Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 20 Maret 2013

Para Sulinggih Akan Dapat JKBM Plus

Para Sulinggih di Bali akan segera memperoleh Kartu Jaminan Kesehatan Bali Mandara yang bisa digunakan untuk berobat gratis di rumah-rumah sakit di Bali. Jaminan kesehatan untuk para sulinggih di Bali ini bahkan diberi tanda khusus sehingga sulinggih yang dirawat tidak dimasukkan ke kelas III, tetapi langsung kelas utama dengan perawatan yang sesuai dengan sasana kesulinggihan.

Demikian dikatakan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika pada saat melakukan simakrama dengan para sulinggih warga Pasek se Bali yang dilaksanakan di wantilan Pura Griya Sakti Manuaba, Desa Bongkasa, Jumat 15 Maret lalu.


“Sulinggih yang dimaksudkan bukan saja Ida Pandita Mpu dari warga Pasek, tetapi semua sulinggih yang ada di Bali. Selama ini saya selalu menganggap pendeta itu satu. Dalam sambutan saya di mana-mana, tak pernah saya menyebutkan Pandita Mpu. Ida Pedanda, Bagawan dan sebagainya, saya selalu menyebutkan Ida Sulinggih. Karena pemahaman saya pendeta Hindu itu sama,” kata Mangku Pastika, yang datang didampingi Kepala Dinas Kesehatan Prov. Bali.

Perhatian kepada sulinggih, menurut Mangku Pastika, harus diberikan karena tugasnya yang berat. “Saya selaku Gubernur Bali harus memberikan perhatian itu, karena saya gubernur rakyat Bali, bukan gubernur milik kelompok tertentu,” katanya. Sebagai ilustrasi dari ucapannya ini, Mangku Pastika sempat mengatakan, di keluarganya di Petemon, Seririt, kalau ada upacara yadnya yang diminta untuk “muput” Ida Pedanda. Sebaliknya, kalau ada upacara di provinsi, ya, bisa Ida Pandita Mpu atau yang lain, tergantung siapa yang punya waktu dan lebih mudah dihubungi.

Menyinggung tetang JKBM itu, Mangku Pastika lagi-lagi menyebutkan bahwa itu ada idenya sejak awal. “Kalau ada yang mengaku itu ide orang lain, ya, itu berbohong,” katanya yang disambut tepuk tangan.

Ditegaskan pula, orang yang berobat dengan fasilitas JKBM bukannya gratis, tetapi dibayar oleh Provinsi Bali. Jadi kalau perawat dan dokter ogah-ogahan menangani pasien JKBM, laporkan saja. “Kita sediakan anggaran lebih dari 100 milyar untuk JKBM ini, jadi bukan gratis,” katanya.

Untuk sulinggih, nantinya akan diberikan kartu JKBM dengan tanda khusus, sehingga sulinggih tidak dimasukkan ke zal yang rendah, bergabung dengan pasien lainnya. Sulinggih agar diberi perawatan yang lebih khusus sesuai dengan sasana kesulinggihan. Untuk meyakinkan para sulinggih yang hadir, Mangku Pastika memanggil Kepala Dinas Kesehatan agar segera merancang kartu JKBM untuk sulinggih itu. Para sulinggih yang hadir pun sudah mengisi data yang diperlukan yang akan dijadikan acuan untuk segera diproses oleh Dinas Kesehatan.

Jangan Lihat Partai
Simakrama di pura yang menyatu dengan Griya Bongkasa ini dihadiri oleh seluruh sulinggih Pasek (Ida Pandita Mpu) yang ada di Bali. Sekjen Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), Wayan Winata, yang mewakili Pengurus Pusat MGPSSR dalam sambutannya mengatakan, simakrama ini bukan kampanye Pilkada Bali yang kebetulan calonnya adalah Made Mangku Pastika. Ini adalah acara kekeluargaan antara warga Pasek.

Winata menyebutkan, Made Mangku Pastika maju sebagai kandidat calon gubernur Bali diusung oleh beberapa partai. “Warga Pasek tak mau larut ke dalam politik praktis. Partai itu adalah baju. Baju itu bisa berganti-ganti setiap hari. Janganlah kita melihat bajunya, tetapi lihat kulitnya,” kata Wayan Winata.

Disebutkan kemudian, apapun baju yang dikenakan oleh Made Mangku Pastika tidak perlu kita persoalkan. Yang penting kulitnya apa. “Semeton Made Mangku Pastika kulitnya adalah Pasek, karena itu wajib kita dukung,” kata Wayan Winata.

Memang, dalam Bhisama Kawitan yang dipegang teguh oleh warga Pasek ada disebutkan bahwa sesama semeton haruslah tetap bersaudara dan saling membantu. Berdasarkan bhisama ini, memang wajib untuk warga Pasek membantu Made Mangku Pastika dalam memenangkan Pilkada Bali ini. Akan kena tulah jika ada warga Pasek yang tidak membantu sesama warganya. Namun, jika ada warga Pasek yang sudah menjadi pemimpin di luar pesemetonan, hendaknya ia menjadi pemimpin rakyat yang tak lagi mementingkan kelompok. Made Mangku Pastika dianggap memenuhi syarat itu karena selama menjadi pemimpin Bali ia tak pernah membeda-bedakan orang Bali berdasarkan pesemetonan. Dalam simakrama itu Made Mangku Pastika secara terbuka dan jujur mengatakan, ia justru membantu pembangunan Pasraman yang dimiliki oleh Ida Pedanda Made Gunung. Bukan pesraman Ida Pandita Mpu.

Sebelum simakrama dimulai, diadakan persembahyangan bersama, memohon restu agar Pilkada di Bali berlangsung aman. Made Mangku Pastika langsung diajak ke jeroan pura didampingi oleh pengurus Paruman Sulinggih MGPSSR Pusat dan wakil-wakil sulinggih se kabupaten di Bali. Mangku Pastika datang bersama stafnya, bukan didampingi oleh Tim Sukses karena acara ini bukan ajang kampanye. Ini acara pribadi dan tentu terkait dengan jabatan Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali. Karena itu pula ada kepala dinas terkait yang ikut serta.

Usai acara, Mangku Pastika memberikan Rsi Yadnya kepada para sulinggih yang diterima secara simbolis oleh Ida Pandita Mpu Siwa Putra Paramadhaksa Manuaba selaku tuan rumah, didampingi Ida Pandita Mpu Dhaksa Samyoga dari Griya Klaci, Marga. Dalam kesempatan itu Gubernur Bali berjanji membantu pembangunan pasraman sulinggih warga Pasek. “Ini bantuan pribadi, kalau Provinsi yang membantu nanti yang masuk sorga Provinsi,” katanya yang disambut tawa riuh.

Foto: Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyerahkan bingkisan secara simbolis kepada Pandita Mpu.

Selanjutnya......

Selasa, 19 Maret 2013

Parisada Berubah Menjadi Ormas Perkumpulan

Tanpa diketahui Sabha Pandita dan Sabha Walaka, Pengurus Harian PHDI Pusat mendaftarkan Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai ormas Perkumpulan di Kementrian Hukum dan HAM. Parisada kini tak lagi berupa majelis seperti MUI, KWI, PGI atau Walubi, namun seperti Ansor atau Front Pembela Islam.

Perubahan status Parisada Hindu Dharma Indonesia dari majelis ke organisasi masyarakat -- dalam hal ini yang dipakai istilah perkumpulan -- diketahui dalam Pesamuhan Sabha Pandita yang mendahului Pesamuhan Parisada di Swiss Belhotel Palangka Raya, 22 Februari lalu. Adalah Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, wakil dharma adyaksa, yang menanyakan hal itu. Perubahan itu tercantum dalam draf keputusan pesamuhan yang merekomendasikan penegerian UNHI Denpasar.

Sebelum Dharma Adyaksa Ida Pe¬danda Sebali Tianyar Arimbawa menjawab, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menambahkan bahwa perubahan ini merupakan sejarah baru dalam perjalanan Parisada yang dilahirkan lewat Piagam Campuan Ubud 1959. Pada saat kelahirannya Parisada berbentuk Majelis Umat, seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan sejenisnya. Majelis umat tidak mempunyai anggota terdaftar yang dinyatakan dengan kartu anggota. Dengan didaftarkannya sebagai ormas Perkumpulan, maka Parisada harus memiliki anggota seperti halnya perkumpulan yang lain. “Jadi, ini sama dengan ormas yang berupa partai politik atau ormas yang serupa perkumpulan lain seperti Front Pembela Islam dan sejenisnya. Apakah dalam hal ini Dharma Adyaksa dan Sabha Pandita tahu?” tanya Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Ternyata Ida Pedanda Sebali menyatakan tidak tahu. Begitu pula Ketua Sabha Walaka Putu Wirata Dwikora tak tahu soal perubahan itu. “Nanti kita minta klarifikasi dari Pengurus Harian,” jawab Dharma Adyaksa.

Namun, selama berlangsungnya Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya itu, hal ini tak pernah dijelaskan oleh Pengurus Harian. Ternyata peserta pesamuhan juga tak banyak yang mempersoalkan karena tak tahu apa resiko dari perubahan ini. Apalagi jalannya pesamuan tidak mulus dan tak sempat peserta memikirkan perubahan itu.

Ternyata perubahan itu benar adanya. Hal ini menjadi jelas karena ada dalam laporan yang dibacakan oleh Ketua Umum PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) S. N. Suwisma. Perubahan dari majelis menjadi ormas dengan mengambil kelompok perkumpulan itu dilakukan oleh Pengurus Harian PHDI Pusat hasil Mahasabha di Hotel Bali Beach Sanur bulan Oktober 2011. Pengurus Harian ini cepat bergerak dengan mendaftarkan Parisada menjadi ormas (organisasi masyarakat), menghilangkan identitas majelisnya. Tidak disebutkan kapan permohonan itu diajukan, namun yang jelas pemerintah cepat menyetujui dengan keluarnya surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-101.AH.01707 Tahun 2012 pada tanggal 8 Juni 2012. Pengesahan itu langsung diumumkan pada Tambahan Berita Negara tanggal 4/12-2012 No. 97-53/Perk/2012.

Suwisma dalam laporan itu menyebutkan, alasan perubahan status dari Majelis ke ormas Perkumpulan ini agar Parisada berbadan hukum sehingga dalam kedudukannya sebagai subyek hukum dapat mendirikan yayasan.

Rupanya, perubahan status ini untuk mengejar target penegerian UNHI Denpasar, yang melanggar ketentuan Mahasabha Parisada yang tidak setuju ada penegerian UNHI karena yang disebut perguruan tinggi Hindu itu adalah IHDN Denpasar saat ini. Justru seharusnya IHDN Denpasar yang ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Hindu Negeri seperti halnya IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di seluruh Indonesia sudah ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Islam Indonesia.

Entah kenapa UNHI ngotot minta dinegerikan dan Parisada -- dalam hal ini Pengurus Harian -- memberikan lampu hijau bahkan ikut memperjuangkan. Perjuangan itu pun dengan keblablasan dengan mengubah format Parisada dari Majelis Agama menjadi Ormas Agama dengan sebutan Perkumpulan.

Nah, kembali menyimak laporan Ketua Umum Parisada yang disampaikan pada Pesamuhan Agung di Palangka Raya itu, dengan bentuk Parisada sebagai badan hukum, kemudian didirikan Yayasan Pendidikan Widya Kerti. Parisada menyebutkan, kepengurusan Yayasan Pendidikan Widya Kerti ini untuk pertamakalinya ditetapkan oleh Parisada Pusat dengan menempatkan Ketua Umum secara exs-officio menjadi Ketua Dewan Pembina. Gerak cepat pun dilakukan oleh ormas Perkumpulan Parisada ini dengan mendaftarkan yayasan itu ke pemerintah, lalu keluar surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Nomor AHU-5449. AH.01.04 Tahun 2012 tanggal 4 September 2012. Pengesahan ini dimuat pada Tambahan Berita Negara RI Tanggal 4/12-2012 No. 97-146/AD/2012. Ketua Yayasan dijabat oleh Prof. Doktor Ida Bagus Gunadha, staf pengajar di UNHI Denpasar.

Tentu saja ini aneh dan rekayasa. Bagaimana mungkin Yayasan Widya Kerti dinyatakan baru berdiri “untuk pertamakalinya” pada 2012, padahal yayasan itu sudah mendirikan UNHI sejak lama. Tentu aneh bin ajaib jika UNHI sudah puluhan tahun ada tetapi yayasan yang mendirikannya baru ada tahun 2012.

Selain keanehan itu, Yayasan Widya Kerti yang memang dibentuk oleh Parisada, Ketua Dewan Pembinanya selalu Dharma Adyaksa sebagai ex-officio, karena Dharma Adyaksa adalah ketua Sabha Pandita sementara dalam organ Parisada sebagai Majelis Umat, Sabha Pandita punya kedudukan tertinggi. Dalam Piagam Campuan disebutkan, yang bernama Parisada itu adalah kumpulan pada pandita, pengurus harian hanya pelaksana.

Perubahan status dari Majelis ke Perkumpulan ini serta merta membuat Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya penuh dengan “nuansa ormas”. Ketika rombongan pendeta datang dari Bali, di depan loby hotel disambut dengan poster: “Yang Tak Setuju UNHI Menjadi Negeri adalah Pengkhianat”.

Sidang-sidang pun penuh dengan gejolak. Berkali-kali ada pimpinan sidang yang menyatakan walk-out, tapi kemudian dibujuk-bujuk lagi untuk kembali. Bahkan nyaris terjadi adu jotos. Beberapa anggota Sabha Pandita meninggalkan sidang karena merasa malu dengan suasana seperti itu. “Ini memang resiko menjadi ormas, meskipun itu ormas keagamaan. Lihat saja HMI, FPI, Ansor dan lainnya, kongresnya pasti juga ribut. Ini biasa. Sebaiknya Parisada dikembalikan menjadi Manjelis,” kata Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Pada akhirnya, hasil pesamuhan tetap belum meloloskan UNHI menjadi negeri, setelah Sabha Pandita memberi arahan. Perlu dibawa ke Mahasabha. ***

Selanjutnya......

Tragedi Etnis Bali di Sumbawa: Penegakan Hukum Lemah dan Kecemburuan Ekonomi

Pengantar Redaksi: Setelah masyarakat etnis Bali di Lampung diterjang amuk massa sebanyak dua kali pada 2012, maka pada awal 2013 etnis Bali di rantauan kembali mengalami nasib serupa. Kali ini dialami oleh masyarakat Hindu yang ada di Kabupaten Sumbawa, NTB. Nah, untuk mengetahui lebih detil kejadian dan dampak kerusuhan yang dilancarkan sepihak itu, wartawan Raditya Made Mustika, mengunjungi Sumbawa Besar pada 6 dan 7 Februari 2013. Berikut ini laporannya dalam tiga tulisan.

Ya, setelah peristiwa Lampung, kembali etnis Bali yang tinggal di rantauan menjadi korban serangan kelompok massa tertentu. Pembaca pasti sudah maklum. Pada 22 Januari 2013, warga etnis Bali yang sudah puluhan tahun berdiam di Kabupaten Sumbawa, diserang oleh warga lokal tanpa mendapat perlindungan sama sekali dari aparat keamanan dan pemerintah setempat.

Warga etnis Bali di Sumbawa Besar (Ibukota Kabupaten Sumbawa) menuturkan, mereka hanya disuruh meninggalkan rumahnya ke titik-titik pengungsian. Titik pengungsian itu meliputi Polres, Kodim, dan Kompi Tentara. Namun massa yang menjarah dan lanjut membakar hanya ditonton oleh pejabat dan aparat berwenang.

“Kami sebagai polisi yang berpangkat rendah tidak berani mengambil langkah sendiri sebelum ada perintah dari komandan,” demikian seorang polisi etnis Bali yang bertugas di Polres Sumbawa bercerita kepada Raditya. Raditya berkesempatan ke Sumbawa Besar pada 6 dan 7 Februari 2013.

Ketika sampai di kota itu, udara amat panas dan kering. Sebagai perbandingan, Sumbawa Besar lebih panas dari Singaraja, kota yang diakui paling panas di Bali. Apakah iklim yang demikian itu mempengaruhi karakter masyarakatnya? Entahlah! Namun yang jelas, penyerangan terhadap etnis Bali di Sumbawa oleh masyarakat lokal di sana sudah dua kali. Kasus pertama terjadi tahun 1980. Peristiwa 33 tahun lalu itu bahkan sampai memakan korban 9 nyawa dari pihak etnis Bali. Karena penanganannya tidak jelas, dimana hukum di Indonesia dikenal loyo, maka pihak-pihak tertentu tak pernah jera melakukan kekerasan demi kekerasan. Dan begitulah kejadian pelanggaran HAM berat terhadap kelompok minoritas berulang lagi pada awal tahun 2013.

“Kami sangat sayangkan sekali. Mengapa aparat begitu terlambat mengambil sikap,” kata Dewa Gde Gedung yang mengaku merantau ke Sumbawa Besar sejak 1986. Dewa Gde merasa terpukul sekali dengan kejadian terakhir. Sebagai seorang wirausahawan yang menyuplai berbagai minuman kemasan ke toko-toko grosir di Sumbawa Besar, pihaknya mengaku mengalami kerugian miliaran rupiah. Gudangnya “dirampok”, tepatnya dijarah sampai tak ada yang tersisa.

Diceritakan, peristiwa bermula dari kematian gadis Sumbawa yang dibonceng pacarnya. Pacar gadis itu adalah seorang pemuda Bali yang bertugas di Polres Sumbawa. Ya, dia adalah seorang polisi. Sebutlah namanya Gede. Gede berasal dari Karangasem. Dia membawa kebiasaan buruk orang Bali ke Sumbawa. Dia suka minum minuman beralkohol sampai mabuk. Tatkala malam minggu, 19 Januari 2013, dia membonceng pacarnya dengan sepeda motor. Karena terlebih dahulu Gede sudah mengonsumsi alkohol, maka kesadarannya tak sepenuhnya terkontrol. Singkatnya, di perjalanan, sepasang kekasih itu mengalami kecelakaan. Ada yang menyebut, Gede memacu sepeda motornya dalam kecepatan tinggi. Ngebut. Sehingga kecelakaan yang dialami berakibat fatal. Dirinya harus dirujuk ke rumah sakit di Mataram. Sementara sang kekasih meninggal di tempat kejadian.

Upaya perdamaian terhadap keluarga korban diupayakan melalui petugas dari Polres Sumbawa. Walau berat, namun pada akhirnya keluarga korban dapat menerima kemalangan itu. Akan tetapi orang-orang lain yang tak terkait dengan keluarga korban justru pada ribut. Bahkan diembuskan isu yang tak benar melalui sms, facebook, dan twitter. Isu yang diembuskan adalah korban sengaja dibunuh. Isu lain mengatakan, sebagaimana disebutkan warga, gadis itu diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Isu-isu itu menyebar dan memprovokasi warga. Anehnya, warga yang menerima isu itu percaya begitu saja. Maka, pada Selasa 22 Januari 2013, saat Pemda Sumbawa tengah memperingati hari jadinya yang ke-54, sekitar pukul 12.00 Wita, massa dengan sepeda motor berputar-putar di kota Sumbawa Besar. Mereka memprovokasi dan menyemangati teman-temannya untuk melakukan pengerusakan, penjarahan, dan pengrusakan terhadap rumah-rumah penduduk etnis Bali.

Di sinilah, menurut Dewa Gde Agung, sangat disayangkan karena tidak ada upaya untuk menghalau massa dari aparat keamanan maupun pemda. Karena dibiarkan, mereka jadi berani. Pengerusakan bangunan di mulai dari Pura Agung Giri Natha yang terletak di Jl. Yos Sudarso No 8 Sumbawa Besar. Pura itu semacam Pura Jagatnatha. Di sebelah pura, ada dua bangunan penting lain yang sering dimanfaatkan umat Hindu di sana. Yakni sekolah minggu untuk para pelajar dan mahasiswa Hindu belajar agama pada setiap hari Minggu. Satunya lagi adalah balai suka-duka bagi warga Hindu di Sumbawa Besar. Kedua bangunan itu juga dirusak.

Karena merasa tak terhalangi, maka pergerakan massa mulai mencari rumah-rumah etnis Bali. Maka begitulah, satu per satu rumah-rumah yang telah ditetapkan sasarannya dirusak, dijarah isinya, lalu dibakar. Tidak semua rumah yang dijarah lalu dihanguskan. Ada beberapa rumah setelah isinya dijarah, ditinggalkan begitu saja.

Sehari kemudian, jumlah rumah yang dirusak didata pemda setempat. Hasilnya? Sekitar 20 rumah penduduk mengalami kerusakan berat di mana seisi rumahnya dijarah dan dibakar. Sementara sekitar 50 rumah lainnya dirusak dan dijarah namun tidak dibakar.

Sebuah hotel dan restoran yang cukup besar, yang terletak di sebelah kantor bupati dan tak jauh dari Polres Sumbawa, “dibiarkan” dibumihanguskan. Isinya tentu saja dijarah terlebih dahulu. Hotel itu milik orang Bali. Tidak ketinggalan sebuah super market juga dirusak serta isinya dijarah. Kios-kios pedagang di Pasar Seketeng, yang dimiliki etnis Bali tidak ketinggalan juga menjadi sasaran amuk massa.

Total kerusakan rumah-rumah etnis Bali di seluruh Kabupaten Sumbawa mencapai 498 buah, sebagaimana disebutkan Bupati Jamaluddin Malik. Tidak dirinci berapa yang dijarah dan dibakar dan berapa yang dijarah dan dirusak tetapi tidak dibakar. Kejadian tersebut masih saja ada yang menilai tidak bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Bagaimana mereka bisa berkomentar demikian? Coba saksikan, kios-kios dagangan orang Bali. Walau keberadaannya di tengah-tengah pasar, namun mengapa massa memilih sasaran ke tengah jua? Mengapa tidak merusak yang paling pinggir, yang bukan miliknya orang Bali? Kejadian di Sumbawa itu sangat jelas bernuansa SARA karena sasarannya dipilih-pilih berdasarkan etnis.

Menurut Ketua PHDI Sumbawa, Made Suaryadala, penyerangan sepihak itu diduga dilandasi oleh kecemburuan sosial. Dia menjelaskan, banyak di antara orang Bali di sana yang meraih kemajuan signifikan di bidang ekonomi dibanding penduduk lokal. Namun semua pencapaian itu dilandasi oleh kerja keras. Tidak dengan cara-cara yang tidak fair. Pengerusakan di siang hari itu sempat berhenti sebentar, namun kumpulan massa masih meraung-raung di jalanan. Lalu ketika matahari tenggelam di ufuk barat, dan hari berganti malam, massa melanjutkan pengerusakan, penjarahan, dan pembakaran itu sampai tengah malam.

Massa baru berhenti bergerak dan kocar-kacir setelah aparat keamanan, baik polisi maupun tentara, menyalakkan senjatanya pada pukul 24.00. Tembakan itu pun diarahkan ke atas. Tak sampai lima menit massa langsung membubarkan diri. Mereka pulang ke rumahnya masing-masing sambil membawa hasil jarahan. “Kalau saja tembakan demikian dilakukan pada siang hari, ketika mereka masih berputar-putar di jalan, saya yakin tak sampai begini kejadiannya. Mengapa keputusan itu begitu terlambat diambil?” sesal Dewa Gde Agung.

Sekali lagi kejadian itu sebenarnya diawali oleh peristiwa sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang sepele. Hanya peristiwa kecelakaan. Mengapa mereka berlebihan menanggapi? Dugaan PHDI Sumbawa kiranya sangat tepat untuk menguraikan latar belakang peristiwa dimaksud. Namun di Bali juga banyak para perantau yang sukses melebihi pencapaian orang Bali sendiri. Di Bali juga banyak tindakan para pendatang yang menodai martabat dan sosiokultur masyarakat Bali. Akan tetapi semua itu diserahkan ke ranah hukum.
(Made Mustika)

Selanjutnya......

Mereka Tidur Layaknya di Kolong Jembatan

Dewa Putu Arga (61) kini tidak punya apa-apa lagi. Nasib serupa juga dialami teman-temannya. Rumahnya, yang terletak di belakang Kodim Sumbawa, tepatnya di Jl. Baru No 16 Sumbawa Besar hancur diterjang massa pada 22 Januari 2013 lalu. Tembok depan dan belakang kamarnya dijebol serta seisi rumahnya dijarah.

Beban hidupnya kini semakin berat. Sebab, satu dari lima anaknya mengalami tekanan jiwa pasca kerusuhan itu. Boleh dikatakan masa depannya suram. Di Sumbawa dia hidup tanpa istri. “Istri saya sudah ke Bali untuk menenangkan diri.” Di perantauan dia hidup bersama tiga anaknya. Yakni anak ketiga, keempat, dan si bungsu. Dua anaknya yang lain sudah mandiri dan memilih hidup di luar Sumbawa. Untuk makan saja, dia harus menunggu belas kasihan dari warga lain yang menaruh iba kepadanya. Kebutuhan makan setiap hari didapat dari tetangga atau teman. Ada saja yang sudi memberikan uang untuk membeli nasi. Kalau tak ada sama sekali yang memberi, maka dia akan pergi ke balai banjar. Di balai banjar ada semacam dapur umum. Bagi masyarakat etnis Bali yang sama sekali tak sanggup membeli beras untuk dimasak, dipersilakan datang ke balai banjar.

Anak ketiganya, karena mengalami stres berat, terpaksa diisolasi di kamar lain. Pada dinding kamar anaknya setiap saat digantung nasi bungkus atau minuman kopi. “Kalau dia bangun dan lapar, maka otomatis sudah menemukan nasi di tembok itu,” tutur Dewa Putu Arga.

Sedangkan dua anaknya yang lain dibiarkan “meminta-minta” pada keluarga besar Bali yang ada di Sumbawa Besar. Kadang kedua anaknya itu hanya setor muka saja pada pagi hari. Siang hingga malam tak terpantau. “Saya percaya dua anak saya tersebut baik-baik saja walau jarang di rumah. Pasti ada tempat untuk meminta nasi, begitupun dengan tidurnya, pasti ada saja keluarga yang bersedia menampung mereka untuk menginap,” imbuhnya.

Ketika Raditya mengunjungi rumah Dewa Putu Arga, kedua anaknya yang dibicarakan itu memang tak di rumah. Mungkin kedua anaknya itu sumpek bila ada di rumahnya. Sebab, selain kecil, rumahnya itu sudah tidak ada apa-apanya lagi. Sedang anak ketiganya, yang mengalami depresi, tidur di kamar kecil tanpa alas sama sekali.

Ya, Dewa Putu, yang berprofesi sebagai tukang itu kini hidupnya melarat. Memang itulah harapan pihak penyerbu. Rumah-rumah etnis Bali sengaja dirusak, dijarah, lalu dibakar, dengan harapan mereka menderita. Kalau mungkin mereka terusir dan akhirnya balik ke Bali. “Saya sudah mengenal tabiat mereka,” sambungnya lagi.

Bayangkan, setiap malam Dewa Putu tidur dengan kamar terbuka. Karena bagian depan rumahnya, yang menghadap jalan raya, sudah tidak berpintu dan berjendela lagi. Sementara dinding belakangnya, yang berhadapan dengan sawah, dijebol seluruhnya sehingga udara leluasa keluar masuk. Balai untuk tempat tidur pun tak ada lagi. Untuk itu bila dia ingin tidur, Dewa Putu cukup menggelar tikar saja. Kondisi tidur seperti itu tak ubahnya dengan pengemis yang tidur di kolong jembatan, seperti yang sering dijumpai di kota-kota besar.

Apa dia tidak takut tidur sederhana dengan kamar terbuka pada kedua sisinya? Pertanyaan itu dijawab dengan santai. “Saya tidak takut tidur sendirian seperti ini. Saya sudah tahu karakter masyarakat di sini. Kalau mereka sudah puas melampiaskan dendamnya, maka pasti akan membiarkan saja saya tidur tanpa perlindungan. Tidak akan diapa-apakan,” jelasnya.

Lalu tidur dengan kamar terbuka seperti itu apa tidak kedinginan? “Di sini udaranya panas sekali. Kadang malah saya harus buka baju dulu untuk bisa tidur.” Walau sudah dibuat menderita sedemikian rupa, namun dia bersikukuh meyatakan akan tetap tinggal di Sumbawa Besar. Sebab dia sudah mengidentikkan diri sebagai warga Sumbawa. Sudah 43 tahun lamanya dia merantau di sana.

Untuk merehab rumahnya, Dewa Putu sangat berharap pemerintah pusat maupun daerah sudi mengucurkan dana sehingga kondisi rumahnya segera dapat diperbaiki dan layak disebut rumah. Tetangganya, Dewa Made Kantun (50), juga mengalami nasib serupa. Antara Dewa Putu Arga dan Dewa Kantun tidak ada hubungan saudara. Kantun berasal dari Karangasem, sementara Arga dari Gianyar. Hanya persamaan nasib yang membawanya hidup berdampingan di Sumbawa Besar.

Dewa Kantun sehari-harinya berprofesi sebagai bengkel sepeda motor. Sementara istrinya, Nengah Ariasih (45) berjualan canang dan keperluan lain untuk sembahyang, seperti dupa, bokor, dll. Untuk sementara Kantun harus istirahat bekerja karena semua peralatan perbengkelannya dijarah. “Kompresor angin juga lenyap,” katanya. Hanya istrinya yang masih bisa meneruskan usahanya berjualan canang di tempat darurat. Hal itu dimungkinkan karena Ariasih memiliki keterampilan membuat banten sehingga usahanya masih bisa dilanjutkan. Mudah ditebak, mengapa dia berjualan di tempat darurat. Sebab, warung dan bengkelnya yang menyatu dengan rumah, dihancurkan massa.

Sama seperti Dewa Arga, Kantun dan Ariasih memiliki lima anak. Hanya satu yang sudah mandiri dan tinggal di Kota Mataram. Empat anaknya masih ikut dengan orangtuanya. Sehingga tanggungan mereka tidak kalah berat dengan Dewa Arga. Kini mereka hanya mengandalkan hasil dari menjual canang untuk makan bagi enam orang. Dewa Kantun pun berharap, pemda segera bisa membantu agar usaha bengkelnya dapat dioperasionalkan kembali.

Dapat dibayangkan, rumah milik Dewa Arga dan Dewa Kantun yang relatif sederhana saja dijarah dan dibakar, apalagi rumah yang tergolong mewah. Seperti yang dialami Wayan Jumu (61). Rumahnya di Jl Kebayan No 11 Sumbawa Besar dirusak dan dijarah. Masih beruntung rumahnya itu tidak dibakar. “Tapi toko kami di Pasar Seketeng dan di Sumir Payung kena juga. Kerugian mencapai milyaran rupiah,” katanya ketika Raditya berkunjung ke rumahnya, pada 7 Februari 2013 lalu.

Lalu dapatkan pemerintah membantu merehab rumah-rumah mereka sebagaimana yang diharapkan? “Kami tidak punya target waktu kapan akan memulai. Sebab masalah ini harus ditanggung bersama antara pemkab, pemprov, dan pusat. Jadi, tidak sederhana,” kata Bupati Sumbawa Jamaludin Malik kepada Raditya. Pertanyaan mengenai komitmen pemerintah itu Raditya ajukan kepada bupati ketika beliau berkesempatan mengunjungi balai banjar suka-duka pada Kamis 7 Februari 2013.

Lebih lanjut Bupati Sumbawa menjelaskan, yang pertama-tama dilakukan pemda adalah membangkitkan kembali keterpurukan masyarakat etnis Bali. Karena itu ia menyampaikan terima kasih atas partisipasi PHDI Bali dan tim psikiater FK Unud yang telah datang ke Sumbawa guna memulihkan kejiwaan mereka. Soal pembangunan kembali rumah-rumah masyarakat, bupati belum dapat menjanjikan kapan akan dimulai. Jika waktu memulai saja tidak dapat dipastikan, apalagi bicara soal selesainya rehab.

Nah, masyarakat etnis Bali yang menjadi korban kerusuhan massa secara tidak langsung diminta untuk bersabar. Bersabar untuk berapa lama? Bisa lagi tiga bulan, enam bulan, bahkan mungkin setahun lebih. Jadi, Dewa Arga dan teman-temannya yang bernasib kurang-lebih sama dengan dia harus melewati waktu lama tidur dengan kamar terbuka. Duh, betapa malangnya nasib mereka. Menjadi minoritas di Indonesia seakan tak memiliki HAM. Pancasila dan nilai-nilai toleransi di Indonesia kini semakin menipis tergerus kefanatikan yang membabi-buta. (mm)

Selanjutnya......

Demi Keamanan, Orang Bali Merobohkan Penunggun Karang Miliknya

Kejadian Sumbawa adalah peristiwa memalukan sekaligus memilukan. Mengapa demikian? Sebab, bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, ternyata tak sepenuhnya benar. Kejadian demi kejadian yang bernuansa SARA, di mana korbannya umumnya kelompok minoritas, telah minggiring bangsa ini sebagai bangsa beringas. Jauh dari kesantunan dan toleransi.

Menteri Sosial RI Dr. Salim Segaf Al-Jufri ketika berbicara di hadapan para pejabat, anggota DPRD Sumbawa, dan tokoh-tokoh agama, di Wisma Daerah Kabupaten Sumbawa pada 7 Februari 2013, hampir sepanjang pengarahannya berusaha menahan tangis. Suaranya terdengar berat. Sebab kasus Sumbawa menambah buruk citra Indonesia di dunia internasional. “Melalui kemajuan teknologi, dalam sekejap peristiwa yang terjadi di sini diketahui dunia. Pada akhirnya yang rugi kita semua, bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ucapnya.

Artinya, menteri menyadari bahwa kerusuhan yang bernuansa SARA, di daerah mana pun terjadi, akan menyulitkan lobi-lobi Indonesia di dunia internasional dalam hal penegakan HAM. Ya, Indonesia mendapat nama buruk dari serangkaian kerusuhan sosial tersebut. Tetapi penderitaan yang dialami pihak korban jauh lebih berat. Bangsa ini hanya memperoleh citra miring dari kejadian yang mengoyak kemanusiaan itu. Sedangkan yang menjadi korban menderita lahir batin karena segala harta benda dan rumahnya musnah dalam sekejap serta mendapat trauma batin yang mendalam. Dan pasti akan lama proses penyembuhannya. Mengapa Mensos tidak mengapresiasi penderitaan mereka?

Hal lain yang disampaikan menteri adalah soal minimnya kesadaran hidup berdampingan dari pihak penyerang terhadap etnis lain. Mensos mengatakan, mengapa para penyerang itu tidak berpikir bagaimana kalau pihaknya diperlakukan begitu? Apa tidak juga sedih dan kecewa? Sebuah empati dari menteri kepada para korban, walau sudah terlambat. Ditambahkannya, Indonesia harus maju, sejahtera, damai dan aman, dan dapat hidup berdampingan dengan sesama tanpa membedakan etnis, asal-usul, agama dan kepercayaan. Sebuah ajakan simpatik memang, namun masalah utamanya adalah mau diaplikasikan atau tidak oleh masyarakat.

Banyak refleksi yang dapat diambil dari kasus Sumbawa. Misalnya, sejauh mana keprihatinan yang disamapaikan Menteri Sosial dapat dijadikan landasan hidup sehari-hari. Dapatkah tokoh-tokoh umat mereka mewacananakan penerimaan terhadap pendatang dan kemajemukan dalam arti luas? Atau sebaliknya, terus mengompori umatnya untuk antitoleransi?

Refleksi di atas, bagi umat Hindu yang merupakan bagian dari kelompok minoritas, sebenarnya mengharapkan lebih dari itu. Kelompok minoritas mengajukan semacam tuntutan perlindungan maksimal dari pemerintah. Bukan sebuah wacana yang mengesankan basa-basi belaka.

Refleksi ke dalam bagi umat Hindu juga perlu dilakukan. Kecelakaan Gede bersama pacarnya karena Gede mengonsumsi minuman alkohol terlebih dahulu. Sudah itu pergi ke kafe di wilayah Batugong, Sumbawa. Jumlah kafe di Batugong sekitar 25 buah, kebanyakan dimiliki orang Bali. Apa artinya itu?

Orang Bali, walau tidak semuanya, dikesankan suka mabuk-mabukan. Dan juga senang berjudi. Kalau kelemahan-kelemahan ini tidak pernah dilakukan koreksi secara serius, maka orang Bali akan sering mendapatkan malapetaka. Citra agama Hindu sebagai agama luhur juga akan tergerus karena kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Masak Gede seorang polisi mengunjungi kafe dan mabuk-mabukan? Bukankah perilaku itu sangat menyimpang? Seorang polisi sudah seharusnya menertibkan kafe, perjudian, dan melarang orang mabuk-mabukan. Sangatlah ganjil kalau malah tenggelam dan ikut menikmatinya. Selain citra kepolisian yang dipertaruhkan juga terseret citra Hindu dan masyarakat Bali secara umum.

Masalahnya adalah masyarakat Bali terlalu toleran terhadap kegiatan perjudian dan mabuk-mabukan. Bahkan ada banyak pura yang dibangun dari kegiatan judi. Begitu pula dengan mabuk-mabukan. Hanya di Bali trotoar dan tempat terbuka lainnya bebas digunakan oleh para pecandu alkohol. Tidakkah orang Bali menyadari kelemahannya-kelemahannya itu.

Rusuh di Sumbawa juga membawa hikmah lain. Beberapa masyarakat Hindu di sana terpaksa harus merobohkan pelinggih penunggun karang ataupun pelinggih-pelinggih lain untuk maksud mengelabui. Artinya, selama ini umat Hindu etnis Bali sangat mudah dikenali rumahnya. Asal ada pelinggih, pastilah itu rumah milik orang Bali. Raditya sempat menyaksikan beberapa pelinggih yang sudah roboh setelah pemiliknya merobohkan sendiri.

Hikmah yang dapat dipetik, mengapa umat Hindu di rantauan tidak mereformasi sistem ritual sekaligus. Misalnya menggantikan pelinggih di pekarangan luar dengan kamar suci. Jika kamar suci dibuat, maka umat Hindu dapat membuat arca atau sekalian pelinggih di sana jadi satu. Bahkan hanya dengan gambar pun boleh, tentu saja melalui proses sakralisasi terlebih dahulu.

Dengan membuat kamar suci banyak sisi positif yang bisa diperoleh. Pertama, persembahyangan akan menjadi lebih khusuk. Karena tidak terpengaruh cuaca, terutama saat hujan turun. Kedua, sembahyang atau meditasi dapat dilakukan dengan tenang setiap saat karena tak terlihat dari luar. Jadi, mengapa tidak dimulai dari sekarang? Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu ke arah yang lebih baik. Bukankah begitu?
(mm)

Selanjutnya......

Perang Idiologi di Balik Hegemoni Mayoritas

I Ketut Sandika

Indonesia adalah sebuah negeri yang terdiri dari beragam suku, ras, corak kebudayaan, agama dan yang lainnya. Kebhinekaan tersebut terbingkai dalam satu wadah, yakni Pancasila sebagai ideologi bangsa. Keragaman kultur dan keyakinan merupakan sesuatu yang indah, jika dimaknai dengan cara yang benar. Sama halnya seperti lukisan yang terdiri dari bermacam warna, dan menjadi satu kesatuan, sehingga memunculkan nilai estetik. Demikian juga tangga nada ritme musik yang beragam, dimainkan akan terdengar ritme merdu yang menggetarkan hati. Akan tetapi, akhir-akhir ini keberagaman yang memunculkan keindahan terusik oleh domain penyeragamanisme, yakni sebuah domain yang ingin memaksakan keberagaman tersebut menjadi satu budaya, keyakinan dan sejenisnya, yang secara logika dan nalar teramat sangat jauh dari kebenaran itu sendiri. Domain yang demikian sesungguhnya adalah musuh bagi manusia, para deva dan avatara. Sesungguhnya penyeragamanisme yang dilakukan oleh kelompok mayoritas agama tertentu adalah bentuk kekerasan terhadap aturan alam (rtam). Aturan yang sedianya kita semua tunduk dilawan, alhasil alam atas kuasanya akan memantulkan kembali kekerasan itu melalui penghancuran.

Bentuk penyeragamanisme adalah bentuk resistensi dari kelompok agama mayoritas yang berkehendak memunculkan idiologi agama sebagai pengganti idiologi Pancasila. Resisitensi mengejawantah dalam bentuk hegemoni kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, dan hal itu sangat kentara sekali menggerogoti negeri ini. Kelompok yang mayoritas dengan semaunya melakukan beragam upaya untuk menekan yang minoritas. Berbagai bentuk konspirasi dilakukan untuk menekan dan memusnahkan kelompok minoritas dan hukum tidak kuasa untuk mengeliminir, bagaikan macan ompong yang tertidur dalam liang goa kemunafikan. Terlebih kelompok kaum puritan agama mayoritas yang merasa superior dengan dalih dogma agama membenarkan tindakan kekerasan, penghancuran dan pembunuhan. Sebab menurut mereka, jika melakukan penghancuran terhadap kafiranisme konsekuensinya adalah pahala yang besar untuk dapat masuk sorga. Olehnya, mereka tidak akan berhenti menebar ancaman yang serius bagi negeri ini yang berimplikasi pada munculnya beragam konflik yang berbau sara dan penistaan terhadap agama minoritas diberbagai daerah.

Masih segar dalam ingatan, konflik sara yang menimpa umat Hindu etnis Bali di Napal, Lampung Selatan beberapa bulan lalu. Konflik yang bermula dari hal yang boleh dikatakan sepele berubah menjadi amuk masal yang merugikan kedua belah pihak. Tragedi yang persis sama juga menimpa umat Hindu etnis Bali yang berada di Balinuraga Lampung Selatan, sehingga beberapa umat Hindu di sana meregang nyawa. Khusus di Balinuraga, meletusnya konflik berawal dari adanya hembusan isu yang bermuatan provokasi, yakni pelecehan seksual yang pelakukanya adalah pemuda dari Balinuraga etnis Hindu Bali. Sebenarnya isu tersebut adalah tidak benar, yang sebenarnya terjadi justru pemuda etnis Hindu Bali bermaksud menolong dua gadis remaja yang mengalami kecelakaan. Akan tetapi, masyarakat yang non etnis Bali termakan isu provokatif, sehingga eskalasi masa yang besar menyerang dan melakukan pengerusakan terhadap pemukiman etnis Hindu Bali di Balinuraga. Berikutnya, kejadian yang persis sama terjadi di Sumbawa dengan kasus yang hampir sama, yakni lagi-lagi isu pelecehan seksual. Diduga seorang polisi etnis Hindu Bali diisukan melakukan pelecehan seksual sekaligus pembunuhan terhadap seorang wanita. Dimana sesugguhnya kematian itu terjadi akibat kecelakaan yang menimpa oknum polisi tersebut saat mereka berboncengan dengan sepeda motor. Menyimak dari kronologis kejadian itu, memang isu seksualitas adalah isu seksi dihembuskan oleh kelompok tertentu untuk memantik konflik.

Menyimak deretan konflik tersebut, sangat jelas dapat disimak bagaimana hegemoni kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang diwakili oleh etnis Hindu Bali. Konflik tersebut tidak saja murni sebuah konflik yang muncul dari masalah kecil, akan tetapi sebuah perhelatan akbar perang idiologi agama, dimana hegemoni agama mayoritas. Tidak menampik kemungkinan, bahwasannya konflik itu berlatar belakang dari berkembangnya paham radikalis yang menyatakan anti dan perang dengan kelompok kafir, dan perang ini bukan tidak mungkin lagi adalah sebuah wujud dari pemaksaan sebuah ideologi agama mayoritas untuk menggantikan idiologi Pancasila. Dengan kata lain, kelompok tertentu menginginkan Negara Kesatuan Indonesaia untuk menjadi Negara berdasarkan ideology agama tertentu. Tapi negara berdasarkan ideologi satu agama tertentu tidak akan dapat terwujud, jika kebhinekaan di Nusantara masih menjadi sandaran. Tidak ada maksud penulis untuk melakukan propaganda agama, atau berspekulasi semata, akan tetapi didasarkan pada realita konflik yang belakangan ini terjadi.

Dapat dilihat bagaimana wajah pemukiman Balinuraga dan Sumbawa ketika terjadi amuk masa. Agama mayoritas dengan leluasa merusak dan menghancurkan tempat suci Hindu, melakukan pengerusakkan dan penjarahan. Konflik tersebut, tidak hanya konflik biasa, akan tetapi adalah sebuah bentuk penghancuran idiologi agama sekaligus penistaan terhadap agama minoritas, khususnya Hindu. Dengan berseru nama Tuhan maha besar dan meneriaki kafir mereka dengan kejam melakukan penghancuran dengan rasa yang tidak berdosa, dan seolah-olah Tuhan mengamini. Perang idiologi ini adalah bentuk metamorfosa dari perang idiologi sebelumnya yang ketika itu dialami Majapahit. Majapahit adalah satu-satunya kerajaan Hindu terbesar di Nusantara mengalami kehancurannya akibat intrik politik berlatarbelakang ideology keagamaan. Yang sudah tentu etnis Bali dengan Hindunya akan menjadi sasaran selanjutnya untuk penghancuran, terlebih Bali yang mayorits Hindu diketehui sebagai benteng pembertahanan Hindu.

Oleh sebab itu, hendaknya menjadi sebuah renungan bagi masyarakat Hindu, lembaga keumatan, pemerintah terkait dan para pemimpin di negeri ini, untuk mencarikan sebuah solusi logis agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Munculnya berbagai konflik di negeri ini, menandakan bahwa sikap fanatisme terhadap dogma agama tertentu kian ekstrim. Pemahaman yang salah terhadap konsep agama sangat berpengaruh terhadap kehidupan beragama. Sikap yang apologis, menganggap orang lain yang tidak seiman dengannya sebagai orang kafir yang menurut mereka adalah agama setan. Hal seperti ini tentulah merupakan pandangan yang tidak benar, karena itu perlu diluruskan kembali. Orang yang demikian dalam Hindu, dinyatakan sebagai orang yang memiliki ketumpulan budhi. Budhi ditutupi oleh indria, dan daya diskrminatif (Viveka) mereka pada akhirnya lebur menjadi sifat narsisme massal. Olehnya, masalah dengan frekuensi kecil berubah jadi amuk massa yang hebat. Mengakarnya pola hidup yang demikian dalam setiap individu yang menghuni negeri ini, akan membawa pada tatanan masyarakat yang berkecendrungan anarkis dan berdampak pada hancurnya sebuah tatanan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi Hindu memiliki sebuah keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang bukan kejahatan, Satyam Eva Jayate Nanrtam.

Selanjutnya......

TERDESAKNYA KAUM MINORITAS DI NEGERI BHIENEKA TUNGGAL IKA

I Wayan Miasa

Beberapa tahun belakangan ini di berbagai media masa sering disiarkan di media massa tentang pelarangan pendirian tempat sembahyang, kemudian berita kerusuhan serta konflik-konflik lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Kerusuhan, serta tindakan penindasan semacam ini sering menimpa kaum minoritas di lingkungan kaum mayoritas, dengan berbagai latar belakang yang menyulut kejadian tersebut.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi di negara yang religius ini. Padahal yang disiarkan dan diajarkan dalam agama itu adalah cinta kasih, menghormati sesama serta slogan-slogan toleransi lainnya. Cobalah perhatikan siaran di Tv setiap hari, dari pagi sampai malam selalu saja ada pesan keagamaan. Tetapi mengapa masyarakat yang dihasilkan justru masyarakat yang dihasilkan bermental arogan. Adakah yang salah dalam praktek beragama di negeri kita ini, karena kalau kita bandingkan dengan negara-negara yang penduduknya jarang berbicara tentang agama seperti Eropa, mereka hampir tidak pernah melakukan hal yang barbar seperti di negeri kita ini, walaupun mereka tersebut jarang mendapatkan pencerahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga mereka tidak mencantumkan agamanya dalam identitas dirinya. Hal ini sedikit berbeda dengan kita di mana kita hampir setiap hari berdoa, setiap saat sembahyang, namun sayangnya mengapa rasa toleransi kita semakin tipis. Begitu juga slogan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar bertoleransi di negeri kita hampir tanpa makna.

Kita sering salah sangka dalam praktek kehidupan kita entah dalam beragama atau berspiritual, bermasyarakat dan lain sebagainya, di mana kita sering terpaku oleh jumlah penganut suatu agama, bukan kualitas warga kita. Dan sedihnya lagi kita sering bersibuk ria atas nama agama sehingga lupa memikirkan isi perut. Ini kita bisa buktikan dari kejadian-kejadian konflik yang ada. Kalau kita simak secara logis misalnya, mengapa penindasan kaum minoritas oleh kaum mayoritas, entah itu berskala antar pemuda, antar wilayah atau bahkan antar suku bisa terjadi, adakah hal yang tersembunyi di balik itu. Karena selama ini perlakuan yang diterima kaum minoritas sering bersifat diskriminatif dalam masalah-masalah sosial keagamaan di negeri Nusantara ini dibandingkan dengan kaum mayoritas. Apalagi konflik itu dikemas dengan selimut yang bernama SARA maka semakin kentaralah perlakuan diskriminatif tersebut.

Sesungguhnya kita menganut agama itu dimaksudkan untuk mengubah perilaku kita yang barbar menuju manusia yang berperilaku baik, dari perilaku primitive yang suka menjarah, seperti kaum raksasa menjadi manusia yang beradab bukan biadab. Begitu juga dalam kehidupan beragama kita tidak cukup berdoa saja, namun kita perlu juga bekerja keras untuk mengisi kebutuhan perut agar kita bisa berpikir jernih. Kalau kita perhatikan pesan Bhagawan Gita, dimana diuraikan, bahwa hendaknya kita melakukan kewajiban kita agar kita bisa hidup sejahtera. Karena Tuhan tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha. Masalahnya sekarang ada sebagian orang yang terkesan religius, di mana mereka terlalu berserah diri pada Tuhan, segala sesuatu yang dilakukan atas nama tuhan. Membakar kampung pun kemudian atas nama Tuhan, mencuri atas nama Tuhan, ngebom atas nama Tuhan, dan sederetan perilaku tak terpuji lainnya.

Perlu memahami agama dengan baik dan mempraktikkannya dengan tepat, sehingga dalam beragama kita tidak terjebak ilusi. Yang pertama-tama harus diingat, bahwa memenuhi kebutuhan hidup kita adalah hal paling dasar dan prinsip. Kita akan bisa damai melakukan kegiatan keagamaan jika kita sudah makmur dan sentosa. Kalau hal ini kita lupakan, maka tidak aneh bila kerusuhan atas nama agama akan terjadi dimana-mana. Ingatkah kita kejadian di tahun 1998 di Jakarta, dimana di sana terjadi penjarahan terhadap milik warga minoritas saat kerusuhan terjadi. Ini menjadi bukti bahwa kita perlu memikirkan kebutuhan hidup kita dalam beragama. Jika saja kita sudah sejahtera, maka tidak mungkin kita menjarah milik orang lain. Sebagai orang religius pastilah tindakan kita akan menolong sesama dalam kejadian tersebut. Tetapi sayang tindakan yang kita lakukan justru seperti manusia yang hidup di jaman nomaden, bergerombol dan menjarah milik orang lain.

Kejadian-kejadian seperti yang disebutkan di atas akan terus terjadi bila kita tidak dari kecil mengajarkan rasa bertoleransi kepada warga yang beda ras, suku, agama. Bila sejak kecil kita tanamkan rasa fanatisme yang sempit kepada generasi muda kita, maka generasi kaum mayoritas akan semakin bergaya arogan terhadap kaum minoritas dan akan terus terjadi pengkotakan di antara mereka. Apalagi bila tidak memiliki SDM yang handal, maka akan mudah diprovokasi. Lihat saja di media massa, misalnya kejadian yang menimpa warga Bali yang berada di Lampung, Sumbawa. Warga Bali yang hidup disana rata-rata tarap hidupnya lebih mapan dari kaum mayoritas karena sebagai warga perantau atau pendatang tentu mereka berpikir untuk mengubah nasibnya menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka di tanah rantauan bekerja keras untuk mengubah nasibnya agar bisa makmur. Tentulah kemakmuran tersebut adalah hasil kerja keras yang disertai doa.

Saat orang-orang yang terpinggirkan secara ekonomi dan social melihat kehidupan kaum pendatang lebih baik, maka timbullah suatu kecemburuan sosial dan dicarilah alasan untuk menyingkirkan kaum pendatang. Saat ada alasan untuk melakukan kerusuhan maka kesempatan itulah dijadikan dalih membumihanguskan kaum minoritas. Pola semacam ini terjadi di berbagai tempat di negeri kita ini. Untunglah masyarakat Bali tidak melakukan hal ini, karena mereka masih percaya dengan adanya Hukum Karma. Lihat saja di P
Pulau Bali, walau ada warga luar Bali melakukan perbuatan amoral di Bali, tak pernah warga Bali langsung bertindak membabi buta. Bahkan saat ada warga non Hindu membom Bali tahun 2002 yang jelas-jelas mempengaruhi perekonomian Bali serta nasional, warga Bali tidak sertamerta membumihanguskan kaum pendatang. Entahlah kalau hal itu terjadi di luar Bali dan yang melakukan hal tersebut kaum minoritas, mungkin akan digasak habis sampai ke akar-akarnya.

Belajar dari berbagai kejadian yang menimpa kaum minoritas di negeri ini, kita perlu rasanya merubah pola pikir kita dalam kehidupan berwarga negara agar tindakan penindasan terhadap kaum mayoritas terhadap minoritas tidak terjadi lagi. Kita harus merasa malu mengatakan bahwa negeri ini sangat religious, namun perilaku yang kita tunjukkan tidak ada bedanya dengan serigala lapar.

Fanatisme keagamaan yang berlebihan sering menimbulkan perang. Atas alasan untuk mempertahan kehidupan beragama semacam ini, maka akan terus terjadi usaha mencari pengikut sebanyak-banyaknya untuk diajak mempertahankan diri. Akhirnya, tidak mengherankan lagi jika terus terjadi usaha saling menaklukan diantara penganut agama tersebut dan hasilnya yang pasti adalah rasa salih balas dendam. Hal semacam ini akan merembet tidak saja pada tatanan agama, tetapi dalam lingkungan kemasyarakat di seluruh jagat raya.

Kalau kita perhatikan lebih dalam lagi maka sesungguhnya konflik yang terjadi itu sebenarnya karena tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhan material dan rohani para pemeluk suatu agama. Kalau saja kehidupan mereka sudah mapan, mereka akan berpikir dua kali jika diajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Mereka yang beragama dan sebenar-benarnya beragama (bukan mengaku beragama), akan memiliki rasa welas asih, penyayang dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Akan sangat berbeda tingkah lakunya bila kebutuhan hidup mereka itu tidak terpenuhi secara optimal. Betapapun tinggi ilmu filsafat keagamaan yang dikuasainya, namun bila perut mereka kosong, maka yang akan terpikirkan adalah bagaimana caranya mendapatkan sesuatu untuk bisa bertahan hidup. Bila pola semacam ini telah menimpa kehidupan kaum mayoritas di lingkungan kaum minoritas yang hidupnya sudah mapan, maka tidak mengherankan lagi bila berkembang pemikiran untuk menindas kaum minoritas. Lihat saja di daerah yang kesenjangan hidup masyarakatnya sangat kentara maka disana akan mudah terjadi konflik sosial atas nama SARA.

Selanjutnya......

FUNGSI GENDER WAYANG DALAM YADNYA

I Ketut Yasa

Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang sangat terkenal. Sebagai satu-satunya daerah di Nusantara, tempat sisa-sisa Kebudayaan Hindu tampak jelas, seperti balai-balai pemujaan telah banyak dipotret, upacara-upacara keagamaannya telah banyak dianalisa, cara berpikir rakyatnya telah banyak dikupas secara mendalam, kecantikan wanita-wanitanya telah banyak dipuji oleh para ahli etnografi (Clifford Geertz, 1984: 246).

Peryataan di atas menunjukkan, bahwa paling tidak ada dua unsur fokus kebudayaan yang menjadikan Bali sangat terkenal, yaitu kesenian dan upacara keagamaannya. Masyarakat Bali di dalam hidup kesehariannya, di samping mencari nafkah dengan berbagai profesi misalnya buruh tani, buruh bangunan, pedagang, penjahit, pengrajin, pegawai negeri sipil (PNS), polisi, tentara, karayawan swasta, pemandu wisata dan lain sebagainya, juga melakukan kegiatan upacara adat maupun keagamaan. Upacara keagamaan itu disebut Panca Yadnya, yaitu Dewa, Resi, Manusa, Pitra, dan Bhuta Yadnya. Hampir semua upacara tersebut melibatkan kesenian dalam berbagai bentuk cabang seni: rupa, tari, karawitan, pakeliran, dan sastra.

Cabang seni karawitan dalam penyajiannya didukung oleh kurang lebih 30 (tiga puluh) jenis barung (perangkat) gamelan Bali yang masing-masing memiliki fungsi, instrumen, tangga nada, repertoar maupun kharakter gending, warna suara, dan masyarakat pendukung yang berbeda-beda. Dari 30 jenis perangkat tersebut, satu diantaranya adalah gender wayang. Perangkat gamelan ini terdiri dari satu sampai dua pasang instrumen gender wayang, dengan menggunakan sepuluh bilah (juga disebut dengan istilah gender dasa), dan lima nada berlaras slendro. Masing-masing instrumen ditabuh (dimainkan) oleh seorang penabuh dengan mengunakan dua alat pukul yang disebut panggul. Dengan demikian para penabuh (pemain) menabuh (memukul) dan memitet (menutup) sekaligus.

Gender wayang oleh masyarakat (Hindu) di Bali digunakan dalam Yadnya antara lain: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya. Dewa Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya. Upacara-upacara yang tergolong dalam Dewa Yadnya di antaranya piodalan, memungkah (ngenteg linggih) di Pura-pura dan atau di Sanggah (Mrajan). Upacara ini biasanya dilakukan bertepatan dengan bulan purnama, dan tidak jarang pula dilaksanakan bertepatan hari-hari raya umat Hindu seperti Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Pamacekan, Kuningan dan lain sebagainya.

Gender wayang dalam Dewa Yadnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah yang diselenggarakan bertepatan dengan pendeta menghaturkan puja wali pada saat upacara berlangsung. Pertunjukan wayang lemah wajib dilakukan pada upacara tingkatan tertentu, misalnya memungkah atau ngenteg linggih. Hal ini diwajibkan karena pertunjukan wayang lemah bersifat seni wali, yaitu kesenian berfungsi sebagai sarana dalam upacara. Tanpa ada seni wali ini, maka upacara dianggap kurang lengkap, kurang sempurna. Oleh karena itu pertunjukan wayang lemah selalu hadir dalam piodalan tingkat tertentu.

Selanjutnya, Pitra Yadnya dikonsepsikan sebagai upacara yang ditujukan kepada roh leluhur yang belum disucikan. Dalam proses penyucian inilah diadakan upacara ngaben dan nyekah. Upacara ngaben yang dikenal dengan sebutan cremation, merupakan upacara pensucian roh leluhur pada tingkat awal (masih bersifat kasar), karena akan dilanjutkan dengan tingkatan yang lebih halus yang dikenal dengan nyekah atau memukur.

Kegunaan karawitan gender wayang dalam Pitra Yadnya biasanya pada upacara ngaben pada tingkat utama (besar-besaran). Seperti dimaklumi bahwa setiap pelaksanaan upacara di Bali selalu menggunakan tingkatan. Tingkatan tersebut secara garis besarnya dapat dibagi tiga, yaitu, (1) utama (besar/mewah), (2) madya (sedang) dan (3) nista (sederhana). Dikatakan secara garis besar, karena tingkatan-tingkatan tersebut di atas dapat dibagi lagi menjadi misalnya yang tingkat utama dapat dibagi lagi menjadi utaming utama, utaming madya dan utaming nista. Begitu pula tingkatan madya dapat dibagi lagi menjadi madyaning utama, madyaning madya dan madyaning nista dan seterusnya.

Pada upacara ngaben besar-besaran, biasanya menggunakan wadah/ bade sebagai tempat jenazah yang di bawahnya (pangkal wadah yang berhubungan dengan rangkaian bambu (Bali: sanan) sebagai penyangga atau sarana pengusung), diapit sepasang gender wayang lengkap dengan penabuhnya. Karawitan gender wayang ini disajikan sepanjang rute (prosesi) dari rumah duka menuju ke tempat pembakaran. Menyajikan gender wayang dalam acara ini menurut I Nyoman Sukerna (1989: 12) disebut dengan Masalonding.

Kemudian Manusa Yadnya merupakan korban suci untuk memelihara dan membersihkan lahir-bathin manusia, mulai dari terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Upacara yang tergolong dalam manusa yadnya adalah pagedong-gedongan, merupakan upacara bayi umur lima bulan Bali (enam bulan kalender) dalam kandungan. Selanjutnya upacara bayi lahir (kelahiran), kepus (lepas) tali puser, nglepas aon (awon), upacara bayi umur 12 hari; kambuhan yaitu upacara bayi berumur 42 hari (bulan pitung dina); upacara bayi umur tiga bulan (nyambutin); upacara bayi satu oton (enam bulan Bali); upacara tumbuh gigi; upacara meketus (tanggal gigi pertama); upacara menginjak dewasa (munggah deha/teruna; upacara potong gigi (mesangih); upacara mewinten, dan yang terakhir upacara perkawitan (Team Penyusun, 2007: 200-237).

Dari sejumlah upacara dalam Manusa Yadnya yang disebutkan di depan, gender wayang selalu digunakan dalam upacara mesangih. Mesangih berasal dari kata “sangih” yang artinya asah. Mendapat awalan “me” menjadi mesangih yang artinya mengasah, dalam hal ini meratakan gigi dengan kikir kecil yang sangat halus. I Wayan Griya dkk. (1984) menyatakan, bahwa selain mesangih ada juga sebutan mepandes (di kalangan bangsawan) dan mepapar bagi golongan Bali Age, yang kesemuanya berarti potong gigi.

Mengapa masyarakat (Hindu) Bali melaksanakan potong gigi? Dari konsep dualistik dalam budaya Bali merupakan pandangan adanya dua kekuatan yang bertentangan namun tetap dalam satu kesatuan. Dalam potong gigi konsepsi ini ditekankan pada sifat bersih (suci) dan leteh (kotor). Bagi mereka yang belum potong gigi dianggap masih kotor, sehingga setelah meninggal tidak bisa bertemu dengan Ibu Bapanya (Tuhan Yang Maha Esa). Hal ini diperkuat dengan adanya Kala Tattwa (I Gusti Agung Gd Putra, n d: 6-7).

Konsepsi dualistik juga mengandung pengertian sifat kemanusiaan dan sifat kebinatangan; kejahatan dan kebaikan. Maka tujuan dari potong gigi adalah untuk memersihkan yang kotor, mengurangi perilaku yang menjurus kepada kejahatan, yang pada ajaran agama Hindu tercakup dalam Sadripu (I Gusti Agung Gd Putra, n d: 18). Dengan mengasah (meratakan) enam buah gigi (dua taring dan empat gigi seri) bagian atas, diharapkan anak yang diupacarai kelak mampu mengendalikan Sadripu, (enam musuh utama dari kebaikan) yaitu, kama, kroda, lobha, moha, mada, dan matsarya.

Di depan disebutkan, bahwa gamelan yang digunakan dalam mesangih selalu gender wayang, bukan gamelan lain misalnya gong kebyar. Hal ini disebabkan gender wayang dianggap semi angklung. Dalam konteks ini angklung lekat dengan fungsinya yaitu untuk acara kematian, karena berpotensi sebagai pendukung suasana sedih. Gender wayang dalam potong gigi sesungguhnya juga berfungsi pendukung suasana sedih, karena upacara ini dimaknai sebagai “mematikan” Sadripu agar dapat dikendalikan. Maksudnya anak yang telah diupacarai kelak dalam kehidupan sehari-harinya mampu mengelola Sadripu secara proporsional dan profesional.

Dari pemaparan di depan dapat dikatakan, bahwa gender wayang memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat (Hindu) Bali dalam kaitannya dengan upacara adat maupun keagamaan. Dengan demikian kehidupan gender wayang akan tetap lestari. Mungkin hanya perubahan struktur masyarakat dan perubahan penghayatan ritus agama yang akan mampu mengubah posisi dari gender wayang. Semoga. (Penulis dosen ISI Surakarta).

Selanjutnya......

BERATNYA MENGUBAH KEBIASAAN BURUK JADI BAIK

I Ketut Wiana

Tujuan belajar Weda seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 177 adalah untuk membangun Ayuning Sila dan Ayuning Acara. Artinya memperbaiki kebiasaan buruk dalam prilaku individu dan kebiasan buruk dalam bentuk adat istiadat bersama. Memang ajaran agama secara teoritis tidak ada yang sulit mengertikan dan memahaminya, tetapi yang berat bahkan ada yang maha berat mengamalkan dalam kehidupan empiris. Apa lagi menyangkut kebiasaan buruk dan salah yang sudah menjadi adat-Istiadat bersama, maka sungguh amat berat mengubahnya menjadi kebiasaan baik dan benar.

Kebiasaan buruk itu ada bermacam-macam bentuknya. Ada yang tidak bisa lepas dengan rokok, ada dengan minumam keras, dengan judian. Ada yang suka mengumbar nafsu seksnya, ada yang suka menunda-nunda pekerjaan yang sudah jelas harus dikerjakan. Ada juga kebiasaan suka menunda-nunda waktu dan ada yang suka berbohong. Di lain pihak ada kebiasan hidup boros mementingkan penampilan luar dan seterusnya.

Ada suatu keluarga muda suami istri bekerja dengan penghasilan yang cukup gede, rumah warisan orang tuanya juga cukup besar, bahkan dapat dikatakan cukup mewah. Kedua suami istri itu sesungguhnya sudah sangat berkecukupan dari sudut materi. Sayang sang suami terangsang nafsu distinksi, yaitu suatu dorongan nafsu ingin berbeda dengan yang lainya dan dalam perbedaan itu dia supaya nampaknya lebih. Keluarga tersebut bertetangga dengan seorang pengusaha kaya. Dia tidak rela kalau tetangga yang pengusaha itu lebih dari dirinya. Dia pun sering ganti-ganti mobil. Apa lagi dilihat punya mobil baru dan tergolong mewah.Dia lakukan berbagai upaya supaya dapat mengganti mobilnya, agar lebih mewah lagi dengan mobil tetangganya. Dalam berbagai hal dia berusaha agar selalu lebih dari tetangganya. Pada hal tetangganya tenang-tenang saja, tidak pernah merasa hidup bersaing. Meskipun penghasilannya cukup besar, tetapi tidak mampu menutup nafsu distinksinya itu, akhirnya ia harus berutang ke berbagai pihak termasuk ke bank. Hutangnya di bank pun tidak bisa dia bayar. Cerita ini berakhir sangat tragis, karena rumahnya yang cukup mewah lengkap dengan AC, kolam renang dan perlengkapan mewah lainya akhirnya disita oleh bank dengan harga yang betul-betul miring. Dia pun selanjutnya ngontrak rumah sangat sederhana.

Semoga kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi dirinya, tidak mengikuti gejolak nafsu distinksinya dengan memaksa diri selalu tampil lebih dari yang lain. Seandainya dia tidak mementingkan gengsi gede-gedean, tapi cukup mementingkan fungsi, maka mungkin dia sudah cukup banyak punya tabungan demi masa depan anak-anaknya.

Ada juga cerita tentang orang yang terlibat nafsu berjudi ingin kaya dengan mudah. Sesungguhnya dia itu dapat hidup tenang berdua dan seorang anak yang masih balita. Suami istri bekerja dengan gaji meskipun tidak besar tetapi untuk membiayai tiga orang itu sudah bisa hidup wajar dan bisa nabung.Namun karena terlibat nafsu berjudi sulit dibendung dan setiap berjudi selalu kalah, akhirnya dia menghabiskan uang perusahan di tempat bekerja.Di perusahan tempatnya bekerja dia menjabat sebagai salah satu manager. Karena menghabiskan uang perusahan cukup banyak, dia mendapat peringatan cukup keras dan wajib mengembalikan uang perusahan.Terpaksa orang tuanya menjual tanah warisan di desa untuk mengembalikan uang perusahan. Dia pun kembali diterima bekerja.

Meskipun demikian, nafsu judinya tidak pernah surut. Kini dia kembali berjudi lebih hebat lagi. Uang perusahan kembali diambilnya secara tidak sah sampai empat kali lipat dengan sebelumnya. Dia kembali tidak berdaya mengembalikan uang perusahan yang diambilnya itu. Warisannya pun sudah tidak ada lagi, karena di desa hanya tinggal tempat rumah orang tuanya. Dia pun dipecat dari perusahan tersebut, pada hal dia sudah menjabat manager di perusahaan tersebut, suatu jabatan yang tidak mudah dicapai. Sekarang rejeki hilang bersama jabatan manager itu. Karena itu hati-hatilah dengan gejolak hawa nafsu. Lakukan kegiatan-kegiatan rokhani untuk menguatkan budhi dan kecerdasan intelektual dengan mencari pergaulan yang Satsangga, yaitu pergaulan dengan orang-orang yang punya gaya hidup yang sesuai dengan ajaran agama, yaitu Satya yang artinya kebenaran dan kejujuran.

Belajar dan berlatih mengendalikan diri itu tidak hanya sekedar sembahyang, tetapi harus diteruskan dengan perluasan wawasan dan latihan untuk mengekang hawa nafsu.Banyak hal sesungguhnya yang dapat dilakukan untuk melatih diri merubah kebiasaan yang tidak baik itu secara bertahap menjadi semakin baik. Misalnya menghilangkan kebiasaan merokok, yaitu dengan pengalihan terlebih dahulu dengan camilan kesukaan, tetapi tidak punya resiko berbahaya. Lama kelamaan barulah total berhenti merokok dan juga tidak kecanduan camilan kesukaan itu.

Demikian juga kebiasaan berjudi dapat dialihkan pada kebiasaan lain yang positif serta mengembangkan pergaulan dengan mereka yang tidak gemar berjudi. Di samping itu amati mereka yang jatuh miskin, karena berjudi. Dari pengamatan itu kita akan semakin takut dengan judian. Di samping itu kembangkan wawasan. Seperti Mahatma Gandi menyatakan, bahwa ingin kaya tanpa kerja menimbulkan dosa sosial. Bisnis tanpa moral menimbulkan dosa sosial. Politik tanpa prinsip menimbulkan dosa sosial dan seterusnya.

Tuntunan untuk meningkatkan dan menguatkan daya spiritual dapat ditempu dengan rajin membaca buku-buku tentang spiritual dan tuntunan hidup pada umumnya. Di samping itu hal yang sangat penting adalah soal makanan. Pelan-pelan pilihlah makanan yang Satvika untuk membangun sifat-sifat Satwam dan meredam sifat-sifat yang Rajasik dan Tamasik.Merubah ini juga membutuhkan waktu dan tekad.Yang tidak kalah penting adalah doa dan merapalkan Mantram-Mantram Weda yang dianggap paling tepat dan cocok dengan ritme batin. Misalnya dengan pengulangan Mantra Gayatri atau Panca Aksara Mantra. Hal ini sangat penting kita latih terus menerus untuk penguatan daya spiritual mengendalikan indria.Kesehatan juga amat penting dijaga. Karena gangguan kesehatan dapat menimbulkan gejolak yang bukan-bukan dari dalam diri kita. Dalam belajar dan melatih diri untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi semakin baik memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin.Yang utama dibutuhkan adanya keyakinan diri dan kesadaran akan kebiasaan buruk yang dimiliki. Sesungguhnya banyak cara belajar dan berlatih merubah kebiasan buruk itu agar secara bertahap menjadi baik

Selanjutnya......

Dapatkah Pemerintah Bertindak sebagai Yajamana Karya

IGN. Nitya Santhiarsa

Yajna merupakan ibadah utama dalam Hindu dan sampai kini menjadi ciri khas tradisi Hindu. Yajna adalah korban suci dengan ketulusan hati ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yajna berasal dari kata yaj yang artinya korban suci. Yajna adalah korban suci kepada Tuhan berdasarkan ketulusan hati, dimana kurban suci ini dihaturkan melalui prosesi upacara yang telah ditetapkan pelaksana, tempat, prosedur,waktu, sarana dan puja mantramnya. Pelaksanaan yajna menjadi ibadah penting tentu ada penyebabnya. Ini tidak lain karena Tuhan sendiri yang menyatakan, bahwa hidup dan kehidupan ini ada karena proses yajna serta untuk keberlangsungannya diperlukan tindakan yajna.

Sesungguhnya sejak dulu dikatakan “Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna, berkata: dengan cara ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri). Adapun para dewa adalah karena ini, mereka menjadikan engkau demikian, semoga dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.” Bhagawadgita III.10-11.

Dunia dan manusia diciptakan melalui yajna, dengan demikian untuk tetap hidup manusia wajib melakukan yajna sebagai tanda bakti kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Yajna menjadikan manusia sadar apa makna kehidupan dan bisa menjaga dirinya dari ketamakan dan kealpaan terlena kenikmatan duniawi. Yajna dilaksanakan dalam bentuk upacara dan sarana upakara, tetapi tetap harus ada pemahaman tatwa dan pengamalan susila dalam yajna. Ketiga pilar, yaitu tatwa, susila dan upacara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Tujuan uamt Hindu melaksanakan yajna selain untuk membayar hutang kehidupan (Tri Rna; Dewa, Pitra dan Manusa Rna) adalah juga untuk meningkatkan kesraddhaan sebagai pengejawantahan ajaran agama melalui bentuk simbol – simbol agar mudah dihayati dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Semuanya dalam upaya meningkatkan kemantapan diri dalam melaksanakan pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri serta melaksanakan bakti melalui pelaksanaan upacara yajna yang pada prinsipnya harus dilandasi ketulusan hati dan kesucian secara lahir bathin dengan sarana apapun yang disesuaikan dengan kondisi serta kemampuannya.
“Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberikan yajna sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa”. (Bhagawadgita III.12-13).

Bagaimana kalau tidak mau melaksanakan yajna? Ya, ini tergolong perbuatan melakukan dosa, hanya mau hasil tapi tidak mau berterimakasih. Di seluruh dunia orang macam ini tidak disukai. Yajna adalah simbol rasa syukur dan terimakasih atas segala anugrah yang diterima dari Tuhan yang Maha Kasih. Yajna adalah suatu keharusan, sekaligus mendidik manusia menjadi makhluk yang pandai bersyukur dan berterimakasih.

Yajna tergolong ibadah kolektif, maksudnya ibadah yang dilakukan bersama-sama atau dilakukan oleh banyak orang, jadi cukup sulit yajna dengan upacaranya bisa dilakukan sendirian. Agar pelaksanaan yajna berjalan dengan baik, maka perlu pembagian tugas di kalangan umat, hal ini dikenal dengan Trimanggalaning Yajna. Dalam setiap pelaksanaan upakara dan upacara yajna dilaksanakan sesuai dengan prinsip Trimanggalaning Yajna, yakni
(1) Manggala upacara yaitu: sang pemimpin upacara. Pemimpin upacara dapat dilaksanakan oleh pandita, pinanditha atau swami atau dukun dan lainnya sesuai daerah masing-masing.(2) Serati Banten adalah petugas yang menyiapkan sarana upacara dan upakara (banten) atau sesaji sesuai dengan tradisi budaya setempat dan sesuai dengan swadharma masing-masing dan (3) Sang Yajamana, adalah umat Hindu pemilik upacara dan upakara yajna.

Fenomena yang berkembang sekarang di kalangan umat Hindu adalah upacara yajna secara massal dimana sang yajamana terdiri dari banyak orang. Hal seperti ini tidak masalah karena setiap orang dari kelompok sang yajamana masing-masing secara proporsional berkorban suci berupa uang, materi, tenaga, waktu dan sebagainya. Dalam hal upacara missal ini ada dua macam pelaksanaannya, yaitu yang dibagi secara sama rata, sementara cara lain yang pernah berlaku adalah adanya satu dua pihak yang menjadi sang yajamana utama, dimana pihak ini mengeluarkan korban yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Namun belakangan ini muncul fenomena unik, dimana peran pemerintah daerah masuk ke dalam ranah yajna yang secara tradisional (dan dalam keadaan normal) wajib dilakukan oleh keluarga atau kelompok warga. Misalnya ngaben dan mamukur massal di suatu daerah, yang mana dalam keadaan normal bagaimanapun juga yang bersangkutan harus berkorban semampunya, jadi dia harus mengorbankan sebagian miliknya untuk dipersembahkan kepada Tuhan, tidak boleh hanya mengandalkan milik orang lain atau milik rakyat banyak (dana pemerintah). Coba simak sloka suci Sarasamuccaya-181.

Jadi sebenarnya dalam keadaan normal tidak boleh sang yajamana menggunakan dana pemerintah, kecuali, misalnya dalam keadaan darurat, terjadi bencana besar sehingga perlu ngaben dan memukur missal. Ini disebabkan, selain umat tidak mampu lagi, memang kewajiban pemerintah untuk menjadi penyandang dana atau berperan sebagai sang yajamana dalam situasi seperti itu. Lagi pula, sungguh aneh, bila upacara yajna massal biayanya meningkat tinggi sehingga sang yajamana-sang yajamana tidak sanggup urunan. Yang jelas hakeket dari upacara massal adalah agar biaya dan pelaksanaan upacara bertambah murah dan ringan dirasakan oleh masing-masing sang yajamana, sehingga jelas tidak ada alasan minta ataupun menerima dana dari pemerintah dalam keadaan normal. Pada sisi lain, menerima subsidi dari uang rakyat akan berdampak pada turunnya nilai keikhlasan beryajna karena ada motif ekonomi mengotori niat ketulusan hati untuk berkorban.

Selanjutnya, pemerintah daerah sebaiknya tidak melakukan intervensi terhadap pengamalan ajaran agama Hindu, baik dalam aspek tattwa, susila, upacara, tetapi sebaliknya pemerintah daerah justeru wajib memberikan pengayoman agar umat dapat mengamalkan ajaran agamanya tanpa tekanan dan campur tangan. Ini penting ditekankan karena sampai saat ini intervensi seperti itu masih terjadi, di mana misalnya pemerintah mengatur keputusan untuk memilih sulinggih (manggala upacara) dan sarathi untuk muput upacara dan upakara yajna, tapi biarkan umat Hindu setempat memutuskan lewat paruman.
Satu hal yang patut diperhatikan oleh semua pihak, dalam melaksanakan upacara yajna berusahalah agar upacara yajna itu tergolong upacara yajna yang satwika. Satwika yajna, begitu orang menyebutkannya. Hindari upacara yajna yang bersifat rajasika yajna maupun tamasika yajna. Supaya upacara yajna itu satwika, maka berusahalah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Sradha dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, pengorbanan yang tulus ikhlas, damai, tentram, puas dan bahagia selama menjalankan upacara yajna, serta mengerti akan makna dan tujuan upacara yang diselenggarakan yang diimplentasikan dalam pemahaman tatwa dan pengamalan susila. Ketiga pelaksana upacara yajna mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama, agar upacara yajna yang mereka lakukan dapat tergolong upacara yajna yang satwika. Om, Namo Siva Buddhaya ya Namah swaha.

(I GN Nitya Santhiarsa, Ketua Forum Dharma, staf dosen Universitas Udayana).

Selanjutnya......

Menyikapi Kematian dengan Kesadaran Spiritual

I Made Tisnu Wijaya

Selama manusia masih bernafas di dunia ini, maka kematian itu akan selalu membututinya. Karena kematian merupakan salah satu hukum yang tidak bisa dihindari, apa lagi untuk “dibeli” dengan angka-angka yang bernilai. Seperti yang dinyatakan dalam Sarasamuscaya XXVII, 12 menyatakan “Demikian pula halnya anak, cucu, buyut, keluarga, kawan, dan sesama hidup, bertemu Anda dengan semua mereka itu, dalam sesaat pula, bisa berakhir dengan perpisahan nantinya. Oleh karena itu janganlah sampai terlalu keras disaputi oleh cinta kasih.”

Dari penjabaran sloka di atas menjelaskan kalau ada pertemuan, maka akan ada perpisahan, begitu pula dengan kelahiran, maka akan ada kematian. Dalam Bhagavadgita juga dijelaskan kalau “Apa yang tidak ada, tak akan pernah ada (dan) apa yang ada tak akan berhenti ada, kesimpulannya keduannya telah dapat dimengerti oleh para pengamat kebenaran.”

Namun di jaman sekarang, banyak orang yang bersedih karena kematian. Kenapa? Karena banyak dari mereka merasa sangat kehilangan dengan orang-orang yang disayanginya. Dari rasa sayang itu muncullah yang namanya kenangan, yang membuat orang tersebut selalu ingat terhadap orang yang sudah tiada tersebut, sehingga mereka tidak mau menerima kenyataan kalau orang yang mereka sayangi itu sudah meninggal. Dalam kitab Manawa Dharmasastra dinyatakan, kalau pada jaman Kali Yuga, kematian akan ditakuti oleh semua orang dan memang benar seperti itu adanya. Seperti yang kita lihat di masyarakat banyak orang yang bersedih karena kehilangan seseorang yang ia sayangi. Tidak hanya orang, bahkan benda material sekalipun akan ditangisi bila hilang.

Apakah itu salah jika kita bersedih karena kehilangan? Tentu tidak, tapi yang lebih tepatnya adalah “keliru”. Kenapa? karena seperti yang kita ketahui bersama, semua yang ada di dunia ini tidaklah abadi adanya. Kitab Bhagavadgita II-14 menyatakan “Sesungguhnya, hubungannya dengan benda-benda jasmaniah, wahai Arjuna, menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka; yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar, wahai Arjuna”. Badan kita ini sebenarnya hanyalah sebuah alat yang dipakai sebagai sarana untuk mencari kebahagiaan yang sejati itu. Jika sudah waktunya untuk mengganti badan yang sudah usang, maka akan diganti dengan yang baru, sama seperti orang yang memakai baju baru mengganti baju lamanya yang sudah usang dan kotor dengan baju yang lebih bersih dan wangi. Dalam kitab Sarasamuscaya juga menjelaskan tentang hakikat badan kasar atau stula sarira ini. “Tidak ada yang namanya pertemuan langgeng. Suatu saat bertemu, suatu saat tidak bertemu. Betapa tidak langgengnya itu. Pertemuan Anda dengan badan wadag anda inipun tidak langgeng pada hakikatnya. Tak usah pula menyebutkan yang lain-lainnya sebagai contoh, sedangkan dengan tangan, kaki dan lain-lainnya anggota badan kita sendiri pun pada akhirnya akan berpisah pula.”

Maka dari itu, tidak sepatutnya kita bersedih, karena semua itu hanyalah sebuah siklus kehidupan yang wajib dilewati oleh setip manusia. Yang paling penting, bagaimana cara kita sebagai manusia agar tidak lagi memakai baju baru berulang-ulang. Namun cukup dengan badan yang halus itu, kita bisa mencapai yang namanya Amor Ring Acintya.

Selain kematian yang menjadi problema di kalangan masyarakat sekarang, ketidakikhlasan dari sanak keluarga untuk sanggup merelakan orang yang sudah meninggal sangatlah sulit. Banyak dari mereka yang sampai saat ini masih saja teringat dengan orang yang meninggal tersebut, padahal sudah di upacarai dua tahun yang lalu. Sarasamuscaya XXVII, 17 menyatakan, “Adalah seseorang yang selalu ingat akan orang yang telah mati, juga benda yang sudah hilang itu. Besarlah kesedihan yang disebabkan olehnya. Dengan besarnya kesedihan itu ia menimbulkan penderitaan yang dibuat olehnya dengan mengingat-ingat kembali segala yang telah hilang itu. Orang yang demikian itu, dia membuat bencana sendiri namanya.” Dalam uraian sloka di atas dapat kita cermati, kalau orang yang masih teringat dengan mereka yang sudah tiada, maka orang tersebut sama saja dengan membuat lobang penderitaannya sendiri.

Ada pun cara untuk melepaskan kesedihan dan keterikatan itu seperti yang dijelaskan dalam kitab yang sama, tepatnya pada sloka 18 menyatakan, “Adapun obatnya kesedihan ialah sesuatu yang telah hilang itu, yang telah pergi ataupun meninggal, yang tidak bisa diharapkan lagi, semuanya itu tidak usah diingat-ingat lagi. Sebab kuatlah melekatnya di dalam hati, jika dijadikan pemikiran selalu. Semakin melekatlah ia semakin bertambah-tambahlah akibat jadinya. Itulah yang menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu janganlah kejadian-kejadian terlalu dijadikan pikiran.” Dari sloka di atas kita disarankan agar kita tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan, karena semua itu hanya akan menimbulkan penderitaan. Dalam Bhagavadgita II- 11 juga disebutkan, “Engkau berduka kepada mereka yang tak patut engkau sedihkan, namun engkau berbicara tentang kata-kata bijaksana. Orang bijaksana tak akan bersedih, baik bagi mereka yang hidup maupun yang mati.” Dan pada sloka 15 juga menjelaskan kalau “Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya wahai Arjuna, yang merasakan sama antara susah dan senang, orang seperti inilah yang patut hidup kekal abadi.” Dari dua uraian sloka di atas menjelaskan, bahwa kalau setiap orang di dunia ini selalu mengatakan hal-hal yang baik, namun pada kenyataannya mereka tetap saja tidak bisa lepas dari keterikatan duniawi. Inilah perlunya masyarakat memahami ajaran-ajaran agama secara lebih mendalam dan terperinci, agar tidak terjadi penyimpangan-penimpangan dan yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat agar menjadi lebih bijaksana.

Selanjutnya......

Pura Sapto Argo Sido Langgeng Siap Menjadi Tujuan Metirtayatra

Laporan Dewa Ketut Alit Budiyasa

Pada tanggal 30 Nopember 2012 silam, sejumlah umat Hindu yang dikoordinir oleh Ida Pandita Mpu Agni Satyawadi Dwi Natha Daksa dan Jero Mangku Pemayun Braban Tohpati, datang ke Dusun Sumber Gondo Desa Tulungrejo Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Beberapa kalangan yang ikut hadir, di antaranya, Jero Mangku Wayan Suwena, Ida Pandita Agni Yoga Saraswati, Ida Pandita Agni Dukuh Sunyatmika Daksa, Made Swasti Puja SE dari PHDI Bali, dan Putu Karang. Kehadiran sejumlah umat Hindu asal Bali ke desa itu adalah dalam rangka melaksanakan kegiatan bhakti sosial. Di desa tersebut mereka sempat menggelar upacara Agni Hotra, sedangkan pelayanan sosial dilakukan dalam bentuk pengobatan gratis, pembagian paket sembako, pembagian pakaian bekas layak pakai, serta menyerahkan bantuan ternak sapi dan Kambing. Kemudian untuk memantapkan sradha umat Hindu setempat, tak ketinggalan dilakukan pembinaan berupa dharmatula.

Kunjungan umat Hindu asal Bali ke Tulungrejo berawal dari adanya kabar rencana pemugaran Pura Sapto Argo Sido Langgeng di Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Saat itu kondisi pura sudah sangat memprihatinkan. Di antaranya, balai wantilan rusak nyaris jebol, pagar penyengker dari bambu sangat reot dan darurat demikian juga pelinggih Padmasana yang sederhana disana sini sudah lapuk dimakan usia. Singkat kata, tempat tersebut kurang nyaman disebut sebagai tempat suci, sedangkan di sisi lain kondisi ekonomi masyarakat pengempon pura yang berjumlah 25 Kepala keluarga sangat lemah, maklum karena memang termasuk kata gori desa tertinggal.

Melihat keadan seperti itu, maka umat di desa tersebut membentuk Panitia Pembangunan/ Renovasi Pura yang didukung oleh PHDI Kota Blitar dan Juga PHDI Provinsi Jawa Timur. Untuk merialisasikan cita-cita memangun tempat suci yang layak, maka Panitia menyebarkan proposal kepada para dermawan. Proposal itu pun sampai di Bali mengingat umat Hindu di Bali berkat koordinasi Panitia Pembangunan Pura di Jawa dengan beberapa orang umat Hindu di Bali yang mempunyai komitmen untuk ikut serta mensukseskan pembangunan pura. Kemudian terbentuklah panitia Kecil untuk menyukseskan pembangunan pura tersebut.

Kelompok di Bali ini dikordinir oleh Ida Pandita Agni Setyawadi dan Mangku Braban yang dengan giat membantu mengali dana. “Kita tidak hanya membantu membangun fisik pura saja, tapi kita bertekad untuk membantu memperdayakan ekonomi umat,” kata Ida Pandita Mpu Agni Satyawadi Dwi Natha Daksa menegaskan setelah meninjau dari dekat kondisi umat di desa tersebut. Memang ketika rombongan dari Bali berkunjung keliling ke rumah-rumah umat Hindu, kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai rumah penduduk kebanyakan masih berupa tanah, sedangkan dinding dari kayu dan bambu. Mata pencarian mereka kebanyakan petani, peternak dan buruh tani. Walaupun mereka terhimpit oleh kondisi ekonomi demikian dan gempuran konversi dengan iming – iming bantuan ekonomi, toh ke 25 kk ini masih tetap teguh memeluk agama Hindu, warisan leluhur mereka dari sejak jaman kerajaan kerajaan Hindu dahulu.

Respon positif dari para dermawan umat Hindu dari berbagai pelosok di Bali maupun luar Bali untuk berdana punia membangun pura dan membantu ekonomi umat Hindu di sana sangat menggembirakan. Dari dana yang terkumpul telah diserahkan bantuan dana untuk pemberdayaan ekonomi sejumlah Rp 43.000.000 yang digunakan untuk pembelian ternak sapi, kambing dan untuk modal usaha lainnya. Sedangkan untuk pura, baru diserahkan dana sebesar Rp 60 442 000. Masih banyak dana yang diperlukan, karena di samping kita sudah membeli tanah sekitar pura untuk perluasan areal pura, juga kita perlu dana untuk biaya pembuatan pelinggih yang nantinya akan dibuat berbentuk candi seperti Candi Prambanan. Begitu juga untuk biaya pembuatan wantilan berbentuk joglo dan biaya pembuatan penyengker keliling pura. Untuk itu tim yang dibentuk terus berusaha mengetuk hati para dermawan untuk mepunia. “Membantu pembangunan pura adalah peluang yang sangat bagus bagi kita untuk berkarma baik atau mempunyai bobot kredit point yang sangat besar untuk tabungan karma baik. Untuk itu perlu disebarluaskan agar semua dapat kesempatan untuk ngayah (seva) dan berdana punia, karena di jaman Kali sekarang ini, jalan yang paling utama untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah pelayanan dan dana punia,“ tegas Ida pandita Mpu Agni Satyawadi Dwi Natha Daksa memberi semangat.

Pura dengan Kearifan Lokal

Ketua Panitia, Mujiran mengatakan maksud dan tujuan pebangunan pura ini adalah sebagai sarana untuk mempertebal sradha bakti, sarana pendidikan generasi muda, dan tempat kegiatan kegiatan spritual, sehingga pada akhirnya tujuan umat Hindhu di dusun ini untuk mencapai Moksa Artam Jagadhita ya Caita Dharma akan lebih dekat. Adapun nama pura Ini adalah Pura Sapto Argo Sido Langgeng.

Mangku Beraban dalam suatu kesempatan mengatakan, bahwa pembangunan pura di desa Tulungrejo ini semuanya memakai ornamen Jawa, maksudnya untuk mengembangkan kearifan lokal/local Genius. Misalnya, tempat sthana Hyang Widhi di Bali dalam bentuk Padmasana, sedangkan di Tulungrejo berbentuk candi mirip Candi Prambanan yang tingginya kurang lebih 9,70 meter. Di dalam candi ada ruangan seukuran dua kali dua meter sebagai tempat menstanakan linggam dan yoni. Luas areal pura yang dulunya hanya 6 are sekarang diperluas menjadi 21 are dibagi menjadi tiga mandala, yaitu utama mandala, madya mandala (Jaba Tengah), Mandala sisi (jaba sisi). Jaba tengah akan dibangun balai joglo mengambil tekstur joglo Kraton Jogjakarta. Kemudian di jaba sisi dibangun wantilan. Dari jaba tengah menuju ke utama mandala dihubungkan oleh candi kurung yang berbentuk Candi Bajang Ratu di Trowulan. Balai Joglo yang terletak di madya mandala akan difungsikan sebagai tempat kegiatan belajar Weda untuk umat Hindu Blitar, mengingat masih minim pengetahuan tentang ajaran Hindu. Dan begitu pula di luar arel pura sebelah barat dekat jaba sisi dibangun kamar mandi dan dapur.

Lokasi pura yang berada di atas bukit membuat pemandangan sangat indah. Selalu terlihat keajaiban-keajaiban yang ditangkap kamera setiap pelaksanaan upacara di pura ini, seperti sinar yang memancar di kepala patung Ganesha setelah selesai upacara abhiseka terhadap patung tersebut. Pura ini nantinya akan menjadi tempat tujuan metirtha yatra para umat Hindu seluruh Indonesia, karena di samping pemandangan yang indah di atas perbukitan, bentuk bangunan puranya mengingatkan pada nuansa Hindu Jawa jaman dahulu.

Jero Mangku Wayan Suwena sebagai peserta rombongan dari Bali atau anggota tim pembangunan pura yang juuga mengukur (Nyikut) areal pura berdasarkan Astakosala Kosali, mengatakan sangat terkesan dengan umat Hindu di desa ini. Mereka sangat gembira ketika sauadara seumat datang dari Bali yang ditunjukkan dengan antusiasme mereka dalam mengikuti dharmawacana dan dharmatula. Mereka beragama tidak ruwet dan Mahal, alias praktis dan ekonomis. “Biarkan mereka beragama seperti tradisi yang ada disini, jangan kita mengimport tradisi beragama seperti di Bali, tapi cukup kita menyampaikan kebenaran Weda dan menjadi umat Hindu yang cerdas,” pesannya .

Menurut umat Hindu setempat, Bagus Cipto Mulyo, bahwa pesan leluhurnya terdahulu dari generasi ke generasi, agar pura ini yang dulunya bernama Giri Sapto Renggo Sido Langgeng dijaga keajegannya dan jangan pernah ditinggalkan atau pindah ke agama lain, karena Suatu saat nanti pura ini akan menjadi pengayom dan akan menjadi pusat kebangkitan dan kejayaan umat Hindu di tanah Jawa secara umum, khususnya wilayah Blitar. Oleh karena itu maka pura ini dibangun dengan ornamen ciri khas Jawa. Bagi para calon donatur yang ingin turut medana punia, dapat mentransfer dana ke BRI unit cabang Tohpati No. Rek. 4720-01-001817-53-7 a/n Bagus Cipto Mulyo, dengan nomor kontak personal 085239187077.

Selanjutnya......

Pasraman Dharma Bhakti Probolinggo Kaplaspas

Bertepatan dengan hari Saraswati, Sabtu, 12 Januari 2013 telah dilaksanakan Karya Pemelaspasan Pasraman Dharma Bhakti Kota Probolinggo, dan juga dilakukan pawintenan tiga pasang Pasutri calon Pemangku dan Sarati oleh Sulinggih Ida Pandita Putra Nirmala dari Pasraman Wilwatikta Singosari Malang-Jawa timur.

Kota Probolinggo merupakan wilayah tapal kuda suku Madura di Jawa Timur, dengan jumlah umat Hindu di kota Probolinggo sekitar 250 jiwa. Pasraman yang terletak di Jalan Gubernur Suryo Gang Pasraman Nomor 03 Kota Probolinggo ini berada pada lahan seluas 600 meter persegi. Ada pun bangunannya meliputi dua ruang kelas berlantai dua, Sekretariat PHDI, 10 kamar asrama serta dilengkapi dengan bangunan tempat sembahyang berupa Padmasari, Panglurah serta bale sari.

Jumlah siswa pada tahun ajaran 2012-2013 sebanyak 75 orang siswa terdiri dari Tingkat SD sebanyak 14 orang dibina oleh I Made Darmayasa. S.Pd.H, selanjutnya SMP sebanyak 18 orang dibina oleh Drs. Misjono.M.Pd.H dan tingkat SMA/SMK sebanyak 43 orang dibina oleh Alikmidin S.Pd.H, yang mana ketiga orang guru pembina tersebut semua berasal dari Wilayah Tengger Gunung Bromo yang cukup jauh jaraknya dengan kota Probolinggo. Guru-guru tersebut mempunyai dedikasi dan semangat tinggi walaupun kehujanan dari Gunung Bromo demi anak didiknya yang tidak mendapat pelajaran agama di sekolahnya masing masing.

Menurut Ketua PHDI Probolinggo, I Nengah Windia,B.Sc. didampingi sekretarisnya I Nyoman Harayasa,SH, bahwa pembangunan Pasraman ini dimulai sejak tahun 2008 dengan biaya sekitar Rp 700 juta yang merupakan hibah dari Pemkot Probolinggo Tahun Anggaran 2011 sebanyak Rp 15 juta dan Tahun Anggaran 2012 sebanyak Rp 25 juta. Selanjutnya dari Dirjen Bimas Hindu pusat Tahun Anggaran 2011 sebanyak Rp 60 Juta dan sebuah Yayasan Hindu dari Kota Denpasar sebanyak Rp 10 juta dan selebihnya adalah partisipasi atau punia umat di Kota Probolinggo dan sekitarnya.

Diharapkan dengan keberadaan Pasraman ini dapat meningkatkan srada-bhakti umat Hindu, sehingga dapat mengemban tugas dharma agama maupun dharma Negara. “Atas dukungan, partisipasi serta doa semua umat dan pihak terkait, sehingga seluruh kegiatan mulai dari awal pembangunan sampai dilaksanakan Karya Pemelasapan berjalan dengan lancar, kami atas nama PHDI Kota Probolinggo dan Panitia menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya,” pungkas Windia.

(Nyoman Jero Sibank)

Selanjutnya......

Bali India Sangam Yatra Ashram Gandhi Puri, Bangun Kerjasama Anak Muda Bali-India

Laporan I Nyoman Sukerta SE

Pengasuh Ashram Gandhi Puri, BR Indra Udayana bersama Dharma Duta I Nyoman Sukerta SE, Diah Yeti Mahayani, SSn dan I Gusti Putu Adi Yustika, selama sebulan sejak 13 Desember 2012 hingga 13 Januari 2013 melaksanakan misi utama kerjasama antar bangsa sekaligus mempererat ikatan emosi kebudayaan yang sudah terbangun panjang dengan menampilkan Sacred Art keliling tanah Bharat Warsa India. Kota-kota yang dikunjungi seperti Varanasi, Allahabad, New Delhi, Rshikesh, Bangalore dan Puthaparthi. Kunjungan dharma duta ke berbagai tempat ini juga sekaligus mengenang spirit Swami Vivekananda di Hut ke 150 beliau.

Spirit anak muda dan misi kebudayaan yang terbangun adalah proses kreatif dari warga Ashram Gandhi Puri. BR Indra Udayana sangat merasakan pengalaman masa mudanya dulu yang memberikan kesempatan luas kepadanya, sehingga dapat membuka wawasannya untuk memberikan kesempatan anak muda yang tergabung sebagai Shantisena maupun Dharma Duta Ashram Gandhi Puri untuk mengenal dunia lebih luas. Karena itulah Sangam Yatra bukan hanya tour biasa, tetapi gerakan persaudaraan yang perlu dibangun dan saling memperkenalkan budaya.

Sacred Art Ashram Gandhi Puri bersama Dharma Dutanya menampilkan garapan tari Kreasi Legong Sthri Shakti, Oleg Tamulilingan dan beberapa tari klasik Jauk, Baris,Topeng. Sacred Art yang mengusung prinsip laku Melali, Metimpal, Melajah dan Meyadnya di setiap penampilan selalu bekerjasama dengan seniman tari klasik setempat, sehingga terjadi keunikan saling mengenal dan memukau hadirin yang berjumlah ribuan, maupun yang dipentaskan secara terbatas di depan Guru Suci dan peminat spiritual antar bangsa yang menghadiri setiap pertunjukan. Penampilan yang memang dipersiapkan matang oleh para Dharma Duta dengan Tarian Klasik Legong Stri Shakti yang ditarikan Diah Mahayani dengan kostum klasik yang kental dengan keunikan gerakan yoga dan gerakan yang sangat menawan. Demikian juga kostum indah Yustika dengan penampilannya yang terjaga dan unik ditutup dengan tari Oleg Tamulilingan yang indah membuat setiap pertunjukan selalu hidup oleh sambutan penonton dan media. Para SwamiJi memberikan apresiasi yang sangat mengesankan dengan pemberian kalungan bunga, syal sutra yang indah serta sari dan angga wastra yang menawan untuk Dharma Duta Ashram Gandhi Puri.

Sambutan penekun spiritual yang hadir menyaksikan juga tidak hentinya memberikan sambutan yang membuka mata dunia spiritual India akan keunikan seni budaya Bali sekaligus filosofi hidup yang menjadi kekuatan bagi masyarakat Hindu Bali yang unik. Dalam dialog di berbagai Ashram setelah pertunjukan, BR Indra Udayana mengemukakan nilai Tri Hita Karana dan implementasi dalam keseharian masyarakat Bali serta kontribusinya bagi dunia, seperti Hari Raya Nyepi yang unik, mengundang keinginan peminat spiritual untuk mengenal Bali dan berkunjung ke Bali sebagai tujuan spiritual.

Spiritual Tourism yang unik dimiliki Bali di setiap kabupaten tentunya menjadi kekuatan kita untuk mempertahankannya sebagai aset budaya. Pada kesempatan itu juga Ashram Gandhi Puri membuka kerjasama yang lebih luas ke depan bagi masyarakat muda Bali dan India bekerjasama lebih erat dengan saling melengkapi kekayaan Hindu yang kita miliki. Pada kesempatan tersebut BR Indra Udayana bekerjasama dengan Vihangam Yoga bersama NamYogiJi Maharaj, Omkarananda Patanjala Yoga Kendra bersama Shri Shri Sidharta Krishna, Swami Rama Sadhaka Grama bersama pimpinannya Swami Vedha Bharati, Swami Vivekananda Research Centre, Shri YogiJi Dewaraj, untuk dapat bertukarnya kesempatan anak muda Bali di India untuk belajar yoga, meditasi dan research seta dikirimnya beberapa pakar ke Bali untuk hal yang sama. Dengan demikian, hubungan spiritual yang terbangun semakin memperkaya Hindu menghadapi tantangan kesejagatan yang tidak dapat kita hindari. Dalam beberapa kali kesempatan, Sared Arts Ashram Gandhi Puri mendapatkan tawaran keberbagai negara untuk bekerjasama membangun kesempatan bagi generasi muda untuk menjaga keunikan budaya bangsanya.

Selanjutnya......

Dubes India Tawarkan Beasiswa di STAHN Gde Pudja Mataram

"Welcome His Excelency Gurjit Singh The Ambassador Of The Republik of India." Kalimat inilah yang terpampang dalam sepanduk di ruang aula sekretariat STAHN Gde Pudja Mataram, menyambut kunjungan Dubes India untuk Indonesia, Gurjit Singh. Kunjungannya ke Lombok, NTB dimaksudkan untuk menjajaki berbagai kemungkinan dalam kerjasama dengan Pemda setempat, sekaligus sebagai salah satu bagian dari usaha untuk mempererat hubungan persahabatan antara India dan Indonesia. Kunjungannya ke Indonesia didampingi oleh Consulate General India di Bali, A.S. Takhi. Dalam acara kunjungannya inilah Gurjit Singh juga berkunjung ke STAHN Gde Pudja Mataram yang disambut antusias oleh civitas akademika STAHN Gde Pudja Mataram.

Gurjit Singh disambut langsung Ketua STAHN Gde Pudja Mataram, yaitu Prof. Drs. I Ketut Widnya, MA, M.Phil. Ph.D., pada hari libur nasional, tanggal 24 Januari 2013. Pada kesempatan itu semua mahasiswa, para pegawai, dan semua unsur dosen STAHN Gde Pudja Mataram hadir menyambut kunjungan dubes India tersebut. Ketua STAHN Gde Pudja Mataram dalam sambutannya mengatakan, bahwa kunjungan Dubes India ke kampusnya adalah suatu kehormatan dalam membangun dan meningkatkan kerjasama kongkrit dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan India. Widnya mengatakan sejak tahun 2009 sudah menjalin kerjasama dengan ICC Bali, dan Consulate General India Di Bali yang tujuannya adalah untuk penyelenggaraan berbagai event yang bertarap internasional, seperti seni tari, pelatihan yoga dan seminar.

Menurut Widnya, sangat penting menjalin kerjasama dengan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan India, termasuk menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa keagamaan Hindu, tidak saja untuk mempelajari agama sebagai sebuah praktik keagamaan, melainkan sebagai kajian akademika. Sepanjang sejarah manusia, sejak jaman Indonesia Purba, India telah memberikan banyak pemikiran kreatif dan inspiratif dalam membangun peradaban rohani Indonesia.

Kemudian Gurjit Singh dalam kesempatannya ia lebih banyak memberikan arahan dan memperkenalkan kebudayaan India, bahwa India dan Indonesia memiliki kesamaan kultur dan keinginannya adalah, agar India dan Indonesia mempunyai hubungan yang penting. Menurutnya, institusi STAH dan civitas akademikanya adalah salah satu yang terpenting, karena dengan STAH pihaknya ingin membangun hubungan yang kuat. Gujrit Singh mengatakan, penerbangan langsung dari India ke Indonesia dan dari Indonesia ke India diharapkan bisa diwujudkan pada tahun 2013. Penerbangan langsung dua negara ini akan memberi peluang bagi India untuk menjalin persahabatan yang lebih erat dengan Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut Gurjit Singh juga mengatakan dengan penerbangan langsung antara kedua Negara diharapkan menambah jumlah orang untuk saling mengunjungi. Dengan lebih sering saling mengunjungi otomatis akan lebih mempererat persahabatan antar kedua negara. Selain melalui jalur penerbangan udara, Gurjit Singh menegaskan, hubungan persahabatan juga bisa dibangun melalui kerjasama memberikan program beasiswa, dan pemerintah India menyediakan program beasiswa setiap tahunnya yang dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah program beasiswa untuk mendapatkan gelar akademis di perguruan tinggi, baik untuk gelar sarjana, magister dan doktor dari berbagai bidang ilmu. Kelompok kedua adalah program beasiswa untuk orang yang sudah bekerja antara umur 25-45 tahun. Program ini meliputi berbagai pelatihan profesional bagi pegawai, dengan durasi singkat di bawah program Indian Technical and Economis Cooperation (ITEC) dan Technical Cooperation Scheme (TCS) of Colombo Plan. Kelompok ketiga adalah Program beasiswa untuk Ayur Veda.

"Pada tahun 2013 kami akan mengadakan Woorkshop Ayur Veda di Bali, karena Bali dan NTB memiliki ayur Veda yang potensial untuk dikembangkan," ulasnya. Secara pribadi Gurjit Singh mengatakan dalam pengarahannya di STAHN Gde Pudja Mataram, "Mulai saat ini kita adalah berteman dan menjadi teman," serunya yang disambut tepuk tangan oleh para hadirin.

Dewi Puspa Rahayu sebagai penerjemah dan moderator memberikan kesempatan mahasiswa dosen dan pegawai untuk bertanya. Di antara pertanyaan yang mengemuka adalah tentang cara mendapatkan beasiswa dan mengenai program beasiswa serta pertanyaan tentang bagaimana membawakan perdamaian pada sebuah negara yang mayoritas penganutnya multikultural, yaitu ada mayoritas dan minoritas. Adakah solusi, saran, arahan untuk itu. agar perdamaian itu tidak saja hanya sekadar legalitas semata di atas kertas.

Duta Besar menjelaskan tentang hal-hal yang prinsip mengenai beasiswa yang dari awal sudah dijelaskan dan proses serta tata cara mendapatkan beasiswa bisa langsung menghubungi konsulat India untuk Indonesia. Kemudian untuk perdamaian menurutnya Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan. Itu menurutnya sesuatu yang riil, kemudian dalam negara demokratis memang memunculkan berbagai hal dan demokrasi juga memberi banyak hal, baik kemajuan, keseimbangan dan terpenting adalah sebuah proses dalam pendewasaan karakter.
(Suamba, Mataram)

Selanjutnya......

Senin, 04 Maret 2013

Mistisisme Kata Pasupati dalam Bingkai Produk

I Ketut Sandika

Belakangan ini marak beredar produk produksi yang menggunakan lebel spiritual. Menggunakan lebel spiritual tentunya memiliki maksud dan tujuan yang beragam. Dari sudut ilmu ekonomi, tentunya produk agar laku dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Demikian pula, label spiritual dipandang sebagai salah satu media promosi yang ampuh di zaman ini agar konsumen tertarik dengan produk yang dipasarkan. Terlebih di Bali yang sangat kental dengan kultur klenik dan mistisismenya. Sebut saja sekarang ini lagi trend produk tirtha (air suci) yang sudah dipasupati, demikian pula dupa yang sudah dipasupati, dan tindak ketinggalan aksesoris berupa gelang, cincin, kalung giok dan sejenisnya yang sudah dipasupati.

Beredarnya produk yang demikian menimbulkan beragam pertanyaan dari kita sebagai umat Hindu. Apakah produk tersebut benar-benar sudah dipasupati? Tidakkah hanya ingin meraup keuntungan semata dengan dalih pasupati? Pertanyaan tersebut sah-sah saja muncul dalam pikiran kita, mengingat orang-orang pada zaman Kali ini yang mendewakan materi sampai pada batasan ekstrim dan rela melakukan apapun demi uang. Pencurian pratima, menipu dengan kedok spiritual hal yang wajar, dan sejenisnya adalah sekian banyak contoh perilaku sebagian besar orang-orang yang menghuni zaman Kali, yang tentunya diperbudak oleh material. Bukan tidak mungkin pula, maraknya produk dengan label Pasupati hanya dijadikan media meraup keuntungan semata, dan demi royalti belaka, walaupun tidak semua produk demikian.

Dilihat dari kata Pasupati sendiri, sesungguhnya merupakan kata yang mengandung makna mistisisme yang dalam. Secara umum Pasupati atau pemasupatian dapat dimaknai sebagai sebuah proses pensakaralisasian benda, sehingga benda yang akan dipasupati diyaknini memiliki kekuatan megis atau supranatural. Kekuatan yang ada dalam benda setelah dipasupati inilah diyakini dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kekuatan bahkan dapat menghalau segala macam penyakit dan segala rintangan.

Dalam mistisime Sivaistik, Pasupati dapat diartikan sebagai Tuhan Siva sebagai penguasa dari segala sifat hewan, sebab kata pasu sendiri berarti bintang dan pati berarti membunuh atau penguasa. Kita sering melihat bahwa dalam setiap tempat pemujaan Siva, pasti di depannya ada arca Lembu Nandini (Sapi jantan) dan linggam. Keberadaan lembu ini mungkin hanya kita pahami sebatas sebagai wahana Dewa Siva, akan tetapi Lembu Nandini tersebut ladalah lambang pasu, dan pasu adalah jiwa. Sedangkan lingam adalah lambang Siva. Mistisisme Sivaistik menekankan untuk kita mencapai kemanunggalan antara pasu (jiwa) dengan lingam (Siva), dan tidak diperkenankan menyelinap diantara pasu dan lingam.

Untuk mencapai kemanungglan itu, hendaknya kita dapat melaihat Siva dari kedua tanduk Nandini, dalam artian hendaknya kita bisa melihat Siva dalam jiwa. Namun kebanyakan dari kita tidak pernah melihat jiwa ada dalam diri sebagai Siva, dan kebanyakan dari kita mengidentikkan jiwa sebagai badan, dan jiwa hanya kita lihat sebatas mitos pelengkap buku suci. Alhasil hidup selalu menderita. Dalam kitab Upanisad dengan jelas menyebutkan; dehi devalayam proktah sah jiva kevalah sivah, artinya: tubuh ini adalah altar atau pura dari sang jiwa yang tidak lain adalah Tuhan Siva. Jiwa adalah Siva dan tiada lain kita adalah Siva (Sivo aham). Pasu adalah jiwa dan pasupati sendiri adalah Tuhan, maka pasu dan pasupati adalah manunggal. Demikian pula, nandi atau pasu adalah jiwa dan Iswara adalah Tuhan, sehingga menjadi Nadishwara, yakni penguasa jiwa atau penguasa segala sifat binatang. Pasupati dan Nandisiwara adalah dua hal yang sama.

Mistisisme Sivaistik juga menyatakan bahwasannya orang-orang yang masih dalam keadaan terikat oleh segala macam keinginan, rasa kepemilikan, egoisme, maka mereka dapat disebut Pasu, akan tetapi jika mereka dapat melepaskan belenggu tersebut maka mereka layak disebut sebagai Pasupati atau Nandiswara. Dan mereka sangat layak diberikan penghormatan sebagai orang suci. Dengan kata lain, orang yang sudah dapat menguasai sifat kebintangan dalam dirinya, maka orang tersebut dapatlah dikatakan orang yang sudah dipasupati.

Apabila seseorang bisa mempersembahkan Pasu kepada Pasupati, maka ia akan mendapatkan kemanunggalan, dan itulah yajna yang sesungguhnya. Bukan yajna yang menghabiskan uang banyak disebut yajna, namun yajna yang sesugguhnya, yaitu mempersembahkan segala sifat hewani kita kepada altar Siva. Guru suci nan agung Sankaracarya menyebutkan bahwa manusia sama dengan binatang, sebab sifat binatang ada dalam diri manusia. Sama-sama memiliki keinginan untuk makan, membela diri, berhubungan badan dan yang lainnya. Akan tetapi, yang membedakan manusia dengan binatang, manusia dapat berbuat dharma. Bagaimana manusia dapat berbuat dharma? Dengan jalan mempersembahkan sifat kebinatangan (Pasu) kepada Pasupati (Tuhan Siva).

Pasupati adalah aspek Siva sebagai pengikat hidup atau pemberi hidup. Maka tidak salah, jika masyarakat Hindu di Bali melakukan prosesi pemasupatian agar benda yang dipasupati memiliki roh atau jiwa untuk hidup. Siva sebagai Pasupati yang tanpa awal dan akhir, pencipta alam semesta, entitas tunggal yang memiliki berbagai waujud dan bentuk, dan memahami hal itu orang akan mendapatan kedamaian. Olehnya mistisime Sivaistik memberikan pemaknaan yang dalam tentang Pasupati tersebut sebagai sebuah proses penyatuan antara pasu dan Pasupati. Dimana untuk mencapai kemanunggalan tersebut, terlebih dahulu kita melepaskan segala sifat hewani kita yang ada dalam diri. Makna yang demikian, tidak banyak umat yang mengetahui, justru pasupati akhir-akhir ini hanya dijadikan label produk. Hal ini bukan tidak mungkin akan membawa implikasi bias makna ajaran agama dari sakral menuju profanisme, orang Hindu Bali sering menyebut “campah.”

Bukan berarti produk tersebut tidak baik, bukan pula pelaku usaha produk tersebut salah. Akan tetapi yang perlu dipahami, seyogyanya pelaku usaha yang bergerak pada sektor itu benar-benar melakukan proses pemasupatian sebagai mana mestinya terhadap produk yang dihasilkan, agar benar-benar memberikan vibrasi postif bagi konsumen, terlebih jika menggunakan produk tersebut dengan seketika sifat kebinatangan si konsumen lenyap dan mencapai kemanunggalan. Janganlah hanya demi uang kita mengorbankan sisi fundamental ajaran Hindu. mengutif wacana Swami Vivekananda; “Uang tidak dapat diandalkan, tidak juga nama, tidak juga intelek. Hanyalah cinta kasih yang dapat diandalkan”. Om Namah Sivaya.

Selanjutnya......