

Rahasia Kekereb Bhuta Siu Antara Mistik, Gaib dan Sakti

Pangiwan atau sering disebut dengan “jalan kiri” diidentikan dengan hal-hal yang kiri atau kejahatan lawan dari kebaikan. Berbeda dengan “jalan kanan” yang diidentikan dengan kebaikan lawan dari kejahatan. 

Selanjutnya......

Minggu, 20 Agustus 2017

Dharma Tula Bersama Pandita Mpu Acharya Nanda di Pura Amrta Jati

Agama Hindu sebagai agama paling awal di muka bumi ini yang hadir ribuan tahun sebelum masehi dan dianut sampai dengan sekarang mengalami pemaknaan oleh penganutnya sesuai perkembangan zaman. Mulai dari zaman primitive sampai dengan zaman post modern. Dalam zaman primitif masyarakat memiliki budaya primitif yang ditandai oleh kepercayaan animisme, dinamisme, toteisme, dan lain-lain. Setelah itu masyarakat memasuki zaman pertanian.

Selanjutnya......

Niti Çastra Dapat Diterapkan Setiap Orang

Oleh I Gusti Ngurah Sudiana

Ilmu kepemimpinan identik dengan kata Nitisastra, kata Nitisastra berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata niti dan çastra. Niti berarti kemudi, pimpinan, politik dan sosial etika, pertimbangan, kebijakan. Sedangkan kata Sastra berarti perintah ajaran, nasihat, aturan, teori, tulisan ilmiah. Berdasarkan uraian etimologi, kata niti çastra berarti ajaran peminpin.

Selanjutnya......

TARI SAKRAL YANG TIDAK (LAGI) SAKRAL

Oleh I Ketut Yasa


Tari Rejang, khususnya Rejang Dewa adalah tari sakral,  sebagaimana telah disinggung dalam Majalah Hindu Raditiya edesi 196 November 2013 dan edesi 206 September 2014. Tari sakral memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, ditarikan oleh orang tertentu. Kedua, ditarikan pada waktu dan tempat tertentu.

Selanjutnya......

Arjuna Yang Menjadi Kekasih Tuhan

Oleh Made Luh Sutarmi

Gemercik air di pematang sawah terdengar sebagai musik alam yang ritmis serta bersatu dengan bianglala sinar surya pagi di hamparan sawah yang tersisa berpadu dengan  jiwa syukur yang  kerap hadir tanpa diundang. “Ia spontan mengalir dan mengkristal, serta  menyatu   karena memiliki dirimu  yang selalu hadir dalam dekapan kasih sayang, jiwamu  yang indah, membuat hatiku damai, dan senyummu yang manis  hadir memberikan rasa  sejuk  membatin penuh asrat merindu dalam hati ini. Selamat pagi sayang, semoga damai selalu, I love you so much,” demikian sebagaian  kata kata-manis dalam hati menjadi obyek meditasi kerja bagi orang yang jatuh cinta. Cinta yang tertinggi adalah mencintai dan dicintai oleh Tuhan.

Selanjutnya......

Rasesvara Saivaisme: Virasaiva

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda

ViraSaiva  didirikan oleh Sripati  dan memiliki makna historis yang menunjukkan sikap kepahlawanan dari para pengikutnya dalam mempertahankan keyakinannya. Vira berarti kegigihan, keperwiraan. Dalam Siddhanta Sikhamani terdapat suatu percakapan antara Renuka atu Revana dengan Agastya tentang arti kata Vira, yaitu: vi  artinya pengetahuan (vidya) yang menyatakan bahwa subyek pribadi jiwa identik dengan Saiva  dan para pengikut Saivaisme yang menemukan kepuasan dalam pengetahuan ini adalah ViraSaiva. Pengetahuan yang diperoleh seseorang dari belajar Vedanta yang ditunjukkan oleh kata vi dan vira adalah yang menemukan kedamian di dalam pikirannya.

Selanjutnya......

Minggu, 13 Agustus 2017

Nilai Religius Wilayah Hulu dalam Persefektif Hindu

Oleh  I Nyoman Tika

Konsepsi nilai Hindu terhadap lingkungan, pertiwi  disebut sebagai ibu, sedangkan langit adalah bapak.  Ayah dan Ibu nampak jelas bahwa konsepsi Hindu  sangat menjunjung nilai humanisme dan naturalisme. Humanisme merupakan jejak yang mengharkatkan tinggi pada manusia, sedangkan naturalisme mengapresiasi positif penghargaan pada alam. Atas dasar itu,  kedua dimensi itu menarik direnungi bahwa alam dan kemanusiaan memang saling berkaitan, dan keduanya bisa saling meniadakan.  Lalu manusia akan sadar, pada pernyataan bahwa  Apakah jika pohon terakhir akan ditebang, dan mata air terakhir berhenti mengalir, baru saat itulah manusia sadar bahwa uang tidak dapat dimakan dan diminum, sebuah ungkapan futuristik.

Selanjutnya......

Memaknai Shiwa – Budha dalam Kekawin Sutasoma

 Oleh I Made Dwija Nurjaya

Shiwa adalah prinsip kerja organ tubuh yang ada di kepala, berisi semua logika, rasio, cipta dan segala sesuatu yang masuk akal, dia rumit dan tegas, namun terstruktur dengan baik, berurutan sehingga mudah dimengerti walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Kepala atau sirah adalah tempat bersemayamnya pikiran dan menjadi alat bagi  manusia untuk berpikir. Proses berpikir menjadi sangat penting dalam kehidupan pribadi maupun berbangsa dan bernegara. Masyarakat mesti dididik agar memiliki pikiran yang Tajam dan Jernih. Ini bertolak belakang dengan pikiran yang tumpul dan kotor, kacau; karatan dan tidak jelas.

Selanjutnya......

Tajen: Antara Hukum dan Fakta di Masyarakat

 I Made Sudana, SH

Dalam Rg Weda dan Manawadharma Sastra secara jelas diuraikan ketentuan-ketentuan  yang mengatur larangan judi, tetapi melanggar hukum positif tidak diuraikan secara jelas bagaimana bunyi pasal 303 ayat (1) KUHP demikian pula pasal berapa dari Undang-undang No 7 tahun 1974 melarang judi dan bagaimana bunyinya dan hukum positif yang mana yang dilanggar. Kiranya perlu juga dijelaskan sebagaimana menjelaskan melanggar ajaran agama. Terutama bunyi pasal 303 KUHP, pasal-pasal yang mengatur larangan judi yang diuraikan dalam  Undang-undang No.7 tahun 1974.

Selanjutnya......

Ritual Keagamaan dalam Jaring Kapitalisme

 Oleh I Nyoman Agus Sudipta, S.Pd., M.Si

Perkembangan zaman sekarang yang serba instan membawa pengaruh terhadap pola kehidupan manusia. Segala hal ingin diatur secara cepat, singkat, simple, sederhana, irit dengan dasar efektif dan efisien. Dalam segala bidang hal ini diatur sedemikian rupa, mengingat pemikiran manusia bahwa waktu adalah uang. Perubahan ini sangat berbeda sekali dengan kehidupan masyarakat zaman dulu yang masih terpola pada kehidupan budaya agraris yang bergerak pada sektor pertanian. Dengan berkembangnya industri modern, maka mata pencaharian manusia mulai berubah.

Selanjutnya......