Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 24 April 2013

Mitos Pohon Angker dan Kuburan

Made Subagia

Penghormatan terhadap leluhur, lambang-lambang seperti pohon kehidupan dan air tirta, topeng yang memesonakan, itu semua menunjukkan rasa hormat, penuh getaran ketakutan terhadap eksistensinya sendiri. Semua lambang itu merupakan jendela-jendela yang membuka pandangan terhadap dunia transeden, maksudnya lambang-lambang itu menunjukkan ke arah kekuasaan-kekuasaan yang ada di atas dan di luar manusia (transenden). (CA. Van Peursen, 1976: 42).

Sejak zaman primitive rupanya manusia sudah memiliki naluri untuk mempertanyakan eksistensi dirinya. Pertanyaan yang terus berkembang hingga mencapai titik yang tak terjawab oleh batas-batas alam nyata, yaitu menyangkut dari mana asal muasal kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan inilah memunculkan cara pandang transenden, keinginan menjangkau sesuatu realita yang tersembunyi di alam lain, di atas alam kenyataan. Dengan pengakuan atas adanya kekuatan atau eksistensi lain di luar alam nyata ini, kemudian manusia mengembangkan pemahaman-pemahaman baru dalam tata cara mereka memperlakukan alam sekitar. Kepercayaan mengenai sebuah pohon angker di Bali misalnya, dapat dijelaskan sebagai hasrat yang kuat dari manusia yang ingin menyingkap fenomena ciptaan ini. Ada apakah gerangan di balik yang nyata? Itulah prinsip pertanyaan dasarnya. Dari pertanyaan dasar itu berkembanglah kemudian, adakah kekuatan lain di pohon besar ini atau apakah kekuatan lain yang bersemayam di batu besar ini?

Membayangkan adanya keberadaan lain dalam sebuah benda (di matahari, bulan, langit, laut, sungai, pohon-pohon, batu, keris, pancuran, gua dll) adalah pintu bagi manusia purba memahami adanya potensi energi lain dalam setiap keberadaan. Setiap pohon tidaklah sekadar hadir sebagai penyejuk, tapi padanya terkandung suatu getaran tertentu yang bisa ditangkap oleh kepekaan manusia tentang manfaat maupun sifat dari energinya. Bila menjumpai pohon kepuh, maka orang Bali tidak menyebutkan kalau pohon tersebut memiliki energi gaib yang kuat, tetapi dikatakan kalau pohon tersebut dihuni oleh wong samar. Atau pada serumpun pohon bambu di tepi sungai dikatakan dihuni kawanan memedi usil dan pohon asam yang besar dihuni banaspati. Wong samar, memedi dan tonyo adalah nama-nama makhluk halus di Bali atau tergolong bangsa jin. Ini artinya masyarakat Bali mengasosiasikan suatu energi itu ke dalam suatu wujud yang lebih mudah dipahami pikiran, sehingga melahirkan suatu tata cara dalam bersikap dalam berhubungan dengan keberadaan energi-energi alam gaib itu.

Dengan kehadiran atau tepatnya, dengan pikiran manusia menghadirkan makhluk-makhluk gaib itu dalam berbagai pohon, menyebabkan pohon-pohon itu angker dan keramat. Dan yang terpenting adalah, dari keangkeran pohon-pohon itu masyarakat berharap mendapat perlindungan darinya. Bila mohon sesuatu pada sebuah pohon tenget, maka pikirannya kembali dikuatkan, harapannya dipulihkan. Misalnya, dalam suatu kasus ada warga yang mengalami sakit tertentu. Menurut kepercayaan yang berkembang di daerah itu, mungkin keadaan itu dipicu karena yang bersangkutan jarang membawa “buah tangan” ke penghuni pohon tersebut. Lalu diadakanlah permakluman, keluarga si sakit datang ke pohon itu sambil mempersembahkan sesajen dan permen.

Dengan prosesi itu, pikiran anggota keluarga pasien menjadi tenang, setidaknya ia tidak lagi terganggu oleh kepercayaan yang telah ia anut dalam pikirannya tentang kekeramatan pohon itu. Ini menjelaskan bagaimana tingkat permainan mental kita dalam setiap merespon fenomena alam di sekitar kita, sehingga sistem keyakinan (tentang sesuatu yang gaib) bisa juga berarti cara-cara pikiran memperkuat dirinya. Boleh jadi kepercayaan diri itulah sesungguhnya yang menguatkan seseorang, tetapi kepercayaan diri itu tidak bisa tumbuh sendiri tanpa bantuan sugesti-sugesti relegi dari luar.

Selain pohon kepuh, beringin, pule, bunut, juga ada pohon berumur pendek yang dikeramatkan. Dengan alasan digemari leak, orang-orang Bali mencabuti pohon pepaya renteng bila tumbuh dekat-dekat rumahnya. Pepaya renteng adalah jenis pepaya dengan bunga bertangkai panjang dan kalau di daerah Maluku bunga jenis pepaya ini biasa dimasak sebagai sayuran yang enak. Jadi di Maluku pepaya ini sengaja dipelihara untuk dipetik bunganya, sementara di Bali pohon ini tak akan diijinkan tumbuh besar. Bila terlanjur besar, maka dikhawatirkan siluman leak suka bersandar di batang pepaya itu pada malam buta untuk mengisap aura magis pohon itu. Demikianlah mitos yang berkembang, karenanya nasib pohon gedang renteng di Bali menjadi tanaman yang punah atau dipunahkan.

Masih beruntung daun beringin dibutuhkan sebagai perlengkapan upacara, sehingga pohon ini lumaya masih lestari. Berbeda dengan kepuh, jika ia tidak tumbuh di tebing yang sulit dijangkau atau di hutan tak bertuan, niscaya pohon ini pun terancam punah. Adakah orang Bali membiarkan tegalannya ditumbuhi pohon kepuh? Barangkali pohon-pohon kepuh yang terlanjur besar itu karena dulunya tidak sempat diketahui oleh yang empunya tanah atau tumbuh di lokasi sulit dijangkau, sehingga bisa tumbuh sampai besar. Bila tidak, tentulah pohon calon “rumah wong samar” ini akan dibabat sejak pohon itu masih pendek.

Setra Ganda Mayu

Setra artinya kuburan, ganda berarti harum dan mayu berarti mayat. Jadi Setra Ganda Mayu artinya, sebuah tempat di mana mayat (jenazah) manusia diperlakukan sedemikian rupa, sehingga di tempat inilah mayat-mayat dimuliakan atau diperlakukan dengan menghormatinya, sehingga roh dari mayat-mayat tersebut akhirnya memperoleh keharuman (kebahagiaan) di alam sana. Inilah sebabnya, mengapa sesungguhnya setra atau kuburan bagi penganut Hindu merupakan tempat suci. Di setra menjadi salah satu tempat, di mana para keluarga dari orang yang meninggal mendoakan roh orang yang meninggal itu supaya mendapat tempat di alam yang terang. Dengan demikian, setra dalam konsep Hindu bukanlah tempat membuang jenazah saja sebagaimana dapat dilihat dari penampakan fisik, tetapi setra juga merupakan titik awal perjalanan bagi sang roh ke alam baka.

Meskipun setra sejatinya merupakan areal yang disucikan, toh secara umum masyarakat menganggap tempat semacam itu sebagai tempat angker, entah itu di dunia Timur maupun Barat sekalipun. Paling tidak di belahan dunia Barat, kepercayaan akan kuburan kuno yang angker sering bisa kita saksikan dalam tayangan-tayangan film. Sementara di Nusantara, sebagian besar masyarakatnya memang mengasosiasikan kuburan sebagai tempat yang menyeramkan.

Di Bali, kuburan menjadi pusat berbagai ritual rahasia para praktisi ngelmu gaib, terutama dari disiplin tantrik. Vidya tantrik sebagai sebuah sadhana spiritual untuk mencapai pembebasan rohani, maupun avidya tantrik yang mengembangkan magis destruktif, sama-sama menjadikan kuburan sebagai “laboratoriumnya.”

Dalam falsafah murni tantrik, kuburan adalah guru terbaik, di mana ruang ini memberikan manusia suatu kesadaran, bahwa manusia pada akhirnya menjadi tulang-belulang yang setara dengan seonggok sampah. Dengan kesadaran, bahwa tubuh adalah suatu materi yang tak kekal, maka para pengikut tantris melakukan perenungan (yoga sadhana) di kuburan untuk mencari hakikat yang lebih dalam dari fisik. Dengan perenungan ini, seorang praktisi tantrik kemudian menemukan kesadaran rohani, sebagai suatu yang lebih mulai melampaui badan dan seluruh perhatian pun kemudian dipusatkan kepada keberadaan dan pertumbuhan rohani ini. Di India, para praktisi vidya tantrik bermeditasi di kuburan dan melengkapi dirinya dengan atribut pisau belati, tengkorak manusia dan sebagainya. Belati sebagai simbol keberanian untuk maju, karena seorang pencari jalan terang tidak akan berhasil tanpa memiliki tekad yang cukup dan keberanian di dalam menerobos semua rintangan. Tengkorak menyimbolkan sifat badan yang sementara, sehingga kesombongan, kebanggaan terhadap atribut jasamaniah, seperti ketampanan, kecantikan, kekuatan fisik, kekayaan, jabatan dan sebagainya akan bisa luruh dan gugur di kuburan ini. Dengan melihat tata cara mereka, kita menjadi paham, bahwa tantra adalah sebuah yoga sadhana untuk pemurnian diri.

Dalam lontar-lontar disebutkan, kalau sejumlah orang suci mencapai pencerahan di kuburan, misalnya Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Mpu Bradah, dan lain-lain. Kuburan sangat baik di dalam membantu manusia menumbuhkan rasa pasrah dan ikhlas kepada Yang Maha Kuasa, sehingga dengan kepasrahan dan ketulusan ini, sadhana spiritual bisa berhasil lebih cepat. Inilah keutamaan kuburan. Hanya saja, karena di Bali mungkin dalam sejarahnya yang melakukan ritual rahasia di kuburan lebih sering para penganut avidya tantrik, atau mereka yang termotivasi berbuat jahat, akhirnya citra kuburan sebagai tempat suci berubah menjadi tempat menyeramkan, leteh, sumber kejahatan dan sebagainya.

Citra kuburan sebagai tempat angker juga dipengaruhi pengalaman sejumlah orang yang pernah melihat hantu kuburan. Hantu pocong sangat terkenal di Jawa dan menjadi sumber ketakutan bagi banyak orang. Sesungguhnya hantu kuburan ini adalah badan etheris dari jazad orang yang meninggal dan baru dikubur. Badan etheris terbentuk dari bahan yang amat halus yang tak dapat ditangkap dengan indra biasa. Badan etheris ini merupakan pasangan badan fisik dan bentuknya pun serupa. Bila seseorang masih hidup, maka badan etheris bisa dipisahkan dengan badan fisik, tetapi tak bisa berada jauh dari tubuh fisik. Pada saat kematian, atman (sang aku) ke luar badan bersama-sama dengan badan etheris. Dan seseorang benar-benar dikatakan meninggal, bila benang penghubung (sutratman) antara badan fisik dan badan etheris terputus. Badan etheris inilah yang sering nampak sebagai hantu kuburan yang bisa dilihat oleh orang yang peka.

1 komentar: