Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 September 2012

Menegakkan Dewasa Ayu pada Ritual di Zaman Modern


Dalam Bhagavata Purana dikisahkan saat Parikesit lahir, para rsi dan muni berkumpul untuk menghitung formasi bintang dan benda-benda angkasa guna mengetahui nasib si bayi yang baru lahir itu. Alhasil, konon dengan perhitungan ilmu Jyotisha, sejak kelahirannya Parikesit sudah diramalkan bakalan meninggal akibat dipatuk ular.

Astrologi dan astronomi dalam khasanah Weda dikenal dengan nama Jyotisha. Jyotisha secara harfiah berarti "Lord of Light" atau "studi tentang cahaya" mencakup terang dari langit maupun dalam "melihat" seseorang. Ini adalah model dari realitas yang menafsirkan kondisi diamati kosmos pada saat acara - seperti kelahiran - dalam rangka untuk memberikan gambaran ke dalam sifat dan peristiwa pada periode selanjutnya.

Jyotisha berdiri di garis depan sistem ramalan India dan dikenal sebagai "mata dari Veda". Veda (pengetahuan) adalah kognisi besar dari Resi kuno (orang bijak) yang merupakan dasar dari budaya India dan filsafat yang menguraikan inti pengetahuan tentang Brahman - roh murni abadi yang mendasari semua makhluk, semua objek dan pengalaman. Jyotisha sendiri adalah Vedanga - salah satu dari enam anggota badan dari Veda yang mendukung dan mempertahankan pengetahuan berharga dan memungkinkan untuk ditekuni terus dari generasi ke generasi.


Jyotisha adalah unik dalam kemampuannya secara umum dan berlaku untuk semua waktu, tempat dan individu. Karena alasan ini bahwa Jyotisha karena itu relevan dalam membimbing setiap orang menuju pemahaman yang lebih luas sehubungan dengan tempat kita di alam semesta, sehingga dapat mengetahui siapa diri kita di bentangan semesta yang maha luas ini. Juga pengetahuan mengenai dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi. Jyotisha adalah alat yang ampuh dalam menerangi apa yang sebelumnya mungkin telah menjadi misteri dari rantai sebab dan akibat dan dengan demikian memungkinkan seorang individu untuk memahami dan menemukan keselarasan dengan hidupnya di masa kini.

Seperti semua mata pelajaran klasik India, Jyotisha benar-benar sebuah studi yang indah yang mencakup disiplin ilmu lain dan berkembang pada pengikutnya perpaduan unik dari logika, intuisi, pragmatisme, analisis dan sintesis. Memang, Jyotisha adalah "sadhana", sebuah jalan spiritual yang dapat mengubah kehidupan seseorang secara permanen.

Ala Ayuning Dewasa

Menurut Jyotisha, setiap waktu dipengarhui oleh konfigurasi benda-benda angkasa dan siapa yang lahir pada masa tertentu, maka bakat, watak dan nasibnya dapat dibaca berdasarkan pengaruh kosmos itu. Adalah Karma Phala yang memungkinkan seseorang terlahir pada waktu tertentu sesuai bobot karma yang telah dibuatnya pada masa sebelumnya. Demikian berpengaruhnya konfigurasi planet-planet angkasa, bagi kehidupan di bumi, maka bila hendak memulai suatu aktifitas baru diusahakan memilih waktu yang tepat. Seseorang berpikir untuk memulai usaha-usaha di bidang kebaikan, entah pembangunan, ritual, perjalanan dan sebagainya, maka diusahakan memperoleh dukungan dari energi makrokosmos yang terbaca lewat ilmu Jyotisha. Dan di Bali ilmu ini lumrah dikenal sebagai uger-uger padewasan atau uger-uger ala ayuning dewasa.

Ala ayuning dewasa di Bali menguraikan tentang perhitungan hari – hari yang sangat baik untuk melaksanakan upacara dan dan kegiatan lainnya, serta ada juga hari yang harus dihindari dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Ida Pandita Mpu Nabe Reka Dharmika Sandhiyasa dari Geriya Kayumas Kaja mengatakan, dalam penentuan waktu ritual ada banyak pilihan, karena ketentuannya adalah, wewaran alah dening wuku, wuku alah dening panglong, panglong alah dening sasih, sasih alah dening dauh dan dauh alah dening ning.

Menurut Ida Pandita Mpu Nabe, misalnya dewasa ayu berdasarkan sasih untuk upacara pawiwahan (Pernikahan), maka ketentuannya adalah Sasih Kaso, Karo (Buruk). Sasih Kasa buruk untuk melakukan pernikahan karena “kasengsaran” artinya dalam membangun rumah tangga akan menemui kesengsaraan, anak sakit – sakitan. Kemudian Sasih Karo juga buruk untuk melakukan pernikahan karena “Punggung Tiwas, Nemu Sungsut” artinya dalam membangun rumah tangga akan menemui kesengsaraan.

Sasih Katiga adalah waktu yang baik untuk melakukan pernikahan karena “Akeh Madue Putra” artinya dalam membangun rumah tangga akan banyak memiliki keturunan. Demikian juga pada Sasih Kapat sangat baik untuk melakukan pernikahan karena “Madruwe Artha Brana, Kinasihan Olih Sawitra” artinya dalam membangun rumah tangga akan hidup berlimpah dan dicintai para sahabatnya. Sementara sasih Kalima juga berkategori baik (ayu), untuk melakukan pernikahan karena “Rejeki Akeh” artinya dalam membangun rumah tangga akan berlimpah.

Tapi pada Sasih Kanem hendaknya dihindari untuk melangsungkan pernikahan, karena “Kapunggelan Tresna” artinya cinta kasih yang tidak kesampaian, susah memiliki keturunan. Sasih Kapitu (Baik), Kawulu dan Kasanga (Tidak baik). Sasih Kawulu, tidak baik melakukan pernikahan, karena “Tan Pasangu, Nandang Sengsara” artinya akan menemukan penderitaan. Sedangkan sasih Kasanga disebut “Kelaran, Kaos Tiwas Liglig” artinya akan sengsara dan miskin selama hidupnya.

Kadasa (Baik) Jyestha dan Sada (Buruk). Sasih Jyestha buruk untuk melakukan pernikahan karena “ngawe uyut” artinya sasih sumber keributan dan kericuhan dalam memulai rumah tangga. Selanjutnya Sasih Sadha dinyatakan buruk untuk melakukan pernikahan karena “ngawe uyut” artinya serba kekurangan dalam memulai rumah tangga. Sedangkan dari perhitungan ingkel yang buruk untuk melangsungkan pernikahan adalah ingkel wong.

Banyak perhitungan jelimet yang harus diperhatikan ketika seorang sulinggih atau pemangku ngelebang dewasa (Memberikan patokan hari baik kepada umat yang hendak menggelar ritual). Selain sasih, wuku, wewaran, ingkel, juga bilamana pada suatu hari memiliki perhitungan baik, seperti, dina jaya, kamajaya, dasamerta, dina kahuripan, panca werdi dan sebagainya.

Caru Pengalang Dina Ala

Seorang umat Hindu (Bali) yang berdomisili di Kalimantan, sebut saja namanya Made Wuku ingin pulang ke Bali untuk melangsungkan pernikahannya. Sayangnya ia terkendala waktu. Cuti hanya tiga hari membuatnya sulit untuk memenuhi kreteria ala ayuning dewasa di dalam menggelar hajatan sakral itu. Tapi, Ida Pandita Mpu Nabe Reka Dharmika Sandhiyasa yang kemudian memuput upacara tersebut dapat mencarikan solusi, sehingga keinginan menggelar ritual bisa berjalan lancar demikian juga swadharma-nya sebagai seorang walaka yang dituntut melakukan Karma Yoga tetap dapat berlangsung. Ida Pandita menjelaskan, ada upakara (bebantenan) yang diperuntukkan untuk pengalang dina ala (tumbal hari buruk), sehingga ‘dewasa ala’ pun masih bisa dilaksanakan yadnya. Untuk pernikahan banten pengalang dina dilakukan upakara di halaman (natar), di bawah tempat tidur (beten rongan) dan di atas tempat tidur. Dan dengan runtutan upakara pengalang dina ala itu, mereka yang melakukan upacara dan ikut terlibat di dalamnya diupayakan pikirannya menjadi ‘ning’. “Sebenarnya yang utama dalam sebuah perhelatan yadnya adalah manah ening, tetapi bagi kita semua kondisi itu sangat sulit dicapai, sehingga masih diperlukan upakara, perhitungan hari baik dan sebagainya guna membuat perasaan nyaman,” tutur Ida Pandita.

Beliau menambahkan, agama Hindu yang dipraktikkan di Bali terkesan rumit, tetapi sesungguhnya semua solusinya sudah disediakan, tinggal bagaimana kita menerima solusi itu sebagai sebuah kewajaran. Jika untuk melakukan upacara harus menunggu sasih tertentu, sementara yang bersangkutan harus segera berangkat bekerja ke kapal pesiar selama berbulan-bulan, apakah upacaranya harus ditunda? Menurut Ida Pandita yang sering muput di Jawa ini, niat baik termasuk beryadnya hendaknya jangan ditunda-tunda. Bilamana waktu yang dianggap baik tidak ada mengingat singkatnya kesempatan libur dan seterusnya, maka selaian ada banten pengalang dewasa ala untuk menetralisir pengaruh buruk hari dimaksud, juga pentingnya memiliki hasrat ketulusikhlasan dan kepasrahan di dalam beryadnya. Lebih-lebih yang bersangkutan hendak pergi menunaikan Karma Yoga (bekerja) yang juga sangat utama sebagai seorang grhastin atau yang bersiap melangkah ke jenjang itu. Ritual bukanlah satu-satunya kewajiban umat Hindu, jalan Karma Yoga sangat utama di zaman ini, karena itu ketentuan lain dari agama Hindu hendaknya mendukung kelancaran Karma Yoga ini, sehingga umat Hindu semakin aktif dan produktif, di mana saja berada dengan tetap berpijak pada sradha keagamaannya yang kuat.

N. Putrawan

Selanjutnya......

Jangan Terlalu Fanatik dengan Dewasa Ayu


“Untuk mencegah terjadinya hubungan yang tidak sah atau kumpul kebo, maka lebih baik upacara pernikahannya segera dilakukan meskipun dari segi waktu dianggap kurang cocok untuk menggelar upacara pernikahan,” tegas Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba ketika ditemui Raditya di Geriya Muding, Kuta Utara, Kabupaten Badung Bali pada 31 Juli 2012 lalu.

Jawaban Ida Pedanda itu terlontar ketika diminta komentarnya mengenai aplikasi pelaksanaan ala ayuning dewasa di masa kini yang diwarnai dinamika kehidupan semakin tinggi. Pengaplikasian ala ayuning dewasa untuk mencari hari baik pelaksanaan sebuah ritual di zaman kini menemui berbagai kendala, terutama tingginya aktifitas masyarakat zaman sekarang, juga tingginya tuntutan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain karena berbagai tuntutan. Katakanlah, calon pengantin kebetulan hanya dapat jatah cuti bertepatan dengan sasih Kaso atau Karo yang umumnya dianggap kurang baik untuk menggelar upacara pawiwahan. Lantas, apakah gara-gara ketentuan itu yang bersangkutan harus menunda upacara pernikahannya?

“Hubungan pria wanita yang tengah pacaran sangat rentan dengan terjadinya hubungan badan pra nikah. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya segera dibuatkan upacara pawiwahan-nya agar pasangan tersebut tidak mengalami pegat pasidhikaran. Mengenai ketentuan sasih maupun hari-hari yang dianggap kurang bagus, maka hal itu masih bisa dicarikan solusinya,” imbuh Ida Pedanda.

Pasidhikaran yang dimaksud beliau adalah hubungan persaudaraan. Bilamana sampai terjadi aib akibat hubungan pranikah, terjadinya kehamilan pranikah, maka akan mengundang syak wasangka, karena menyangkut nama baik keluarga besar. Apalagi hal ini juga memuncul risiko tidak bertanggung jawabnya pihak laki-laki yang menodai kesucian sang perempuan. Karena itu hemat Ida Pedanda, jika sudah ada niat untuk mresmikan hubungan pacaran ke jenjang serius menapakai kehidupan berumah tangga, sebaiknya jangan ditunda-tunda hanya karena alasan tidak ada dina ayu.

Pertimbangkan Karma

“Jangan terlalu fanatik dengan hanya mempertimbangkan ketentuan hari, wewaran, sasih dan sebagainya dalam menggelar sebuah upacara keagamaan, tetapi pandang juga subha dan asubha karma dari orang yang hendak beryadnya itu. Apa artinya mencari dewasa ayu bila perilaku orang yang melakukan upacara itu tidak baik,” lanjut Ida Pedanda. Karena itu beliau berpandangan, dewasa ayu jangan ditonjol-tonjolkan secara dominan, fungsi ritual juga jangan dicitrakan sebagai sesuatu yang paling menentukan, tetapi hukum karma-lah yang paling esensial di dalam usaha manusia menapaki kehidupan ini. Dengan berusaha keras untuk melakukan kebaikan-kebaikan selama hidup ini, seorang Hindu harus yakin pada dirinya kalau akan senantiasa dinaungi oleh nasib baik.

Mengenai adanya ketentuan waktu yang dianggap buruk atau tidak tepat melaksanakan upacara agama pada saat tersebut (dewasa ala), sebenarnya hal itu tidak berlaku mutlak. Ida Pedanda menjelaskan, untuk ketentuan dewasa ala itu bisa dineteralisir dengan caru pengalang dewasa dan penyibeh. Caru pengalang dewasa ditujukan untuk menetralisir hari yang dianggap kurang baik itu, sedangkan penyibeh ditujukan untuk meredam energi negatif yang berpengaruh pada hari dimaksud. Teknisnya adalah dengan menghaturkan caru ayam putih ke sanggar surya untuk mohon pangesengan dewasa ala, sementara penyibeh yang ditujukan untuk meredam energi negatif disertai dengan mesanggah cucuk di empat penjuru mata angin yang disertai eedan pangider dewata nawa sanga. “Solusi seperti ini sudah lumrah dilaksanakan di masyarakat, jadi tidak perlu khawatir bila kepepet waktu, upacara tetap bisa diselenggarakan. Ritual tidak boleh menghambat aktifitas masyarakat yang tiap waktu bergerak semakin dinamis,” tegasnya.

Mengenai Dewasa Ngaben

Tantangan pelaksanaan ritual di zaman modern ini selain bersangkutan dengan penerapan ala ayuning dewasa, juga berkaitan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat. Sebutlah misalnya, bilamana warga yang meninggal berada di pemukiman yang penduduknya heterogen. Pada kondisi demikian, mungkinkah menyimpan jenazah di rumah berhari-hari lamanya demi menunggu dewasa ayu pengabenan tiba?

Dalam pandangan Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, hal tersebut akan semakin mustahil dilakukan di masa-masa mendatang. Andaikanlah tempat tinggal orang berduka itu ada di komplek perumahan, tentu akan mengundang tentangan dari warga sekitar jika sampai jenazah diinapkan berhari-hari. Belum lagi alasan higienis, terkurasnya tenaga dan pikiran di dalam magebagan (Menunggui jenazah), juga alasan ekonomi. Dengan demikian harus ada terobosan yang dibuat oleh umat Hindu agar kehidupan beragama ke depan dapat berlangsung dengan kendala yang minimum.

Untuk kasus seperti di atas, maka ada tiga solusi. Pertama, kalau hari baik untuk ngaben dianggap tidak ada dalam waktu dekat, maka sebaiknya jenazah segera dikubur dengan sistem mekingsan. Mayat dikuburkan dengan diserta peloncor (bambu berlubang) yang ditancapkan ke dalam kuburan sebagai saluran memerciki jenazah tirta sampai tiba hari pengebenan. Jika ini dianggap kurang praktis, maka ada alternatif kedua, yaitu dengan menitipkan jenazah di rumah penitipan jenazah (Rumah duka) atau rumah sakit, sementara yang dibawa ke rumah hanya adegan sawa saja. Dengan cara ini, masalah higienis akan bisa tertangani dengan baik, demikian juga tidak mengganggu kenyamanan psikologis warga sekitar rumah. Bila langkah ini pun masih menimbulkan rasa kurang nyaman, maka ada pilihan ketiga dengan membakar jenazah di krematorium kemudian abunya dititipkan di rumah duka, sehingga tidak terkendala oleh rentang waktu yang panjang dalam menanti dewasa ayu pengabenan.

Pengelolaan demikian tidak saja mengurangi beban keluarga dan masyarakat sekitar, tetapi sekaligus menjadi jalan keluar yang baik bilamana di desa bersangkutan misalnya tengah berlangsung upacara dewa yadnya atau rerainan jagat lainnya. Kemudian mengingat pelaksanaan ngaben memerlukan pemilihan waktu yang lebih ketat dan ada beberapa tingkatan upacara, seperti ngaben, nyekah, memukur, maligya dan sampai ngeluer, maka sebaiknya upacara semacam ini dilaksanakan secara kebersamaan. Jadi ada baiknya jenazah dikubur saja dulu, kemudian belakangan ngaben dilakukan bersama warga lain yang juga memiliki keluarga yang belum diaben.

Maligya Bagi Masyarakt Umum

Pada zaman dulu masyarakat umum kebanyakan upacara pengabenannya hanya sampai pada tingkatan ngelinggihang Bhatara Hyang di sanggah kamulan. Sedangkan untuk maligya apalagi ngeluer hanya sanggup dilakukan oleh kalangan puri dan geriya, mengingat besarnya anggaran yang dihabiskan. Lebih-lebih upacara ngeluer yang ketentuannya adalah, perlengkapan upakara yang dipakai harus dikerjakan pada hari itu dan dipakai saat hari itu juga. Peralatan upakaranya tidak boleh kaungkulin peteng (melewati malam hari). Ini artinya diperlukan tenaga kerja yang sangat banyak untuk mempersiapkan upacara tersebut supaya selesai selama sehari saja. Jika tidak punya wadua-bala yang banyak untuk mengerjakan semua itu dalam sehari, maka mustahillah orang biasa menggelar upacara tingkatan ini. Namun, mengingat agama adalah milik semua kalangan, kini semua kalangan bisa melangsungkan upacara tersebut. Hal ini dimungkinkan berkat sistem upacara kebersamaan dan perlengkapan upacara dapat dikerjakan oleh orang-orang profesional di bidangnya, sehingga ketentuan upacara ngeluer itu dapat dilangsungkan.

“Kita sudah bisa melaksanakan upacara maligya secara kebersamaan ke India beberapa waktu lalu. Jika umat berkehendak untuk nangun upacara ngeluer, maka pasti kita bisa laksanakan secara bersama-sama dengan tidak menguras biaya maupun tenaga yang banyak,” jelas Ida Pedanda. Sesuai kehendak umat, upacara ini bisa diselenggarakan di Bali saja atau sekalian ngiring leluhurnya ke tanah suci India juga bisa. Dengan demikian pelaksanaan upacara agama Hindu jangan disulit-sulitkan, baik dari ketentuan dewasa ayu maupun biaya. Dalam agama Hindu sudah ada semua ketentuannya, baik bagi warga yang mampu maupun yang kurang mampu, yang penting niat untuk beryadnya yang tulus ikhlas sudah terpatri dalam sanubari, maka solusi pasti akan ada.

(Putrawan)

Selanjutnya......

DEWASA AYU UNTUK MENJAGA KONEKSITAS DENGAN LINGKUNGAN

I Wayan Miasa

Perhitungan hari baik atau buruk hampir dikenal di seluruh jagat raya ini, yang membedakannya hanyalah sistem yang dipakai dalam menentukan hari baik atau buruk tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi hal itu seperti tempat, wilayah, musim serta agama masyarakat setempat.

Walaupun ada perbedaan penentuan hari baik atau buruk tersebut, pada prinsipnya kehidupan masyarakat di muka bumi ini pada awalnya hampir memiliki kesamaan, entah itu tata cara pemujaan, persembahan, ataupun aspek-aspek yang lainnya seperti hari mujur, hari kurang beruntung, tentang makna hari dan lain sebagainya. Misalnya hari Minggu di dalam bahasa Bali disebut dengan Redite, bagi masyarakat Bali “redite” itu adalah sebutan lain dari Raditya yang tiada lain adalah mengacu pada matahari, sedangkan masyarakat Inggris menyebutnya dengan Sun (surya)- day (hari), orang Jerman mengatakan Sonntag yang berasal dari kata Sonne ( surya) dan tag (hari). Jadi di sini jelas sekali bahwa makna hari itu hampir sama.

Begitu juga dengan hari-hari lainnya hampir ada kemiripin makna yang terkandung di dalamnya. Seperti Coma, yang mana hari tersebut mengacu pada air kehidupan yang berada di bulan. Dan dalam bahasa Inggris disebut dengan Moon-day (Monday), dan dalam bahasa Jerman disebut dengan Mond-tag (Montag) dan yang lain-lainnya.

Masyarakat di jagat raya ini juga percaya bahwa karakter masing-masing manusia sangat ditentukan oleh planet yang mempengaruhi hari kelahiran mereka atau hal tersebut dikenal dengan istilah Zodiak. Di masyarakat Hindu mereka tidak saja mengenal Zodiak, tetapi juga mengenal istilah pawukon, yaitu pengaruh wuku terhadap karakater suatu hari. Seperti diketahui masyarakat internasional mengenal 12 jenis Zodiak, sedangkan masyarakat Bali mengenal 30 jenis wuku.

Hari Baik Menurut Orang Eropa
Dalam perhitungan hari baik atau buruk, masyarakat di muka bumi ini memiliki beberapa sistem perhitungan dalam menentukan hari baik atau buruk tersebut ada yang berdasarkan peredaran matahari atau solar sistem, ada pula yang memakai sistem bulan. Bagi masyarakat yang mengenal empat musim, mereka mendasarkan perhitungan hari baik atau buruk tersebut berdasarkan posisi matahari, sehingga bagi mereka hari baik tersebut kebanyakan pada musim semi dan musim panas. Hal ini bisa dipahami karena pada kedua musim ini alam di daerah sana tampak indah, terang benderang, lama harinya panjang, menyenangkan. Orang bisa melihat bunga bermekaran dimana-mana, semua tampak hijau, atau pada saat musim semi dan panas semua tampak ceria. Bahkan saat musim panas matahari bisa bersinar sampai jam 22.30, seperti apa yang penulis lihat di Jerman. Begitu pula sebaliknya saat musim dingin dan gugur, perasaan orang mulai dingin, kurang ceria, dan lain sebagainya. Masyarakat yang memakai solar sistem percaya bahwa tanggal sangat mempengaruhi keberadaan suatu hari, apakah hari tersebut membawa kemujuran atau tidak, misalnya tanggal 13. Bagi masyarakat pengikut solar sistem angka 13 dianggap kurang beruntung apalagi hari Jumat dengan tanggal 13.

Sedangkan masyarakat yang menentukan hari baik atau buruk berdasarkan bulan atau lunar sistem, maka posisi bulan sangat menentukan suatu keberadaan hari keberuntungan atau hari yang kurang mujur. Bagi masyarakat yang mengikuti sistem ini, posisi dan fase-fase bentuk bulan sangat menentukan keberadaan suatu hari keberuntungan, apakah bulan itu berbentuk sabit atau bagaimana.

Bagi masyarakat Hindu, perhitungan hari baik dan buruk itu tidak saja berdasarkan prinsip-prinsip solar dan lunar sistem tersebut diatas tetapi juga berdasarkan pawukon. Masyarakat kita percaya bahwa, perhitungan ini sangat penting dalam berbagai aktivitas hidup mereka entah itu untuk bercocok tanam, berupacara, ataupun kegiatan lainnya. Apalagi menurut ilmu tentang perbintangan masyarakat Hindu atau Jyotisha, bahwa posisi bintang-bintang dan matahari sangat mempengaruhi kehidupan semua mahluk di muka bumi ini. Menurut astrologi Hindu, pengaruh dari penguasa planet-planet alam semesta sangat menentukan suatu keadaan hari baik atau buruk tersebut dan oleh masyarakat Bali hari baik atau buruk tersebut disebut dengan “Dewasa” atau sering juga disebut dengan “wariga dewasa”.

Bagi masyarakat sanatana dharma penentuan dewasa ayu atau hari baik itu dipilah berdasarkan aktivitas yang akan dilakukan. Misalnya untuk upacara yang berhubungan dengan pitra yadnya, maka upcaranya sebaiknya dilakukan saat matahari berada di utara khatulistiwa, atau apa yang disebut dengan utara yana. Sedangkan penentuan hari baik atau buruk lainnya dipengaruhi oleh sistem lunar, misalnya mengenai tahun baru masyarakat Hindu di Nusantara. Selain itu penentuan hari baik juga ada yang berdasarkan wewaran dari eka wara sampai dengan dasa wara dalam satu Wuku (Week bahasa Inggris, Woche dalam bahasa Jerman). Sehingga penentuan hari baik atau buruk tersebut agak berbeda dari agama non Hindu.

Seperti diketahui, bahwa wewaran, baik eka wara sampai dasa wara, posisi bulan, matahari, bintang, sangat mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga apa pun jenis kegiatan yang ingin dilakukan oleh masyarakat sanatana dharma selalu berdasarkan perhitungan hari baik dan buruk atau apa yang secara umum dikenal dengan istilah ala-ayuning dewasa. Dan hal ini kita bisa lihat dalam “wariga dewasa” masyarakat Bali di mana di dalam wariga dewasa tersebut dijelaskan secara terperinci tentang baik-buruknya suatu hari, seperti apa yang terdapat dalam kalender Bali.

Oleh karena begitu detailnya hal–hal yang dicantumkan dalam kalender itu sampai ada sebagian orang mengganggap bahwa kehidupan masyarakat sanatana dharma dipenuhi oleh takhayul dan tidak efisien. Apalagi masyarakat kita mengenal begitu banyak upacara, sehingga timbul kesan bahwa masyarakat sanatana dharma itu menghabiskan waktunya cuma untuk upacara. Ada pula yang mengganggap bahwa pemilihan hari baik atau buruk tersebut hanya bisa dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki banyak waktu luang terutama masyarakat agraris karena para petani tersebut tidak harus bekerja sepanjang waktu di ladang atau sawahnya.

Kalau kita simak secara teliti, bahwa keberadaan hari baik atau buruk tersebut sangat penting, karena semua hal ini dimaksudkan untuk kesejahteraan dan kedamaian kehidupan semua makhluk di alam raya ini, dan banyak terkandung makna filosofis pada ajaran tersebut. Kita bisa bayangkan bagaimana jadinya bila tatanan tata surya ini beredar secara tidak teratur, pasti terjadi kekacauan yang maha dahasyat di bumi ini. Bahkan dari jaman dulu orang meneliti pengaruh peredaran tatasurya tersebut bagi kehidupan manusia, seperti yang dilakukan oleh Phytagoras, Aristoteles, Dante, St. Thomas Aquino dan dari mereka inilah yang memperkenalkan Astrologi kepada dunia. Bahkan di Eropa pada abad XIV ada jurusan Astrologi di Fakultasnya.

Dewasa Ayu dan Pesan Kewaspadaan
Pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan dewasa itu cuma membuang-buang waktu, tidak efesien, dan pendapat-pendapat miring lainnya tersebut merupakan suatu ungkapan ketidaktahuan tujuan dari pemilihan hari yang mujur tersebut. Sesungguhnya dengan adanya penentuan hari baik atau buruk itu kita selalu diajarkan waspada dan tanggap terhadap lingkungan. Namun sayangnya masyarakat kita sering terkecoh oleh slogan-slogan yang mengatasnamakan efisiennya, logis, praktis dan lain-lainnya. Padahal sesungguhnya betapa pun majunya negara itu, betapa pun sibuknya seseorang, mereka sebenarnya masih mempertimbangkan keberadaan hari baik atau buruk tersebut. Cuma dasar yang dipilih sebagai perhitungannya sedikit berbeda, misalnya ada yang mendasarkan perhitungannya berdasarkan peredaran matahari, sehingga tanggal merupakan hal yang penting. Hal ini bisa dilihat di masyarakat Negara Barat.

Memang ada slogan “waktu adalah uang” tetapi sebenarnya prinsip tersebut cuma berlaku pada proses pemenuhan kebutuhan hidup, dimana manusia diharapkan bisa mengisi waktu tersebut secara baik menurut situasi suatu wilayah. Misalnya di Eropa saat musim tertentu mereka berpacu dengan waktu dengan kerja keras, sedangkan di lain kesempatan mereka menikmati waktu tersebut untuk bersenang-senang dan itulah hari yang baik buat mereka. Jadi bagi bangsa yang mengalami perubahan musim secara cepat, mereka juga harus cepat beradaptasi dengan keadaan sehingga dewasa ayu mereka pun berbeda dalam menentukan hari mujurnya dengan masyarakat yang bisa melihat matahari sepanjang tahunnya.

Dewasa Ayu di Eropa
Sebagai perbandingan saja tentang dewasa ayu bagi orang eropa untuk mengadakan pernikahan kebanyakan mulai pada musim semi sampai akhir musim panas, sedangkan masyarakat kita di lingkungan sanatana dharma di mana sang surya bisa dilihat hampir sepanjang tahun, maka musim bukanlah patokan lagi untuk mendapatkan hari baik. Maka untuk menentukan waktu baik untuk pernikahan akan ditentukan berdasarkan sasih, pawukon mengkombinasikan beberapa wewaran. Walaupun terhadap perbedaan penentuan hari tersebut, namun apa yang ingin dicapai adalah suatu keberuntungan dan kesejahteraan bagi semua makhluk hidup.

Masyarakat Hindu yang hidup di daerah kathulistiwa memang sangat beruntung karena mereka bisa melihat matahari sepanjang tahun, bisa mengamati perubahan fase bulan di langit, melihat galaksi bima sakti setiap saat, tentu perhitungan hari baik maupun buruk itu lebih detail, karena mereka benar-benar ingin mendapatkan hari mujur yang paling baik. Dan hal inilah yang kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga tampak masyarakat sanatana dharma itu hidup sangat ruwet dengan pedewasan itu.

Tengai Tepet dan Sandyakala
Di balik maksud penentuan hari baik tersebut sebenarnya ada tujuan dari pemilihan dewasa ayu tersebut, yaitu mengajarkan masyarakat kita untuk selalu berkoordinasi dan saling bertoleransi dengan alam, sehingga terjadi suatu keharmonisan, kedamaian (shanti) di jagat raya ini, sehingga hal-hal buruk bisa dihindari seperti bencana alam atau hal buruk-buruk lainnya bisa dicegah dan tujuan mencapai masyarakat yang jagad hita bisa dicapai. Contoh saja nasehat orang tua kita, kita dulu disuruh menghindari bepergian pada “tengai tepet”, “sandi kala”, karena jam-jam tersebut dianggap “tenget”. Padahal sebenarnya tujuan dari nasehat itu adalah agar kita istirahat sejenak pada jam tengai tepet tersebut karena pada jam tersebut sinar matahari begitu terik dan saat sandikala penglihatan kita tidak begitu jelas. Begitu juga tentang perhitungan hari-hari baik buruk lainnya, sepanjang kita mengerti bahwa keberadaan hari baik atau buruk tersebut dimaksudkan untuk kebaikan, maka setiap hari itu bisa dianggap hari mujur, seperti yang dikatakan oleh Swami Wiwekananda.

Seperti disebutkan diatas bahwa semua masyarakat di seluruh jagat raya ini memiliki hampir kemiripin dalam kehidupan mereka dimana mereka semua ingin mencapai suatu keharmonisan, kedamaian bagi alam semesta. Sepanjang kita bisa bertoleransi dengan alam, maka alam akan bersahabat dengan kita. Penentuan hari baik atau buruk itu sesungguhnya untuk menyadarkan kita agar kita selalu waspada dan tanggap terhadap suatu keadaan di sekeliling kita. Inti utama dari dewasa ayu itu adalah untuk menaklukkan nafsu, perasaan, kemauan yang ada dalam diri kita.

Dewasa Ayu Penting, Lebih Penting Perilaku Ayu (Baik)
Mengetahui hari baik atau buruk dalam kehidupan sehari-hari penting, namun lebih penting lagi kalau kita bisa menerapkan makna hari baik tersebut dalam kehidupan nyata kita. Karena hakekat terpenting dari dewasa itu adalah suatu implementasi nyata. Akan menjadi hal yang luar biasa bila kita bisa merubah hari yang dianggap kurang mujur itu menjadi suatu hari yang sangat memberi keberuntungan. Karena selama ini kita cuma memahami suatu hari baru sebatas hari tenget, tanpa kita mau mengkaji secara lebih dalam lagi makna sesungguhnya dari hari tersebut.

Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat harus cerdas dalam bersikap dan memaknai suatu keberadaan hari itu. Kita harus bisa menerapkan logika, etika, rasa secara seimbang. Hari itu bisa diibaratkan mengambil air dari sumbernya, tergantung bagaimana kita mengolah air dan menempatkan air tersebut apakah kita jadikan es air tersebut, atau dijadikan parfum atau jadikan apa. Semua itu tergantung kita masing-masing.

Sekali lagi perlu diingat bahwa keberadaan hari baik tersebut tergantung dari sistem yang kita terapkan kepada masing-masing makluk hidup sesuai adaptasi dirinya dengan alam dan apa yang kita lakukan seharusnya didasarkan atas kesadaran bukan sekedar kepercayaan membabi butha. Perlu adanya pertimbangan logika, etika dan rasa.

Memilih Hari Baik di Zaman Modern
Dihubungkan dengan kehidupan modern yang serba cepat, perlukah kita memilih hari baik? Menurut pendapat penulis, justru di zaman modern yang serba cepat inilah kita perlu mempertimbangkan keberadaan hari baik atau buruk tersebut, karena di zaman sekarang ini telah terjadi ketidakteraturan kehidupan manusia. Di zaman inilah penting bagi kita untuk bisa menaklukkan rasa, nafsu kita serta kemauan kita, agar tercipta suatu rasa damai, sejahtera dan harmonis dengan alam sekitar kita. Karena kompleksnya kebutuhan manusia zaman sekarang ini, di mana sering terjadi bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia sering dilakukan dengan tidak berdamai dengan alam akibat pola hidup yang konsumtif. Bahkan Gandhi pernah mengatakan, bahwa alam sudah menyediakan cukup makanan untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak cukup untuk bagi yang rakus.

Akan sangat ironis bila hari yang dipilih tersebut dianggap mujur, namun bila efek yang ditimbulkan masyarakat justru sebaliknya, yaitu membawa bencana besar bagi lingkungan sekitarnya. Misalnya orang mau membangun sebuah bangunan untuk hunian tamu memilih dengan seksama hari yang baik tersebut dengan memperhatikan peredaran matahari, bulan, wastu, Feng-Suinya dan aspek-aspek lainnya, namun akan sangat memalukan bila pemilihan hari baik tersebut tidak disertai dengan memperhatikan kondisi lingkungan, seperti dengan membabat hutan, membongkar tebing atau tindakan pengrusakan lainnya. Maka dalam hal ini penentuan hari baik untuk membangun tersebut akan percuma.

Sekali lagi menentukan hari baik itu perlu, namun jauh lebih penting lagi bila kita bisa menjadikan setiap hari adalah hari yang mujur bagi semua makhluk di jagat raya ini. Kita bisa mengambil contoh dari kehidupan Negara maju, di mana masyarakatnya tidak saja berteori tentang hari mujur, tetapi juga menerapkan keberadaan hari baik tersebut dalam kehidupan nyata. Misalnya mereka dengan kesadaran penuh menjaga kebersihan lingkungannya agar terbebas dari sampah plastik ataupun bahan-bahan yang bisa mengganggu kesehatan dan lingkungan mereka.

Sebagai pemeluk ajaran sanatana dharma yang memiliki perhitungan hari baik dan buruk secara sempurna marilah kita laksanakan ajaran tersebut agar setiap hari di kehidupan kita membawa keberuntungan, membawa keharmonisan bagi semua makhluk dan setiap makhluk merasa hidup nyaman di hati dan lingkungannya. Entah apa pun jenis perhitungan hari baik atau buruk tersebut, entah berpatokan dengan sistem Julius Caesar, Gregorian, Lunar system dengan entah itu tarikh Jawa atau Bali hal itu tidak menjadi masalah, yang penting bagaimana caranya agar kita semua bisa mewujudkan tujuan dari penentuan hari baik tersebut yaitu kehidupan yang sejahtera, harmonis dan damai.

Memang secara teori hari baik sangat dipengaruhi oleh posisi tatanan tata surya, namun penting untuk dipahami bahwa nasib kita juga ditentukan oleh phala karma dalam kehidupan kita. Oleh karena itu marilah kita pintar-pintar melaksanakan ajaran tersebut dalam kehidupan nyata kita. Agar dunia tahu bahwa ajaran sanatana dharma itu bukan doktrin-doktrin sempit yang bisa mengkerdilkan pola pikir beragama.

Selanjutnya......

Dewasa Ayu dalam Weda

N. Putrawan

Dalam Itihasa Mahabharata dikisahkan Rsi Bhisma terbaring di padang Kurukshetra dengan tubuh dipenuhi hujaman anak panah. Jika ia tidak memiliki berkah untuk memilih sendiri hari kematiannya, maka tentulah ia sudah binasa saat panah-panah Arjuna menembus tubuhnya pada perang Bharata Yudha itu.

Namun, berkat anugerah istimewa yang dimilikinya, bahwa ia dapat menentukan sendiri hari kematiannya, maka Bhisma memilih terbaring di padang Kurukhetra dengan kondisi sangat memiriskan dan memprihatinkan. Ia rela melanjutkan hidupnya dalam keadaan menderita selama beberapa waktu, sampai matahari kembali mengorbit di lintang utara (Ngutarayana). Mengapa Bhisma merasa begitu penting untuk menentukan hari kematiannya pada saat uttarayana?

Demikianlah dalam Bhagavadgita disebutkan:
Agnir jyotir ahah suklah
Sanmasa uttarayanam
Tatra prayata gachchhanti
Brahma brahmavido janah

Artinya:
Di kala api, cahaya, siang hari, purnama
Dan enam bulan musim matahari ada di utara
Apalagi pada saaat itu ajal tiba,
Orang yang mengetahui Brahman pergi ke Brahman
(Bhagavadgita VIII. 24)

Dhumo ratris tatha krishnah
Sanmasa dakshinayanam
Tatra chandramsam jyotir
Yogi prapya nivartate

Artinya:
Di kala asap, malam hari, bulan mati
Dan enam bulan musim matahari ada di selatan
Apabila saat itu ajal telah memanggil,
Yogi yang mencapai cahaya bulan kembali
(Bhagavadgita VIII. 25)

Dua sloka di atas menjelaskan waktu yang baik bagi keberangkatan roh meninggalkan badan untuk menuju tempat barunya. Roh yang meninggalkan badan memiliki tujuannya yang baru. Tujuan pertama, bilamana keterikatan dengan dunia material (duniawi) masih kuat, maka sang roh akan mudah terseret jatuh lagi di dalam dunia material. Entah terlahir kembali sebagai manusia, binatang, tumbuhan, sebagai dewa, menjadi assura maupun bentuk-bentuk lain. Sedangkan yang kedua, bilamana roh mendapatkan pencerahan semasa kelahiran sebagai manusia, maka ia akan mencapai pembebasan dan tak terlahir lagi di alam material manapun.

Sloka Bhagavadgita menyebutkan, para yogi (Dia yang mempraktikkan jalan menuju penyatuan denga asal mula /Tuhan) yang meninggal saat matahari ada di utara (Uttarayana), maka yang bersangkutan akan tiba pada Brahman (Tuhan). Sebaliknya, bilamana ajal tiba saat matahari ada di orbit lintang selatan khatulistiwa, maka roh yogi yang meninggal akan kembali lagi ke dunia (reinkarnasi).

Sloka tersebut menegaskan pentingnya sebuah momen tertentu untuk kegiatan tertentu pula. Namun, waktu yang baik saja belumlah cukup untuk mewujudkan sesuatu cita-cita mulia, lebih-lebih cita-cita spiritual. Akar dari cita-cita spiritual, mencapai tyaga, mukti, moksa haruslah dilandasi sebuah sadhana. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita:

Machchittah sarvadurgani
Matprasadat tarishyasi
Atha chet tvam ahamkaran
Na sroshyasi vinankshyasi

Artinya:
Memusatkan pikiran padaKu, engkau akan
Mengatasi, dengan restuKu, segala kesukaran
Tetapi bila dengan egoisme kau tak sudi mendengarkan
Engkau akan hancur musnah berantakan
(Bhagavadgita XVIII. 58)

Sarvadharman parityajya
Mam ekam saranam vraja
Aham tva sarvapapebhyo
Mokshayishyami ma suchah

Artinya:
Setelah meninggalkan tugas kewajiban semua
Datanglah hanya kepadaKu untuk perlindungan
Janganlah berduka, sebab Aku akan
Bebaskan engkau dari segala dosa.
(Bhagavadgita XVIII. 66).

Bahasa yang luas dan detail diuraikan dalam Bhagavadgita mengenai aspek latihan fisik, latihan mental, proyeksi pikiran, skup pergaulan, ideasi spiritual, dan lainnya. Bagi umat manusia yang menetapkan diri sebagai bhakta Tuhan, semua pengetahuan Weda itu berujung pada satu hakikat, yaitu harus memulai sebuah praktik langsung dari diri sendiri untuk mendorong diri lebih maju, berevolusi ke tingkatan yang semakin luhur. Sebutlah uraian tentang golongan makanan yang bertipe tamasik, rajasik dan satwik. Satu golongan makanan tertentu harus dikonsumsi bilamana hendak berjalan di jalan spiritual. Demikian juga, menyangkut tata kehidupan sosial, di mana ada jalan bagi seorang sukla brahmachari (selibat) dan ada juga jalan berjenjang melalui catur ashrama dharma di dalam menapaki spiritual. Pendek kata, tidak cukup mengandalkan uttarayana saat ajal tiba untuk mencapai pembebasan.

Hanya karena satyam (kebenaran) dari Rsi Bhisma dapat karunia pergi meninggalkan badannya pada saat hari dipenuhi cahaya (Kecemerlangan). Selama hidupnya, Bhisma menegakkan prinsip-prinsip ksatria dharma sebagai swadharma-nya. Memegang teguh sumpah yang telah dipenuhinya dan menepati etika moral seorang ksatria. Dengan komitmen itulah ia mendapat jaminan dapat pergi ke planet rohani dengan jalan bertaburan cahaya kesucian.

Dengan demikian, menegakkan ala ayuning dewasa dalam sebuah ritual tidaklah serta merta memberi jaminan berkualitasnya sebuah persembahan. Hanya orang-orang yang telah melaksanakan swadharma-nya secara patut selama hidupnya layak mendapat waktu atau hari baik di dalam memulai pekerjaan-pekerjaan pentingnya, bahkan ketika memulai perjalanan baru tanpa badan fisik alias perjalanan saat mati. Kesimpulan pendeknya: lakukanlah kewajiban dulu sebaik-baiknya, maka hari baik itu akan datang kemudian pada si pelaku. Hari baik tidak pernah datang lebih awal dari kewajiban-kewajiban (Swadharma).

Selanjutnya......

MEMBURU HARI BAIK DI TENGAH JADWAL PADAT

Gede Agus Budi Adnyana

Jika kita melihat sebuah tabel perhitungan wariga yang kita sebut dengan istilah tika, maka kita akan menemukan ada ingkel wong, dan setiap hari dimana ingkel wong ini ditemukan, maka diyakini sebagai hari kurang baik bagi pekerjaan dan rencana lain. Di jaman dulu, penentuan hari yang baik sangat diperlukan untuk memenuhi harapan yang nantinya akan berhasil dengan baik, namun berbeda dengan sekarang.

Paradigma orang berpikir, bahwa hari baik adalah hari di mana pikiran kita dalam melakukan sesuatu dalam keadaan segar dan baik, maka disanalah hari baik sesungguhnya. Paradigma ini akan didukung kembali oleh persaingan sekarang yang tentu saja akan berorientasi pada hemat waktu tenaga dan uang. Jika bisa dilakukan sekarang, maka untuk apa menunggu hari yang baik yang jatuhnya sebulan lebih lama. Atau jika dapat dilakukan sekarang yang tentu saja akan menghemat waktu dan tenaga, mengapa kita harus menunggu saat yang lebih lama.

Terlebih lagi, waktu adalah uang, dan siapa cepat dia dapat. Belum lagi slogan yang mencekoki pikiran kita bahwa melakukan sesuatu “lebih cepat lebih baik”. ini kembali didukung kembali oleh sebuah pepatah tua yang menyatakan “sasih alah dening wuku, wuku alah dening dina, dina alah dening dauh, dauh alah dening atmanastuti. Jadi bulan akan dikalahkan dengan minggu, minggu akan dikalahkan juga dengan hari, hari akan dikalahkan dengan waktu, dan waktu itu sendiri akan dikalahkan dengan pikiran yang jernih.

Jika seseorang melakukan sebuah pekerjaan seperti mulai menulis, para rakawi di jaman dahulu mencari dewasa yang baik, meliputi bulan yang dianggap baik, hari yang baik dan waktu yang baik. Tetapi penulis sekarang, akan kalah saing jika dia harus menunggu bulan dan minggu atau hari dan waktu yang baik. Dia akan ketinggalan kereta, dan satu-satunya jalan terakhir adalah menggunakan pembenaran seperti atmanastuti, yakni ketika hari ini dia memiliki pikiran yang baik, maka hari ini juga dia akan mulai menulis.

Hal ini kemudian menjurus kepada semua pekerjaan, dan juga perkawinan. Sampai pelaku bisnis, sekarang ada sekarang dijalankan. Nah, sekarang kita berpikir dari segi yang berbeda. Ada banyak para ahli wariga tidak sependapat dengan tata cara ini, meskipun diakui hemat waktu biaya dan tenaga. Bukan sebuah cara untuk menunda pekerjaan, tetapi memilih hari yang baik, adalah sebuah hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Konon bila salah dalam memilih hari, maka akan berakibat fatal. Misalnya, seseorang menikah di hari yang bertepatan dengan bojog megandong, kala brahma, kala rumpuh, gne rewana, titi buwuk, maka seluruh ahli wariga akan menyatakan bahwa mereka yang menikah pada hari seperti itu, maka rumah tangganya kelak akan cepat cekcok, pertikaian dalam rumah tangga, apapun yang dikerjakan tidak akan berbuah baik, dan jika melakukan perjalanan akan terhambat. Malangnya akan timbul perselingkuhan. Meskipun hal ini bisa saja ditepis dengan menyatakan, bahwa untuk selingkuh dan mempertahankan adalah masalah komitmen pasangan, tetapi pandangan ahli wariga menyatakan bahwa situasi seseorang dipengaruhi oleh hari, situasi dan keadaan, jika di hari itu buruk wariganya, maka situasi yang berpengaruh juga buruk.

Pernyataan yang paling membela pakar wariga kita adalah mengapa para rakawi, undagi dan sebagainya dapat dikenal dengan hebat lewat hasil karyanya. Itu disebabkan karena mereka memilih hari yang baik untuk melakukan pekerjaan mereka. Tukang tulis daun lontar seperti Mpu Manoguna, akan memilih hari yang baik ketika beliau mulai menuliskan syair syair puisi yang sekarang kita kenal dengan nama Sumanasantaka. Hampir seluruh penekun sastra Jawa Kuna, baik di Bali hingga di UGM, sampai di Harvad University dan penekun sastra di Belanda mengetahui karya beliau, ini disebabkan karena selain manahira atau atmanastuti yang baik, hari yang baik ketika mencari lontar, merendamnya, hingga menuliskannya ditentukan sekali.

Hari yang baik itu sendiri, akan mempengaruhi pikiran (atmanastuti) orang tersebut. Pernyataan bahwa semuanya alah dening atmanastuti, disebabkan karena adanya saat-saat genting dan darurat yang tidak memberikan pilihan waktu yang lain untuk melakukan sebuah pekerjaan. Itu pun hanya keperjaan dan situasi yang benar-benar darurat. Dalam kitab Mahabharata kita pernah menemukan bahwa ketika 12 hari akan disamakan dengan 12 tahun, oleh Bhima dan Arjuna, juga oleh Bhisma Putra Gangga.

Mereka hendak menyerang Hastinapura dan menyatakan bahwa penyamaran mereka berakhir hari ini, tepat ketika 12 hari ini. Tetapi Maharaja Yudhisthira menyatakan bahwa itu tidaklah benar. Ia mengatakan, bahwa12 tahun tetaplah 12 tahun, dan 12 tahun baru dapat disamakan dengan 12 hari bila saat yang kritis dan genting. Sedangkan saat itu tidak dalam keadaan demikian, maka kurang tepatlah jika memutarbalikkan sebuah hari dan keadaan sekehendak hati kita. Dengan adanya demikian, semoga kita dapat memilih dan memilah, mana yang harus dilakukan saat apa dan di hari apa, serta waktu dan keadaan yang bagaimana.

Selanjutnya......

MEMELIHARA TRADISI WEDA DEGAN TRI KONA

I Ketut Wiana

Adat istiadat Hindu sebagai bentuk Veda Abhyasa agar terus Nutana atau muda dan segar harus dipelihara dengan benar, baik dan tepat.Tujuan memelihara adat istiadat Hindu itu agar tradisi Veda itu terus bisa menyesuaikan dengan perubahan jaman.Yang penting isi adat istiadat itu Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Adat istiadat sebagai kemasan mengamalkan ajaran Hindu bisa terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan jaman.

Saat jaman di dominasi oleh budaya agraris, maka adat istiadat Hindu senantiasa bercorak agraris. Kalau jaman sudah berubah menuju budaya industri, maka adat istiadat itu harus disesuaikan dengan suasana hidup masyarakat industri. Dahulu masyarakat sangat homogen, maka corak adat istiadat Hindu itu sangat kental dengan budaya mono kultur. Yang penting unsur yang paling subastansi tidak berubah. Ibarat makanan yang dikonsumsi oleh semua umat manusia.

Demikian juga adat istiadat Hindu dimanapun berkembang selalu harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Meskipun adat istiadat Hindu itu harus senantias diremajakan, agar selalu segar tetapi harus baik, benar dan wajar selalu melancarkan pengamalan Sanatana Dharma. Berubah tidak sekedar berubah, perubahan itu harus perubahan ke arah yang semakin baik, benar dan wajar.

Dalam Pustaka Bhuwana Kosa IV.33. dinyatakan, bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya dan juga menciptakan Tri Kona bagi ciptaaNya.Tri Kona itu adalah Utpati, Sthiti dan Pralina. Dengan Tri Kona itu tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak kena hukum Tri Kona. Alam dengan segala isinya ini akan muncul atau lahir disebut Utpati. Selanjutnya Sthiti atau eksis di alam ini. Kalau sudah waktunya ciptaan tersebut akan mengalami Pralina atau tidak ada lagi. Demikian juga tentang adat istiadat Hindu itu, memang asalnya dari Sabda Tuhan sebagai kebenaran yang kekal abadi atau Santana Dharma.Tetapi yang mengamalkannya menjadi adat istiadat Hindu itu adalah manusia. Karena itulah adat istiadat Hindu itu kena hukum Tri Kona. Mau tidak mau pasti berubah.Yang diharapkan adalah adat istiadat Hindu itu berubah ke arah yang semakin baik, benar dan wajar. Karena itu perubahan adat-istiadat Hindu itu harus direncanakan dan diarahkan sesuai dengan konsep Hindu itu sendiri.

Agar masyarakat Hindu itu memiliki kemampuan mengadakan perubahan adat-istiadatnya atas dasar hukum Tri Kona itu, maka umat Hindu sebagai pendukung adat istiadat itu harus dibina memiliki prilaku mulia atau memiliki prilaku yang Satvika dengan menguasai Guna Rajah dan Tamah. Dalam Matsya Purana 53,Sloka 68 dan 69 ada dinyatakan, bahwa Tuhan turun sebagai Dewa Tri Murti menjadi Guna Avatara membimbing manusia dalam mengendalikan Tri Guna-nya,Tuhan ber-Avatara sebagai Dewa Wisnu berkedudukan untuk menguatkan Guna Sattwam.Tuhan ber-avatara sebagai Dewa Brahma untuk meredam Guna Rajah agar selalu terkendali aktif ke arah yang positif. Tuhan ber-Avatara sebagai Dewa Rudra untuk mengendalikan Guna Tamah agar menjadi positif juga.

Dalam pustaka Tattwa Jnyana 10 dan juga pustaka Wrehaspati Tattwa 20 dan 21 ada dinyatakan, bahwa bila Guna Sattwam dan Guna Rajah sama-sama kuat mengendalikan Citta atau alam pikiran, maka Guna Sattwam akan membuat orang berniat baik dan mulia. Sedangkan Guna Rajah menyebabkan orang berbuat yang baik atau Subha Karma, kalau hal itu benar-benar terwujud maka Atman pun akan masuk Sorga. Bila Guna Sattwam, Rajah dan Tamah sama-sama kuat menguasai Citta, maka orang akan berbuat baik dan buruk silih berganti, maka Atman pun akan mengalami Samsara atau bolak-balik menjelma ke dunia ini.

Hal inilah nampaknya yang menjadi dasar mengapa Mpu Kuturan pada abad ke 11 Masehi menganjurkan umat Hindu agar mendirikan Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa Pakraman, tujuannya sebagai sarana sakral untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti agar umat Hindu berupaya membangun sifat-sifat yang positif yaitu membangun keseimbangan Guna Sattwam dan Guna Rajah menguasai Citta. Dengan demikian umat Hindu pun akan senantiasa berniat baik dan juga berbuat baik dalam hidupnya. Kalau Tri Guna atau Sattwam, Rajah dan Tamah itu terkuasai dengan benar, maka dinamika Tri Kona pun akan senantiasa berjalan ke arah yang semakin baik, benar dan wajar. Dalam hal adat istiadat Hindu umat akan kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya di ciptakan. Akan terpelihara sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi. Demikian pula akan di-Pralina sesuatu yang sepatutnya di-Pralina.

Dengan konsep Tri Kona dan Tri Guna ini adat istiadat beragama Hindu ini akan senantiasa dinamis, harmonis dan optimis mentradisikan ajaran Hindu. Dengan demikian adat istiadat Hindu itu akan selalu segar dalam kemasan budayanya dalam bentuk adat istiadat Hindu, tetapi inti sarinya tetap kuat meningkatkan kwalitas prilaku dan kebiasan hidup umatnya. Sebagaimana dinyatkan dalam Sarasamuscaya 177, bahwa tujuan mendalami dan mengamalkan ajaran suci Weda adalah untuk meningkatkkan kwalitas prilaku atau Ayuning Sila dan meningkatkan kwalitas kebiasaan hidup bersama atau Ayuning Acara. Dengan demikian tradisi beragama Hindu itu tidak akan jadi beban yang memberatkan umat, tetapi justru tradisi beragama Hindu itu memberikan kontribusi positif pada kehidupan membangun rasa aman dan sejahtra sebagai syarat hidup bahagia.

Selanjutnya......

Sulitnya Mendapatkan Teman Sejati

I GEDE SUKRA DARMAYASA

Hidup sebagai makhluk sosial manusia tidak akan bisa hidup sendiri di dunia ini pasti membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dari sejak kecil hingga akhir hayat (meninggal) baik orang tua, saudara, keluarga, teman, pacar dan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, dari sejak lahir sampai sekolah TK ia akan selalu hanya bergantung kepada orang tua dan saudara-saudaranya, namun setelah ia sekolah akan bertemu dengan teman-teman yang diajak sekolah, sehingga ia tidak hanya bersama orang tua dan saudara saja, namun juga teman yang didapatkan ketika sudah sekolah. Setelah tingkat sekolahnya semakin tinggi khususnya SMA seseorang akan mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan mengungkapkan isi hatinya sehingga memiliki seorang pacar.

Biasanya ketika seseorang sudah memiliki pacar pasti perhatiannya akan lebih tertuju kepada pacarnya dibandingkan teman, saudara bahkan kepada orang tuanya. Ia akan lebih terikat dengan sang kekasih. Dengan melihat fenomena seperti itu kita dapat ketahui sulit untuk bisa mendapatkan teman yang benar-benar sejati dalam hidup. Bahkan sering terjadi sesama teman akrab hanya gara-gara hal sepele terutama anak muda perebutan seorang cewek atau pun cowok bisa berbuntuk pertengkaran padahal mereka merupakan teman yang sangat baik dan akrab dari dulu, namun hanya karena hal yang kecil bisa menjadi musuh. Sungguh sangat sulit untuk bisa mendapatkan teman yang sejati yang bisa kita ajak untuk berbagi baik dalam keadaan senang maupun sedih. Penulis sangat terketuk dengan cerita burung di bawah ini.

Dikisahkan sebatang pohon yang tinggi dan gersang di mana pohon ini sudah tidak memiliki daun. Di sana bertengger seekor burung yang sangat manis dengan suaranya yang sangat merdu. Akan tetapi burung-burung yang lain satu pun tidak mau hinggap di pohon yang gersang ini. Namun burung yang sutu ini tetap setia tinggal di pohon yang gersang.

Pada suatu hari datanglah seorang Pendeta dan menyapa burung itu, Hai, burung mengapa kamu tinggal di pohon yang gersang itu? Ayo terbanglah bersama teman-temanmu yang lain ke pohon yang lebih rindang! Burung itu menjawab, “Aku dulu dilahirkan di pohon ini, dibesarkan di pohon ini juga, pohon ini memberi aku makanan, dan di saat dia gersang aku tidak mau meninggalkanya, karena pohon ini seperti oramg tuaku sendiri.”

“Burung yang manis, mengapa pohon ini seperti ini?” Dan berceritalah burung itu kepada pendeta. “Dulu ada seorang pemburu yang datang kesini dan pemburu itu mau membunuhku, dia melepaskan panahnya ke arahku, dan dengan cepat aku bersembunyi di pohon ini. Akan tetapi anak panah itu mengenai batang pohon, kerena panah itu beracun maka rontoklah semua daun-daunnya. Sekarang aku tidak tega meninggalkanya saat ini.” Karena kesetian dari burung itu pendeta berdoa kepada Tuhan dan akhirnya pohon itu kembali tumbuh dengan indah. Dan burung-burung yang lain pun kembali berterbangan hinggap di pohon ini, mereka pun berkumpul kembali dengan penuh kadamaian dan kasih sayang.

Dari petikan cerita di atas dapat kita bayangkan bagaimana kesetiaan burung tersebut terhadap pohon yang sudah gersang itu. Namun dalam kehidupan di jaman kali yuga ini sangatlah sulit untuk bisa menemukan sahabat atau teman sejati yang bisa kita ajak berbagi, baik dalam keadaan senang maupun sedih. Biasanya dalam kehidupan ini ketika kita masih muda, banyak memiliki uang dan memegang jabatan yang tinggi pasti akan memiliki banyak teman dan semua orang ingin dekat dengan kita. Akan tetapi pada saat kita sudah tua, tidak memiliki uang yang banyak dan tidak memiliki jabatan serta kena masalah atau suatu kasus, kita pasti akan dijauhi apalagi ada orang yang iri dengan kita dan memiliki suatu jabatan, teman-teman yang dulu kita sayang dan beri makan pasti tidak akan berani dekat dengan kita.

Kalau kita andaikan, seperti orang Bali bilang, “Kadi kuluk berung mekejang sing bani paek.” Artinya bagaikan anjing yang sudah penyakitan atau kena rabies semua orang pasti akan takut dengan ajing tersebut. Padahal kalau dulu ketika anjing tersebut masih kecil dan lucu pasti semua orang menyayangi dan ingin menyentuh bulunya yang masih lebat dan indah itu, tetapi ketika anjing itu sudah tua dan bulunya sudah rontok serta sudah kena penyakit rabies pasti semua orang tidak akan berani mendekat bahkan anjing tersebut akan dibuang. Begitu pula dengan kehidupan kita ini, ketika masih memegang suatu jabatan yang tinggi semua orang mendekat, namun pada saat kita tertimpa suatu musibah atau kasus semua orang akan menjauh termasuk orang terdekat yang sudah dibantu untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau jabatan akan tidak peduli dengan kita.

Begitulah kehidupan saat ini baik disadari maupun tidak di jaman sekarang sangat sulit untuk bisa mendapatkan teman atau sahabat sejati, bahkan kita perlu waspada pada teman atau sahabat yang paling dekat atau akrab dengan kita karena tidak bisa dipikirkan ataupun diprediksi orang yang paling dekat kita akan menjadi musuh. Dalam hidup ini tidak ada teman maupun sahabat yang paling sejati adalah Tuhan, hanya kita saja kadang kala inggat kepada beliau hanya ketika sedih, namun ketika bahagia kita melupakan beliau yang sudah memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada kita semua.

Selanjutnya......

Kategori dari Umat Manusia

Anak Agung Gede Raka

Ketika kita berbicara tentang manusia, kita menganggapnya sebagai kombinasi dari tubuh, pikiran, dan jiwa (Atma). Tubuh merupakan sebuah alat untuk melakukan perbuatan, pikiran adalah kemampuan yang mampu menentukan mana yang baik dan mana yang salah, sedangkan Atma merupakan hal yang selalu bersifat murni, tidak berubah, dan kekal.

Manusia menggambarkan tiga hal: melakukan sesuatu, mengetahui, berada. Hanya jika tubuh, pikiran, dan Atma bersatu maka manusia (Manvatman) dapat dikatakan ada. Jika tubuh hanya bergerak sendiri tanpa hadirnya pikiran dan Atma, maka manusia tersebut dapat dikatakan dalam kondisi seperti hewan (Pasuthvam). Ketika pikiran bergerak sendiri dan bekerja sama dengan tubuh tanpa memperdulikan Atma, kondisi ini digambarkan sebagai iblis (Danavathvam), dan ketika Atma seseorang berfungsi sesuai dengan sifat aslinya tanpa memperdulikan tubuh dan pikirannya, maka disebut sebagai Daivathvam (bersatunya manusia dengan Tuhan). Oleh karena itu, manusia memiliki keempat sifat atau katagori tersebut: binatang, manusia, iblis, dan ketuhanan.

Berdasarkan atas prilaku mentalnya manusia diklasifikasikan kedalam kategori sebagai berikut:
Manusia yang seperti Tuhan (Deva-Manava): “Brahma Nishta Ratho Devah” dikatakan dalam ayat dari Weda yang berarti dia adalah manusia yang seperti Tuhan yang gembira atas penggabungan dirinya dengan Brahman dan selalu terlahirkan di dalam Brahman. Menunjukkan semua apa yang dilakukannya untuk Tuhan mencari segala sesuatunya sebagai bagian dari perwujudanNya dan dengan sangat gembira mengalami segala bentuk pantulan dari Tuhan. Manusia yang berketuhanan dapat menemukan kepuasan tersendiri di dalam hidupnya selalu berusaha untuk membantu orang lain dan menyirami cintanya kepada semua orang.

Daivam Manusha Rupena ‘Tuhan dalam perwujudan manusia’ ini berarti yang teragung hadir sebagai Vishnu di hati umat manusia. Tuhan dalam perwujudan manusia adalah seseorang yang sadar akan kekuatan ketuhanan yang berada di dalam dirinya, yang mengetahui kehadiran Tuhan secara adil di setiap umat manusia dan semua makhluk hidup, memiliki cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk serta mengabdikan dirinya untuk melayani Tuhan.

Manusia yang Manusia (Manava-Manava): Sathya Dharma Ratho Marthyaha, dirinya sendiri yang mendapatkan sebuah kesenangan di dalam kejujuran dan kebenaran. Dia menuntun hidupnya menurut prinsip dari kejujuran dan kebenaran. Dia dianugerahi berbagai sifat, seperti: kebaikan, kasih sayang, kemurahan hati, kedermawanan, dan penahanan diri. Oleh karena itu, manusia yang manusia menjalani hidup yang damai.

Manava-manavatva panggilan hidup yang ditujukan kepada Sathya dan Dharma. Sathya Dharma Bhawo Marthyaha ‘dia adalah manusia yang didedikasikan kepada kejujuran dan kebenaran’. Di dalam dunia yang ilusi ini, seseorang yang sadar akan kejujuran dan kebenaran, baik dalam setiap perkataannya dan perbuatannya serta menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada sesama merupakan sebuah tanda, bahwa manusia tersebut adalah manusia yang benar-benar manusia.

Tipe manusia-manusia adalah yang menjabarkan tugas yang diberikan kepadanya dalam hidup menurut tahapan Brahmacharya, Grihastha, Vanaprastha, Sanyasa dan menuju kehidupan yang suci dan murni. Seseorang yang berjuang untuk mendapatkan atau menjalankan nilai-nilai dasar kemanusiaan dari kejujuran dan kebenaran, kedamaian, dan cinta, mereka akan hidup dalam sifat-sifat dasarnya sebagai manusia.

(3) Manusia yang iblis (Manava-Danava) adalah manusia yang memiliki sifat iblis menghabiskan waktunya dalam sebuah aktifitas tamasik, seperti: makan, minum minuman keras, tidur dan seterusnya. Dia hanya peduli akan kepentingan dan kesenangannya sendiri dan tidak pernah memperdulikan kebahagiaan orang lain. Kebaikan dan kasih sayang merupakan sesuatu yang asing baginya. Inilah yang digambarkan oleh Upanishad tentang karakter orang yang memiliki sifat iblis.

Tipe manusia yang seperti ini mengikuti tindakan-tindakan yang dilakukan oleh iblis tidaklah hanya dalam masalah yang berhubungan dengan makanan dan kesenangan, akan tetapi mereka juga melakukan perbuatan yang berhubungan dengan kekejaman dan kekerasan.Mereka menjalankan hidupnya bertentangan dengan moralitas dan keadilan.

Manusia yang memiliki sifat binatang (Manava-Pasuthva) adalah tipe manusia yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencari kepuasan sensual dari kelahiran hingga kematian. Dalam kondisi ini manusia menjadi lebih buruk dibandingkan dengan binatang buas, karena binatang buas masih dipengaruhi oleh insting, sedangkan manusia tidak ada pengecualian, alasan maupun waktu dari sifat tidak berbudi dari manusia yang tidak dapat mengontrol sifat iblis yang muncul didalam dirinya.Pikirannya berada di dalam segala bentuk pengkhianatan pada kebenaran.

Jnanena Sunyah Pasubhissamanah ‘manusia tanpa kebijaksanaan sama halnya dengan binatang’. Apakah sifat dari binatang? Diperintah oleh insting, mementingkan kesenangan sensual sebagai tujuan utama hidupnya. Manusia seperti ini diibaratkan sebagai binatang di dalam tubuh manusia. Sebuah nilai yang membedakan manusia dengan hewan adalah kebijaksanaan, kemampuan untuk membedakan mana yang abadi dan yang tidak. Manusia yang tidak memiliki kemampuan ini tidak lebih baik dari binatang.

Oleh karena itu, setiap manusia harus menyatakan dengan tegas ,“Aku adalah manusia dan bukan binatang”. Hanya ketika manusia memiliki kedua keyakinan ini maka manusia akan terhindar menjadi binatang dan mampu mempertahankan nilai kemanusiaannya.

(5) Manusia yang hina (Manava-Henatvam). Ada satu kategori lagi yang lebih buruk dari manusia yang memiliki sifat layaknya binatang. Ia adalah manusia yang hina yang akan menyiksa dirinya untuk menyakiti orang lain. Dia akan siap kehilangan kedua matanya hanya untuk melihat seseorang kehilangan sebelah matanya. Dia akan menyakiti orang yang telah berbuat baik terhadap dirinya. Ini merupakan manusia yang paling rendah dan hina dari semua jenis atau tipe dari umat manusia.

Apakah alasan dari manusia yang tetap memelihara sifat binatang di dalam dirinya walaupun setelah mencapai tingkatan manusia? Harus kita catat bahwa manusia mendapatkan hidupnya sebagai manusia setelah melalui kehidupan dari berbagai species (ribuan kelahiran). Karena fakta inilah sifat kebinatangan muncul di dalam dirinya. Seseorang mungkin ditemukan menjalani kehidupan yang tidak tenang karena pikirannya penuh keragu-raguan. Dia mungkin akan melakukan begitu banyak usaha untuk mendapatkan ketenangan, akan tetapi rasa tidak tenangnya terus berkembang.

Jika kita mencari alasan dari semua ini, jawabannya telah disediakan oleh Weda. Orang yang dimaksud pernah menjadi seekor kera pada kehidupannya yang terdahulu dan telah mewariskan beberapa sifat kera yang selalu berubah-ubah. Ketika kita menemukan sifat manusia seperti berbohong, pencuri, penakut atau kebodohan, maka hal itu dianggap sebagai sifat yang terbawa dari kehidupan mereka sebelumnya. Cara atau usaha untuk menyingkirkan sifat tersebut adalah melakukan semua tindakan yang menuju kepada ketuhanan. Kecenderungan untuk mencuri ada di setiap orang, mencuri merupakan sifat asli dari kucing. Mental yang tidak stabil merupakan ciri dari kera. Kebodohan merupakan ciri sifat dari domba. Keras kepala merupakan ciri sifat dari kerbau. Sifat atau ciri dari hewan-hewan yang berbeda ini tampak dalam tindakan dari manusia yang timbul dari sifat hewan yang bersangkutan.

Selanjutnya......

Melangkah dari Kecerdasan Spiritual Menuju Pembebasan


I Nyoman Musna

Tatkala kesadaran Atma melebur dengan kesadaran Maha Agung
Maka yang tersisa hanyalah kebahagiaaan tanpa batas
(musna)

Di setiap perenungan akan muncul pertanyaan untuk apa Sang Pencipta memberi kecerdasan setiap insan kehidupan? Apakah hanya untuk mempermudah melakukan kehidupannya, ataukah kecerdasan itu ada memang sebagai pelengkap dari proses penciptaan. Adakah suatu kecerdasan yang dapat membebaskan diri dari proses penciptaan menuju ke keabadian? Pertanyaan seperti itulah yang sering menghantui diri di setiap perenungan kapan dan dimana perenungan itu dilakukan.


God Spot
Telah diketahui bahwa kecerdasan yang sudah diperkenalkan oleh para ahli psikologi seperti Kecerdasan Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) pertama kali dilontarkan oleh Alfried Binet, seorang psikolog Perancis pada awal abad ke-20. Seterusnya jelang akhir abad ke-20 oleh Daniel Goleman memomulerkan Kecerdasan Emosional atau Emotional Quotient (EQ). Manusia dianggap cerdas bukan hanya dari kemempuan inteketual semata, akan tetapi perlu memiliki hati nurani yang bersih (Positif filing better than positif thanking). Kemudian di tengah derasnya arus globalisasi, EQ dirasa belum cukup. Maka muncullah Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) di abad ke-21 atas hasil riset Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University). Bahwasannya di dalam otak manusia ada yang namanya God Spot Daerah ini dianggap sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang letaknya di antara jaringan otak dan saraf yang memintal jalinan makna pengalaman hidup.

Dengan adanya kecerdasan seperti itu, apakah akan menjamin bagi setiap insan kehidupan meraih kebebasan, mengingat tujuan hidup setiap insan adalah kelanggengan abadi (immortality). Kebahagiaan abadi melalui kesadaran supra, kedamaian abadi, itu semua hanya kata-kata indah dalam melukiskan sebuah nikmat kesadaran abadi. Permasalahan dan pertanyaan yang mungkin muncul pada diri kita, apakah kita cukup hanya terpuaskan dengan kata-kata indah itu? Apabila jawabnya tidak, maka hendaknya jangan berhenti sampai di sana. Teruskan langkah menuju ke kesadaran yang lebih dalam serta alami, bukan sekedar berteori. Seperti halnya hendak melihat bulan. Menghadaplah ke atas lihat bulan di langit, bukan di tempayan yang berair, karena bulan yang tampak pada tempayan itu hanyalah bayangan belaka.

Tujuan hidup pada dasarnya adalah menyadari adanya lapisan jiwa (Atma) yang lebih tinggi disebut Diri sejati yang bersemayam di dalam diri, dan mengintegrasikan diri itu dengan alam sadar kita setiap hari. Ketika kesadaran kita sudah melewati kesadaran materi dengan kecerdasan IQ dan EQ, maka selanjutnya menuju kesadaran jiwa (Atma) melalui kecerdasan SQ. Dari kesadaran diri sebagai Atma maka menuju ke kesadaran Agung Parama Atma. Kesadaran Atma merupakan kereta kencana untuk ditumpangi agar sampai pada kesadaran hakiki (dari kesadaran transenden ke imanen). Tuhan dalam diri kita hanya terwujud apabila kita mengharuskan diri kita kepada pengendalian. Tuhan bekerja dalam diri tetapi ini memerlukan usaha supaya Dia bersinar kesegala penjuru. Demikian tertuang dalam Upanisad-upanisad Utama. Demikian pula halnya Atma yang ada pada setiap makhluk. Bagai mentega ada dalam susu, seperti api yang tersembunyi pada kayu.

Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan Spiritual sampai saat ini dipandang sebagi kecerdasan yang paling tinggi. Dari kecerdasan spiritual yang bersinar cemerlang, tidak jarang ditemukan pengetahuan yang sulit dicerna dengan kecerdasan yang lain (IQ dan EQ), mungkin bisa kita sebut pengetahuan universal (univers of knowlages). Pengetahuan semacam ini dikenal dengan Wahyu yang sering di terima oleh para mahayogi. Ketika kecemerlangan cahya spiritual berkembang memenuhi cakrawala pikiran dan hati nurani, maka bunga cinta kasih universal akan mekar menebar kedamaian, ketentraman, kebahagian serta kebijaksanaan. Kesadaran dan cinta kasih universal terus bertumbuh, kemudian berkembang menuju kesadaran cinta kasih Maha Agung.

Kondisi seperti ini akan bisa terjadi apabila kesadaran diri sang Aku sebagai jiwa (Atma) dapat melebur kepada kesadaran sang AKU (Maha Agung). Inilah saat Samadhi yang dialami bagi sang meditator (great unity). Keadaan ini dapat diumpamakan bagi air hujan yang telah menyatu dengan air laut. Tak ada lagi pemisahan mana air hujan, yang tampak hanyalah kilauan air laut di samudra luas. Tiada lagi batas-batas pemisah antara “Aku-Kamu”, tiada lagi sekat–sekat penghalang, tiada lagi nama, rupa, dan agama. Hanya penyatuan dengan yang Maha Agung, luas, dan sempurna. Yang dapat dirasakan hanyalah kebahagian di atas kebahagian (unlimited happiness). Kemudian pada saat seperti ini japa yang dilantunkan merupakan mantram sangat pingit, yaitu “Aham Brahman Asmi.” Demikian selanjutnya, apabila kesadaran ini dapat terus terjaga dalam kehidupan sehari-hari, maka akan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai dalam pilosofi “Tatwam Asi” dan “Vasudewa Kutumbakam”.

Jalan menuju kesadaran kebebasan hanya akan dapat ditempuh apabila mampu melepaskan diri dari keterikatan material (maya) menuju kesatuan yang hakiki (absolut), melalui kesadaran dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Hanya keterikatan pada sang Maha Agung-lah akan mampu kembali kepadaNYA, sementara keterikatan kepada yang lainnya (maya) patut di Yadnya-kan.

Selanjutnya......

Riset Modern Mengenai Spiritualitas

Nyoman Mider Adnyana

Berdasarkan kajian filosofi dan sain baru terungkap, bahwa pada dasarnya dalam semesta bertabiat berpartisipasi (Wheatley, 1999, Skrbina, 2001) sehingga memberi ruang eksistensi manusia dan alam berada dalam satu kesatuan dan filosofi hubungan manusia dan alam adalah hubungan spiritual. Filosofi ini membawa pada sesuatu tentang adanya aspek spiritualitas yang berperan dalam keberhasilan membangun konsensus. Secara spesifik ada proposisi, bahwa ada aspek spiritiualitas yang terkandung di dalamnya.


Penjelasan tentang adanya realitas yang bersifat “metafisik” yang dipelajari sebagai filsafat tentang “yang sebenar-benarnya ada” (Palmquist, 2000, adian, 2002), sampai saat ini telah banyak diungkapkan baik oleh fisika baru (Talbot, 1981, Herbert, 1985, Progogine, 1996, Capra, 1996) ahli kedokteran (Combe, 1993, Chopra, 2002), dan ahli disiplin psikiatri dan psikologis (Ornstein 1972, Suryani & Jensen, 1999, Wilber, 2000, Johar & Marshall, 2001), ahli spiritual barat dan timur (Zukav, 1990, Myss, 1996, Redfield, 1997, Powell, 2003, Lama, 2005, Tolle, 2006) serta individu-individu yang mengalami pencerahan spiritual (Walsch, 2004, Tolle, 2005, Prama, 2006, Jang, 2007). Mereka mengungkapkan bahwa manusia merupakan kesatuan utuh yang terbangun dari badan fisik, mental dan spirit. Mental dan spirit yang dapat terhubungkan dengan alam semesta karena mengandung unsur-unsur yang sama. Dengan mengenali esensi dirinya, manusia akan merasakan kesatuan dengan segala sesuatu di alam semesta.

Kajian Anhorn (2006) baru mengungkapkan, bagaimana spiritualitas digabungkan ke dalam praktik profesional, tanpa ada penjelasan hasil studinya. Jadi untuk menjelaskan adanya aspek spiritualitas yang berperan dalam keberhasilan membangun konsensus membutuhkan satu telaah yang bersifat eksplorasi karena belum ada kajian spiritualitas terkait teori perencanaan sebelumnya. Eksplorasi, yang merupakan salah satu tipe penelitian adalah merupakan usaha menyelidiki suatu bidang yang relatif tidak dikenal (Grobberaal, 2000 dalam Van Dew Valt, 2006). Sanderock (2006) mengenali topik spiritualitas dalam perencanaan merupakan salah satu penting, karena dunia perencanaan merupakan dunia spirit kemanusiaan yang dalam sehari-hari harus bermakna dalam menciptakan masa depan dunia yang lebih baik.

Wilayah spiritualitas yang dikaji dalam buku-buku sangatlah luas. Dimensi spirit itu sendiri bukanlah dimensi materi, spirit itu merupakan sesuatu yang ada namun tidak dapat dihadirkan secara fisik. Penelitian dalam bidang ini masih sedikit karena masih penuh kontroversi untuk dikaji secara alamiah, karena terkait dengan masalah subyektivitas untuk menjadi fakta empirik. Namun demikian, ada beberapa penemuan ilmiah yang mengungkapkan fenomena adanya aspek spiritualitas manusia. Pasiak (2002), yang berlatar belakang pendidikan kedokteran menyingkapkan anatomi otak dan seluruh kemampuan otak hingga menjelaskan manusia mempunyai otak rasional, otak intuitif, dan otak spiritual.

Intelegensi Spiritual

Pada akhir tahun 1990-an ditemukan fakta ilmiah tentang adanya intelegensi spiritual dalam diri manusia terkait dengan kebutuhan untuk memaknai hidupnya, sehingga dapat berevolusi dan bertahan hidup. Perangkat intelegensi manusia ini yang telah ditemukan oleh pakar neuronsains, terletak dalam lobus temporal otak dan dinamai sebagai Titik Tuhan (Zohar and Marshall, 2001 dan 2004). Dengan perangkat ini menurut Zohar and Marshall (2001), spiritualitas manusia dapat muncul karena otak manusia sanggup melakukannya.

Sejak tahun 1977, sekelompok peneliti dari Priceton, Amerika, telah melakukan sebuah tes yang terus-menerus untuk mengetahui apakah peristiwa-peristiwa sadar dalam skala besar mempunyai efek pada sensor elektronik berupa random number generator yang terletak ditempat-tempat berbeda di bumi. Beberapa peristiwa besar, seperti saat pemakaman Putri Diana dan ketika menara kembar WTC rubuh, telah membuat kegiatan generator itu menjadi korelasi. Tim peneliti itu menafsirkan hasil-hasil penelitian sebagai bukti adanya medan makna dan medan kesadaran yang berskala dunia dan adanya interaksi antara medan makna dan medan materi.

Dari hasil penelitian ini, Zohar dan Marshall (2004) melihat kemungkinan besar ada medan makna dan medan kesadaran bersama. Teori Carl Gustaf Jung, seorang psikiatri asal Swiss, mengenai “Ketidaksadaran Kolektif” juga menjelaskan ada sebuah lapisan-bersama dari kehidupan mental kita yang berisi makna-makna, yang merupakan asal dari mimpi kita, tema-tema universal dan simbol-simbol, yang berulang-ulang dalam mitos-mitos dari banyak budaya (Rohmann, 2002, Zohar dan Marshall, 2004). Contoh yang menunjukkan hal ini adalah tentang penemuan dari para ahli yang meneliti tentang mitos-mitos kuno. Mereka menemukan bahwa masyarakat telah membuat kodifikasi terhadap perasaan ketuhanan yang muncul dalam bentuk norma-norma spiritual dan sosial, ritual-ritual dan etika sosial dan kodifikasi tersebut dalam catatan jung berlanjut menjadi rujukan-rujukan utama dalam kehidupan (Pasiak, 2002). Jung juga menganggap bahwa “Ketidaksadaran Kolektif” ini yang disimpan dalam bentuk arketip-arketip universal, mendasari pengalaman telepati diantaranya individu-individu dan fenomena synchronity dari peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak berkaitan tetapi memiliki kaitan makna, yaitu suatu peristiwa meaningful coincidence (Redfield, 1997, Losier, 2007).

Jadi sesungguhnya keseluruhan kehidupan manusia digerakkan oleh makna dan nilai. Penelitian garis perkembangan spiritual Fowler (Wilber, 2006) adalah mengungkapkan pertanyaan tentang apa yang menjadi kepedulian dalam hidup manusia. Kemampuan memaknai pengalaman hidup manusia merupakan isi sentral dalam perkembangan spiritual manusia dan kemampuan ini akan merupakan sebuah eksplorasi spiritual ke dalam dirinya.

Lebih dalam lagi, Zukav (2007) menggambarkan bahwa pengalaman atas makna dan tujuan hidup adalah bagian dari pengalaman atas kekuatan otentik yang berkembang pada seseorang. Zukav mendefinisikan kekuatan otentik ini adalah sebuah persekutuan personality dengan jiwa/soul-nya. Jadi kemampuan memaknai dan mendeskripsikan tujuan hidupnya merupakan indikasi seseorang atau kelompok telah terhubungkan dengan spiritnya yang merupakan esensi atau jati dirinya yang otentik. Makna dan tujuan hidupnya yang telah dialami tentu dapat diungkapkan secara verbal melalui bahasa yang dikuasainya. Dari perspektif ini, aspek spiritualitas seseorang dapat diperiksa atau dicocokkan terhadap suatu daftar gambaran kualitas seseorang yang terhubungkan dengan spiritnya.

Kesadaran Lucid

Dari sudut ilmu sosial, keberhasilan membangun konsensus menyiratkan adanya suatu tingkah laku atau tindakan individual orang-orang dan beberapa teoriwan, bahkan percaya bahwa hubungan-hubungan yang paling penting membentuk tindakan ini terjadi di bawah radar makna atau kesadaran individu (Hoch, 2007). Seseorang yang telah mengenali spiritnya melalui latihan-latihan tertentu dapat memasuki kesadaran transendental. Menurut Parikh (2001), selama meditasi dengan mata tertutup, yang dikenal sebagai keterampilan penting untuk engelola kesadaran, individu dapat sadar tentang dirinya yang murni atau dikatakan individu tersebut berada pada keadaan transendental. Namun dalam keadaan mata terbuka, dalam kesadaran yang serupa individu dapat menjadi sadar akan dirinya dan diri murininya dan juga sadar terhadap obyek yang lain dalam tingkat absolut yang kasar. Kesadaran ini disebut kesadaran lucid.

Kesadaran lucid dapat bergeser ke arah kesadaran kreatif, yaitu ketika individu dapat menyadari kesadaran halus dari objek atau orang lain. Pada keadaan ini individu akan merasakan objek lain apa pun tidak hanya sebagai entitas absolut yang terpisah namun juga sebagai sebuah manifestasi energi yang merupakan debominator yang sama dari segala sesuatu. Memasuki kesadaran kosmik, individu akan merasakan alam semesta sebagai sebuah jejaring yang salin terhubungkan. Ego diri melarut dalam kesadaran kosmik dan mengalami realitas pada semua tingkatan dalam semua manifestasinya.

Ketika manusia mengenali dan menyatu dengan esensi dirinya maka hidupnya akan dipenuhi pengalaman yang berkekuatan otentik (Zukav, 1990). Hal ini ditandai ketika manusia tahu, bahwa dia hidup untuk sebuah alasan dan bahwa apa yang dia kerjakan adalah alasan itu sendiri, maka pribadinya dipenuhi dengan entusiasme, kegembiraan dan bersyukur. Segala sesuatu menjadi penuh makna (Zukav, 2007). Spirit itu mempunyai intelegensi tersendiri (Zohar and Marshall, 2001) yang bekerja diotak spiritual untuk mengenali dan menyuarakan kebaikan-kebaikan.
Ulasan mengenai nilai-nilai spiritual ini cukup beragam. Fry (2003 menungkapkan salah satu karakter pribadi yang spiritual mempunyai kapasitas cinta yang altruistik. Bentuk cinta ini terwujud dalam sikap yang mempunyai nilai-nilai kebaikan, kemauan memaafkan, integritas, empati/rasa kasihan, kejujuran, kesabaran, keberanian, kepercayaan, kerendah-hatian.

Selanjutnya......

Hanya dalam Perut yang Kenyang Kita Bisa Beragma dengan Tenang

I Wayan Miasa

Janganlah berkhayal terlalu jauh, dengan mencontoh orang-orang sadhu di Himalaya yang dapat mengamalkan ajaran yoga dan kesalehan tanpa menghiraukan kebutuhan pangan, sandang dan papan mereka. Mereka itu sudah mampu mengambil langsung sumber energi kehidupan dari udara dan matahari untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat umum, untuk bertahan hidup mutlak membutuhkan makanan, pakaian dan perumahan. Karena itu, selama kebutuhan dasar manusia belum terpenuhi, terutama di bidang makanan, maka praktik beragamanya akan sangat susah dan hampir mustahil. Karena itu pertama-tama yang harus dipelajari adalah mencari makanan dengan benar sesuai kaidah-kaidah moral.


Ada suatu phenomena menarik di dalam kehidupan masyarakat kita yang mana mereka begitu serius mempropagandakan agama ataupun ajaran spiritual lainnya dengan janji kebebasan, masuk sorga, serta janji-janji lainnya lewat berbagai media. Bahkan di beberapa TV swasta acara siar agama ini di mulai dari baru bangun sampai mau tidur. Mereka semua membicarakan kebajikan, kebenaran ajaran agama mereka masing-masing. Ada yang menunjukkan kemampuan pengobatan yang bisa mereka lakukan, penyanjungan agamanya tiada hentinya, menyebut nama Tuhan setiap hari dan aktivitas siar lainnya.

Rupanya trend seperti yang disebutkan di atas hampir melanda kehidupan masyarakat kita yang katanya sangat religius ini. Tema yang mereka tayangkan selalu mengandung propaganda agama, entah dimanapun mereka berada dan topiknya hampir selalu tentang masuk sorga, pembebasan, keselamatan di akhir jaman dan lain sebagainya. Entahlah, mungkin inilah ciri masyarakat yang religius, semua dihubungkan dengan keadaan setelah mati.

Kalo kita bandingkan dengan Negara-negara yang maju seperti Eropa, Amerika, dimana topik kehidupan mereka itu tidak berkutat dengan agama tetapi bagaimana bisa mencapai “surga dunia” dalam arti positif. Mereka tersebut lebih memilih bertindak nyata dalam kehidupan sehari-harinya tanpa harus membawa-bawa agama dalam kegiatannya yang mereka lakukan.

Banyak dari kita mengajak warga kita bermimpi mencapai sorga atau pembebasan dan sering lupa akan kebutuhan lainnya. Kita perlu sadar bahwa kita tidak saja makhluk religius, tetapi juga makhluk sosial yang harus memenuhi kewajiban dan tuntunan kehidupan material kita. Kita memiliki tanggung jawab sosial sesuai dengan pembagian catur ashrama ajaran sanatana dharma. Sehingga kita perlu menelaah suatu “siar spiritual” berdasarkan klasifikasi atau tingkatan catur ashrama kita. Kalau kita di tingkatan Brahmacari, maka tema yang cocok didengar adalah tentang kehidupan seorang murid yang taat pada ajaran gurunya, misalnya. Begitu juga dengan Grehasta, mereka seharusnya diajarkan tentang kewajiban grehasta.

Pelaku siar ajaran agama perlu mengklasifikasikan tema yang mereka sampaikan kepada pendengarnya dan disesuaikan dengan katagori pendengarnya. Hal ini perlu dilakukan, agar tidak terjadi suatu ketimpangan. Ada suatu contoh nyata tentang siar-siar agama di TV, dimana para pendengarnya berbagai kalangan masyarakat, dan tema yang diusung adalah masuk sorga. Sang penceramah begitu menggebu-gebu menjelaskan tentang keberadaan di sorga. Pendengar diajak terhanyut dalam usaha mencapai sorga setelah kematian. Karena seringnya siar tersebut diulang-ulang, sehingga mencuci otak sang pendengarnya. Dan apakah yang terjadi? Masyarakat banyak yang menjadi pengkhayal dan menjadi tukang debat temannya. Mereka akhirnya terpaku pada pencapaian kehidupan setelah kehidupan di dunia, berbicara tentang kebebasan, ketidakterikatan dengan dunia material, dan mimpi-mimpi lainnya.

Sang penceramah seharusnya sadar, bahwa mereka itu berbicara sebagai tauladan bagi pendengarnya, sehingga ceramah yang disampaikan tersebut seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar mengumbar ayat-ayat buku suci yang bisa dihafal banyak orang. Sang penceramah mungkin lupa bahwa penceramah yang baik adalah penceramah yang bisa mewujudnyatakan ceramahnya dalam kehidupan nyatanya sehar-hari, dan hal itulah yang akan dijadikan contoh di masyarakat.

Begitu juga pemberian ceramah di tempat-tempat menuntut ilmu kerohanian seharusnya sang penceramah tersebut adalah orang yang setidaknya bisa menjalankan ceramahnya dalam kehidupan nyata sehari-harinya dan disesuaikan dengan keberadaan pendengar ceramah tersebut. Misalnya bila pendengarnya para brahmacari, mungkin tema yang disampaikan lebih banyak bersifat pendidikan moral, etika, cara-cara membangun kehidupan yang ideal. Begitu juga dengan ceramah yang untuk para grehasta hendaknya lebih banyak berhubungan dengan cara mempertahankan keluarga, agar tidak kelaparan. Sebab tugas sebagai grehasta memiliki tanggung jawab yang banyak, seperti mereka harus memelihara keluarganya, mendidik anak-anaknya, serta kewajiban-kewajiban lainnya. Bila perlu ajarkan para grehasta itu hidup mencari “laksmi” sebanyak-banyaknya agar bisa membantu orang lain. Dan dengan “laksmi” yang didapatka itulah dipakai untuk menjaga keluarga serta membantu orang lain. Karena kehidupan ini bukan sekedar beragama saja, tetapi meliputi segala aspek.

Penceramah ala Burung Beo
Bila sang penceramah menceramahkan tentang rasa tunduk hati, hidup sederhana, tidak terikat tetapi dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari tidak bisa melaksanakan apa yang mereka ceramahkan maka sang penceramah model seperti ini tidak ubahnya dengan kaset atau burung beo, pintar meniru setiap ucapan, hafal ayat-ayat suci tapi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari kosong besar. Bagaimana kita bisa berbicara tentang kerendahan hati sementara kita tinggi hati, bagaimana orang percaya bahwa kita harus hidup sederhana sementara sang panutan menampilkan kemewahan.

Membicarakan tentang Tuhan itu perlu, mendiskusikan agama perlu, tetapi juga mengisi perut juga penting. Bagaimana orang bisa berkonsentrasi dengan penuh tentang Tuhan kalau kebutuhan perut kita sendiri belum bisa kita penuhi. Kita perlu sadar bahwa di jaman sekarang ini tidak ada yang gratis, bahkan kencing pun harus bayar. Oleh karena itu kita perlu kecerdasan dalam memberikan ajaran tentang keagamaan itu dan menjadikan diri kita sebagai panutan dan bukan sekadar dapat duduk di depan memberi wejangan seperti tape recorder.

Orang akan bisa diajak membicarakan tentang agama, Tuhan bila mereka sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan isi perutnya. Orang-orang yang secara ekonomi sudah mapan tentu bisa menyampaikan ajaran apa saja karena mereka tidak lagi berpikir “hari ini saya makan apa?”

Ajaran sanatana dharma mengajarkan seharusnyalah kita mengikuti proses catur ashrama dengan baik sehingga kita bisa mengerti proses kehidupan secara baik. Bukan sekedar memberikan ceramah tentang kebebasan, ketidakterikatan terhadap hal-hal material sementara kita sibuk mencari kekayaan materi. Ingatlah bahwa ayat-ayat suci akan bermanfaat bagi kita bila kita bisa melaksanakannya.

Kita perlu belajar dari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat yang hidup terfokus pada agama, namun di wilayah tersebut dalam kehidupan sehari-harinya sering terjadi tindak kejahatan. Ceramah agama gempita, kriminalitas merajalela. Bila kondisi demikian, tentu ada yang keliru. Contoh kehidupan masyarakat semacam ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rohani dan material. Sang penceramah bisa saja mengajarkan tentang sorga atau kebebasan karena semua kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Sedangkan sang pendengar masih harus mencari bahan kebutuhan hidupnya. Sehingga bisa saja terjadi saat mendengarkan ceramah sang pendengar manggut-manggut, namun setelah bubaran mereka bisa jadi garong, pencuri atau menjadi pelaku kriminal lainnya. Jangankan masyarakat yang hidupnya ‘Senin-Kamis”, para tokoh yang sudah mapan pun bisa menjadi koruptor. Hal ini membuktikan bahwa ceramah yang disampaikan tersebut belum bisa merubah kepribadian seseorang.

Dalam pemberian ceramah perlu juga diisi dengan pembangunan karakter dan pembangkitan rasa malu sejak dini agar tercipta generasi yang tahu malu dan bukan generasi hafal ayat-ayat suci. Jika hanya pandai berdebat tentang agama, tapi tak punya etika ataupun kepekaan sosial dan justru malah senang mencari keuntungan dari kegiatan pemberian ceramah tersebut, lalu apa maknanya.

Orang Lapar Butuh Makanan, Ceramah Agama Harus Memotivasi Kehidupan
Kita perlu sadar bahwa pengajaran ajaran agama itu akan berhasil bila masyarakat yang kita ceramahi tersebut kehidupan materialnya sudah terpenuhi secara baik. Akan menjadi sia-sia saja berbicara tentang Tuhan, agama, kebebasan bila kebutuhan sang pendengar masih tak menentu. Ada slogan yang mengatakan bahwa saat orang lapar, maka yang diperlukan adalah makanan dan bukan sloka atau ayat-ayat suci.

Walaupun Tuhan menjanjikan kebebasan, melindungi pemuja beliau, namun kita perlu belajar dari sejarah masa lalu. Ingatlah kejadian di India saat mereka diserang masa Moghul, dimana masyarakatnya berpasrah pada Tuhan dengan lari ke kuil-kuil, maka mereka dengan mudah ditaklukan. Baru setelah ada tindakan nyata oleh masyarakat India dengan mengadakan perlawanan terhadap bangsa Moghul, mereka mampu mengusir sang penyerang dari tanah India.

Dari pengalaman tersebut kita bisa belajar bahwa belajar agama itu perlu, mencari pembebasan setelah kehidupan ini penting, tetapi tidak kalah pentingnya adalah melaksanakan kewajiban hidup di dunia ini sesuai dengan swadharma kita, misalnya memenuhi kebutuhan hidup sehar-hari kita. Janganlah kita menjadikan generasi muda kita generasi penghayal tentang kebebasan setelah kehidupan ini, mari jadikanlah generasi muda kita generasi yang beretika tinggi, memiliki SDM tinggi dalam ulet, sehingga mereka bisa berhasil secara materi dan rohani dan hindarilah menciptakan generasi peminta-minta dengan alasan ketidakterikatan.

Kita bisa belajar dari para tokoh-tokoh besar sanatana dharma seperti Shri Aurobindo, Paramahamsa Yogananda, Deepak Chopra, Srila Prabhupada dimana para tokoh tersebut melaksanakan ajaran sanatana dharma berdasarkan kemampuan yang mereka miliki dan karena ketekunannya para tokoh tersebut bisa mengajarkan ajaran kerohanian dengan baik ke seluruh dunia. Hal ini bisa dicapai karena para tokoh tersebut tahu dengan baik tentang situasi daerah tempat mengajarkan ajarannya. Ada hal penting yang bisa dipelajari dari kehidupan para tokoh tersebut, yaitu adanya keseimbangan pemenuhan kebutuhan materi dan rohani dalam kehidupan beliau dan para tokoh tersebut tidak tergantung lagi dengan penampilan pakaian luarnya untuk menunjukkann kereligiusan beliau atau bisa dikatakan beliau bisa beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya.

Sekali lagi untuk para penceramah, pemberi dharma wacana, berilah pencerahan yang seimbang kepada para penganut ajaran sanatana dharma agar mereka bisa hidup sukses secara materi dan rohani. Dan bagi para pendengar ceramah rohani pandai-pandailah memilah isi ceramah yang disampaikan agar kita tidak menjadi penganut ajaran yang membabi buta.

Selanjutnya......

Ngaben Massal di Sulawesi Tenggara

Laporan Nang Bagia

Di tengah-tengah kesibukan umat Hindu Sulawesi Tenggara menggelar upacara ngaben bersama (massal), sebuah dharma wacana digelar untuk memberikan pencerahan mengenai makna ngaben tersebut. Untuk menjadikan ritual tersebut semakin dihayati oleh umat, panitia mendatangkan dua pendharmawacana khusus dari Bali, masing-masing Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba yang juga disertai Pedanda Istri dan Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M Si (Ketua PHDI Bali).

Acara dharma wacana berlangsung pada hari Jumat, 3 Agustus 2012 bertempat di Desa Jati Bali, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan mengambil tempat di lapangan terbuka (yang dijadikan Bangsal Pengabenan) hadir Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si yang diundang secara khusus untuk memberikan Dharma Wacana seputar makna dan filosofi serta dudonan upacara pengabenan. Pada kesempatan itu, para narasumber juga di dampingi oleh Ida Nak Lingsir dari Jati Bali, yakni, Ida Pandita Mpu Sidhi Prateka bersama istri, Ketua PHDI Provinsi Sultra, DR. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP; Ketua PHDI Kabupaten Konawe Selatan, I Wayan Cangker, SE dan Ketua Panitia Pengabenan, I Ketut Widastra, dan Panitia lainnya. Perlu diketahui upacara pengabenan missal ini terhitung berskala besar (Pesertanya banyak) dengan menyertakan 146 sawa yang di-aben.

Sebagai pendengar pada hari itu hadir jajaran Pengurus Harian PHDI Provinsi Sultra, masyarakat Desa Jati Bali, para Yajamana Karya, dan siswa dan mahasiswa. Acara Dharma Wacana dimulai pada pukul 20.00 yang diawali dengan tari Penyambutan, yaitu tari Panyembarama, yang dipersembahkan oleh penari Sanggar Saraswati, Desa Jati Bali.

Setelah itu adalah sambutan dari Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara, DR. Ir Ketut Puspa Adnyana, MTP yang menyambut baik dilaksanakannya kegiatan pengabenan massal ini, yang mana sangat memudahkan umat Hindu di Sulawesi Tenggara, sebagai tanggung jawabnya kepada leluhurnya yang telah meninggal dunia. Beliau juga mengatakan bahwa umat Hindu memiliki potensi yang cukup besar di Sulawesi Tenggara dengan jumlah 200 ribuan jiwa lebih yang menempati 10 dari 12 Kabupaten/Kota dan merupakan penganut Agama kedua terbesar setelah umat muslim, dan kedepannya sangat membutuhkan perhatian serius dalam pembinaan keagamaan. Beliau mengucapkannya banyak terimakasih kepada Ida Pedanda dan istri, juga Ketua PHDI Bali, yang menyempatkan hadir di Sulawesi Tenggara.

Setelah itu waktu diberikan oleh Panitia Pengabenan kepada kedua narasumber untuk memberikan dharma wacana, yang dimulai oleh Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, di mana beliau mengawali dengan menyapa umat Hindu yang ada di Desa Jati Bali yang mengatakan bahwa Jati Bali adalah kelahiran dari Bali, yang baik dan utama. Beliau juga mengatakan pernah datang sebelumnya ke Sulawesi Tenggara pada Tahun 2008 saat Pesamuan Agung PHDI dan sekarang di Tahun 2012 ini dalam rangka upacara muput pengabenan ini. Beliau menjelaskan tentang filosofi ngaben yang berasal dari kata api yang artinya yajna atau upacara berdasarkan api suci, beliau lebih banyak menggunakan bahasa Bali halus. Dalam upacara pengabenan ini hendaknya tepat guna dan mengenai sasaran, jangan sampai ada niatan tidak baik yang dapat mencemari atau menodai jalannya upacara.

Selanjutnya setelah Ida Pedanda, pada pukul 21.19 waktu diberikan kepada Ketua PHDI Provinsi Bali DR. Drs I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si yang mengawali perkenalan beliau, yang membuat pendengar tertawa terkekeh-kekeh, yang sudah ke empat kalinya datang ke Sulawesi Tenggara dengan tugas yang berbeda.

Dalam isi dharma wacana yang banyak diisi lawakan yang membuat suasana menjadi santai, ia menjelaskan bahwa upacara pengabenan adalah upacara sebagai bentuk pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk badan manusia, yang dikembalikan kepada sumber asalnya. Di samping itu merupakan kewajiban sentana-nya untuk mendoakan, sehingga arwah yang meninggal dunia dapat bersatu dengan Brahman. Menurutnya, kegiatan upacara yajna harus dilakukan dengan dasar yang tulus ikhlas, lascarya dan jangan sampai upacara yang sakral dinodai dengan hal-hal yang tidak baik, yang dapat mengurangi kualitas upacara. Diakhir Dharma Wacana beliau berdana punia sejumlah Rp 1.000.000. Kegiatan Dharma Wacana juga dirangkai dengan Dharma Tula dan berakhir pada pukul 00.00, yang ditutup dengan doa oleh Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba. Para peserta nampaknya cukup puas dengan penjelasan para narasumber.

Selanjutnya......

Pediksaan di Gria Pagesangan Mataram

Laporan I Made Putu Sutana


Pada hari Anggara Pon Purnamaning Sasih Kasa, yang jatuh pada Selasa,3 Juli 2012, dilaksanakan upacara pediksaan Ida Made Putra dan Ida Ayu Made Suryantini di Gria Pagesangan Mataram. Sebelum upacara pediksaan dilaksanakan terlebih dahulu pada Redite Pon, Minggu,10 Juni 2012 diadakan Diksa Pariksa oleh Pengurus PHDI Kota Mataram yang terdiri dari Dr. Ir. I Gst Lanang Media, MS, Ida Bagus Santi, SH dan Drs. I Gde Sudarsana yang disaksikan juga sembilan sulinggih dan warga gria setempat.

Upacara pediksaan ini dipimpin oleh Ida Pedande Nabe, yakni Pedanda Istri Nyoman Keniten dari Gria Pendem Karangasem Bali, dengan guru -Waktra Ida Pedande Gde Made Sebali Tegeh dan selaku Guru Saksi Ida Pedande Gde Wayan Sebali Teges dari Gria Pagesangan Mataram. Upacara pediksaan yang dilaksanakan pagi hari dihadiri tokoh-tokoh umat Hindu, pengurus organisasi Hindu serta masyarakat Hindu dari berbagai pelosok desa khususnya Lombok dan umumnya Nusa Tenggara Barat hingga halaman jaba Gria Pagesangan Mataram penuh dan sesak oleh kedatangan umat Hindu untuk mengikuti dan menyaksikan jalannya upacara pediksaan tersebut.
Upacara ini berlangsung hikmat dan sukses dengan dimeriahkan alunan suara kekidungan tembang wirama dan penampilan Topeng Sida Karya dibarengi dengan tetabuhan Gong Grup Sekehe Yadnya Suara Kebendesaan Mataram Selatan.

Setelah uapacara pediksaan selesai, Ida Pedanda Nabe memberikan nama gelar pada Diksita, yaitu Ida Pedande Gde Made Putra Sebali Keniten. Gelar tersebut selanjutnya diumumkan dihadapan para undangan umat Hindu setempat oleh pembawa acara Dr. Ir. IWayan Wirata, SE, MSi, pengurus PHDI Kota Mataram yang tugas beliau sehari-hari adalah staf tenaga pengajar (Dosen) pada STAHN Gde Pudja Mataram. Dalam rangkaian upacara pediksaan yang berlangsung sakral dan lancar ini, maka tujuannya adalah suatu upacara Madwijati Ida Made Putra dan Ida Ayu Made Suryantini (walaka) untuk dinobatkan menjadi sulinggih/pendeta siwa dan makna diksa ada dijelaskan dalam pustaka suci Yajur Veda XX,25 yakni yang berbunyi:

"Dengan melakukan Bratha seseorang memperoleh diksa, dengan melakukan diksa seseorang memperoleh daksina, dengan daksina seseorang memperoleh sradha dan dengan sradha seseorang memperoleh satya."

Sesungguhnya proses untuk menjadi seorang pandita atau Dwijati tidaklah dapat dipersiapkan dengan jalan menghapalkan doa-doa mantram untuk mengantarkan upacara agama saja, tetapi harus diawali dengan membangun niat ke arah kehidupan spritual untuk menguasai diri dan dukungan umat Hindu. Demikian cetus pembawa acara pada saat pelaksanaan padiksaan di Gria Pagesangan Mataram. Dengan telah digelarnya upacara pediksaan, maka bertambahlah jumlah sulinggih/pendeta khususnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat menjadi 36 orang sulinggih/pedanda, yang nantinya akan memuput dan melayani umat Hindu dalam melaksanakan Panca Yadnya. Demikian sekelumit upacara pediksaan di Geria Pagesangan Mataram Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya......

Ashram Gandhi Puri Gelar Sared Healing Sacred Art

Laporan Sari Dika

Ashram Gandhi Puri Klungkung, pada Sabtu 30 Juni 2012 lalu menggelar kegiatan bertajuk Sacred Healing Sacred Art sekaligus dirangkaian perayaan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno. Kegiatan yang berlangsung malam hari itu di isi dengan menampilkan sejumlah tari khas Sacred Art AGP dan Peresmian Taman Perdamaian Bung Karno oleh Bupati Klungkung DR. I Wayan Candra.

Sacred healing merupakan kegiatan pemurniaan jiwa melalui berbagai kegiatan seperti yoga, meditasi, membuat banten (upakara) termasuk menari dan kegiatan ritual lainnya. ”Semua itu (healing) proses di mana ketika pemikiran suci datang kepada kita, maka di dalam sel-sel akan tumbuh dan terjadi perbaikan sehingga menjadi sehat dan aktif,” kata pembina Ashram Gandhi Puri, DR. I Gede Suwantana. Menurut peraih gelar doktor di India ini, tujuan kegiatan sacred healing adalah memperkenalkan bahwa kegiatan-kegiatan suci seperti tirtayatra, yoga, meditasi, menari, sembahyang termasuk mebanten adalah proses healing. “Kita sebenarnya sudah peraktek (sacred healing) setiap hari, tapi kita tidak tahu atau tidak menyadari itu (kegiatan) sudah ada proses. Kalau kita tahu, maka kita akan dengan murni melakukannya,” tandasnya.

Sacred Healing Sacred Art menampikan tari Bharat Natyam- merupakan tari persembahan kepada Dewa Siwa. Tari Mera merupakan wujud bakti kepada Krisna, tari Siwa Tandawa, tarian Kama menceritakan sejoli yang sedang jatuh cinta dan tari Fire Dance. Penari yang tampil berasal dari ICCR (India) dan Sacred Art AGP.

Pengasuh Ashram Gandhi Puri, BR. Indra Udayana menambahkan, kegiatan serupa diupayakan bisa berlangsung setiap bulan sekali, biar anak-anak muda makin tertarik dan kreatifitas mereka terbangun. Terkait perayaan Bulan Bung Karno, BR Indra Udayana mengatakan, kegiatan itu dilakukan untuk merefleksikan nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan Bung Karno.

“Setelah peresmian Taman Perdamaian Bung Karno, kami akan membangun patung Bung Karno di sini, bantuan (patung) sumbangan dari Pak Bupati (DR I Wayan Candra),” imbuh BR Indra Udayana. Spirit yang terbangun lebih penting lagi adalah membangun kokohnya Persaudaraan, perdamaian, kemanusiaan dan kebangsaan sebagai wujud mengisi kemerdekaan ini dan mengembalikan jati diri dan roh cita-cita Proklamasi serta menjadikan motivator sekaligus langkah menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Taman Perdamaian DR Ir Soekarno yang berada tepat di tengah Ashram Gandhi Puri dipersembahkan sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Sang proklamator Bangsa, di mana di bawah patung Bung Karno berada sebuah Stage Pertunjukan untuk Sacred Healing dan Sacred Art AGP.

Bulan Juni bagi Bangsa Indonesia dan Bung Karno sendiri, merupakan bulan yang istimewa karena pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pidato dan gagasan tentang Dasar Negara Pancasila di hadapan sidang BPUPKI. Sedangkan 6 Juni merupakan tanggal kelahiran Bung Karno dan 21 Juni merupakan tanggal wafatnya Bung Karno. “Inspirasi, ide, pemikiran serta gagasan Bung Karno, hendaknya mampu merevitalisasi kembali 4 pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI,” ucap Bupati Wayan Candra.

Kegiatan ini mendapat sambutan antusias dari tokoh-tokoh lintas agama, sejumlah warga asing dari Amerika dan India, serta tokoh masyarakat Klungkung lainnya. BUpati menambahkan, dengan tetap bermodalkan jiwa sosial, dharma, ketulusan, Ashram Gandhi Puri, bisa mendatangkan tokoh-tokoh dunia. Ia merasa bangga karena anak asuh Ashram Gandhi Puri sudah banyak yang sukses. “Sepanjang yang bisa saya bantu, saya akan bantu. Sering-sering komunikasi dengan Pak Bupati, kalau jarang komunikasi Pak Bupati kelupaan karena banyak tugas yang harus dikerjakan,” demikian Bupati Candra mengatakan. Ia melanjutkan, secara filosofi kalau seorang Bagawanta dan Raja bersatu akan ada kedamaian. Pada kesempatan itu Bupati Candra kembali mengingatkan melalui goresan pesannya yang berbunyi ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan jasa-jasa para pahlawannya utamannya Bung Karno”.

Pada hari penutup Bulan Bung Karno, diisi juga dengan dialog mengambil topik Revitalisasi Gerakan Bung Karno dan Inspirasi Mahatma Gandhi Tuk Mengisi Ketahanan Bali. Hadir sebagai pembicara, Senator IG Ngurah Alit Kelakan (DPD RI dari Bali), I Gede Made Sadguna Deputy Direktur Bank Indonesia Bali dan Ida Cokorda Gede Agung (Wakil Bupati Klungkung), yang dipandu langsung oleh BR Indra Udayana pengasuh Ashram Gandhi Puri. Salah satu poin penting dari dialog itu adalah pentingnya usaha dan kemandirian Generasi muda dan penemuan swadharma sebagai kekuatan untuk menjaga nilai-nilai yang ada di Bali sebagai spirit mengisi kemerdekaan. Budaya jengah juga menjadi bagian terpenting selain saling asah asih asuh merupakan nilai Pancasila yang masih relevan dikedepankan.

Selanjutnya......