Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 20 Mei 2013

Mantra Perlindungan Mrtyunjaya

Dalam sebuah teks lokal bernama Usana Bali terdapat kisah yang menyebutkan seorang raja di Bali bernama Sri Aji Jaya Kasunu. Namun ia tidak bereinginan menduduki tahtanya itu, mengingat raja-raja yang menduduki tahta sebelumnya selalu berumur pendek atau segera mati setelah dinobatkan. Kegelisahan ini membuatnya pergi melakukan sadhana yang dilakukan setiap tengah malam di setra gandhamayu (kuburan). Dengan memuja Dewi Durgha, Jaya Kasunu mohon anugerah agar kemalangan yang menderita raja-raja Bali dapat berakhir. Dia memuja Dewi Durgha karena merupakan dewa yang berkuasa untuk melenyapkan segala penyakit, bencana dan kemalangan lainnya.

Singkat cerita, pada suatu waktu, Dewi Durgha berkenan memperlihatkan dirinya di hadapan Jaya Kasunu dan menganugerahkan mantra kemenangan Mrtyunjaya. Selain itu Dewi Durgha juga mengamanatkan, agar penguasa Bali dan masyarakatnya merayakan Galungan. Dengan anugerah Dewi Durgha inilah Sri Aji Jaya Kasunu akhirnya dapat memerintah Bali dengan tenang dan dibebaskan dari wabah penyakit yang membahayakan. Ada pun mantra Mrtyunjaya anugerah Dewi Durgha itu adalah sebagai beriut:


Ong mrtyunjaya aya dewa sya
Yona mamyaman kirtaye
Dirgghayusa mawa pnotih
Sanggrame wijayam bhawet


Ong hayu werdhi yaso werddhi
Werddhi prajna suka sriya
Dharma santana werddhisca
Santute sapta werddhi syat.


Artinya:
Om, siapa pun yang mengucapkan pujaan kepada Mrtyunjaya (Tuhan yang jaya atas kematian), akan memperoleh umur yang panjang dan dalam perselisihan akan memenangkannya.


Om, hidup bahagia, berjasa, bijaksana, senang dan mulia, semua anak keturunan dalam aturan abadi, itu adalah bagian yang dapat kau peroleh. (sumber: Usana Bali Usana Jawa, halaman 28 dan 92).


Menurut Ida Bagus Putu Adriana, Mrtyunjaya menunjuk kepada aspek Siwa sebagai penguasa yang mengatasi kematian. Mrtyu artinya mati sedangkan jaya artinya menang. Jadi, mrtyunjaya artinya jaya atau menang atas kematian. Penekun lontar dan pembina di Yayasan Bukit Pengajaran ini melanjutkan, bahwa pemujaan terhadap Siwa dengan nama-nama berbeda memang banyak dijumpai di Bali. Ini berhubungan dengan kepentingan si penyembah dalam menempatkan dewa pujaannya sebagai fungsi tertentu. Misalnya, di dalam menuntun umatnya di dunia, Siwa dipuja dengan nama Rare Angon (penggembala anak-anak). Beliau juga dipuja sebagai Sangkara ketika menciptakan dam memberikan kehidupan pada tumbuh-tumbuhan. Ia juga disebut dengan nama Pasupati, yaitu yang memberikan kehidupan.

Penyebutan nama-nama Tuhan yang banyak dalam Hindu dihubungkan dengan penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan di dalam menjalankan lila-nya (permainan). Karena itu, Tuhan yang absolut mengejawantah dalam berbagai-bagai bentuk maupun fungsi dalam rangka menyelenggarakan ciptaanNya. Dari yang absolut atau mutlak yang bersifat Maha Sempurna, Maha Segalanya, tercipta sesuatu yang bersifat terbatas, yaitu ciptaan berupa makhluk hidup maupun benda mati. Sifat-sifat yang terbatas yang ada pada diri manusia manakala ingin bersentuhan kembali dengan Pusat Kesempurnaan (Tuhan), maka terjadilah situasi kerinduang spiritual dalam situasi dan kondisi tertentu yang sifatnya terbatas atau dibatasi oleh sifat-sifat penciptaan itu, sehingga pemujaan terhadap Tuhan dihubungkan dengan ruang dan waktu di mana manusia itu berada. Demikianlah misalnya, ketika manusia menderita sakit berat, dilanda wabah dan sebagainya, maka ia memuja Tuhan sebagai figur yang mengatasi kematian dan pemberi kesembuhan. Pada situasi itulah Tuhan (Siwa-dalam Siwaisme) dipanggil dengan gelar kebesaran Mrtyunjaya. Namun, pada saat petani merindukan Yang Maha Kuasa memberikan kesuburan pada pohon-pohon dan tanaman lainnya, maka dipujalah Tuhan sebagai Sangkara yang berkuasa atas tumbuh-tumbuhan.

Masih menurut Ida Bagus Putu Adriana, mantra Mrtyunjaya di Bali digunakan dalam berbagai prosesi penyucian (penglukatan) oleh sulinggih. Dan yang perlu dicatat, meskipun mantra ini disebutkan sebagai anugerah dari Dewi Durgha, namun untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka seorang pelantun mantra ini mestilah memiliki sidhi supaya mantra yang diucapkannya dapat bertuah atau siddhi mantra. Di sinilah hukum-hukum spiritual senantiasa berlaku pada siapa saja, bahwa siddhi mantra ini hanya dapat diperoleh dengan usaha menaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Dalam ajaran yoga dua langkah ini disebut yama dan niyama. Moralitas luhur adalah fondasi bangunan spiritual untuk menuju kesucian diri. Setelah memperbaiki moralitas, usaha berikutnya adalah melakukan perenungan dan mengingat Ida Sang Hyang Widhi terus menerus untuk menyelaraskan kembali ketidakterbatasan kita menuju sumber yang tak terbatas. Hanya dengan usaha yang tekun, sabar, tekad yang kuat, kesucian itu terbangun tahap demi setahap dan kemampuan siddhi mantra akan diperoleh. Siddhi mantra dalam konteks ini adalah dalam makna spiritual, bukan sidhhi dalam tataran wisesa atau sakti dalam ngelmu gaib atau pelajaran supranatural. Karena itu, menurut pembina Ajaran Ghanta Yoga ini, spiritual bukanlah sesuatu yang instan, melainkan evolusi bertahap di dalam mendewasakan batin untuk semakin memahami hakikat sang diri untuk kemudian menuju hakikat Sang Pencipta.

Uraian tersebut memberikan gambaran, bahwa mantra Mrtyunjaya akan memiliki tuah dan pengaruh berbeda pada setiap orang tergantung tingkat kesucian rohaninya. Karena itu mantra bukanlah jalan pintas memecahkan solusi, kecuali ada usaha kuat terlebih dahulu di dalam menguatkan mental dan tekad untuk maju, sebagaimana yang ditempuh Sri Aji Jaya Kasunu yang bertekad untuk tidak menjadi raja sebelum menerima karunia dari Yang Kuasa.

Mrtyunjaya stava dalam versi Bali sedikit berbeda dengan Maha Mrtjunjaya mantra versi India, namun sama-sama memuja Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai pemusnah berbagai penyakit dan yang mengalahkan kematian. Dalam fungsinya seperti itu, di Bali ia dipuja sebagai Sang Hyang Mrtyunjaya, sedangkan di India Ia dipanggil sebagai Trayambhaka. Ada pun bunyi mantranya adalah sebagai berikut:


Om trayambakam yaja mahe
Sugandhim pusthi vardhanam
Urvarukamiva bandanan
Mrityor mukshiya mamritat


Artinya:
Kami memujamu, wahai Siwa yang bermata tiga, yang memberikan keharuman dan memelihara segala makhluk, semoga Dia membebaskanku dari kematian menuju keabadian, seperti mentimun yang lepas dari tangkainya.

Menurut Svami Sivananda, mantra ini menjauhkan dari kematian karena gigitan ular, sambaran petir, kecelakaan, kebakaran, angin topan, air bah dan lain-lain. Di samping itu mantra ini dapat memberi efek penyembuhan. Mantra ini juga merupakan mantra mosa (mantra Siva). Ia menganugerahkan kesehatan (arogya), umur panjang (dirgha ayus), kedamaian (santih), kesejahteraan (aisvarya), kekayaan (pusti), kepuasan (tusti) dan kesempurnaan (moksa).

Trayambhaka adalah sebutan lain untuk Rudra, bentuk Dewa Siwa saat melebur alam semesta ini. Nama lain dari Rudra adalah Kapardin Karena itu, Maha Mrtjunjaya mantra ini juga disebut Rudra Mantra. Dalam Yajurveda dan Atharvaveda yang banyak menyebut Rudra, melukiskan sebagai sosok laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan punggungnya berwarna merah. Kepalanya berwarna biru (Nilagriwa) dan lehernya berwarna putih (Sitikantha), kulitnya berwarna coklat kemerah-merahan.

Ia tinggal di pegunungan, merupakan dewa yang sangat pengasih, seperti seorang ayah yang menyayangi putranya. Ia juga merupakan dewa yang memberikan kesembuhan kepada setiap makhluk dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Di dalam Rgveda, Rudra diidentikkan dengan Dewa Agni, namun di dalam Yajurveda, Rudra diidentikkan dengan Sarva dan Bhava. Kata Rudra berarti menakutkan yang berasal dari urat kata rud yang artinya mengaum.

Di Bali, umat Hindu secara umum memang tidak banyak yang mengerti mantra Mrtjunjaya yang dianugerahkan Dewi Durgha untuk Raja Sri Aji Jaya Kasunu yang juga sebagai pelindung jagat Bali. Namun, hasrat untuk mengusir mara bahaya, wabah penyakit dan sejenisnya itu terwujud dalam bentuk praktik tradisi merayakan Galungan yang disertai dengan pemasangan penjor di depan rumah penduduk. Sehari sebelumnya, yaitu pada Selasa, Wage, Dungulan, diamanatkan untuk melaksanakan upacara abeyakala disertai dengan bersenang-senang makan dan minum dengan terlebih dahulu mempersembahkan sesajen di pura masing-masing. Itu semua titah Bhatari Durgha, dan rakyat Bali hingga kini patuh untuk melasanakannya, karena dengan memasang penjor mereka yakin telah melakukan usaha untuk memenangkan dirinya terhadap berbagai halangan.
Putrawan

Selanjutnya......

Mahamrtyunjaya Mantram Pelindung Kematian Menuju Keabadian

I Ketut Sandika

Om Tryambakam yajāmahe
sugandhim pusti-vardhanam
urvārukam iva bandhanān
mrtyor muksiya mām tāt

Kami memuja dewa bermata tiga (Siva Tri Netram), yang penuh welas asih, yang wanginya memelihara semua makhluk. Semoga kami dibebaskan dari alam kematian menuju pembebasan. Laksana ketimun masak yang sangat mudah melepaskan diri dari tangkai yang mengikatnya.

Mahamrtyunjaya Mantram adalah salah satu dari sekian banyak mantram dalam Veda yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat. Mahamrtyumjaya Mantram sendiri terdapat dalam Rgveda dan Suklayajurveda. Demikian pula mantram ini secara khusus ditujukan kepada Trayambhakam sebagai salah satu dari sebelas aspek Siva. Dengan kata lain, mantram ini khusus hanya ditujukan kepada Deva Siva sebagai mahaguru pemberi anugrah nektar keabadian. Mantram ini dikenal pula sebagai mantram penakluk kematian (mrtyu) yang pertamakali di ucapkan oleh Rsi Markandya di depan Siva Lingga untuk memohon anugrah kepada Dewa Siva agar diri sang Rsi mendapatkan umur panjang. Karena diketahui bahwa Sang Rsi hanya dapat hidup sampai umur 16 tahun. Hal itu membuat sedih kedua orang tua Rsi Markandya, olehnya sang Rsi dengan intens mengucapkan matram ini di depan Siva Lingga untuk memohon perlindungan dari sang kematian.

Pada suatu ketika, hari dimana kematian Sang Rsi telah ditentukan, Yama dhuta mendatangi Sang Rsi yang sedang men-chanting-kan Mahamrtyunjaya Mantram. Berkehendak untuk mencabut nyawa sang Maha Rsi yang sedang memeluk Siva Lingga dan men-chanting-kan mantram, Deva Siva pun muncul dan menghalangi Yama dhuta untuk mencabut roh Sang Rsi. Setelah itu, keabadiaanlah yang didapatkan oleh Sang Rsi. Begitu kuat dan hebatnya efek mantram yang diucapkan oleh Sang Rsi, sehingga dapat melewati waktu kematiannya sendiri dan Deva Siva pun sampai berkenan menampakkan darsan kepada Sang Rsi.

Secara implisit Mahamrtyumjaya Mantram merupakan mantram untuk memohon perlindungan dan menuju pada keabadian (immortality) kepada Dewa Siva yang dikenal sosok dewa yang maha pemurah dan welas asih (Asuthosa). Keabadiaan ini hendaknya dipahami secara benar. Abadi yang dimaksud dalam mantram bukan berkenaan dengan yang eksternal, akan tetapi lebih kepada internal. Mantram ini diucapkan adalah untuk memohon perlidungan agar bhatin tidak mengalami kematian atau kekeruhan demikian pula kekacauan. Pengucapan Mahamrtyumjaya Mantram secara intens akan memunculkan vibrasi (bhava) positif ke dalam diri, sehingga kekeruhan bhatin akan sirna.

Ciri yang fundamental dari kekeruhan bhatin adalah munculya kecemasan dan ketakutan. Kecemasan dan terutama ketakutan sering menghantui orang-orang, tidak terkecuali para pencari spiritual pun tidak luput dari hal ini. Terlebih takut akan kematian yang merupakan kepastian bagi yang hidup. Jika sudah demikian, akan muncul kebodohan (avidya) dan kebodohan itu sendiri berimplikasi pada penderitaan. Hal tersebut hendaknya dimusnahkan, jika ingin mengatasi kematian, dan itulah pesan yang dimunculkan oleh Mahamrtyunjaya Mantram. Sebuah pesan yang perlu kita renungkan pada era kekinian yang hampir semua manusia mengalami kematian bhatin. Manusia hidup, tetapi sesugguhnya mati.

Setiap manusia dilahirkan ke alam ini sesugguhnya membawa pesan untuk bagaimana ia dapat membebaskan dirinya dari penyakit yang menghuni bhatin. Sebab bhatin yang sakit adalah tembok tebal bagi manusia untuk menyadari kesajatian dirinya. Kebebasan adalah tujuan yang hendaknya harus dituju, jika ingin mengatasi kematian. Mengatasi kematian dimaksudkan spirit yang dapat membawa kebaikan pada dirinya, orang lain, dan alam semesta, kendatipun badan fisik sudah tidak ada, akan tetapi spiritnya selalu hidup abadi. Dapat kita lihat, Rsi Markendya, Rama Krishna Paramahamsa, Svami Vivekananda, Gandhi dan yang lainnya. Bukan sebaliknya, manusia hidup membawa kehancuran bagi dirinya, orang lain, dan alam semesta. Itu sama dengan kematian. Dan, untuk menuju kebebasan dan mengatasi kematian, kemurnian adalah syarat yang mutlak. Yang murni hanya akan dapat disentuh dengan kemurnian, sama dengan mencari air dengan air, menemukan angin dengan angin dan menyalakan api dengan api.

Mahamrtyumjaya Mantram inilah akan dapat memurnikan diri sekaligus mengikis karma buruk yang selama ini menghuni bhatin. Kekuatan dari getaran atau vibrasi (bhava) mantram ini dapat dirasakan jika diucapkan dengan kesugguhan hati dan ketulusan. Sebab dalam hal apa pun keyakinan dan ketulusan adalah sebagai fondasainya. Getaran tersebut akan membuat simpul-simpul syaraf dalam tubuh dialiri energi listrik yang tidak terkira, sehingga membuat kekeruhan batin terbakar dan dapat memurnikan batin. Hal tersebut hendaknya dialami melalui laboratorium diri, sebab mengalami adalah hal yang fundamental bagi manusia yang ingin memajukan kualitas diri. Pengetahuan pun di dapat dengan mengalami maupun pengalaman.

Mahamrtyumjaya Mantram adalah rahasia Dewa Siva yang perlu ditelaah agar manusia dapat mengatasi kematian dan menuju pada pembebasan. Bebas dari ketakutan, kecemasan, terlebih kebodohan. Adalah salah kaprah, jika Mahmrtyunjaya Mantram dipahami sebagai mantram yang dapat membuat orang sakti atau wisesa. Walaupun tidak dapat dihindari mengucapkan mantram ini akan memunculkan energi sakthifat dalam diri, akan tetapi kembali lagi itu hanya efek kecil dari kekuatan Mahamrtyumjaya Matram, dan itu bukan tujuan akhir dari bhakta Siva yang taat atau manusia itu sendiri. Tujuan yang hendaknya dituju adalah kekuatan dari berkah Deva Siva untuk kita sekuat tenaga dapat melepaskan diri dari segala ketakutan yang menghuni batin.

Ketakutan, kecemasan maupun kebodohan adalah noda bhatin yang manusia harus singkirkan, dan singkap dengan api mantram sampai benar-benar termurnikan. Api Mahamrtyumjaya Matram layaknya generator yang memberikan kekuatan untuk manusia dapat melampui segala penderitaan ini. Selain itu, api mantram akan dapat melelehkan hati Deva Siva yang selembut salju, sehingga Deva Siva berkenan memberikan berkah keabadian (mengatasi kenatian). Jika sudah kerudung noda dapat disingkap tidak akan ada yang ditakuti, terlebih kematian. Kita akan menyadari bahwa kematian tidak lebih seperti pertunjukan fenomena buah mentimun yang sudah matang terlepas dari tangkainya. Buah mentimun yang masih muda akan membutuhkan getah dari batangnya, akan tetapi jika sudah matang, maka getah tersebut tidak diperlukan lagi. Buah yang masih muda untuk bisa menjadi matang memerlukan proses, dalam berproses kekuatan adalah sandarannya agar mentimun terhindar dari ulat, serangga dan sejenisnya. Mahamrtyumjaya Matram adalah pelindung diri agar mentimun yang masih muda dapat berproses untuk dapat menjadi matang tentunya dalam balutan keabadiaan. Kematian ketika waktunya akan terjadi dan pasti, tetapi spirit yang mencerahkan akan selalu abadi. Olehnya mengucapkan Mahamrtyumjaya Matram, “Bhakta Siva Tidak Akan Pernah Binasa”.

Selanjutnya......

Mantra Mrtyunjaya Mampu Usir Makhluk Halus Seketika

Gede Agus Budi Adnyana

Pengertian Immanen harus kita persempit sekarang, jika kita ingin berbicara masalah tuah dari sebuah mantra yang diucapkan. Demikian juga dengan transedensi. Jika saya dapat artikan secara sempit, maka immanen adalah badan jasmani kita sedangkan transedensinya adalah hal-hal yang niskala yang berkaitan dengan tubuh jasmani kita sendiri. Maka dengan demikian, kita akan menemukan bahwa jasmani ini akan dipengaruhi hal-hal yang tidak nampak secara material, baik secara energi dan juga mahluk halus yang hanya punya badan halus tanpa badan kasar.

Mantra Mrtyunjaya menyeberangi dua sisi alam berbeda ini dan memberikan energi baru untuk sebuah peyegaran dan kesehatan, juga perlindungan bagi manusia yang mengucapkannya dengan kesungguhan hati. Berbeda dengan mantra yang lain, mantra ini memang memiliki fungsi untuk proteksi diri secara jasmani dan rohani. Mengapa saya nyatakan demikian. Begini penjelasannya.

Para pembaca yang budiman perlu tahu sebuah kisah unik dan nyata tentang kedahsyatan mahamantra ini. Suatu ketika, seorang teman yang kini sudah menempuh pendidikan di Malaysia sudah pernah membukikan kekuatan mantra ini. Pulau Bali, bukan hanya dikenal sebagai pulau suga, tetapi pulau yang penuh dengan daya pikat magis dan mistik. Terkait dengan hal ini, tentu saja pasukan makhluk tidak terlihat juga banyak di Bali. Suatu ketika, teman saya yang bernama I Wayan Yadi, melakukan sebuah tindakan yang mengundang kemarahan pasukan makhluk halus.

Suatu ketikka ia mengangkat sebuah batu besar hitam yang dia temukan di pinggir sungai dengan alasan untuk tempat duduk. Wayan sangat gemar memancing dan layaknya pemancing mania, dia tidak segan-segan datang ke sungai lebar dan tenget. Batu yang dia duduki ternyata rumah dari sekumpulan makhluk halus, dan kontan saja hal itu membuat petaka besar. Kakinya tiba-tiba terasa kesemutan dan susah bergerak, lalu kaku dan sama sekali tidak bisa digerakkan. Dia mengerang kesakitan, dan pancing yang dia bawa dilepaskan.

Ia lantas berteriak minta tolong sekeras mungkin, namun tidak ada yang datang, sebab tukad itu jauh dari pusat keramaian. Dia ingat dengan pesan mendiang nenek, bahwa tukad dimanapun pasti ada penunggunya. Teringat pesan itu, ia kemudian matur: “Aduh… kalau saya pernah berbuat salah di sini, mohon maaf. Saya hanya memancing dan jika saya keliru saya minta maaf.” Setelah berkata demikian, Wayan masih saja tidak dapat bergerak dan kakinya kaku laksana kayu kering. Darah mudanya mulai memuncak, merasa sudah minta maaf malah sakitnya menjadi-jadi, maka timbullah niatnya untuk melawan makhluk halus itu kali ini. Wayan ingat dengan sebuah mantra yang diberikan guru SMA nya dulu yang katanya baik untuk melindungi diri. Mantra itu yang bernama Mrtyunjayamantra dan itulah yang diucapkannya sekarang.

Dia baca mantra itu keras-keras dengan perasaan melawan dan berkali-kali, dia sendiri tidak sadar berapa kali dia bacakan mantra itu. Anehnya, kakinya sekarang terasa ringan kembali, tidak kaku lagi. Kesemutannya berangsur menghilang dan dengan segera dia bangkit lalu pergi meniggalkan tempat itu. Merasa kurang aman lalu dia nunas baos ke balian, dan menemukan jawaban bahwa batu yang dia duduki adalah rumah dari bangsa Jin. Makhluk halus itu ketakutan mendengar suara Mantra dan badannya seperti dibakar, oleh sebab itu mereka kabur.

Saya sendiri yang dikisahi demikian, kemudian menalar dengan seksama bahwa mantra sejatinya adalah gelombang-gelombang elektromagnetik yang dapat membawa perubahan energi potensial bagi tubuh. Kekuatan ini tidak dapat dilihat secara mata telanjang sebab dia berada di jalur transedensi, sedangkan tubuh jasmani kita ada di jalur immanen. Kekuatan niskala inilah yang datang kemudian meliputi dunia material dan membawa pengaruh yang kuat. Jadi kekuatan mantra, berada dalam dua aspek, pertama niskala dan kedua adalah sekala.

Dengan demikian, keselamatan yang didapat lewat membaca mantra adalah keselamatan jasmani dan rohani. Sebab tubuh kita akan mengalami gangguan jika dunia niskala terganggu. Untuk kasus ini sudah banyak bukti yang membenarkan. Sekarang pembaca budiman yang memiliki bagiannya, entah yakin atau tidak, yang jelas begitu mantra diucapkan kekuatan itu sudah langsung bereaksi.

Sama dengan ketika seorang pasien datang berobat ke dokter. Sang dokter memberikan obat, kemudian si pasien entah yakin atau tidak dengan obat itu, ketika obat itu diminum, obat itu akan bereaksi, demikian juga mantra. Namun karena kekuatan itu bersifat transedensi, maka perlu sebuah ketulusan. Disinilah mengapa sebelum orang membaca mantra, dia harus melihat dan memahami arti mantra tersebut.

Sebab orang-orang yang membaca mantra, itu bukan semuanya memiliki ketulusan hati, sebab ada juga yang membaca mantra hanya sekedar-sekedar. Namun meskipun demikian, klasifikasi ketika mantra diucapkan biasanya akan memenuhi hal berikut ini: (1) Ketika bhakti tulus, mantra diucapkan. Dan hal ini adalah yang paling baik. sebab reaksi mantra juga akan semakin baik, apalagi dengan konsentrai pikiran yang jernih. (2) Ada orang yang membaca mantra karena ingin perlindungan. Entah karena takut dalam gelapnya malam, atau tengah pentas calonarang sambil ngundang Leak, maka orang yang bersangkutan perlu membaca mantra untuk proteksi diri sendiri dari gangguan niskala. (3) Orang membaca mantra karena ingin sembuh dari sakit. Hidup ini tidak selamany ideal seperti dalam gambaran hayalan kita. Kadangkala seseorang harus jatuh sakit, dan menderita. Dia mengucapkan mantra untuk memberikan kesembuhan. Mantra disamping memberikan gelombang energi, juga memberikan sugestifitas yang baik untuk sebuah optimistis sembuh bagi semua penderita penyakit. Jadi alangkah baiknya dibaca. (4) Ada juga yang membaca mantra untuk kekuatan (kawisesan) seperti para penekun spiritual di Bali.

Apa pun bentuknya, yang jelas Mahamantra Mrtyunjaya memberikan semua hal itu kekuatan. Sebab yang dipuja adalah Maharudra, aspek Tuhan yang menjadi bapak bagi jalan Prawerti Marga dan Niwerti Marga. Pemilik mantra ini adalah Sang Hyang Asuthosa, yang paling cepat berkenan yang paling bermurah hati. Layaknya seorang ayah, apa pun yang diminta oleh sang anak, maka sang ayah akan memberikannya.

Jadi apakah mantra ini sama dengan ayat kursi dalam agama Abrahamik untuk membunuh setan? Jawabannya tidak, sebab Mahamantra ini bukan untuk mengusir, untuk mentralisir. Jika mengusir, ini akan berada dalam kapasitas blok kanan dan blok kiri, sedangkan netral adalah tanpa ada atribut. Layaknya atom yang terdiri dari kekuatan positif (+) Proton, kemudian (-) electron dan netral (Neutron). Kelebihan muatan electron akan dientralkan oleh Neutron. Kelebihan ketakutan, dengan membaca mantra, dinetralkan agar gelombang otak yang kacau, menjadi lebih stabil lagi. atau ketika kekuatan tanpa badan jasmani (mahluk halus) menggangu, maka kekuatan mantra menetralisirnya, jadi mahluk itu hanya diusir. Bukan dibunuh. Sebab mereka (jin) juga makhluk Tuhan.

Jadi sekarang terserah para pembaca yang meyakininya. Namun saya ingatkan, hidup di alam semesta, adalah hidup dalam gelombang energi, dan salah menggunakan energi atau benturan dengan energi lain, cukup membawa dampak fatal bagi kesehatan anda. Jadi rajin-rajinlah membaca mantra sebagai ekspresi keimanan kepada Ida Hyang Widhi.

Selanjutnya......

MANTRA DIWAHYUKAN BERDASARKAN YUGA

I Wayan Miasa

Dalam agama Hindu banyak sekali ada doa-doa atau mantra yang diwahyukan sesuai dengan keadaan saat diwahyukan. Doa atau mantra tersebut memiliki manfaat sesuai dengan tujuan pewahyuan mantra tersebut. Mantra sesungguhnya adalah ungkapan yang dipakai untuk menghubungkan diri dengan Tuhan ataupun dewa yang kita puja. Karena pada awalnya mantra tersebut diwahyukan sesuai dengan keadaan, tempat dan bahasa suatu tempat di mana mantra pertama kali diwahyukan, maka seolah-olah mantra itulah yang paling benar. Oleh karena kekurangmengertian akan hal tersebut lantas ada suatu kenyataan di masyarakat, dimana di antara pelantun doa tersebut sering merasa bahwa mantra yang mereka ucapkannya tersebut lebih baik daripada mantra yang dikumandangkan oleh warga lainnya.

Hal yang serupa juga terjadi dalam buku-buku Purana, Ithiasa agama kita, di mana masing-masing dari buku tersebut akan menjanjikan pembebasan dan kemuliaan. Misalnya dalam buku Ramayana, diakhir cerita tersebut terselip pesan bahwa dengan membaca buku itu orang akan mendapatkan kemujuran, umur panjang, karunia yang melimpah dari Tuhan. Begitu juga dalam buku Mahabharata di bagian akhir dinyatakan, bahwa dengan membaca buku tersebut orang akan mendapat kebebasan, pencerahan serta hidup dengan penuh karunia, dan lain sebagainya. Bila kita telaah lebih lanjut dari pesan-pesan yang disampaikan dalam buku-buku suci tersebut jelas sekali tersirat, bahwa masing-masing penerima wahyu di setiap jaman melahirkan suatu praktek pelantunan doa-doa atau mantra menurut keadaan serta situasi pada jaman itu. Seperti pada jamannya Shree Rama, Shree Krishna dan seterusnya.

Ada beberapa contoh tentang kehidupan keagamaan kita dari masa ke masa, serta politik keagamaan dari jaman ke jaman. Misalnya pada jaman Kerta Yuga dimana konon masyarakat hidup damai dan sejahtera dan katanyaa masyarakat pada jaman tersebut bisa berkomunikasi langsung dengan para dewa, sehingga mereka bisa menyampaikan maksudnya langsung kepada dewa pujaannya. Oleh karena doa atau mantra tersebut diwahyukan di negeri Bharata melalui Rsi-rsi agung dan suci, seperti Rsi Wiswamitra yang mendapat wahyu Gayatri Mantra, Rsi Markandya mendapatkan wahyu mengenai doa Mahamrityunjay Mantra dan Rsi-Rsi lainnya, maka otomatis bahasanya memakai bahasa negeri Bharata. Beliau-beliau yang mendapatkan wahyu tersebut lantas mengajarkan doa tersebut kepada masyarakat sekitarnya dan terus menyebar kemana-mana. Jadi bahasa yang dipergunakan dalam mantra tersebut disebarkan ke seluruh pengikut sistem keagamaan tersebut. Kita bisa ambil contoh suatu mantra sebagai alat komunikasi di daerah Dayak Ngaju misalnya, yang memakai bahasa daerah di sana, misalnya: Aku Tuh Ranying Hatalla ije paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapuse jetuh iete kalawa pambelum, ije inanggare-ku gangguran arae bagare hintan kaharingan (Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa Awal dan Akhir segala kejadian…). Dan dulu di Bali sebelum masyarakat kita mempelajari ajaran Hindu dari Negeri Bharata, mereka juga biasa melantunkan doa atau mantra dengan bahasa Bali, misalnya: Tabé pakulun Ida Ratu Sasuhunan, tiang ngojah pawecanan I Ratu… dan lain sebagainya.

Di jaman sekarang setelah warga kita banyak yang memperdalam agamanya ke India atau negeri Bharata, maka kita diperkenalkanlah mantra-mantra yang dilantunkan di sana dan orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan disana lantas terjadilah suatu proses perubahan beragama dalam kehidupan masyarakat kita. Kemudian muncul kelompok-kelompok pengikut praktisi suatu mantra dengan mengumandangkan mantra dengan bahasa aslinya. Padahal kalau kita pahami tujuan dari pelantunan doa atau mantra tersebut hampir memiliki kesamaan, yaitu mencapai suatu kehidupan yang damai atau shanti, atau kita bisa mencapai “ananda” (kedamaian abadi).

Doa atau mantra itu adalah alat berkomunikasi dengan “Sasuhunan” yang kita rasakan bisa menolong kita dalam kehidupan sesuai dengan suasana hati kita. Dan hal yang sama juga dialami oleh para Rsi-Rsi agung yang mendapat wahyu sebagai perantara penyampaian mantra itu, sesuai dengan misi dari sang pemberi wahyu, misalnya: Mantra Mahamrityunjaya yang diterima oleh Rsi Markandeya. Rsi Markadeyalah Rsi mendapat wahyu (waranugraha) mantra ini karena Tuhan ingin memberikan kita contoh melalui Rsi Markandeya, bahwa fungsi Mantra tersebut untuk membebaskan dan menyelamatkan Sati dari kutukan Dhaksa. Dan konon karena kesungguhan Sati dalam mengucapkan mantra ini, dia mendapatkan anugrah dari Dewa Shiwa berupa umur panjang dan keabadian. Setelah kejadian tersebut maka para pemuja Sati akhirnya mengikuti jejaknya untuk melantunkan mantra tersebut dalam upacara-upacara Homa atau Agni Hotra. Karena mereka percaya bahwa doa tersebut akan membangkitkan kesadaran berspiritualitas dan memiliki efek umur panjang. Hal yang sama akan juga dialami oleh praktisi pelantun mantra yang lainnya, seperti pelantun Om Nama Siwa Ya, Om Narayana Ya Namah, Om Ganesha Ya Namah, Om Hari Om, Om Govinda Ya Namah, Om Janardhana Ya Namah, dan lain sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa doa-doa tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk kebaikan seluruh makhluk hidup atau “sarwa prani” agar tercipta suatu kedamaian di tri loka ini. Dan perlu digarisbawahi, bahwa para Rsi penemu Mantra tersebut tidak pernah menyatakan bahwa doa yang beliau temukan itu adalah paling berguna atau paling cocok untuk kehidupan manusia. Beliau cuma sebagai perantara penerima wahyu dan kita diberikan memilih mantra yang rasanya cocok dengan kehidupan kita. Karena kehidupan beragama itu adalah perulangan sejarah dari masa ke masa, sehingga doa yang kita pilih pun sesuai dengan keadaan diri kita pada suatu jaman. Misalnya orang yang hidupnya sudah mapan dan segalanya sudah terpenuhi secara otomatis mereka tersebut akan memilih doa yang dianggap memberi kedamaian kehidupan terbebas dari segala hambatan, penyakit, bisa hidup shanti dan lain sebagainya dan sudah tentu tema kehidupannya lebih banyak tentang ketidakterikatan, pelepasan, dan lain sebagainya. Hal yang berbeda akan terjadi pada kehidupan masyarakat yang hidup dalam perang, penuh permusuhan dalam hidupnya, tentu mantra yang mereka kumandangkan tentu lebih banyak berhubungan dengan kekuatan, maka dewa pujaannya pun akan berbeda, misalnya Dewi Kali.

Walaupun dalam kehidupan beragama itu, masyarakat melantunkan berbagai mantra atau doa, tetapi kita hendaknyalah tidak saling klaim tentang keunggulan mantra tersebut karena masing-masing masyarakat memiliki “mood (suasana hati)” yang berbeda-beda dalam kehidupan spiritual. Karena pada saat diwahyukannya doa-doa tersebut, para Rsi-Rsi agung penerima wahyu tersebut tidak pernah menyatakan bahwa doa yang beliau terima itu adalah paling benar dan sesuai untuk makluk hidup di jagat raya ini. Para Rsi mulia tersebut dalam hal semacam itu, beliau memposisikan diri beliau sebagai “guru”, dimana masyarakat itu dipersilahkan mencontoh dan belajar dari kehidupan beliau itu dan bila kita pelajari dari cerita-cerita kehidupan orang-orang suci jaman dulu tersebut, jelas sekali beliau semuanya menginginkan kehidupan makhluk hidup yang damai dan sejahtera. Walaupun masing-masing Rsi itu mendapatkan anugrah Mantra atau doa yang sangat luar biasa manfaatnya namun beliau tidak mengklaim bahwa diri beliau paling benar. Bahkan beliau itu memberikan contoh saling mengisi antara satu Rsi dengan Rsi yang lainnya.

Jika kita bandingkan sekarang dengan kehidupan masyarakat spiritual jaman kini, di mana masing-masing praktisi spiritual cenderung mengedepankan pemaparan mantra dalam kehidupannya, sehingga timbul kesan bahwa mereka tersebut pencari pengikut untuk mengikuti jejaknya dan bahkan tidak jarang timbul kesan sikap berspiritual yang berlebihan. Padahal kalau kita simak secara mendalam bahwa doa atau mantra tersebut akan sangat bermanfaat bila dilantunkan dengan kerendahan hati, tanpa motif dan membiarkan semua hasilnya diputuskan oleh Tuhan. Bukan seperti sekarang ini dimana semua koar-koar mengenai keunggulan masing-masing mantra, namun lupa untuk menunjukkan sikap sebagai seorang praktisi mantra dan hal ini mengesankan bahwa akibat melantunkan mantra tertentu orang menjadi “aneh”.

Untuk menghindari kesan-kesan miring yang timbul di masyarakat terhadap para pelantun mantra dalam kehidupan beragama, maka kita perlu bercermin kepada pesan “aja wera”. Ini dimaksudkan agar kita itu selalu hati-hati dalam mempraktekkan mantra, karena masyarakat kita itu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dalam berspiritual. Akan percuma saja kita menjelaskan mereka tentang manfaat suatu doa bila kita tidak bisa memberi mereka contoh kehidupan spiritual yang baik. Bila kita sadari bahwa doa atau mantra itu diwahyukan berdasarkan situasi pada suatu jaman, maka kita juga perlu menyesuaikan diri dalam penyampaian makna mantra tersebut. Misalnya saat orang yang ditimpa kesusahan material kita seharusnya menyemangati orang tersebut dengan doa-doa kemakmuran, sehingga orang tersebut akan merasa termotivasi hidupnya. Seperti pesan leluhur kita, “saat orang haus maka kita berikan dia air”, “saat dia lapar kita berikan dia makanan”. Kalau kita doktrin orang-orang dengan mantra tanpa memperhatikan suatu kondisi atau latar belakang mereka, maka hal tersebut justru akan menjadikan orang tersebut apatis.

Selanjutnya......

Keutamaan Mrityunjaya Mantra

I Gede Wiratmaja Karang

Siwa merupakan Dewa utama dalam agama Hindu, selain Wisnu dan Brahma. Dewa-dewa yang lain juga utama, tetapi yang sering dipuja adalah Siwa, Wisnu dan Brahma. Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra merupakan salah satu mantra yang digunakan untuk memuja Siwa. Kedua mantra ini termasuk mantra utama, penulis pertama mendapatkan mantra ini tahun 2005. Yaitu menginjak semester IV pada Fakultas Dharma Acarya, dari Bapak Made Sugata salah satu dosen Mata Kuliah Yoga II, yang mengajar penulis sewaktu kuliah di IHDN Denpasar kampus Bangli. Masih teringat dengan jelas beliau merapalkan Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra ini di aula Pasraman Gurukula Bangli untuk mengawali gerakan asanas dan mahasiswa mengikutinya, sambil mencatat.
Sebelum menggunakan Mrityunjaya Mantra beliau menjelaskan ada beberapa syarat yang mesti di jalani, yaitu: (1) Mandi yang bersih terlebih dahulu, termasuk membersihkan paha dan kaki; (2) Lakukan dengan serius dan secara kontinyu, secara teratur pada waktu, tempat yang sama; (3) Mantra diucapkan dengan sepenuh hati, boleh dalam hati atau dengan mengeluarkan suara; (4) Ingatlah selalu bahwa tujuan yang terbaik adalah untuk menolong manusia lain atau pribadi sendiri, dan jangan bertujuan buruk kepada manusia atau makhluk lain, karena akan kena diri sendiri; (5) Untuk mempermudah hitungan, agar mempergunakan japamala, tasbih atau yang sejenisnya. Bisa terbuat dari kristal, permata, tulang, kayu atau buah rudraksa; dan (6) Selalu bersabar untuk menanti hasilnya.

Poin-poin di atas ini yang dapat penulis ingat dari wejangan beliau, karena catatan yang penulis punya hilang karena lupa tempat menaruhnya. Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra bermanfaat untuk, panjang umur dan menyingkirkan penyakit, atau penyakit yang susah disembuhkan, sesuatu yang secara terus-menerus membahayakan hidup atau ada ketakutan terus-menerus. Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra dapat membantu manusia dalam menyelamatkan hidup termasuk kasus serangan dari penyakit, kecelakaan dan hal-hal lainya.

Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra ini sangat menguntungkan bila diucapkan secara reguler dan berkesinambungan. Salah satunya adalah dengan mengikuti prosedur di atas. Sehingga hasilnya yang dirasakan adalah sesuatu di luar daya nalar manusia. Karena dalam Kakawin Arjuna Wiwaha dengan Wirama Totaka jelas disebutkan, bahwa jika manusia sudah memiliki niat yang baik, dan mau untuk berusaha pasti akan mencapai apa yang diinginkan. Ada pun kutipanya sebagai berikut:

Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ring ngambeki yoga kiteng sakala.

Terjemahanya: Seperti rupa bulan di air yang berwadahkan tempayan, airnya bening tanpa noda berisikan jernih gambar bulan di langit, seperti itulah Ida Sang Hyang Widhi kepada semua makhluk di dunia, Engkau berada dan bersinar terang di setiap orang yang melakukan yoga semadi.

Katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka si tan kahidep, kawenangta mareka si tan kawenang, paramartha śiwatwa nirawarana. Terjemahanya: Yang tidak kelihatan berhasil dilihat, yang tidak diketahui berhasil diketahui, yang tidak ditemukan berhasil ditemukan, semuanya berdasar ilmu pengetahuan tentang Siwa yang utama yang dapat membuat semuanya bebas halangan dan mencapai keabadian.

Menurut Ida Sira Mpu Nabe Dharmaphala Badjravani, dari Gria Tunggak, Bebandem Karangasem, yang kebetulan penulis sedang mohon tuntunan beliau, makna dari Kekawin Totaka ini, jika dilihat dari arti syair tiap barisnya, diungkapkan bahwa, manusia agar bisa menemukan atau melihat Ida Sang Hyang Widhi dalam berbagai manivestasinya secara nyata, merupakan sesuatu yang sangat sulit. Ida Sang Hyang Widhi diibaratkan seperti bulan, manusia seperti tempayan dan air merupakan segala sifat manusia. Bayangan bulan hanya bisa terlihat pada tempayan yang berisi air yang benar-benar bersih. Jika tempayan berisi air yang kotor atau keruh, sedikit pun tidak akan terlihat bayangan bulan. Begitu juga dengan manusia, jika ingin melihat, menemukan, atau merasakan keberadaan Ida Sang Hyang Widhi, manusia haruslah bersih atau suci secara lahir bathin tanpa adanya sifat keduniawian di dalam diri.

Manusia yakin dan bersungguh-sungguh melakukanya dengan serius maka yang tidak kelihatan akan berhasil untuk dilihat. Manusia akan berhasil mengetahui yang sebelumnya belum dapat diketahui. Demikian juga manusia akan dapat menemukan yang sebelumnya belum dapat ditemukan. Karena semuanya berdasar pada ilmu pengetahuan tentang Siwa yang utama, sehingga dapat membuat semuanya bebas tanpa halangan untuk mencapai keabadian. Untuk mencapai hal ini memang membutuhkan proses yang sangat panjang dan harus diimbangi dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Mrityunjaya Mantra berasal dari kitab Brihadaranyaka Upanisad, yaitu: Om asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrtyorma amrtam gamaya. Terjemahanya: Ya Hyang Widhi tuntunlah hamba dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar,dari jalan gelap ke jalan terang, hindarkanlah hamba dari kematian menuju kehidupan abadi.

Mantra ini berasal dari kitab upanisad yang penuh dengan makna, dapat dinyanyikan, diucapkan atau dibaca. Upanisad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada jaman Weda. Ada sepuluh kitab upanisad utama, yaitu Brihadaranyaka Upanisad, Chandogya Upanisad, Mandukya Upanisad, Taittiriya Upanisad, Katha Upanisad, Prasna Upanisad, Kena Upanisad, Isa Upanisad, Mundaka Upanisad, Aitareya Upanisad. Setiap Upanisad dikaitkan dengan Kitab Catur Veda, yaitu Reg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda. Dan setiap Upanisad juga memiliki banyak sub-bagian. Pada kitab-kitab upanisad demikian banyak ajaran tattwa, susila dan acara agama Hindu tersimpan. Sedangkan Maha Mrityunjaya Mantra, adalah: Om tryambakam yajamahe sugandhim pusti vardhanam, urvarukamiva bandhanan mrtyor mukshiya mamritat. Terjemahan: Om hamba memuji Swa yang bermata tiga dan menopang tiga dunia, bagaikan bau harum yang semerbak dapat memberikan kemakmuran, sehingga segala rintangan, penyakit dan kematian dapat terhindari. Seperti mentimun matang terlepas dari batangnya akan menjadi pecah berantakan, hanya diri-Mu yang dapat memberikan kebahagiaan.

Maha Mrityunjaya Mantra adalah mantra untuk memberikan perlindungan pada kehidupan tetapi bukan mantra pasupati. Maha Mrityunjaya Mantra sangat berguna dalam mengarungi kehidupan yang demikian beragam pada jaman Kali. Kecelakaan seperti tergelincirnya pesawat lion air, tabrakan kendaraan, gempa bumi, tsunami, karena gigitan ular, sambar petir, kebakaran, kecelakaan di air dan udara dan lain-lainnya. Yang oleh orang Bali disebut dengan Panca Bhaya, yaitu agni bhaya, bayu bhaya, banyu bhaya, harta bhaya, dan atma bhaya.

Menurut pengalaman dalam pengunaan Maha Mrityunjaya Mantra merupakan salah satu mantra utama yang mempunyai daya perlindungan yang besar. Penyakit-penyakit yang dinyatakan tak tertangani secara medis, dapat diobati dengan Maha Mrityunjaya Mantra. Bila Maha Mrityunjaya Mantra dicapkan secara manasika, upamsu atau vacika dan dengan sungguh-sungguh, jujur dan taat Maha Mrityunjaya Mantra merupakan senjata ampuh untuk melawan penyakit-penyakit serta menaklukkan kematian. Maha Mrityunjaya Mantra juga bisa dipakai penangkal ilmu hitam, mengobati bebainan, kemasukan roh-roh jahat atau sejenisnya. Memulai suatu meditasi pada tempat-tempat angker juga sangat ampuh memberikan perlindungan dari ganguan roh-roh jahat. Maha Mrityunjaya Mantra juga sebagai kawaca dari ganguan-ganguan negatif.

Maha Mrityunjaya Mantra merupakan mantra moksa, dari Dewa Siwa. Selain memberi berkah moksa, mantra itu juga memberi berkah 1) kesehatan atau Arogya, 2) panjang umur atau Dirgha Yusa, 3) kedamaian atau Shanti, 4) kekayaan atau Aiswarya, 5) kemakmuran atau Pushti, dan 6) kepuasan atau Tushti. Maha Mrityunjaya Mantra juga bermanfaat untuk penyucian atau penetralisir kekuatan negatif yang menghuni kosmik, dan penetral sarwa mertyu, yaitu penyakit, gering, sasab, mrana, buruk, berbahaya, Dewa Kematian dan lain sebagainya. Filsafat India dalam Samkya Darsana menyebutkan ada penyakit yang disebabkan oleh 1) Adyatmika, merupakan penyakit yang berasal dan dalam tubuh sendiri, termasuk penyakit psiko-somatik, 2) Adhibautika, penyakit yang disebabkan oleh faktor kausa fisik dan luar tubuh, dan 3) Adhidaiwika, merupakan penyakit yang berasal dan takdir, pengaruh planet, musim, dan sebagainya. Maha Mrityunjaya Mantra dapat digunakan ber-japa paling tidak sebelas kali setiap persembahyangan. Penulis hanya tiga puluh tiga kali atau satu putaran tiap pagi dan malam karena kebetulan itu yang penulis punya. Tapi perlu diingat sebelum mengucapkan Mrityunjaya Mantra dan Maha Mrityunjaya Mantra wajib diawali mengucapkan gayatri mantram. ”Om Namo Siwaya Santaya Ya Namah, Om Bam Guhya Ya Namah, Om Namo Bhagawate Ya Namah.”

Selanjutnya......

Pelihara Tradisi dengan Ilmu, Doa dan Keikhlasan

Ketut Wiana

Sarasamuscaya 260 menyatakan, Weda abhyasa sebagai bentuk pengamalan Swadhyaya. Swadhyaya adalah salah satu unsur dari Niyama Brata. Weda abhyasa artinya mengamalkan Weda sampai menjadi kebiasaan atau tradisi. Ini artinya dalam sosok pengamalan ajaran Hiindu ada dua hal, yaitu Weda sabda Tuhan dan tradisi atau adat istiadat. Tentunya tidak semua adat istiadat yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk pengamalan Weda.

Tattwa dari Weda yang dikemas dalam adat istiadat itu bersifat Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Sedangkan adat-istiadat atau tradisi itu berasal dari prilaku umat dalam mengamalkan Tattwa Weda itu tentunya tidak kekal. Adat istiadat itu ada dalam batas ruang dan waktu. Artinya tradisi itu akan terus berubah. Agar selalu menjadi media pengamalan Weda, maka tradsi itu harus selalu Nutana. Kata Nutana dalam bahasa Sansekerta artinya muda dan segar.

Konsep memelihara tradisi itu agar selalu Nutana, yaitu muda dan segar ada dinyatakan dalam Bhagawad Gita XII.12. Tujuan memelihara tradisi itu untuk mewujudkan kedamaian yang kekal atau Santi Anantaram. Untuk mencapai tujuan itu Abhyasa atau tradisi itu harus dipelihara dengan Jnyana atau kesadaran ilmu, dengan Dhyana yaitu konsentrasi memuja Tuhan dan Tyaga artinya ikhlas, menerima lebih dan kurangnya. Maksudnya, betapa pun manusia berusaha sebaik-baiknya pasti ada lebih dan kurangnya. Ikhlas atau Tyaga-lah menerima kelebihan dan kekurangan itu sebagai suatu kenyataan. Hal inilah yang akan menghasilkan Santhi yang kekal. Karena tradisi itu dibuat oleh manusia tentunya tidak akan pernah sempurna dan ada saja kelebihan dan kekurangannya. Tanpa ada keikhlasan menerima semua itu maka tidak akan pernah ada Santi yang kekal.

Memelihara tradisi dengan kesadaran ilmu atau Jnyana, artinya, analisalah setiap tradisi itu secara sadar dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang berbobot akademis ilmiah. Dari hasil analisa itu akan ketemu mana tradisi yang perlu diciptakan (Utpati), mana tradisi yang masih baik dan relevan untuk dipertahankan dan mana tradisi yang sudah perlu ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi sebagai wadah untuk mengamalkan Tattwa Weda itu. Namun demikian jangan dilupakan melakukan perubahan itu dengan konsentrasi memuja Tuhan atau Dhyana.
Dalam pustaka Bhuwana Kosa IV.33 ada dinyatakan bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya.Tuhan sendiri menciptakan Utpati, Sthiti dan Pralina. Maksudnya bahwa kalau manusia menghendaki dinamika adat istiadat itu menuju pada perubahan yang positif pujalah Tuhan sebagai Brahma, Wisnu dan Iswara. Artinya perubahan itu akan positif apabila dilakukan atas kesadaran spiritual atau Dhyana dengan memuja Dewa Tri Murti tersebut.

Dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Brahma manusia akan memiliki kekuatan spiritual untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan (Utpati). Dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Wisnu akan terpelihara dan terlindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi (Sthiti). Dengan memuja Dewa Iswara atau Dewa Siwa Rudra, maka akan termusnahkanlah sesuatu yang seyogianya di-Pralina. Hal inilah nampaknya yang menyebabkan Mpu Kuturan menyarankan pendirian Kahyangan Tiga di setiap Desa Pakraman. Tujuannya agar dinamika adat istiadat itu menjadi selalu mengarah pada yang positif.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti itu untuk menghindari perubahan itu hanya sekedar tampil beda tanpa memberi makna. Karena melakukan upaya Utpati, Sthiti dan Pralina itu tidaklah semudah menteorikannya. Karena dalam memelihara tradisi beragama Hindu itu kita harus padukan Jnyana kesadaran ilmu pengetahuan, Dhyana yaitu konsentrasi doa pada Tuhan dan Tyaga, yaitu ikhlas menerima lebih dan kurangnya upaya perubahan itu. Karena yang melukan upaya perubahan itu adalah manusia maka tidak akan pernah perubahan itu sempurna menurut pandangan semua orang. Maka setiap perubahan itu setiap orang boleh mengkritisi asalkan untuk tujuannya baik dan dengan cara-cara yang sopan dan santun. Dengan demikian akan ada kedamaian atau Santi yang lebih langgeng.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti juga untuk mengendalikan tiga sifat atau Tri Guna akan struktural ideal. Dalam pustaka Matsya Purana 53, Sloka 68 dan 69 menyatakan, bahwa Brahma, Wisnu dan Siwa itu adalah Guna Awatara, yaitu Tuhan berawatara untuk menuntun umatnya mengendalikan Tri Gunanya. Karena dalam Wrehaspati Tattwa 21 menyatakan, bahwa kalau Guna Satwam dan Guna Rajah sama-sama kuat menguasai Citta, maka Guna Sattwam membuat orang berniat baik, sedangkan Guna Rajah membuat orang untuk mengamalkan niat baik itu dalam perbuatan baik yang nyata. Ini artinya pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti untuk mengamalkan ajaran Tri Kona dan Tri Guna, agar dinamika tradisi beragama itu berubah ke arah yang semakin baik dalam mengamalkan Sanatana Dharma intisari dari Weda.

Sayangnya, konsep memelihara tradisi ini masih belum banyak umat Hindu yang memahami. Upaya dalam mengendalikan dinamika tradisi atau adat-istiadat Hindu pun masih banyak pihak yang menggunakan konsep yang tidak jelas acuannya menurut pustaka suci. Karena itu perlu ada Dharma Tula yang berkelanjutan tentang konsep yang digunakan dalam memelihara adat istiadat Hindu, agar Hindu selalu tampil Nutana, yaitu muda dan segar. Namun isinya tetap Sanatana Dharma. Semua ilmuwan sangat baik untuk ikut dalam Dharma Tula tersebut, namun tetap untuk menunjang pohon keilmuan Susastra Hindu sebagai acuan utama. Karena itu ada Galungan menurut Lontar Sunarigama tujuan utamanya untuk mengingatkan umat agar mensinergikan berbagai ilmu untuk membuat umat Galang Apadang atau hidup cerah berdasarkan Dharma untuk menghilangkan kebingungan atau disebut “maka byaparaning idep”. Penerapan ilmu, doa dan keikhlasan secara terpadu itu akan menghasilkan idep yang Galang Apadang. Idep yang Galang Apadang itulah yang akan sukses memelihara adat istiadat tetap ajeg dalam menghadapi gempuran dinamika globalisasi yang semakin dahsyat.

Selanjutnya......

Kemenangan itu Hanya Sesaat

I Wayan Suja (Brahma Acharya Murti)

Hidup merupakan perjalanan spiritual dari keterikatan ragawi menuju kebebasan dan kebahagiaan abadi. Langkah awal dalam perjalanan panjang tersebut adalah menanamkan kesadaran bahwa kita bukan badan. Dengan menyadari hakekat sang diri adalah atman, tentu kita tidak mau hanyut dalam kenikmatan duniawi yang bersifat sangat sementara, sebaliknya ada kerinduan untuk selalu berusaha mendekatkan diri dengan Brahman. Dan, hidup dengan Tuhan sesungguhnya adalah proses pendidikan sejati karena akan membangkitkan sifat dan karakter keilahian di dalam diri.

Makna itulah yang diajarkan kepada umat Hindu, khususnya di Bali, dengan rerahinan Tumpek (berasal dari kata tampek), termasuk di antaranya Tumpek Wariga, yang dalam Lontar Sundari Bungkah, dimaknai sebagai wewarah ring raga. Lebih lanjut, langkah pertama dan utama tersebut juga dipandang sebagai tahap awal menuju kemenangan (Galungan).

Tidak akan pernah ada kemenangan tanpa perjuangan, dan perjuangan dalam konteks spiritual adalah ‘peperangan’ untuk mengalahkan diri sendiri (nafsu). Agar bisa mengendalikan nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, faktor lingkungan perlu diperhatikan. Lingkungan alam perlu ditata dan dilestarikan, pergaulan sosial perlu disucikan (Sugihan Jawa), diikuti –dan ini yang terpenting – penyucian tri kaya (Sugihan Bali). Penyucian diri untuk menuju kemenangan dilakukan dengan membiasakan diri melakukan tapa (penapean) dan itu mesti dilaksanakan dengan kesungguhan hati (penyajaan). Hanya dengan demikianlah manusia akan mampu menyembelih nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam dirinya (penampahan), dan baru secara spiritual berhak merayakan kemenangan Dharma atas adharma. Tanpa perjuangan, hanya ada kebanggaan ritualitas-simbolik, yang tidak memiliki dampak langsung terhadap perkembangan jiwa, bahkan bisa melahirkan kemunafikan religius.

Mengenai kekuatan tapa untuk mentransformasi diri secara alami dan ilmiah dapat kita lihat pada proses metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu melalui pembentukan kepompong. Seekor ulat berpenampilan menjijikkan dan bulu-bulunya menyebabkan gatal pada kulit siapa saja yang menyentuhnya. Kejelekan ulat tersebut menjadi sempurna dengan perilakunya merusak dedaunan. Namun, berkat “kesadaran” akan kelemahannya, ulat melakukan pengendalian diri, dan lewat tapanya dia telah berubah menjadi seekor kupu-kupu. Penampilannya pun berubah, menjadi cantik dan menarik, perilakunya juga sangat-sangat berubah. Kini dia telah menjadi dewa penolong bagi para petani. Dialah yang membantu penyerbukan bunga sehingga dapat berkembang menjadi buah, sebagai sumber makanan bagi kehidupan di muka bumi ini. Bercermin dari kesadaran sang ulat, leluhur masyarakat Bali mengenang proses metamorfosis tersebut pada saat “mengkafani” mayat dengan mengikatnya menggunakan tali katekung (kepompong). Kearifan lokal tersebut merupakan pelajaran bagi yang masih hidup, sementara mayat yang dikafani hanya menunggu waktu dimakan ulat.

Demikianlah, tanpa perjuangan kemenangan hanya harapan; dan perayaannya bisa mewujud menjadi prosesi ritual yang kehilangan makna spiritualnya. Perjuangan berat tersebut menuntut disiplin ketat dan tepat (brata), agar tidak hanya hilir mudik pada keriuhan ritual, atau hanya keluar masuk dalam kegaduhan tradisi tanpa tepi. Tanpa kemauan untuk mengkritisi perilaku sendiri, layaknya kerbau dicocok hidung, kita hanya bisa berjalan, hingga lutut dan kaki terasa letih. Namun, setelah dicermati dengan lebih jelas, perjalanan yang sedemikian lama dan melelahkan itu, sesungguhnya hanya perjalanan berputar-putar. Sepanjang waktu kita telah berjalan berputar mengelilingi patok budaya dimana tali tradisi itu ditambatkan. Akibatnya, kesenangan yang kita peroleh hanya kenikmatan ragawi yang bersifat sementara karena bersumber dari kemenangan semu, dimana sesungguhnya kita hanyalah pecundang dari kama, kroda, dan loba yang bersembunyi di dalam lubuk hati kita.

Sebuah sloka dalam Srīmad Bhāgavatam I. 17. 38 menyatakan, “Dyutam panaṁ striyah suna, yatradharmas catur vidah. Artinya, berjudi, minum minuman keras (termasuk juga madat), berzinah (selingkuh), dan membunuh binatang (makan daging) merupakan empat kaki adharma. Sayangnya, keempat patologi sosial tersebut justru tumbuh subur, terang benderang, di tanah Bali. Bahkan, pada hari-hari raya, termasuk pada saat merayakan kemenangan Dharma, judian tajen dilakukan di tempat-tempat terbuka, sementara cekian dan domino di rumah-rumah dengan lebih tersembunyi. Ini memang aneh, ternyata banyak krama Bali dan oknum penegak hukum “berselingkuh” melanggar hukum formal dan ajaran Veda, justru pada saat pemerintah memberikan ruang dan waktu agar umat Hindu bisa kusuk melaksanakan hari raya. Pelanggaran terhadap hukum dan norma sosial juga dilakukan dengan menyulap fasilitas umum, seperti pos kamling, balai banjar, atau trotoar jalan menjadi tempat “bergembira” minum minuman keras sambil berjoged, diiringi musik keras tanpa memperhitungkan, atau tidak mau tahu akan kebisingan yang ditimbulkannya. Kegaduhan akan semakin terakumulasi manakala dibumbui dengan cewek-cewek cafe yang kini menjamur di Bali, dan konon juga di-back up oleh para preman. Permasalahannya, kapan kesadaran akan bahaya laten tersebut terjadi di kalangan krama Bali?

Jika krama Bali hanyut dalam gelombang hedonistik, maka citra Bali sebelum datangnya penjajah Belanda akan kembali muncul. Bali saat itu dikenal sebagai pulau angker yang dihuni oleh para dedemit, tempat judian serta madat dan budak diperjualbelikan secara bebas. Setelah Belanda datang, lewat kegiatan promosi pariwisatanya, image Bali pun bisa diubah menjadi pulau Sorga. Namun sekarang, citra Bali justru sering dirusak oleh krama Bali sendiri. Masyarakat Bali mabuk dengan sanjungan dan menjadi pengagum masa lalunya sendiri. Disadari atau tidak, perilaku krama Bali telah banyak mengarahkan pulau sorga terakhir ini (the last paradise) menuju sorga yang hilang (the lost paradise). Jika tidak segera dibenahi, Bali akan mengalami kehancuran.

Kehancuran Bali mencakup kerusakan fisik, psikis, budaya, dan keimanan yang bisa disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama, sikap cuek masyarakat dan aparat terhadap berbagai kemaksiatan yang terjadi di Bali, seperti judian serta cafe miras plus-plus. Kondisi itu bisa menyebabkan Bali di-Poso-kan atau di-Ambon-kan dengan dalih untuk menegakkan kemaslahatan dan melenyapkan kemunkaran. Kedua, ketidak-cerdasan seksualitas krama Bali yang rela mati demi kenikmatan nafsu ragawi. Kondisi itu didukung semakin menjamurnya warung dan cafe remang-remang yang aktif mentransmisikan HIV/AIDS lewat hubungan seksualitas. Akibatnya, penghuni tanah Bali ini sedang menuju kepunahan akibat nikmat sesaat. Ketiga, ketidakpenguasaan aspek produksi dan investasi di tanah Bali menyebabkan krama Bali menjadi jongos di kampung halaman sendiri atau hanya kena imbas dan penikmat sampah. Kondisi itu, secara perlahan namun pasti akan membuat krama Bali terpinggirkan, yang secara ekonomis ada dalam proses menuju kematian. Keempat, berkurangnya habitat akibat pengalihan hak milik tanah Bali kepada orang luar, sehingga krama Bali akan terasing di tanah kelahirannya sendiri dan susah mengekspresikan jati dirinya sebagai orang Bali lengkap dengan ke-Hinduan-nya. Kelima, kemunafikan sosial akibat krama Bali secara psikologis menganut paham ganda. Pada tataran pemikiran dan wacana mengikuti filsafat idealisme yang bersumber dari Pustaka Suci Veda (Agama Hindu), tetapi prakteknya justru lebih mendekati pragmatisme-liberal (Agama Pasar). Ketidaksatuan semangat trikaya tersebut hanya akan berakhir pada stress sosial, sebagai awal kehancuran suatu komunitas. Semoga semua ini tidak menjadi alternatif skenario kehancuran Bali dan semoga kita tidak hanya menang sesaat. Om Tat Sat.
(I Wayan Suja (Brahma Acharya Murti), pengasuh Ashram Yowana Widya Singaraja.

Selanjutnya......

Logika dan Tapsir dalam Pewayangan

I Nyoman Suamba

Wayang dikenal masyarakat Indonesia sebagai sebuah seni yang bermetode, baik dilihat dari ketokohan, karakter, bahasa, yang merupakan dekadensi dari logika dan tapsir. Di samping itu, wayang juga merupakan way of live yang ada sepanjang sejarah peradaban manusia yang dasarnya adalah epos Mahabharata dan Ramayana. Wayang yang lahir dari sisi bingkai sastra dan agama ini tak sedikit mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kedalam pribadi seseorang.

Misalnya dalam tokoh pewayangan “Sangut dan Delem”, Sangut dan Delem ini dilukiskan sebagai dua kepribadian antara baik dan buruk, salah dan benar, nyata dan tidak nyata, bagaikan dua sisi aliran pemikiran yang selalu berbeda dan tidak pernah akan sama, dimana dua aliran pemikiran itu selalu mencari makna-makna yang lebih tinggi dari kebenaran yang dinilai benar menurut pengetahuan itu sendiri. Demikian juga suatu ilmu pengetahuan hanya dapat disebut ilmu pengetahuan apabila ia memenuhi persyaratan yang dituntut oleh ilmu pengetahuan secara umum.

Artinya pengetahuan sudah puas dengan menangkap tanpa ragu suatu kenyataan, sedangkan ilmu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan itu sendiri. Seperti seorang nelayan yang sangat tahu betul tentang pasang surutnya lautan, sehingga ia dapat mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama yang ia ketahui tidak pernah menembus keterangan tentang sebab terjadinya peristiwa itu, yakni daya tarik bulan yang mengakibatkan air laut di sebagian belahan bumi ini pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan baginya.

Demikian juga dalam pementasan pewayangan selama kita berpikir tentang tokoh Sangut dan Delem sebagai dua buah objek material yang menjelaskan bentuk nyata dua tokoh wayang itu sebagai satu batasan objek yang tak bernilai lebih dari apa suatu nilai itu dijabarkan, selama itu pula wayang tersebut hanya sebagai wayang yang dimainkan oleh dalang. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut selain dilihat dari segi bentuk, wayang tersebut, juga mempunyai objek formal yang menarik dinilai dari sisi estetikanya.

Untuk itu “ketidakraguan” merupakan syarat mutlak bagi jiwa untuk dapat dikatakan “mengetahui” seperti halnya apabila kita ingin memahami suatu objek memang dalam logika dijelaskan, seseorang harus mempunyai pengetahuan tentang tata bahasa yang bagus, namun tata bahasa juga tidak mutlak diperlukan dalam meneliti sebuah objek teliti, karena akal itu lahir dan ada semenjak kehidupan ini ada.

Artinya, di dalam mengerti sesuatu sebagai objek pengetahuan tidak mutlak harus diperlukan tata bahasa, sebab pengetahuan itu akan menjadi pengetahuan sejauh pengetahuan tentang objek yang ingin diketahui itu diyakini sebagai sebuah pengetahuan yang benar menurut kemampuan yang ia ketahui. Seperti matahari, dimana dalam matahari tentu ada bola matahari dan di dalam bola matahari yang memancarkan sinar itu tentu ada obyek lain sebagai kepribadian yang disebut Dewa Matahari. Akan tetapi selama pikiran tidak terima atas apa yang menjadi definisi suatu objek tersebut, maka objek tersebut akan tetap sebagai objek dengan definisi seperti yang diketahuinya, dan pengetahuan hanya berhenti sebatas apa yang ia ketahui.

Demikian juga apabila tiap orang tidak pernah mencari tahu apa dan kenapa Sangut dan Delem dalam melatar belakanginya, maka selama itu pula penilaian tentang sesuatu itu hanya menjadi sebatas pengetahuan atas pengetahuan yang ia ketahui. Dalam hal ini diperlukan adanya logika dan bahasa, karena bahasa adalah alat bernalar dalam hal mana penalaran adalah kegiatan berpikir, kegiatan berpikir ini tidak mungkin dapat berlangsung tanpa bahasa, jadi penalaran senantiasa bersangkut paut dengan bahasa. Setiap orang yang menalar selalu menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan dalam pikiran, bahasa yang diucapkan dengan mulut, maupun bahasa tertulis. Bahasa juga adalah alat bernalar atau tanda. Misalnya apabila kita berpikir tentang sesuatu dan hendak kita beritahukan kepada orang lain kita harus mengungkapkannya lewat bahasa, dengan bantuan bahasa barulah orang lain dapat memahami isi pikiran kita.

Pembahasaan yang dituangkan tokoh Sangut dan Delem terkesan vulgar dan tanpa retorika, namun di sisi lain pembahasaan itu menjadi gaya tersendiri dalam memberinya ruang kepercayaan. Sosok Sangut dan Delem dalam kapasitasnya sebagai seorang abdi dalem sebuah puri menampilkan sosok seorang pengabdi yang natural, dengan didasari ketulusan untuk mengabdi. Kecendrungan berpikirnya adalah sejauh mana pengabdian itu dilakukan, bukan pengabdian itu untuk dihitung dengan apa yang ia dapatkan dari pengabdiannya, tetapi lebih mengedepankan apa yang ia sudah perbuat dari selama ia mengabdi.

Dari penujukan bahasanya yang apa adanya, tokoh Sangut dan Delem sangat memasyarakat dalam karakter masyarakat. Pewayangan tersebut ibarat menampilkan sosok presenter dalam acara TV, yang mewakili pergulatan bagi kehidupan masyarakat desa pada umumnya dalam karakter yang polos dan spontan. Pementasan karakter tokoh Sangut dan Delem ini sejalan dengan sebuah materi dan bentuk pikiran dalam logika. Artinya segala sesuatu yang ada senantiasa memiliki materi dan bentuk. Aristoteles misalnya menyebut materi itu dengan kata hile dan bentuk itu dengan kata eidos atau morphe, materi yang sama dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya kayu sebagai materi dapat dibuat dalam bentuk patung, atau dapat dibentuk dalam bentuk meja, kursi tiang, pintu dan sebagainya. Dari contoh itu jelas materinya satu yaitu kayu, tetapi bentuknya bermacam-macam, misalnya, patung, meja , kursi, tiang, dan pintu. Dapat pula bentuknya sama tetapi materinya berbeda misalnya tiga buah patung kuda serupa, tetapi yang satu materinya dari kayu, yang kedua materinya dari tanah liat sedangkan yang ketiga materinya dari batu. Dengan demikian jelas bahwa materi senantiasa harus memiliki bentuk, dan tidak mungkin ada bentuk tanpa materi.

Pikiran yang digunakan dalam penalaran dan yang digunakan lewat bahasa juga memiliki materi dan bentuk seperti sosok tokoh Sangut dan Delem dari tokohnya yang lucu. Tidak berarti semua wayang sama seperti tokoh Sangut, padahal diperankan oleh satu orang dalang. Akan tetapi setiap tokoh wayang selalu menjadi berbeda karena ada materi wujud fisik maupun bentuk pikiran sang dalan yang membuat tokoh wayang menjadi berbagai bahan dasar wayang.

Sama halnya ketika kita menyaksikan jatuhnya air hujan pada sebuah tempat. Air hujan ada yang jatuh ke tanah dan ada juga yang jatuh ke lautan. Air hujan yang jatuh ke tanah tentu membawa sedikit manfaat, bagi tanaman akan menjadikan tumbuhan tumbuh subur, sebab tanahnya menjadi subur akibat adanya air hujan. Lain lagi dengan air hujan yang jatuh ke air tentu tidak membawa manfaat, karena sama-sama jatuh pada air, sehingga tidak membawa sebab apa pun bagi air tersebut.

Demikian juga pengetahuan, jika diterima dengan tulus, maka akan membawa banyak manfaat bagi orang yang menerimanya. Namun apa bila pengetahuan tidak diterima dengan tulus, maka pengetahuan pun akan menjadi tidak bermanfaat dan ia selamanya akan menjadi pengetahuan sebatas yang ia ketahui.

Selanjutnya......

BEKERJA MENURUT HINDU

I GN Nitya Santhiarsa

“Bekerjalah demi kewajibanmu, bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tidak bekerja”-Bhagawadgita II.47

“Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak berhasil terpelihara jika tanpa bekerja”-Bhagawadgita III.8

“Seperti orang bodoh yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial “Bhagawadgita III-25

”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun teratai tak basah oleh air” Bhagawadgita V-10

Keempat sloka suci di atas menjadi prinsip dasar ajaran Karma Yoga atau bekerja menurut Hindu, yakni bagaimana umat Hindu menjalani hidup yang semestinya dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya agar hidup di dunia secara sejahtera (jagadhita) dan menikmati kebahagiaan. Kegiatan pokok manusia selama hidupnya adalah beristirahat (termasuk tidur) dan bekerja (bekerja dalam hal ini meliputi berbagai aktifitas seperti beribadah, belajar, dan berusaha), dimana pada umumnya sepertiga waktu untuk istirahat dan duapertiganya untuk bekerja.

Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban (swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Jika ada yang menghindari bekerja padahal dia sanggup misalnya menjadi pengangguran atau hidup bermalas-malasan berarti dia berkhianat kepada perintah Tuhan dan menelantarkan potensi dirinya, sehingga menjadi manusia yang membebani lingkungannya. Lebih parahnya lagi, hidup menganggur dan malas merupakan pintu gerbang menuju kejahatan, kenapa demikian? Itu karena pikiran orang yang menganggur mudah dirasuki oleh kekuatan sadripu dan saptatimira sehingga tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsu serta mudah tergoda melakukan kejahatan.

Lebih jelas lagi, sesuai dengan keempat sloka di atas, bekerja yang diwajibkan adalah: pertama, bekerja untuk Tuhan, bekerja adalah ibadah, dan bekerja adalah suatu persembahan kepada Tuhan; kedua, bekerja tanpa pamrih atau bekerja tanpa kepentingan pribadi; dan ketiga, bekerja tidak terikat pada hasil kerja dan pahala; kemudian, keempat, bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial. Jadi ada empat macam prinsip bekerja yang diwajibkan dalam ajaran Hindu, dimana empat prinsip ini merupakan satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan.

Mari kita bahas satu persatu, pertama, bekerja untuk Tuhan, atau bekerja sebagai persembahan kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan ini adalah bekerja sungguh-sungguh dengan sebaik-baiknya dan dengan seluruh kemampuan seperti halnya kerja seorang maestro menghasilkan karya masterpiece atau monumental, karena Tuhan adalah Maha Baik yang hanya menerima persembahan yang baik dan benar. Bekerja adalah bagian dari beribadah, seperti sembahyang, bekerja adalah kewajiban setiap manusia, bahkan bekerja adalah upaya memenuhi panggilan Tuhan dan menjalankan perintah dan kehendak-Nya. Meskipun sibuk dan fokus pada pekerjaan namun tidak pernah lupa kepada Tuhan, seperti ditunjukkan dengan sebelum dan sesudah bekerja selalu ingat mengucapkan doa permohonan dan puji syukur.

Bekerja tanpa pamrih, bekerja seperti ini sama seperti di atas, yaitu sebagai konskuensi kerja merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan, seperti halnya melakukan yajna maka bekerja harus didasarkan niat yang tulus ikhlas, tanpa pamrih, tidak merasa terpaksa, namun karena memang senang melakukannya, sesuai dengan keahlian dan kemampuan, serta menyadari manfaat pekerjaannya baik bagi dirinya maupun orang lain. Bekerja tanpa kepentingan pribadi maksudnya bekerja bukan karena dorongan hawa nafsu dan egoisme semata namun untuk menjaga martabat atau harga diri serta untuk memperoleh eksistensi diri karena dibutuhkan oleh orang banyak.

Bekerja tanpa terikat pahala, hal ini juga kosekuensi dari kerja sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita sadar bahwa Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Kasih, Beliau pasti membalas perbuatan baik dengan pahala baik yang berlimpah, dan membalas perbuatan jahat dengan hukuman yang setimpal, mekanisme ini sudah merupakan kepastian dimana mekanisme ini disebut dengan hukum karmapala. Sadar dan meyakini tentang hal ini, maka setiap orang tidak usah terlalu sibuk memikirkan atau berhitung pahala sebagai hasil bekerja, misalnya selalu berpikir untung rugi dalam melakukan perbuatan baik, dalam berbisnis. Model berpikir ini tepat, namun kurang tepat jika diterapkan dalam relasi sosial dan kemanusiaan. Setiap manusia diharapkan menggunakan logika, rasa dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan suatu urusan.

Selanjutnya, bekerja untuk kesejahteraan semua (sarvodaya menurut versi Gandhi), di atas sudah disebutkan bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, jadi buat kepentingan siapa? Jawabannya jelas, bekerja untuk kepentingan semua, kepentingan bersama, kepentingan umum, kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan dan tentunya kepentingan Dharma. Mengapa demikian? Itu karena keadilan, ketertiban dan kedamaian sangat lekat dengan kebersamaan, kesetaraan, keseluruhan, dan kemanusiaan, dimana keadilan, ketertiban dan kedamaian adalah kondisi idaman setiap orang dan kesejahteraan dan kebahagiaan hanya dapat terwujud dimana keadilan, ketertiban dan kedamaian tercipta terlebih dulu. Inilah hubungan bekerja tanpa kepentingan pribadi dan bekerja untuk kesejahtraan semua. Kepentingan pribadi tidak selalu sejalan dengan kepentingan semua, jadi kepentingan pribadi bisa jadi suatu saat merusak upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Umat Hindu di Bali terutama yang menjalankan Karma Marga Yoga sekarang ini mengalami persoalan dilematis akibat perubahan pola masyarakat, dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri, yaitu terkait dengan persoalan manajemen waktu dan manajemen keuangan. Pada masyarakat yang agraris, umumnya waktu kerja seragam mengikuti pola kerja atau musim, teratur dan porsinya lebih kecil dibandingkan waktu istirahat. Kita lihat waktu kerja kaum petani, mereka bekerja di siang hari, waktu kerja teratur berulang dengan pola yang sama serta fleksibel penerapannya, rata-rata mereka bekerja sekitar 8-10 jam perhari. Jadi hanya sepertiga waktu harian dan sisanya adalah waktu untuk istirahat yang dapat digunakan untuk beribadah, kegiatan sosial dan urusan keluarga. Sedangkan pada masyarakat industri, waktu kerja lebih ketat dan tepat waktu, waktu kerja lebih bervariasi bisa siang bisa malam, bahkan waktu libur pun menjadi waktu kerja, serta waktu kerja per hari meningkat tajam menjadi dua pertiga bagian dan sisanya untuk istirahat. Jadi porsinya terbalik, waktu kerja porsinya lebih besar dari waktu istirahat.

Kebudayaan Bali berkembang karena waktu luang yang cukup tersedia dalam pola masyarakat agraris, dan ketika memasuki era industri terjadi guncangan (shock) pada tradisi atau kebiasaan orang Bali dalam bekerja maupun dalam beribadah. Selama ini ada kesan di kalangan orang non Bali bahwa di Bali itu banyak libur, karena orang Bali mengikuti dua sistem kalender sekaligus yaitu kalender nasional dan kalender Bali. Kalender nasional memiliki waktu libur demikian kalender Bali memiliki waktu libur sehingga jumlah waktu libur di Bali lebih banyak dibandingkan waktu libur nasional. Belum lagi permohonan ijin tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan yajna dan ada undangan menghadiri karya yajna. Untuk meluruskan pandangan miring ini, maka orang Bali harus segera mengamalkan ajaran Karma Yoga di atas, karena ajaran ini sangat adaptif baik dengan pola masyarakat agraris maupun masyarakat industri. Kata kuncinya adalah bekerja (sesuai ajaran karma yoga) adalah beribadah. Ini mampu menghilangkan dualisme yang bertentangan antara bekerja dan beribadah. Selama ini kebanyakan orang Bali memisahkan antara kepentingan kerja dan kepentingan beribadah, sehingga alokasi waktupun dibuat berbeda, padahal bisa disinergikan menjadi satu kesatuan.

Untuk masalah ritual yajna, berusahalah mengatur waktu keduanya, mungkin sulit mengatur waktu kerja, sehingga aturlah waktu upacara yajna agar dilaksanakan di luar jam kerja dengan berpatokan pada padewasan (hari baik) yang diyakini. Demikian juga pelaksanaannya diusahakan singkat dan padat asalkan sesuai dengan tatwa, susila dan tradisi yang ada. Jadi berusahalah seminimal mungkin minta ijin tidak bekerja berkaitan dengan ritual yajna.

Kemudian tentang manajemen uang, biaya hidup makin lama makin mahal, sedangkan uang makin sulit didapatkan, maka persaingan semakin meningkat dan banyak orang akhirnya menjadi kecanduan kerja. Di samping itu menyebabkan banyak orang bersikap pragmatis, bekerja demi uang atau ujung-ujungnya duit. Jarang ada orang yang mau kerja gotong royong, kerja sosial atau ngayah , semua diukur dengan uang, semua bantuan ada upahnya, lebih parahnya makin banyak orang yang tidak peduli bagaimana cara mendapatkan uang yang halal, tidak peduli lagi sumber uang darimana, apakah dari perbuatan yang baik atau dari hasil kejahatan, yang penting dapat uang banyak! Kemudian, uang yang diperoleh ternyata cukup banyak dibelanjakan untuk gaya hidup konsumtif, pamer kemewahan dan bahkan untuk kegiatan negatif seperti mabuk-mabukan, prostitusi dan konsumsi narkoba. Fenomena ini adalah cikal bakal rusaknya moral masyarakat secara luas dan masiv, sukar sekali memperbaiki kondisi masyarakat yang seperti ini! Untuk mengatasi hal ini carilah pekerjaaan yang halal, hendaknya uang dikelola dengan bijak, hiduplah sederhana dan hemat sekaligus penuh kasih dan dermawan, sehingga harta milik terjaga dan berkembang dengan baik. Om, Namo Siva Budha ya namah swaha!
(I GN Nitya Santhiarsa, Ketua Forum Peduli Dharma, staf dosen Universitas Udayana).

Selanjutnya......

Menyongsong Hadirnya Organisasi Hindu Dunia

Nararya Narottama

Acara pertemuan tahunan yang juga dimandatkan dalam Bali Charter yang merupakan hasil World Hindu Summit 2012 adalah World Hindu Wisdom Meet. World Hindu Wisdom Meet adalah pertemuan untuk membahas isu-isu penting yang sedang terjadi dalam perkembangan masyarakat Hindu Dunia, agar kita mampu merancang kebijakan-kebijakan serta menghasilkan solusi terhadap isu-isu tersebut. Selain itu juga digunakan sebagai pertemuan untuk pelaporan dan evaluasi terhadap apa yang sudah dikerjakan selama satu tahun dari Badan Pekerja World Hindu Centre.

Menurut Konstitusi Parisada Hindu Dunia (World Hindu Parisad-WHP), Pertemuan Tahunan Hindu se-dunia atau World Hindu Wisdom Meet adalah pertemuan yang diselenggarakan oleh WHC yang berada di bawah payung WHP. Pertemuan ini membahas satu atau lebih topik untuk menghasilkan kesimpulan yang berupa tuntunan (guidance) atau bhisama guna memajukan umat dan agama Hindu sesuai dengan program WHP dan WHC.

Mendirikan sebuah organisasi tingkat dunia bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus dipikirkan secara matang, diperlukan persiapan yang sangat baik, teliti dan professional. Akan ada banyak hambatan dan tantangan di sepanjang perjalanan. Untuk itu, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk mendukung serta melaksanakan program-program organisasi, berbagai persoalan akan muncul hingga ke persoalan yang paling klasik, yakni menyangkut pendanaan atau financial organisasi. Sebuah organisasi tingkat dunia harus didukung dengan sumber daya (manusia dan keuangan) yang memadai, profesional dan kuat.Visi, misi dan komitmen para anggota haruslah selaras dan sejalan dengan organisasi, apalagi bagi organisasi Hindu yang berkerja dengan sistem Seva (Ngayah).

Keberadaan World Hindu Parisad dan World Hindu Center, sangat diperlukan di Indonesia. Karena, tidak jarang masyarakat Hindu yang tergolong minoritas memperoleh perlakukan yang tidak adil bahkan terkadang dilecehkan. Ada kesan bahwa organisasi Hindu yang ada saat ini tidak peduli, tidak berani dan tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyikapi berbagai perlakuan yang tidak beretika, melecehkan atau memberikan tekanan kepada umat Hindu. Bagaimana jika di masa depan, terjadi lagi penghinaan, penodaan, pelecehan, bahkan pembantaian terhadap umat Hindu, apakah kita hanya diam saja, tak bersuara? Cuek, bahkan berpura-pura tidak tahu? Ataukah kita hanya bisa pasrah, dan menjadi pengecut sejati atas nama toleransi beragama? Kemudian, kita tersenyum kecut, karena kita sadar bahwa kita tidak berdaya.

Diperkirakan, jumlah pemeluk agama Hindu di dunia hampir mencapai 1,5 milyar orang, sungguh jumlah yang fantastis. Jika saja kita sadar dan menjunjung harga diri kita, kemudian semua umat Hindu mau jengah, bersatu dan bersinergi, tentu akan mampu memberikan pengaruh yang luar besar bagi dunia.

Mencermati berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami oleh umat Hindu di atas, maka pengaruh, dukungan dan daya tekan dari organisasi sekelas World Hindu Parisad dan World Hindu Center mutlak diperlukan. Jika suatu saat, umat ataupun simbol-simbol agama kita kembali dilecehkan, maka dunia akan mengetahuinya, dukungan dan tumbuhnya militansi akan membuat umat Hindu yang ‘minoritas’ mampu bangkit kembali. Dengan demikian, maka orang-orang picik atau umat agama lain akan berpikir ulang untuk melecehkan Hindu.

Tuhan menganugrahi kita dengan Viveka, yakni kemampuan nalar, akal dan budi. Kewajiban kita adalah menggunakan anugrah tersebut untuk hal-hal yang positif dan berguna bagi masyarakat luas, antara lain melalui keikutsertaan kita dalam penyelenggaraan World Hindu Summit 2013. Kepercayaan dan mandat yang mahabesar tersebut telah diserahkan kepada kita, sebagai tuan rumah di Bali. Hal ini membuktikan bahwa kita telah diperhitungkan oleh komunitas Hindu Dunia bukan karena kuantitas kita saja, melainkan juga karena kualitas kita. Kesempatan yang baik dan langka ini perlu kita sikapi positif dengan kerja keras dan kerja cerdas, kita harus bersatu padu dalam mewujudkan semua mandat ini, karena hal ini sangat bermanfaat bagi masa depan pembangunan Bali, baik dari sisi spiritual, sosial dan ekonomi, demi kesejahteraan masyarakat dan umat Hindu di Bali dan di seluruh dunia.

Untuk itu, dihimbau kepada masyarakat luas untuk bersama-sama mendukung World Hindu Summit 2013. Untuk itu sebagai umat Hindu, kita punya tanggung jawab untuk mengawal Bali Charter di atas menjadi tonggak persatuan umat Hindu di seluruh dunia, ditambah beban amanat yang kita harus pikul bersama yaitu sektretariatnya akan berpusat di Bali. Informasi lebih lengkap mengenai World Hindu Summit 2013 dapat diakses via internet, melalui http://www.worldhinduparisad.org

Pertemuan tingkat dunia ini didukung oleh Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi Bali, Kementerian Agama Republik Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Parisada Hindu Dharma Indonesia Bali, Universitas-Universitas, Forum Pengusaha Hindu, Dewan Perwakilan Daerah Bali, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, para cendekiawan Hindu, generasi muda Hindu dan lain-lain.

Kita sadari hal ini tidak mudah, akan tetapi dengan semangat, kerja keras dan persatuan kita, hal-hal yang baik pasti akan terwujud menjadi sebuah kenyataan dan umat Hindu dunia akan bersatu lebih damai dan sejahtera serta menjadi contoh nyata untuk keimanan yang lain.

Selanjutnya......

Mengelola Pikiran dalam Bingkai Budaya Konsumerisme

Dra. Luh Asli, M. Ag.

Di era postmodern ini, pikiran manusia sudah terbiasa merekam bujuk rayu iklan di berbagai media cetak maupun TV yang dikemas dengan bahasa unik, menggelitik hati supaya para konsumen tergugah. Promosi berlabel nomor satu, lebih enak, paling nyaman dan lebih praktis, menggiring kecenderungan masyarakat menuju pola hidup konsumerisme. Hal ini berimplikasi pada masuknya secara perlahan ideologi konsumerisme.

Tanpa disadari, promosi dari iklan-iklan ini menjadikan sebagian dari kita semakin kehilangan daya inisiatif dan kreatifitas, kemudian cenderung menjadi malas dan hanya ingin menikmati enaknya dari pada bersusah payah untuk mengerjakannya sendiri, toh hampir semua sudah tersedia secara instant. Kita tinggal menunggu strok belanja dan bayar. Kekuatan utama dalam pola hidup konsumerisme adalah uang. Hal ini berkonskuensi pada upaya keinginan menempuh jalan pintas, menghalalkan segala cara untuk menghasilkan uang demi memenuhi hasrat menikmati sesuatu dengan cara gampang. Misalnya, beberapa orang/pengusaha dengan tega menjual produk palsu sebagaimana seringnya ditayangkan dalam beberapa acara ditelevisi hanya untuk memburu uang, tidak lagi mempertimbangkan hati nurani. Menjual produk dengan biaya produksi murah, namun dijual mahal sehingga untungnya besar. Semuanya berkat promosi gencar melalui iklan.

Bersamaan bergulirnya dominasi pola hidup konsumerisme, dalam kehidupan di masyarakat juga marak terjadi berbagai penyimpangan. Kekerasan dan kejahatan, kenakalan remaja, pelecehan seksual, korupsi juga sudah terbiasa direkam oleh pikiran. Berbagai fenomena sosial tersebut oleh beberapa ahli menyebutnya sebagai manivestasi tergerusnya nilai-nilai kehidupan karena distorsi moral.

Manusia sebenarnya adalah makhluk yang paling utama dan mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya di muka bumi ini, karena ia memiliki kelebihan pikiran sebagai rajanya indria dalam mengendalikan kehidupannya. Mulia karena dia bisa mengubah dan memperbaiki kwalitas hidupnya melalui prilaku, pelayanan untuk menjadi lebih baik dengan berpedoman pada nilai-nilai perenialnya. Alat yang disebut “Pikiran” telah menjadi hadiah tertinggi dari Tuhan. Pikiran, harus dipahami dengan baik, bagaimana sifat-sifatnya, kecenderungan-kecenderungannya, kelebihannya dan memelihara agar alat ini bisa berdayaguna maksimal.

Kekuatan pikiran sangat luar biasa sebagaimana tersirat dalam Kidung Sucita Subudi bahwa “semua berawal dari pikiran”. Selain itu selaku manusia kita hendaknya selalu berpikir positif (positif thinking). Dalam slogan itu terkandung makna yang sangat luar biasa, karena jika pikiran sebagai rajanya indria bisa dikendalikan, dan kuat maka indra-indra yang lain sebagai bawahannya akan menurut apa maunya pikiran (raja). Jika pikiran lemah dan tidak kuat, maka dia akan hanyut mengikuti arus kecenderungan indra-indra yang cenderung doyan material, termasuk mudah termakan buju rayu iklan. Agar pikiran tumbuh kuat bisa berfungsi dengan baik, maka sejak awal hendaknya dipelihara dengan baik.

Salah satu teknik cara memelihara pikiran, terdapat pada perspektif ajaran Yoga. Diantara beberapa cara dalam yoga adalah dengan cara mengendalikannya, menjinakkannya sebagaimana juga dikatakan oleh Sri Swami Sivananda, “Pikiran itu bagai monyet yang loncat sana-sini, gelisah serta tidak tetap”. Mengetahui sifat pikiran seperti ini, cara terbaik adalah dengan menjinakkannya melalui kebiasaan-kebiasaan setiap hari dan kontinyu. Latihan konsentrasi, meditasi termasuk di dalamnya membiasakannya merekam hal-hal yang positif melalui indra-indra, adalah cara yang sangat efektif.

Panca Budindrya, seperti mata pasti suka melihat yang indah, cantik, ganteng, merangsang saja, telinga suka mendengar yang indah, merdu merayu. Hidung suka dengan bau yang harum, kulit suka merasakan sentuhan yang halus serta lidah suka makan yang enak-enak meskipun sebatas di mulut (makanan, minuman siap saji dengan pewarna, penyedap, bahan pengawet dalam kemasan sangat menarik dalam bujuk rayu iklan). Apa yang dimakan akan menghidupi sel-sel dalam tubuh sehingga jika dikonsumsi terus menerus, maka tanpa terasa sejumlah organ tubuh akan terkontaminasi bahkan rusak oleh pola yang salah. Lebih-lebih makanan yang diperoleh dari hasil yang tidak baik dan benar (menipu, membohongi publik), maka justru akan menjadi racun bagi pertumbuhan dan ketenangan pikiran.

Oleh karena itu belum tentu semua tayangan televisi berpengaruh positif bagi semua kalangan. Filterisasi terhadap semua yang berkembang dalam pola hidup konsumerisme akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pikiran. Lebih parah kalau ada ibu-ibu yang meninabobokkan anaknya dengan televisi. Ketika tayangan iklan, tayangan kekerasan, adegan seksual/porno direkam oleh otak anak-anak yang masih sangat polos, bersih bagai kertas putih, maka apa yang sering dilihat, di dengar dan dirasakan, maka itulah yang tertulis pada memori otaknya. Selanjutnya kesan tersebut tersimpan di bawah ambang sadar otak anak. Jika otak anak selalu diwarnai dengan rekaman kekerasan, maka cenderung prilakunya di masa depan akan diwarnai dengan kekerasan pula. Sebaliknya Jika anak-anak terbiasa merekam tayangan fenomena kasih sayang, ketulusan hati, suka menolong, maka anak itu akan belajar untuk mengasihi. Jadi benak anak akan dipenuhi dengan kasih, pikirannya pun akan penuh dengan cinta kasih.

Jum Sai, seorang pakar pendidikan karakter dari Thailand dalam bukunya yang berjudul “Human Values Integrated Intructional Model”, dimana model pendidikan ini telah diadopsi oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengatakan, bahwa apa pun pengalaman-pengalaman yang sempat direkam oleh pikiran kalau sering dinikmati oleh indra-indra, maka seperti itulah yang tersimpan di bawah ambang sadar otak manusia. Demikian pula ketika indra-indra sering merekam tayangan kekerasan, misalnya orang tua di rumah sering ribut, cekcok, berbicara kasar, maka prilaku anak cenderung mengarah pada corak kekerasan. Mereka menjadi broken home, karena di rumahnya tidak ditemukan kasih. Transformasi nilai kasih, kebajikan menjadi mandul dan anak tersebut menjadi generasi yang dibesarkan oleh hiburan dan cara serba instant. Kebiasaan-kebiasaan pikiran merekam hal-hal yang kurang bermanfaat namun nikmat sebatas indra sebagian juga melenakan masyarakat yang sudah berusia tua. Sekecil apa pun kelalaian manusia dalam menjaga miliknya yang amat berharga ini (pikiran), amat berpengaruh di sepanjang jalan hidupnya.

Kini konsumerisme semakin mendesak dan terus mengekspansi pikiran manusia. Jika menginginkan yang baik terjadi dalam hidup di kemudian hari, maka sebaiknya segera mengubah haluan pikiran dengan setting baik. Ada baiknya menginstal pikiran dengan slogan ”Awalilah hari-harimu dengan kasih (bangun pagi dengan doa), Isilah hari-harimu dengan kasih (dalam satu hari penuh mengumpulkan kebajikan), dan akhirilah hari-harimu dengan kasih (evaluasi malam hari dengan bersyukur’terima kasih Tuhan).”

Hidup manusia bagai buku tempat mencatat semua aktivitas setiap hari dan tak pernah berhenti menulisinya selama hidup. Ada catatan yang enak dan menarik serta bermanfaat untuk dibaca, ada juga catatan yang kurang menarik atau membuat jengkel. Tetapi demikian hebatnya anugrah Tuhan (Saracamuscaya, sloka 4) yang masih memberi kesempatan pada lembar baru untuk menuliskan yang lebih baik pada halaman berikutnya sebagai evaluasi/introspeksi halaman sebelumnya. Kesempatan baik di halaman baru untuk memperbaikinya dengan setting kekuatan pikiran baru yang positif setiap hari, sehingga belum terlambat untuk berbenah menjadi lebih baik. Yang lalu biarlah berlalu, mulailah dari sekarang.

(Penulis: dosen STKIP Agama Hindu Singaraja)

Selanjutnya......

Mana yang Benar, Back to Veda atau Back to Dharma

Gede Agus Budi Adnyana

Ada sebuah kalimat yang sering sekali terdengar dan diucapkan oleh sebagian besar masyarakat intelektual Hindu, yakni back to Veda. Mungkin berarti kembali ke Veda, dan seruan ini adalah baik. Namun kalimat itu sering kali ditujukan kepada tata cara beragama Hindu di Bali. Saya sendiri kerap kali mendapatkan kalimat itu, ketika saya melakukan ritual persembahan banten. Hingga terakhir kalinya, ketika sedang ngewayang lemah, dalam rangka piodalan di Pura Puseh, seorang sahabat yang merupakan intelektual Hindu menyatakan kepada saya: seharusnya Anda back to Veda, dan upacara Veda tidak ada menggunakan wayang kulit.

Kalimat back to Veda, mungkin didapat dari membaca buku-buku Hindu dari berbagai macam guru parampara. Saya memahami hal itu, namun arogansi sahabat saya ini, terlalu tinggi. Setiap kali upacara agama ala Hindu Bali, dia selalu mengkritik dan menyatakan back to Veda. Nah, sekarang kalimat positif ini malah menjadi sebuah ambiguitas yang justru secara tidak langsung menyatakan bahwa apa yang dilakukan agama Hindu di Bali, tidak berdasarkan Veda.

Pengertian pertama adalah kembali kepada Veda. Apa pun bentuk tattwa, etika dan upacara kembali ke Veda. Ini saya setuju. Pengertian ke dua, adalah dengan dilayangkan kalimat itu, seolah-olah apa yang dijalankan agama Hindu di Bali, tidak berdasarkan Veda. Atau sudah pernah sesuai Veda, namun melenceng kemudian, dan mengundang prihatin kalangan intelek dan menyerukan untuk kembali ke Veda. Sekedar paham saja, UUD 1945 anggap saja Veda. Seluruh umat Hindu nyungsung Veda, dan demikian juga seluruh Indonesia sungkem pada UUD 45.

Tetapi, di setiap daerah, ada PP dan Perda yang berbeda satu sama lain. Perda Aceh dan Bali, atau Jabar dan Kaltim, tentu berbeda, sesuai dengan kondisi, serta situasi daerah bersangkutan. Demikian juga dengan Acara Hindu di Bali, akan berbeda dengan India. Tetapi seluruh umat Hindu sungkem pada Veda. Masalah persembahan itu ada daging panggangnya, jangan dipermasalahkan. Sebab dalam Reg Veda sendiri dinyatakan.
Yat te gatrad angina pacyamanad
Abhi sulam nihatasyavadhavati
Ma tad bhumyam a srisan ma trnesu
Devebhyas tad usadbhyo ratam astu


“Apa yang menetes dari daging panggang yang ada di atas panggangan, jangan dibiarkan tumpah di tanah atau di atas rumput. Persembahkanlah itu semuanya kepada para Dewa”. (Reg Veda Samhita. I. 162. 11)


Nah, agar lebih mudah memahami, Sruti, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastuti, adalah urutannya. Ketika Acara berbeda, maka merujuk pada Sila (Keputusan para Brahmana). Ketika Sila berbeda, maka masuk ke Smrti dan apa pun yang bertentangan, Srutilah yang menjadi acuan utamanya. Kitab Reg Veda adalah kitab Sruti, jadi persembahan dengan daging sudah berlandaskan Veda.

Kemudian masalah wayang, itu diatur dalam indik-indik yang kita kenal dengan nama Mahayu Dewa (lontar disalin dan diterjemahkan secara pribadi). Itu sebagai seni sakral jenis Wali, pengiring upacara, dan disinilah terlihat Hindu sebagai agama yang estetik. Disamping itu juga sebagai sebuah media penyebaran ajaran Dharma. Maka janganlah menyatakan bahwa upacara dengan diiringi oleh wayang lemah, tidak berlandaskan Veda.

Kemudian nyanyian Wirama di Jawa dan Bali, untuk lebih mudahnya, saya akan paparkan hal berikut. Biasanya metrum jenis ini jumlah suku katanya adalah 32 suku kata. Kemudian dalam satu pada (baitnya) terdiri dari 4 baris. Anustup ini pun memiliki beberapa jenis varian, tergantung dari jumlah suku katanya. Adapun jenis tersebut yakni: (1) Anustup jumlah suku katanya 32 (8+8+8+8); (2) Mahapada-Pankti jumlah suku katanya 31 (5+5+5+5+5+6); (3) Krti jumlah suku katanya 32 (12+12+8); (4) Pipilikamadhya jumlah suku katanya 32 (12+8+12); (5) Kavirat jumlah suku katanya 30 (9+12+9); (6) Nastarupi jumlah suku katanya 32 (9+10+13); (7) Virat jumlah suku katanya 30 (10+10+10); (8) Virat kedua jumlah suku katanya 33 (11+11+11).

Mantra dalam kitab Reg Veda Samhita, biasanya lebih banyak menggunakan metrum ini pada mandala V, mandala IV, IX dan juga mandala VII.

Brhati

Metrum ini terdiri dari 36 suku kata, dan dalam beberapa mantra jenis ini sering diklasifikasikan kembali menjadi sembilan jenis, yakni. (a) Brhati pertama suku katanya 36 (9+9+9+9); (b) Brhati ke dua suku katanya 36 (8+8+12+8); (c) Purastad-Brhati jumlah suku katanya 36 (12+8+8+8); (d) Sarini jumlah suku katanya 36 (9+12+8+8); (e) Uparistad-Brhati suku katanya 36 (8+8+8+12); (f) Vistara-Brhati suku katanya 36 (8+10+10+8); (g) Urdhva-Brhati suku katanya 36 (12+12+12); (h) Pipilika-Brhati suku katanya 34 (13+8+13); (i) Visama-Brhati suku katanya 36 ( 9+8+11+8).

Jenis di atas sangat lumrah kita temukan dalam kakawin yang dikumandangkan dan berlaku fungsional di Bali, seperti Visama, Sarini, Vistara. Tidak mungkin leluhur kita membuat sebuah kakawin dengan cemerlang demikian tanpa membaca Veda. Lalu dimana letak tidak pahamnya agama Hindu Bali dengan Veda? Meskipun bahasa yang dipergunakan adalah Sansekerta Archipelago, namun tetap merujuk pada Veda.
Lalu ketika tudingan back to Veda terus menusuk tata cara beragama Hindu di Bali, apakah ini berarti umat Hindu di Bali tidak berdasarkan Veda. Saya jawab dengan tegas, bahwa Hindu di Bali adalah Hindu dengan berpijak pada Veda. Alangkah bijaksananya, jika kita tidak mengindiakan Bali, atau membalikan India. Tidak elok juga rasanya, ketika datang ke Pura, seluruh krama menggunakan Dotti dan meniadakan bija atau pamor di Bali. Tidak etis juga ketika semua bhakta harus datang ke Mandir di Kedaranatha menggunakan topeng Siddhakarya saat odalan.

Jadi Hindu adalah air yang mengalir jernih dengan sangat mempesona. Jangan membatasi keuniversalan Hindu hanya pada satu daerah atau negara saja. Bukankah orang yang terpelajar adalah orang yang bisa menghargai dan melestarikan warisan nenek moyangnya dulu? Sebaiknya back to Veda disampaikan pada para pemabuk di jalan atau para pengedar ganja dan terroris, bukan pada jero mangku dan penekun mistsime Bali. Lalu, kalimat mana yang harus kita sering dengarkan? Kalimat back to Dharma. Itu jawabannya.

Selanjutnya......

Peradah dan KMHDI Laksanakan World Hindu Youth Conference

Laporan Gde Dharma Nugraha

World Hindu Youth Conference (WHYC) 2013 yang merupakan kegiatan bersama antara Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) telah berlangsung di Bali pada tanggal 29 – 31 Maret 2013. WHYC 2013 yang digagas sejak tahun 2010 lalu merupakan media komunikasi dan brainstorming di antara Organisasi Kepemudaan/ Kemahasiswaan dari berbagai negara. Delegasi yang hadir pada WHYC 2013 sebanyak 125 peserta yang berasal dari 13 Negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Belanda, China, Hongkong, India, Inggris, Malaysia, New Zealand, Thailand, Trinidad dan Tobago, United Emirat Arab, dan Indonesia. WHYC 2013 mengambil bentuk Seminar Panelis dalam dua hari untuk membuka wawasan peserta dan mengarahkan diskusi yang akan berlangsung di antara para peserta.


Hari pertama WHYC 2013 pada tanggal 29 Maret 2013 dilaksanakan di Wisma Sabha, Kantor Gubernur Provinsi Bali. Kegiatan di awali dengan Upacara Pembukaan yang dihadiri oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Sekretaris Dirjen Bimas Hindu Kementrian Agama RI, Ketua Parisada Bali. Kehadiran Gubernur Bali juga sekaligus untuk membuka secara resmi kegiatan WHYC 2013. Setelah pembukaan, langsung dilanjutkan dengan kegiatan conference yang terdiri tiga sesi panelis. Sesi pertama membahas Dharma dan Pemuda, sesi kedua membahas bidang pendidikan dan sesi ketiga membahas bidang ekonomi. Kegiatan hari pertama ditutup dengan acara makan malam yang diadakan bertempat di Jaya Sabha, Kompleks Rumah Dinas Gubernur Bali dan juga dihadiri oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.

Hari kedua WHYC 2013 pada tanggal 30 Maret 2013 dilaksanakan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali. Hari kedua diisi dengan kegiatan conference yang terdiri dari empat sesi panelis. Sesi pertama membahas bidang Politik, sesi kedua membahas bidang Hak Asasi Manusia dan Media, sesi ketiga membahas masa depan pemuda dan mahasiswa Hindu serta sesi terakhir merupakan penutup dari keseluruhan sesi pada conference WHYC 2013. Sesi terakhir diisi dengan kesimpulan dari seluruh sesi dan ramah tamah di antara panitia dan peserta WHYC 2013. Hari kedua juga ditutup dengan acara makan malam yang diadakan di Hotel Inna Veteran. Pada makan malam ini, delegasi dan panitia WHYC 2013 diterima oleh pimpinan pemerintahan Kota Denpasar. Hadir dalam acara adalah Asisten 1 Walikota Denpasar beserta jajarannya.

Hari ketiga WHYC 2013 diisi dengan kegiatan Dharma Yatra untuk menunjukkan Budaya Hindu yang tertanam di kehidupan masyarakat Bali kepada para peserta WHYC 2013. Dharma Yatra ini mengajak peserta WHYC 2013 mengunjungi Pura Besakih dan Pura Tanah Lot. Di Pura Besakih, peserta turut mengikuti proses persembahyangan karena kebetulan bertepatan dengan Upacara Bathara Turun Kabeh yang diadakan di Pura Besakih setahun sekali. Selesai sembahyang, peserta kembali diterima oleh Bupati Badung. Selesai makan siang, peserta kemudian bergerak ke Pura Tanah Lot dan selesai dari Tanah Lot, peserta kembali ke penginapan. Selanjutnya WHYC akan dilaksanakan pada pada November 2014 di India.

Adapun hasil dari kegiatan conference WHYC 2013 adalah :
• Merupakan wadah membuka wawasan kepada para pemuda dan mahasiswa Hindu sedunia pada bidang Pendidikan, Ekonomi, Politik, Hak Asasi Manusia dan Media. Di masa depan, untuk menunjukkan peran Hindu di dunia, para pemuda harus mengambil peran dalam bidang-bidang, antara lain:

• Bidang pendidikan, peserta menyepakati untuk mengawasi dan mengkritisi kurikulum pendidikan di masing-masing negara. Kurikulum pendidikan diharapkan membawa kebaikan bagi anak didiknya serta memberi keseimbangan diantara aspek ilmu dan aspek moral. Juga diharapkan agar adanya keadilan dalam pengajaran agama di masing-masing sekolah.
• Bidang Ekonomi, dalam conference, peserta dimotivasi untuk menjadi seorang wiraswasta. Dengan banyaknya wiraswasta dari pemuda/mahasiswa Hindu, tentunya akan dapat memberikan sumbangsih yang tidak sedikit bagi pelaksanaan kegiatan sosial dan bisa mengangkat derajat ekonomi dari masyarakat secara umum.
• Bidang politik, peserta mendapat wawasan bagaimana proses politik dalam menentukan kebijakan suatu negara. Karena itu, peserta bersepakat untuk lebih aktif dalam mengambil dan melaksanakan peran politik di masing-masing negara untuk mengawal kebijakan negara yang adil dan merata bagi warga negaranya.
• Pada bidang Hak Asasi Manusia, peserta mendapat wawasan tentang pengertian Hak Asasi Manusia dan langkah-langkah dalam membela Hak Asasi Manusia. Pada bidang ini, disoroti mengenai pelanggaran HAM yang banyak dialami oleh komunitas Hindu di berbagai belahan dunia. Peserta WHYC 2013 bersepakat untuk mengawal HAM di negaranya masing-masing khususnya pelanggaran HAM yang dialami oleh saudara-saudara beragama Hindu. Melalui WHYC 2013, disepakati gerakan bersama untuk menggalang dukungan Internasional dalam membela komunitas-komunitas Hindu yang mengalami pelanggaran HAM di berbagai negara.
• Telah dibuat Target Jangka Pendek (2 Tahun) dan Target Jangka Panjang (5 Tahun). Target Jangka Pendek yang disepakati peserta pada WHYC 2013 adalah meningkatkan kerja sama dan komunikasi melalui media-media online. Juga diupayakan untuk menjembatani Pemuda/ Mahasiswa Hindu dengan pihak Profesional untuk memberikan jalan pengembangan diri bagi pemuda/ mahasiswa Hindu. Berikutnya adalah mendorong delegasi perwakilan yang belum memiliki organisasi kepemudaan/ kemahasiswaan untuk segera membentuk organisasi yang dimaksud. Bagi yang sudah memiliki, agar dapat mengembangkan organisasi agar dapat merangkul seluruh potensi pemuda/ mahasiswa Hindu yang ada. Sementara target jangka panjang akan menjadi bagian yang dibahas pada Konferensi Pemuda Hindu sedunia yang akan dilaksanakan pada November 2014.
• Peserta sepakat untuk aktif menggalang petisi terkait isu-isu hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka membela komunitas Hindu di Indonesia maupun di negara lainnya.

Selanjutnya......

Ashram Gandhi Puri Bangun Yogashala Nishita

Memperingati 12 tahun Indra Udayana Institute of Vedanta yang jatuh pada tanggal 29 Maret 2013 lalu, Ashram Gandhi Puri Denpasar membangun Yogashala Nishita untuk Sthri Shakti dan Dharma Duta dalam berkreasi melalui Yoga, Sacred Art dan Social Movement. Sedangkan di Ashram Gandhi Puri Klungkung membangun Rumah Baca “Mahatma Vidyapeeth” pada 6 April 2013 yang diresmikan oleh Bupati Klungkung diwakili oleh Sekda Janapria bersama aktifis sosial Wanda Hamidah.

Di tengah ratusan anak muda dari berbagai SMA di Klungkung, Selat dan aktifis kampus yang berinteraksi santai dengan Wanda Hamidah yang mana mereka kemudian didaulat sebagai Dharma Duta AGP Narkoba dan HIV/AIDS, untuk mengajak anak muda lebih banyak berkreatifitas membaca, terutama buku biografi dari orang ternama dan sukses, menjadikannya salah satu inspirasi kita untuk menemukan jati diri. “Membaca juga merupakan makanan bagi jiwa selain pengolahan spirit, karena itu Rumah Baca yang baru diresmikan sengaja kami isi dengan buku-buku yang bermanfaat banyak seperti Pendidikan Life Style, Motivasi, Kebangsaan, juga buku yang mengandung inspirasi baru,” ujar Wanda Hamidah dan ia berjanji setiap bulan akan menambah dengan buku baru yang diinginkan anak muda di Klungkung yang senang membaca di Rumah Baca. Kemudian olah yoga dan olah seni seperti Sacred Art Ashram Gandhi Puri mendapat apresiasi yang mendalam dari hadirin, karena revitalisasi kreatifitas mulai harus dikedepankan di tengah tantangan global yang cenderung ke-pola prilaku individu dan mengarah egois dengan mengandalkan tekhnologi modern semata, sementara pola berdialog dan berkarya dengan mengedepankan kerjasama mulai harus digalang kembali.

Dalam menjaga nilai yang tertanam di Ashram Gandhi Puri Klungkung dengan menjadikan Dharma Ashram setiap Jumat-Minggu sebagai arena kreatifitas untuk merealisasikan ide baru bagi anak muda melalui pelatihan Leadership Training, Bahasa Inggris, Yoga, Sacred Art, dan dialog menjadi hal hakiki untuk membangun kerjasama yang mulai luntur. Kehadiran dari beberapa kawan aktifis nasional seperti KKAB (Komunitas Kami Anak Bangsa), Gafatar, Dewan Pasraman Bali, dan masih banyak lagi lainnya, yang sudah berpengalaman di bidangnya tentu menciptakan suatu inspirasi baru. Sekda Klungkung dan Pengasuh Ashram Gandhi Puri BR Indra Udayana menekankan kepada pemerintah dan komunitas masyarakat bekerjasama lebih erat untuk menjaga tunas bangsa yang ada di sekitar kita berada. Karena itu setiap bulan di Ashram Gandhi Puri diadakan acara Sacred Art, Sacred Healing sebagai sarana pertunjukan hasil kreativitas dan revitalisasi nilai yang terbangun. Kehadiran dan support dari Pemda Klungkung menjadi semangat berkarya dalam segaa aspek yang ada. (ist)

Selanjutnya......