Oleh Luh Made Sutarmi
Di tepi sungai Yamuna itu, Prabu Sentanu merenung dan menghayati hidup menduda setelah ditinggalkan oleh Dewi Gangga ke Kahyangan. Hatinya berbunga menyambut pagi yang cerah. Dia berbisik lirih, “Pagi mempesona secerah wajahmu yang ada dalam benak ini, senyumanmu seperti desau semilir angin timur yang mendesir sejuk, memberikan rasa bahagia tiada tara. Bibirmu manis memberikan harapan yang selalu muncul untuk memberi makna sempurna hidup ini, nafasku selalu berima ritmis, sebab bayanganmu ada dalam setiap kisi-kisi hati ku yang merindu.” Itulah yang selalu berkecamuk dalam pikiran dan hati Prabu Sentanu.
Yayasan Dharmasastra Manikgeni
Jumat, 30 September 2016
Getar-Getar Kerinduan Prabu Sentanu
Revitalisasi Nilai-Nilai Hindu Penyelematan Lingkungan
Oleh I Nyoman Tika //
Selamatkanlah tumbuhan untuk selamatkan dunia,” demikian slogan didengungkan, dan “Bergabunglah bersama kami untuk membuat dunia menjadi lebih baik,” itu slogan yang lain. Menyelamatkan lingkungan hidup dimulai dari tindakan awal. Ini adalah bumi kita, kita tahu yang mana yang berharga. Orang semakin berseru dan berselogan, namun tradisi penyelamatan menurut Hindu dengan Tumpek Kandang dan Tumpek Bubuh, sudah ada dan setiap enam bulan dirayakan. Namun, semakin maraknya kerusakan lingkungan khususnya di Bali, dugaan yang kuat adalah tradisi itu kini hanya berhenti di tataran ritual, dan generasi muda semakin berjarak, sehingga kerusakan lingkungan pun semakin parah.
Selanjutnya......
Wareg Tan Paneda, Bungah Tan Mapanganggo
Oleh I Dewa Gede Alit Udayana //
Ini adalah salah satu sesonggan Bali, yang bila diartikan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti: kenyang tanpa makan, mentereng tanpa berganti pakaian. Mungkinkah hal itu terjadi? Mungkin saja. Pada kondisi-kondisi tertentu yang membuat hati seseorang bergembira meluap-luap. Senang bukan main, atau merasa bahagia (sekali). Hati sedang berbunga-bunga. Kondisi seperti ini tidak mesti karena uang, atau material pemuas nafsu naluriah semata. Lebih dari itu ada kondisi psikologis tertentu yang dapat membuat seseorang merasakan kebahagiaan yang amat sangat.
Apapun Agamanya Utamakan Perbuatan Mulia
Oleh I Nyoman Sugiarta dan I Ketut Sukayasa //
Sabda dari Sri Krisna patut kita renungkan secara mendalam: ”Dengan cara apapun engkau sembah Aku dengan ketulusan kasihmu, pada akhirnya semua akan kembali kepadaKu.” Sungguh pernyataan yang amat mulia kalau kita dapat renungkan dengan seksama. Nilai kemuliaan kasih dalam ketulusan budi umat beragama dalam menjalani tugas kehidupan ini adalah pangkal mula terwujudnya kedamaian jiwa.
Mantra Meditasi: Spiritual Meliputi Aspek Internal dan Eksternal
Oleh Jagadguru Siddhasvarupananda //
Meditasi mantra merupakan bagian integral dari ilmu identitas dan dimaksudkan untuk membersihkan pikiran dari semua kesalahpahaman tentang identitas sejati. Pikiran perlu dibersihkan atau dimurnikan dengan kekuatan yang cukup kuat untuk melakukan pembersihan itu. Setelah semua bersih oleh diri kita sendiri, maka kita memiliki kekuatan untuk menghapus ketidaktahuan atau naik ke dunia spiritual. Dan dengan latihan meditasi mantra, pikiran dapat dimurnikan.
Selanjutnya......
Rabu, 28 September 2016
Bali Belum Layak Disebut Pulau Sorga
Made Mustika
Gubernur Bali Made Mangku Pastika sebagaimana dikutip dari Harian Kompas 28 Juli 2016 lalu, menyatakan dirinya merasa malu karena penduduk Bali masih banyak yang miskin. Itu ditandai dengan masih banyak ditemukan rumah-rumah penduduk yang tak layak huni. Di sisi lain, Bali dikenal dengan berbagai julukan. Salah satu di antaranya adalah Bali pulau sorga. Ia merasa terganggu dengan julukan itu. Jika julukan itu benar, tentu penduduk Bali tidak ada yang miskin. “Jika penduduk Bali tidak ada lagi yang miskin, barulah Bali pantas disebut sebagai pulau sorga,” demikian kurang lebih pernyataannya.
Agama tanpa Makna
Nyoman Sumawijaya
Dimensi Agama Dalam Membangun Keseimbangan Hidup adalah judul tulisan I Nyoman Sugiarta dan Ketut Sukayasa dimuat alam majalah Raditya edisi 228, Juli 2016. Ini adalah satu dari sekian banyak tulisan dan mungkin juga acara yang mengulas kondisi sosial masyarakat, khususnya umat Hindu. Yang lebih khusus mungkin yang disoroti adalah di Bali. Seperti disampaiakn dalam awal tulisannya, Nyoman Sugiarta dan Ketut Sukayasa menyatakan bahwa agama diharapkan menjadi penuntun umatnya menjalani kehidupan sosial yang dilandasi cinta kasih. Namun faktanya, jauh dari yang kita harapkan.
Selasa, 27 September 2016
Sekolah Seharian dan Konsep Catur Guru
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Tren Pemujaan Ganesha
I Wayan Miasa
Masyarakat Hindu tidak saja mengikuti tren berpakaian, namun juga dalam pemujaan kepada para dewa. Hal ini terbukti dari terus bergulirnya tren pemujaan terhadap masing-masing dewa dari zaman ke zaman. Misalnya pada zaman dahulu dalam ritual-ritual tertentu yang diagung-agungkan adalah Dewa Agni. Pada suatu masa ada pemujaan terhadap Dewa Indra yang dipuja sebagai penguasa hujan, dewa perang.
Kamis, 15 September 2016
Prenatal Education Dasar Pembentukan Karakter Anak
I Nyoman Agus Sudipta
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia dibentuk dan dibina karakternya, sehingga tercipta manusia yang berkarakter mulia. Dalam perkembangan dunia pendidikan, ternyata banyak terlahir generasi-generasi yang rendah secara kualitas dan lemah dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Kecenderungan yang muncul, permasalahan diselesaikan dengan cara-cara kekerasan (anarkis), mudah terpengaruh dan cepat putus asa dengan mengambil jalan pintas.
Kunjungan Light Body Sai Baba ke Bali
Sosok gaib atau astral (Light Body) Swami Sri Satya Sai Baba kembali mendatangi Pulau Bali dari hari Minggu-Selasa, tanggal 7-9 Agustus 2016 lalu. Paling tidak, demikian keyakinan para bhakta Sai yang meyakini, meskipun Swami telah mahasamadhi (meninggal), tetapi beliau masih hadir di tengah-tengah para pemujanya dalam bentuk tubuh astralnya. Sebelumnya, light body Baba dinyatakan sudah pernah hadir juga di Bali, yaitu memberikan wejangan kepada para pemujanya di Sai Pooja Ashram, Jalan Mahendradatta, Denpasar.
Pelantikan Pengurus Prajaniti Kota Bandung
Menindaklanjuti Pesamuhan Madya PHDI Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 1 Nopember 2015 tentang peran organisasi untuk peningkatan kesejahteraan umat Hindu melalui gerakan-gerakan pelayanan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka Ketua DPD Prajaniti Jawa Barat, Drs. Anak Agung Gede Anom, M.T., pada Hari Minggu Tanggal 7 Agustus 2016 bertempat di Madya Mandala Pura Wira Satya Dharma Komplek Yon Zipur IX Ujung Berung Bandung telah melantik Pengurus Prajaniti Kota Bandung untuk masa bhakti 2016 – 2021.
Ingin Kembalikan Budaya Nusantara: Warga Sunda Gelar Ngertakeun Bumi Lamba
Pada hari Minggu, 28 Juni 2016 lalu sebuah ritual bertajuk Upacara Adat Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, Jawa Barat. Ngertakeun Bumi Lamba merupakan salah satu tradisi yang terdapat di Sunda dan lebadalah salah seorangih dari 500 tahun tradisi ini dilupakan, dan kini dibangkitkan kembali untuk menghormati warisal leluhur yang adi luhung dan menguatkan kembali budaya aseli Nusantara.
Tugun Karang Sebagai Pintu Niskala
Oleh I Ketut Sandika
Bagi masyarakat Hindu Bali setiap bangunan suci atau pelinggih yang ditempatkan di pekarangan rumah atau tempat suci keluarga pasti difungsikan masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Bangunan suci tersebut tidak saja difungsikan, tetapi diyakini pula sebagai sthana Dewa-Dewi atau linggih Ida Bhatara, roh suci leluhur dan makhluk niskala lainnya. Namanya keyakinan, tidak perlu kita telisik darimana keyakinan tersebut muncul.Yang jelas mereka meyakini bahwa adanya bangunan suci adalah tempat bagi manusia menjalin hubungan dengan yang niskala. Terlebih bangunan suci pelinggih Tugun Karang atau sering disebut dengan Pengijeng Karang sangat sering dihubungkan dengan hal yang niskala, baik dalam teks mitologi sastra maupun dalam mitos lisan yang tenget.
Dasar Tatwa Penunggun Karang
Oleh I Ketut Wiana
Menurut Lontar Siwagama, sepatutnya di setiap rumah umat Hindu di Bali seyogianya dibangun tempat pemujaan yang disebut Kamulan Taksu sebagai ”Huluning Karang Paumahan”. Pelinggih Kamulan Taksu itu sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Bharata Hyang Guru. Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, setelah Upacara Atma Wedana seperti Nyekah atau Memukur kalau dalam tingkatan yang besar disebut Maligia. Setelah Atma Wedana itu Atman disebut Dewa Pitara selanjutnya distanakan di Kamulan Taksu sebagaimana dijelaskan secara terperinci dalam Lontara Purwa Bhumi Kamulan.
Kedahsyatan Energi Gaib Tugun Karang
Landscape untuk tempat hunian masyarakat Bali (Hindu) diatur sedemikiian rupa, agar terdapat space yang jelas untuk ruang yang disakralkan, yaitu tempat-tempat bangunan suci, dan ada space untuk rumah (manusia), dan space areal belakang (teba). Pelinggih Tugun Karang adalah salah satu bangunan yang disakralkan yang berfungsi mensinergikan energi kosmis dengan energi fisikal.