Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 26 April 2012

Implementasi Mitos Sapi Kamadhuk di Zaman Kini

Sapi kamadhuk atau kamadhenu adalah sapi surgawi milik Rsi Wasistha. Sapi sakti ini dapat memenuhi semua keinginan pemiliknya. Itu Kamadhuk dalam cerita, lalu apa maknanya bagi umat Hindu masa kini?

Keterpesonaan akan cerita dalam sastra keagamaan memang sering memukau, mengundang ketakjuban dan dalam situasi demikian tak jarang teks-teks keagamaan hanya menjadi khayalan indah yang hampir bersifat mustahil bagi orang-orang biasa. Karena itu, suatu mitos atau teks keagamaan mestilah dicari maknanya supaya cerita atau teks tersebut memiliki korelasi dengan kehidupan. Salah satu mitos yang terkenal dalam cerita Hindu adalah mengenai sapi kamadhuk.

Konon, sapi sorgawi ini dihadiahkan oleh dewa kepada Rsi Wasistha, karena ia sudah berhasil mencapai tingkat kesempurnaan dalam yoga. Lalu, jika sapi kamadhuk demikian istimewa yang hanya bisa dimiliki orang-orang berkualifikasi tertentu, lantas apa manfaatnya cerita itu kita dengarkan?

“Setiap teks keagamaan merupakan wacana kerohanian yang selalu bersifat inspiratif. Bermakna atau tidak sebuah wacana keagamaan, maka semuanya tergantung pada kemampuan seseorang di dalam menafsirkan atau merekontektualisasi wacana itu dengan kehidupan,” komentar Drs. I Nyoman Ananda, M.Ag, pengajar mata kuliah Purana di IHDN Denpasar pada 13 Maret 2012 lalu.

“Satu wacana bisa mengandung sejuta makna. Setiap orang bebas memaknai wacana atau mitos tersebut sepanjang bersifat positif dan menginspirasi hidupnya menjadi bertambah maju,” imbuh Ananda. Dalam pandangannya, kamadhuk atau sapi Sorgawi adalah lambang ibu, dalam hal ini ibu yang dimaksudkan adalah sumber kehidupan. Dalam hidup ini semua orang berebut memiliki sumber penghidupan yang dapat diandalkan sebagai penopang kehidupan. Oleh karenanya, hanya dia yang berkualifikasi khusus akan dapat memiliki sumber penghidupan yang dapat diandalkan. Misalnya, mereka yang mahir di bidang perniagaan akan memiliki “kamadhuk” dalam bentuk profesinya sebagai pengusaha. Ilmuwan yang ulet dalam usahanya, tekun dan berprestasi, maka akan memiliki “kamadhuk” dalam bentuk jabatan sebagai guru besar atau jabatan politis yang diberikan negara padanya. “Pendek kata, kamadhuk dalam kaitannya dengan umat kebanyakan adalah semua sumber kehidupan yang menjadi tumpuan seseorang. Karena itu kita wajib memelihara sumber kehidupan kita supaya dapat mencukupi kebutuhan,” jelas Nyoman Ananda lagi. Ia melanjutkan, bahwa di dalam memelihara sumber-sumber kehidupan itu dapat diwujudkan dengan menguasai suatu profesi tertentu. Dengan unggul pada satu bidang tertentu, maka ia akan memiliki pekerjaan spesial yang begitu kompetitif dalam persaingan ekonomi global ini. Pekerjaan yang andal dan spesial itulah oleh orang Bali zaman dulu disebut sebagai manik astagina. “Jadi Manik Astagina itu bukan permata dalam pengertian secara harfiah, tetapi lebih merupakan makna simbolis yang mengamanatkan seseorang untuk dapat menguasai suatu profesi yang dapat dijual sehingga menjadi penopang kehidupan,” demikian Ananda lebih lanjut menjelaskan. Menurutnya ada banyak mitos dalam Hindu dan masyarakat Bali yang lebih merupakan pralambang dan pesan-pesan kebijkasanaan. Termasuk sapi kamadhuk, manik astagina, manik cintamani yang bermakna permata kedamaian jiwa.

Lalu apa pesan mitos sapi kamadhuk lebih lanjut? Nyoman Ananda menambahkan, sapi kamadhuk dimiliki oleh seorang Rsi yang bernama Wasistha. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan ruang publik atau kepentingan umum yang lebih luas, maka sumber-sumber kehidupan suatu masyarakat, bangsa atau negara hendaknya dikelola oleh orang-orang bijaksana. Rsi artinya yang melihat kebenaran, bahasa Inggrisnya seer. Diartikan juga sebagai dia yang bersifat visoner (melihat jauh ke depan/vision). Jadi, hanya dia yang berada dalam tingkatan kebijaksanaan, memiliki pengetahuan kebenaran yang bersifat visoner yang layak dipanggil dengan sebutan Sri (Yang Mulia) atau sir. Nah, itu dalam tataran ideal, sebab dalam jagat praktik, justru sumber-sumber kehidupan (sumber daya alam) sering dikuasai oleh pemimpin yang berwatak seperti Wiswamitra.

Wiswamitra dalam cerita sapi kamadhuk ini mewakili karakter serakah, pencemburu, iri dan sok kuasa. Yang dipentingkan oleh orang-orang berwatak seperti ini adalah prestise pribadi, bukan tindakan yang bersifat visioner demi keberlangsungan suatu bangsa secara menyeluruh di masa depan. Karena itulah dalam cerita ini dikisahkan, Raja Wiswamitra ingin mengambil secara paksa sapi kamadhuk milik Rsi Wasistha. Ini mewakili sebuah lambang dari orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang tertentu namun suka memaksakan kehendak untuk menempati posisi itu. Figur Wiswamitra inilah yang menimbulkan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Lalu siapakah yang berhak memegang kendali sumber-sumber kehidupan orang banyak (kamadhuk)? Menurutnya, hanya seorang acharya yang secara ideal layak mengelola kamadhuk itu. Tentu yang dimaksud dalam hal ini bukanlah acharya yang hanya sekadar gelar, melainkan acharya dalam predikat kualitas. Acharya disebut juga aptawacana, yaitu orang-orang yang sudah mampu mengatakan apa yang dipikirkannya dan melakukan apa yang dikatakannya. Seorang acharya berada dalam tahap dharma laksana, yaitu perbuatannya yang sudah merupakan implementasi dari ejawantah dari dharma. Seorang acharya tidak lagi berada dalam pergulatan dharma wacana atau mewacanakan dharma, melainkan sudah jauh melampaui tingkatan pergulatan ide-ide dan diskusi. Dia sudah merupakan wujud dari dharma itu berkat tindakan-tindakan terpilihnya yang merupakan implementasi dharma.

Demikianlah menurut Nyoman Ananda yang kini berstatus mahasiswa doktoral di IHDN Denpasar ini, bahwa masa kini masyarakat seolah-olah mengalami krisis figur. Betapa susahnya menemukan figur acharya, figur Wasistha. Menurutnya, masyarakat sekarang mengalami krisis figur, padahal zaman kini masyarakat sangat suka mengidolakan orang lain. Pada saat masyarakat dahaga akan hadirnya seorang panutan, dan ternyata panutan yang dimaksud sulit ditemukan, maka menjadilah masyarakat yang salah tuntunan. Banyak figur yang dikira mewakili sifat-sifat kebijaksanaan pada akhirnya terbukti tidak sehebat apa yang dibayangkan. Frustrasi dan kehilangan keyakinan diri akhirnya banyak melanda orang-orang masa kini, di mana keyakinan dirinya untuk mempertahankan kebaikan menjadi goyah manakala di sekelilingnya orang-orang hidup dalam budaya korup, manipulatif, ambiguitas dan lain-lain.

Dalam situasi demikian, sumber-sumber kehidupan akhirnya menjadi rebutan melalui cara-cara yang adharma. Persis seperti Raja Wiswamitra yang ingin merebut paksa sapi Kamadhuk dari Rsi Wasistha. Fenomena ini sekarang banyak dijumpai di masyarakat, di mana orang-orang berebut sumber mata pencaharian, berebut jabatan, berebut peluang bisnis dan sebagainya. Manakala skala kompetensi, kapabilitas, tidak lagi menjadi panduan di dalam menempatkan seseorang duduk dalam posisi maupun jabatan-jabatan tertentu, maka ketika itulah sumber kehidupan tidak lagi menjadi amrtha, melainkan berubah menjadi wisia (racun). Seperti sapi kamadhuk yang mengelurkan lusinan daitya, danawa, raksasa yang menghancurkan prajurit Wiswamitra, maka demikianlah juga berbagai sumber kehidupan telah melahirkan permusuhan antar berbagai pihak yang ingin menguasai, berubah menjadi racun karena eksploitasi berlebihan. Kamadhuk hanya memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada tuannya yang bijaksana (Wasitha) dan akan mengeluarkan daitya kepada orang-orang serakah (Wiswamitra). Sekarang tinggal introspeksi diri, peran apa yang tengah kita mainkan. Sebagai Wasistha atau Wiswamitra? N. Putrawan

Selanjutnya......

Mitos Kamaduk Relevansinya Saat ini

I Nyoman Tika

Mengurai berbagai konsep dalam Weda agar dapat diimplementasikan bagi kehidupan saat ini, terasa semakin mendesak. Sebab cara berpikir manusia modern sungguh sangat berbeda dengan manusia yang hidup ratusan tahun silam. Ciri masyarakat modern beberapa diantaranya adalah hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi, terbuka dengan suasana yang saling mempengaruhi. Selain itu, kepercayaan yang kuat akan “Ilmu Pengetahuan Teknologi” sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Ringkasannya adalah prilaku yang praktis, ekonomis, efektif dan juga rasional ilmiah adalah dominan. Pada aspek itu implementasi ajaran Weda membutuhkna pendekatan yang berbeda dengan zaman, ketika Weda diwahyukan.

Dalam koridor itu, maka penafsiran Weda yang relevan dengan koridor rasional dan ilmiah semakin mendesak dilakukan.Salah satu konsep penting itu adalah Mitos sapi kamaduk. Kajian ini sangat menarik untuk dilakukan berkenaan dengan kondisi alam saat ini, prilaku manusia modern ini penuh dengan kompleksitas yang tinggi. Untuk menyasar itu maka konsep kamaduk (sapi perah ) itu paling tidak dalam tulisan ini menyasar pada kitab suci yaitu (1) Bhagawad gita, dan (2) Mahabarata.

Konsep Kamaduk, pada Bhagawad Gita III.10 menyatakan sebagai berikut: Saha-yajnah prajah srstva, Purovacha Prajapatih Anena prasavisyadhwam Esa vo’stv ista-kamadhuk (Dahulu kala Prajapati (Hyang Widhi) mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah jadi sapi perahan/kamaduk). Sloka itu menyiratkan bahwa kita manusia diciptakan oleh Hyang Widhi, manusia akan berhasil mengarungi gelombang samudera kehidupan dengan bakti persembahan, manusia yang lahir harus melakukan bakti dan melakukan persembahan, yang tulus ikhlas, akibatnya adalah kita berkembang. Artinya dalam bahasa berbeda, tumbuhkan terlebih dahulu kesadaran, bahwa ada kekuatan ilahi yang melingkupi kita, manusia hanya instrumen Tuhan, lalu melakukan persembahan dengan buah hati yang berkualitas bagus, dengan puspa hati yang indah dan warna warni, maka kita akan berkembang, punya keturunan yang pintar, patuh pada orang tua, taat akan ajaran agama, persembahkanlah pada ibu pertiwi untuk mendapat berkatnya, karena pertiwi adalah berwujud sapi perahnya. Pertiwi dengan sukarela menopang kita, menghidupi kita manusia, namun manusia sering benar-benar memerahnya tanpa menjaga kesehimbangannya. Sapi kamaduk itu, bergeliat dan memberikan kehancuran. Dalam kaca mata mitos itu menganggap sebagai sapi suci, maka kesadaran kita hendak diberian ruang untuk ikut memahami pertiwi itu hidup, bisa berkomunikasi dan juga memiliki perasaan yang tulus.

Dalam konsep Mahabarata, Kamaduk adalah makna konotasi sebagai sapi perahan, yang bisa memenuhi segala keinginan itu (kamaduk) tidak lain adalah bumi, ibu pertiwi ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Mahabaratha (VI.9.76): “Alam adalah pemberi segala kebaikan, alam adalah sapi yang bisa memenuhi segala keinginan (kamaduk) hal ini jelas memberikan penegasan kepada kita bahwa cinta kasih dari seorang ibu terhadap anak-anaknya yang tiada terputus adalah ibarat cinta kasih ibu pertiwi (alam semesta) yang memberi makanan yang tiada henti-hentinya kepada makhluk hidup sebagai anak-anaknya
Maknnya lebih jauh adalah, bahwa kemakmuran ada di mana-mana. Dia mengetuk hati kita yang tebuka, yang bersih dan yang berkelebat dengan banyak pemikiran positif yang tanpa batas. Nafas kemakmuran adalah mereka ingin mencari orang-orang yang bersemangat untuk berbuat baik, berdedikasi demi kemanusiaan, yang selalu berjalan lurus untuk menggapai apa yang dicita-citakan, pada dimensi itulah doa itu menjadi sangat penting.

Kebanyakan orang berdoa ketika masalah menerima mereka. Padahal, doa adalah bahan bakar yang sangat efektif untuk kendaraan kehidupan kita. Karena percuma di kala kita sudah melakukan semuanya untuk berubah tanpa diakhiri dengan doa kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa. Dalam hal rejeki misalnya, Hyang Widhi telah menyiapkan rejeki untuk setiap makhluknya. Baik yang melata, yang bernafas. Inilah bentuk bahwa kamaduk, siap untuk diperah dengan didasari oleh kasih sayang dan pengabdian.

Dewa kemakmuran hadir setiap saat, sangat mudah didapat, dewa kemakmuran selalu bersama kita, mereka yang jernih, mereka yang ikhlas dan mereka yang sopan bijak lestari menjadi langganan singgah dewi kemakmuran itu. Masalahnya adalah manusia tidak mudah untuk diajak berpikir jernih, sulit berpikir positif, selalu iri melihat kemajuan orang, lebih senang membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak jelas. Itulah sebabnya kemiskinan selalu menutupi kehidupan.

Tak salah bahwa peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi sekarang ini adalah akibat hilangnya keyakinan orang-orang terhadap diri mereka sendiri dan juga terhadap sastra (kitab suci). Mereka menyatakan dirinya memiliki keyakinan namun tidak menjunjung tinggi dan tidak berperilaku sesuai tuntunan kitab suci. Akibatnya, kebaikan dan kebiasaan baik semakin menghilang dari dunia dan kebiasaan buruk serta penurunan martabat semakin bertambah. Itu semua adalah tidak benar dan perlu adanya perubahan.

Jika seorang pemuja Tuhan telah mempersembahkan segalanya, badan, pikiran dan keberadaannya kepada Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga semua itu, dan Tuhan akan selalu bersama sang pemuja. Dalam situasi semacam itu, tidaklah perlu berdoa. Namun sebuah pertanyaan dari guru orang bijak kepada muridnya, “Sudahkah engkau seperti itu dalam mempersembahkan dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan? Tidak! Ketika engkau kehilangan sesuatu, atau malapetaka terjadi, atau rencanamu berantakan, para pemuja menyalahkan Tuhan. Jika engkau sepenuhnya pasrah kepada Tuhan sepanjang waktu, bagaimana mungkin Tuhan bisa ingkar dalam memberimu AnugerahNya? Bagaimana mungkin Tuhan bisa menolak untuk membantumu?

Kadang-kadang, para pemuja tidaklah pasrah sepenuhnya dan tanpa penyimpangan pada Tuhan. Dengan demikian, meskipun engkau harus menjadi utusan dan alat Tuhan untuk melakukan segalanya, tetaplah selalu berdoa kepada Tuhan dengan penuh puja dan keyakinan. Keyakinan adalah hasil dari kedamaian, bukan dari ketergesa-gesaan dan buru-buru. Doa semacam ini dengan penuh kedamaian adalah sangat penting bagi pencari spiritual. Doa semacam ini akan meningkatkan ketenangan hati.”

Dalam implementasi kamaduk itu, Tuhan sebagai sumber rejeki. Hyang Widhi telah menyiapkan rejeki untuk setiap makhluknya. Baik yang melata, yang bernafas dengan paru-paru ataupun dengan pori-pori di tubuhnya, semua telah ada rejekinya.

Mitos sapi kamaduk adalah, rezeki, usaha doa menyatu dan harmonis, dalam sebuah dinamika kehidupan manusia. Hanya saja, setiap rejeki ada syaratnya, yaitu usaha. Kalaupun ada makanan di depan kita, tetapi kita tidak berusaha mengambilnya, maka itu bukan milik kita. Kalaupun roti sudah ada di tangan, tapi kita tidak memakannya, maka itu juga bukan rejeki kita. Jadi setiap rejeki harus disertai usaha. Doa diibaratkan seperti benang sewaktu main layang-lanyang, tentu saja tanpa benang layang-layang tidak bisa dimainkannya. Juga diibaratkan seperti pohon tanpa manfaat. Doa adalah pemercepat keinginan kita terwujud. Seperti diujarkan oleh orang bijak dalam pepatah: “Roda yang berderit akan lebih cepat mendapatkan pelumas, Manusia yang berdoa, akan lebih cepat terkabul keinginannya.” Itulah penafsiran kamaduk, dari sisi motivasi untuk berusaha. Semoga pikiran baik datang dari segala arah, om nama siwya*

Selanjutnya......

Sapi Kamadhuk itu Bernama: Profesi yang Handal

Wayan Miasa

Peradaban Sanatana dharma atau apa yang lebih dikenal dengan sebutan agama Hindu memiliki banyak ajaran luhur, tattwa yang sangat tinggi dan banyak melahirkan para filsuf-filsuf besar dari masa ke masa. Begitu juga tentang keajaiban-keajaiban yang dilakukan para praktisi Sanatana Dharma ini terus lahir dari jaman ke jaman. Para praktisi tersebut dikenang sepanjang masa karena perjuangannya dalam memaknai hidup ini.

Segala sesuatu yang dilakukan dianggap sebagai persembahan kepada yang dipujanya. Para praktisi ajaran Sanatana Dharma tidak mengenal istilah pengorbanan, yang ada hanyalah melakukan sesuatu yang baik sebagai persembahan. Karena mereka itu mempersembahkan sesuatu yang mereka miliki atas dasar lascarya. Dan mereka itu tidak mengorbankan orang lain dalam memenuhi keinginannya masing-masing. Ambil saja contoh apa yang dilakukan seorang raja di negeri Bharata untuk mendapatkan “Kamadhuk”. Berawal dari keheranan Raja Wiswamitra saat beliau dijamu oleh Rsi Wasista yang memiliki sapi pemenuh keinginan yang mana hal itu membuat Wiswamitra terpesona dan beliau ingin ingin memiliki sapi tersebut. Namun Sayang keinginan Wiswamitra untuk mendapatkan sapi milik Rsi Wasista tidak semudah yang diduga. Sang Rsi menolak menyerahkan sapi saktinya. Karena itu Raja Wiswamitra marah dan bertekad untuk bertapa supaya nanti memiliki kesaktian mengalahkan Wasistha. Demikian obsesi dendamnya setelah merasa dipermalukan.

Wiswamitra selanjutnya meninggalkan tahtanya dan beralih menjadi pertapa. Semua usaha keras itu semata-mata karena didorong kecemburuan terhadap Rsi Wasistha, si pemilik sapi sakti. Saat Wiswamitra telah menguasai semua ajian serta mantra-mantra yang sakti mandraguna timbullah niat untuk mengalahkan Rsi Wasista dengan kekerasan, namun hal itu diketahui oleh Rsi Wasista. Dengan manisnya Rsi Wasista menceritakan apa yang kurang pada diri Wiswamitra yaitu ketundukan hati. Saat hal itu didengar oleh Wiswamitra, yang sebelumnya mau melakukan tindakan kekerasan untuk mendapatkan sapi pemenuh keinginan itu tiba-tiba mengurungkan niatnya lewat cara kekerasan. Dengan penuh kerendahan hati Wiswamitra menghadap Rsi Wasista. Singkat cerita karena kagum atas usaha yang dilakukan oleh Wiswamitra dan juga atas ketundukan hatinya, akhirnya Rsi Wasista memberi Wiswamitra berkat sebagai Rsi Agung.

Kalau kita hubungkan kejadian yang dialami oleh Wiswamitra saat beliau belum mencapai tahap pencerahan dengan kehidupan masyarakat masa kini, ada banyak hal yang kita bisa jadikan pelajaran. Beliau mengajarkan kepada kita, betapa pentingnya suatu usaha untuk meraih cita-cita berdasarkan ajaran kebenaran, tunduk hati dan melaksanakan tattwa yang telah dikuasai. Sebagai manusia yang beradab dan menguasai filsafat seharusnya mencontoh hal-hal yang baik dari Wiswamitra dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan nyata. Bukan menempuh jalan pintas atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran kebenaran atau menjadi pemimpi di siang bolong untuk mencapai kesejahteraan.

Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Wiswamitra adalah suatu pengajaran terhadap semua makhluk hidup bahwa sapi pemenuh keinginan itu “kamadhuk” akan didapatkan oleh seseorang bila individu tersebut telah melakukan usaha dan upaya penaklukan diri sendiri lewat pengekangan nafsu, penuh kerendahan hati. Wiswamitra memberikan contoh kepada kita bahwa segala sesuatu itu seharusnya diraih lewat usaha serta didasari atas rasa kerendahan hati serta tidak menyimpang dari dharma atau kebenaran.

Kesejahteraan Tak Diraih Lewat Ritual
Di jaman sekarang “Kamadhuk” itu akan bisa diraih bukannya lewat ritual-ritual religius yang menghabiskan banyak dana, tenaga, waktu dan lain sebagainya. Karena Kamadhuk jaman modern bukan lagi berupa sapi yang bisa memenuhi semua keinginan, tetapi berupa lahan atau bidang pekerjaan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang dicita-citakan tentulah masyarakat kita harus memiliki SDM yang baik, sehingga yang diperlukan jaman sekarang ini adalah membangun “kandang-kandang kamadhuk” berupa sekolah-sekolah yang tidak saja memberikan pengetahuan material tetapi juga budi pekerti. Dengan cara ini maka kita akan lahir “pengembala” yang bisa memelihara kamadhuk itu sendiri.

Pada jaman sekarang ini masyarakat penganut Weda atau masyarakat Bali khusunya harus berani merubah tradisinya dalam meraih kamadhuk masa depan. Mereka seharusnya lebih mengutamakan membangun “kandang-kandang” untuk mencetak pengembala yang berSDM tinggi, dan bukan sekadar melahirkan generasi tukang gaĆ© tali, klangsah, katikan sate, klakat dan lain sebagainya. Masyarakat kita
seharusnya mengutamakan pembangunan SDM warganya dulu lewat pembangunan sekolah-sekolah, sehingga menghasilkan generasi yang handal dan kompetitif. Belajarlah sedikit dari agama lain. mereka juga melakukan kegiatan ritual berupa perayaan-perayaan hari sucinya namun mereka juga tidak lupa membangun sekolah-sekolah untuk membangun SDM generasi penerusnya dengan cara demikian mereka telah mempersiapkan generasinya untuk menangkap “kamadhuk” jaman modern berupa lapangan pekerjaan yang menuntut kecakapan, keahlian, efisiensi.

Masyarakat Bali seharusnya “eling” dan “ngeh” bahwa Kamadhuk yang mereka cari itu di jaman sekarang ini tidak lagi bisa dijinakkan lewat penghafalan sloka-sloka buku suci, tattwa yang tinggi, ritual-ritual mewah namun “kamadhuk” jaman modern itu akan diperoleh lewat penguasaan kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan jaman. Dengan memiliki SDM yang berbudi pekerti yang luhur maka masyarakat kita di Bali akan mudah mendapatkan kamadhuk berupa pekerjaan yang ideal sesuai dengan kecakapan masing-masing.

Kalau kita hanya mengkhayalkan Kamadhuk seperti yang dimiliki Rsi Wasista di jaman sekarang ini, itu artinya kita sedang mimpi di siang bolong. Di Jaman sekarang ini tak ada hal yang didapat secara gratis, semua ada harganya. Kalau kita menginginkan Kamadhuk di jaman ini untuk generasi masa depan Hindu, maka bangunlah “kandang-kandang” berupa pembangunan tempat-tempat untuk mendidik generasi Hindu agar terlahir generasi Hindu yang memiliki daya saing tinggi serta memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Akan sangat ironis sekali bila warganya hidup “kiah-kiah” karena ritual mewah, bale banjarnya megah, wantilan bungah.

Pujian-pujian yang disampaikan oleh warga dura Bali terhadap keramahtamahan orang Bali jangan sampai membuat kita lengah. Ingatlah pujian-pujian yang meninabobokan sering membuat kita lupa bahwa mereka itu ingin mengambil “anak-anak kamadhuk” di pulau ini. Jika hal itu tidak disadari maka sesonggan orang Bali “siap mati di jineng”. Masyarakat Bali seharusnya sudah sadar bahwa persaingan pencarian “anak-anak kamadhuk” di pulau ini telah dikuasai oleh para pendatang dari dura Bali. Lihatlah kenyataan bahwa setiap lapangan pekerjaan dari tingkat yang paling kecil sampai posisi penting telah dikavling oleh para pendatang.

Di masa yang akan datang sebaiknya para petinggi Hindu, PHDI, pendharmawacana, memberikan penyadaran betapa pentingnya pembangunan SDM, untuk mendapatkan sapi pemenuh keinginan tersebut. Di jaman sekarang ini yang kita perlu lakukan adalah melaksanakan tugas kita dengan baik agar kamadhuk itu tak lepas dari genggaman kita.
Suatu harapan kepada para petinggi desa pekraman, tokoh masyarakat serta instansi yang terkait semoga beliau-beliau itu bisa memberi pencerahan kepada masyarakat kita secara seimbang. Mudah-mudahan beliau bisa menjadi agen perubahan (agent of the change). Begitu juga saat memberi dharma wacana, hendaknya yang beliau lakukan adalah dharmawacana yang membangkitkan kesadaran para generasi Hindu betapa pentingnya kita memiliki SDM yang handal guna mendapatkan kamadhuk itu. Kalau yang didharmawacanakan cuma ritual, jenis banten, serta hal-hal yang bersifat tradisi bagaimana kita bisa membangun SDM yang baik.

Mudah-mudahan di masa yang akan datang kita bisa mencetak pengembala sapi kamadhuk yang handal sehingga sesenggak tetua kita “pitik mati di jineng” tak terbukti. Namun bila kita tidak belajar dari pengalaman Raja Jamadagni (Wiswamitra) maka kita harus bersiap-siap menjadi budak di negeri sendiri. Hal ini akan diperparah lagi oleh mental atau prilaku kita yang senang bertengkar dengan saudara-saudara kita hanya karena mereka jarang ngayah, perebutan batas desa, kuburan, soroh atau wangsa dan lain sebagainya.

Ingatlah bahwa di jaman modern ini yang perlu kita lakukan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencari kamadhuk. Kita perlu sadar bahwa hanya pada orang-orang yang berjuang keraslah kamadhuk itu akan datang. Dalam kehidupan sosio-religius, gotong royong itu perlu, kegiatan agama penting, tetapi pemenuhan kebutuhan masyarakat jangan dilupakan. Kita haruslah berani meninggalkan tradisi yang tidak cocok dengan jaman kekinian dan mulai beradaptasi dengan jaman bila kita hendak bertahan di tanah kelahiran kita ini.

Selanjutnya......

SARVA DEVAMAYI GO-MATA KAMADHENU

Gede Agus Budi Adnyana

Sapi merupakan ibu dari alam semesta, dengan demikian, maka kehidupan ada di sana. Sapi memberikan susu yang melimpah pada kehidupan dan memberikan kemanisan (madhurya) dalam bentuk amrta yang keluar dari susu sapi.

Mahatma Gandhi sendiri menyatakan sebagai berikut: “Sesungguhnya, penjagaan atas sapi-sapi sebagaimana ditetapkan dan diwajibkan dalam agama Hindu adalah hadiah orang Hindu bagi dunia. Hal itu adalah pancaran rasa persaudaraan manusia dengan hewan. Dalam Hindu, sapi adalah ibu, dan memang demikian hakikatnya. Ketika saya melihat seekor sapi betina, saya melihatnya sebagai seorang ibu manusia. Saya menyembahnya dan tetap demikian adanya. Bahkan sapi betina melebihi peran ibu yang sebenarnya, jika ditinjau dari berbagai segi. Pertama, ibu kita hanya memberikan kita susu, selama satu atau dua tahun. Tetapi dia menuntut hikmad dari kita sepanjang umur sebagai balasan atas jasanya. Sementara itu ibu kita, sapi betina memberikan susu selamanya, dan tidak meminta apapun dari kita selain makanan biasa saja. Kedua, jika Ibu kita sakit, maka kita mengeluarkan banyak biaya, sedangkan jika ibu sapi yang sakit, maka kita tidak banyak mengeluarkan biaya. Ketiga jika ibu kita sesungguhnya mati, maka kita dituntut mengurusnya sampai tuntas dan mengeluarkan banyak biaya. Sementara itu, ibu sapi mati, ia tetap memberikan manfaat dari setiap bagian jasadnya, termasuk tulang, kulit, dan bahkan tanduknya. Saya tidak mengatakan ini untuk menegaskan betapa kecil peran ibu yang sesungguhnya, tetapi saya ingin menjelaskan sebab-sebab saya menyembah sapi betina. Sesungguhnya berjuta-juta orang Hindu menyembah dan mengagungkan sapi betina, dan saya mengaku sebagai bagian dari mereka.”

Itu adalah peryataan Gandhi mengenai sapi. Krsna sendiri dalam Bhagavadgita menyatakan: Di antara binatang berkaki empat, Aku adalah sapi…dan di antara Sapi Aku adalah Kamadhenu”. Yang memberikan kenikmatan, kehidupan dan rasa adalah “Kama”, maka secara spesifik sapi yang memberikan susu sebagai amrta kehidupan dinyatakan sebagai pemberi kenikmatan dan rasa kehidupan itu sendiri. Rasa kenikmatan inilah yang merupakan esensi dari setiap keinginan “Kama”, dan bahkan para Dewa sendiri pun tidak dapat lepas dari rasa ini secara keseluruhan. Sebab yakin dan tidak, alam material ini memiliki unsur prakerti yang sejatinya adalah rasa. Oleh sebab itulah, para dewa pun menghormati sapi-sapi layaknya ibu mereka.

Kesucian sapi dikumandangkan dalam Veda sebagai Sarva devamayi go mata, bahwa sapi adalah ibu dari alam semesta. Oleh sebab itulah, dalam konteks ini pun, sapi bukan saja menjadi bagian rasa dari material, namun juga rasa dari alam rohani. Ini tidaklah sebuah praktek bidah dan terkutuk yang sering ditudingkan oleh banyak orang non-Hindu kepada Hindu, yang secara jasmaniah mereka melihat bahwa manusia Hindu menghormati sapi seperti para dewa.

Bahkan dinyatakan sebagai sebuah perbuatan yang “tabu”. Dalam Al-Yahudiyyah fi al-Aqidah wa at-tarikh, karya Ishamuddin Hifni Nashif, sapi dinyatakan tabu bagi orang India. Difinisi tabu sendiri lebih condong pada sebuah hal-hal yang tidak pantas untuk dibicarakan, dilakukan (konotasinya negative dan porno). Sedangkan pada kenyataannya adalah, sapi bukan ditabukan oleh Hindu, melainkan dipuja dan dihormati. Alasan mendasar menyatakan tabu adalah karena manusia Hindu itu sendiri tidak memakan daging sapi. Inilah kekeliruan yang patut untuk diluruskan. Sebab Hindu memuja sapi, menghormati sapi, menyucikan sapi, bukan mentabukan sapi.

Lebih parahnya lagi praktek Hindu demikian dinyatakan sebagai sebuah masyarakat primitif dan menyembah Tuhan binatang. Bahkan praktek ini pun dinyatakan sebagai sesuatu yang suci dan najis sekaligus. Kita akan kesampingkan pendapat dari non-Hindu itu, mengapa? Sebab sadhana dan disiplin setiap agama akan berbeda satu sama lainnya, jika kita berusaha mensejajarkan konsep agama Hindu dengan yang lain, itu adalah hal yang sangat konyol.

Untuk meyakinkan bahwa Hindu harus menghormati sapi, maka saya akan berikan sebuah cerita yang menarik, seorang Jero Mangku Yasa, pernah tidak sengaja melakukan kesalahan fatal. Dia sedang mengendarai sepeda motornya menuju sebuah tempat, dan ketika itu dia melintasi sebuah jalan berbatu dan seekor sapi melewati tempat itu. Jero Mangku ini dengan tergesa-gesa turun dari motornya dan memukuli sapi itu dengan ranting pohon yang tergeletak di jalan untuk menyingkirkan sapi, sebab Jero Mangku ini terburu-buru dikejar waktu.

Kemudian selang beberapa jam, kepala Jero Mangku mulai senat-senut sakit entah kenapa. Sakit itu berlangsung sampai satu minggu penuh, dan obat medis sama sekali tidak mempan. Ketika itu dia bermimpi didatangi seekor sapi putih, dan ingat akan kesalahannya, maka Jero Mangku ini pun kembali menuju pada jalan yang dia lalui, dan ia dapati sapi yang pernah ia pukuli dengan ranting itu tengah merumput. Dengan segera dia bersujud lalu minta pengampunan. Tanpa berselang lama, beberapa saat kemudian sakit kepalanya hilang total.

Saya sendiri pun pernah mengalami hal yang sama, saya pernah tidak sengaja memakan bakso sapi. Akhirnya saya jatuh sakit yang aneh sekali. Obat medis juga tidak berkerja dengan baik, sampai Ida Pandita Istri Kemenuh dari Griya Kaler Beng Gianyar, berkenan mewinten ulang diri saya, dan setelah itu, saya normal kembali. Kekuatan macam apa yang mengendalikan itu semua, padahal itu hanya seekor sapi? Lalau bagaimana mungkin dapat mempengaruhi kesehatan kita?

Inilah yang saya maksudkan sebagai energi traseden dapat menyeberang menuju yang immanen. Saya yakini sekali bahwa sapi adalah ibu, dan layaknya anak sebaiknya kita hanya meminum susu ibu jika ingin sehat. Bukan sang ibu kita sembelih dan kita makan dagingnya. Oleh karena saya bergama Hindu, maka itulah yang saya lakukan, entah yang lain menyatakan saya apa, yang jelas itulah agama Veda, dan Veda menyatakan Sarva devamayi go mata.

Selanjutnya......

ARDANARESWARI DALAM HINDU

Ida Ayu Tary Puspa

Perempuan dan laki-laki adalah berbeda, tetapi sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Secara kodrat perbedaan memang melekat pada dua insan ini, tetapi secara gender kedua makhluk ini pun dibedakan. Yang membedakan adalah konstruksi sosial budaya yang di dalamnya ada peran laki-laki.

Dalam adat Bali pun yang menganut patriarki perbedaan perlakuan terhadap perempuan sungguh sangat kentara. Adat Bali menempatkan perempuan sebagai subordinasi karena ada pengertian yang keliru terhadap konsep purusa dan pradana. Sejatinya purusa dan pradana ada pada setiap laki-laki termasuk pula pada diri perempuan. Purusa adalah jiwa dan pradana adalah raga. Akan tetapi dalam realisasi purusa memang tetap dimaknai sebagai jiwa, hanya pradana diartikan sebagai benda. Kalau jiwa tidak pernah mati alias akan hidup terus sedangkan benda itu adalah barang mati sehingga tidak perlu diperlakukan secara manusiawi. Pendapat keliru inilah yang terus berlangsung dalam kehidupan keseharian perempuan Hindu di Bali. Adanya laki-laki dan perempuan adalah bukan untuk dipertentangkan, tetapi adalah saling melengkapi demi terlaksananya dampati dalam kehidupan.

Oleh karena laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan melalui yadnya, maka sudah sewajarnyalah manusia saling beryadnya dalam menggerakkan cakra yadnya Kalau hal tersebut dapat terlaksana, itu menandakan bahwa Hindu sangat berpihak pada gender bahkan kesetaraan karena perempuan tidak dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Dalam Padma Purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal inilah yang dimaksud dengan konsep Ardanariswari dalam Hindu.

Wanita dalam theologi Hindu bukanlah merupakan serbitan kecil dari personifikasi lelaki, tetapi merupakan suatu bagian yang sama besar, sama kuat, sama menentukan dalam perwujudan kehidupan yang utuh. Istilah theologisnya ialah “Ardhanareswari”. Ardha artinya setengah, belahan yang sama. Nara artinya (manusia) laki-laki. Iswari artinya (manusia) wanita. Tanpa unsur kewanitaan, suatu penjelmaan tidak akan terjadi secara utuh dan dalam agama Hindu unsur ini mendapatkan porsi yang sama sebagaiman belahan kanan dan kiri pada manusia. Sebagaimana belahan bumi atas yaitu langit dengan belahan bumi bawah yaitu bumi yang kedua-duanya mempunyai tugas, kekuatan yang seimbang guna tercapainya keharmonisan dalam alam dan kehidupan manusia di alam ini.

Dalam Siwatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada.

Makna simbolis dari konsep Ardhanareswari, kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki bahkan sangat dimuliakan. Tidak ada alasan serta dan argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itulah sebabnya di dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam Manawa Dharmasastra I.32 disebutkan

Dwidha kartwatmanodeham
Ardhena purusa bhawat
Ardhena nari tasyam sa
Wirayama smrjat prabhuh

Terjemahannya:
Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.

Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan. Dengan demikian, maka perempuan dalam Hindu bukan merupakan subordinasi dari laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Kedua makhluk yang berbeda jenis kelamin ini memang tidak sama. Perbedaan tersebut adalah untuk saling melengkapi. Mengapa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Manawa Dharmasastra IX.96 menyebutkan sebagai berikut.

Prajanartha striyah srtah
Samtanartam ca manawah
Tasmat saharano dharmah
Srutao patnya sahaditah

Terjemahannya:
Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.

Dari konsep Ardhanariswari tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan dalam teologi Hindu bukanlah tanpa arti. Malahan dia dianggap sangat berarti dan mulia sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga. Di dalam Yayurveda (XIV.21) dijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan dia sendiri melaksanakan aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan, sebagaimana tertera pada Yajurveda, XIV. 21 berikut.

Murdha asi rad dhuva asi
Daruna dhartri asi dharani
Ayusa twa varcase tva krsyai tva ksemaya twa


Terjemahannya
Oh perempuan engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian, dan kesejahteraan.

Perempuan adalah ciptaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pradana. Ia juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai purusa yang disimbolkan dengan lingga. Oleh karena perempuan juga, maka berbagai bentuk persembahan akan terlaksana, karena perempuan pula ketenangan dan ketentraman akan terwujud. Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera seyogyanya menghormati perempuan, terlebih dalam hari raya dengan memberinya hadiah berupa perhiasan, pakaian, dan makanan sebagaimana tersurat dalam kutipan Manawa Dharmasastra III.59 berikut.
Tasmadetah sada pujya
Busanaccha dana sanaih
Buthi kamair narair mityam
Satkaresutsa vesu ca


Hal yang dapat dimaknai dari uraian di atas adalah perempuan adalah mahluk Tuhan yang memiliki kompleksitas peran dan kemuliaannya sendiri ( religius, estetis, ekonomi, maupun sosial). Sebagai makhluk religius, dia menjadi sempurna di hadapan Tuhan, dia juga sekaligus pengatur detail aspek-aspek kerumahtanggaan, sekaligus sebagai kasir yang jujur untuk keluarga mereka.

Dalam konsep purusa-pradana ini, maka pertemuan unsur Purusa dengan Pradhana menimbulkan terciptanya kesuburan. Memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa untuk memohon kekuatan untuk dapat mengembangkan hidup yang bahagia secara rohaniah, sedangkan memuja Tuhan sebagai Pradhana adalah untuk mendapatkan kekuatan rokhani dalam membangun kehidupan jasmani yang sehat dan makmur.

Dapat dilihat bersama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberikan penghargaan yang besar terhadap perempuan. Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia di dunia ini, seperti Dewi Sri (Dewi padi) yang merupakan sumber kehidupan manusia, pemujaan sebagai tanda bakti dan terima kasih juga ditujukan kepada Dewi Saraswati (Dewi Pengetahuan) yang dilambangkan sebagai seorang perempuan yang bertangan empat, berdiri di atas bunga teratai. Ia merupakan simbol perempuan yang harus di teladani karena dengan tasbih di tangan pertama, ia menyembah Hyang Widhi Wasa, dengan daun lontar di tangan kedua ia mendalami ilmu pengetahuan, dengan alat musik di tangan ketiga ia menikmati dan mengumandangkan keindahan dan seni,dan dengan sekuntum bunga di tangan keempat ia menyabarkan keharuman dan kelembutan.

Dewi Saraswati berdiri di atas bunga teratai melambangkan ia sebagai perempuan mampu berdiri dalam situasi apa pun. Dewi Durga mempunyai kekuatan magis yang luar biasa, yang dapat memberi kekuatan dan menghancurkan kehidupan ini. Dewi Sri Sedana, merupakan Dewi uang yang mempengaruhi perekonomian seseorang. Tugas yang di lakukan para Dewi itu adalah sama dengan Dewa sesuai manifestasinya.
(Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par. Sekretaris Magister Brahma Widya PPSIHDN Dps)

Selanjutnya......

Sekuntum Bunga Cinta Drupadi Buat Arjuna

Luh Made Sutarmi

Desau angin dingin dan rintik-rintik hujan membasahi bumi di malam itu. Kedua fenomena alam itu seakan menjadi saksi bisu di pelataran ruang suci, tempat dilakukan peringatan puja, untuk memperingati mokshanya sang maha guru agung yang tidak sempat mendidik Arjuna sebagai ayah, yang dalam sketsa benaknya, adalah memberikan pencerahan dan pusat kerinduan abadi. Hyang Bhatara Pandudewata, telah menjadi pusat meditasi hati Arjuna, hari itu. Sebab tepat di panglong ke empat belas di sasih ketiga itu dilakukan prosesi untuk memohon tirta. Tirta dengan pendekatan ajaran agung Raja Yoga, diyakini dapat menularkan kebahagian, kesucian dan kedamaian.

Di bingkai itu, vibrasi jiwa kstaria pusat pencerahan roh suci itu, seakan kembali menyatu dalam remang dan cahaya jyotir, bau wewangian dupa terus mengulum atap, memberikan pencerahan bathin, sebagai aroma terapi yang suci, puja mantra pengastawa para pundit menggetarkan kalbu setiap insan yang khusuk gemerusuk menunggu berkah. Inilah ruang dan waktu, yang selalu hadir sebagai wahana suci sebagai bentuk renungan suci’ bahwa kehadiran sosok dalam ranah semesta tak pernah terpikirkan untuk menggetarkan jiwa siapa pun yang mau mendekatkan asanya pada-Nya. Yang hadir dalam bentuk keagungan yang tak terlukiskan dari” Atma Budi Denta” Yang maha suci dan tak terpikirkan untuk menggapai kebahagiaan abadi. Kekuatan itu bisa hadir dalam setiap ranah, setiap elemen dan juga setiap kisi-kisi sang waktu. Di koridor itulah Arjuna sebagai sosok yang penuh asa kebaktian hatinya lumer, jiwanya tumbuh mekar untuk memaknai cinta yang agung dalam wajah yang suci.

Saat itu, Drupadi, sosok pemotivasi suami juga hadir. Kondisi itu melahirkan kerinduan yang dalam. Pertemuan itu singkat dan kemudian dia berpisah, sebab Arjuna hendak mencari ilmu, untuk menggapai cita-cita membela orang yang dicintai, bangsa yang dicintai dan negara yang juga sangat dicintai Arjuna. Renungan kali ini, mengungkap perasaan Drupadi yang merindu, untuk keberangkatan Arjuna ke kahyangan, selama setahun.
***

Arjuna menatap wajah Drupadi, senyuman bibir yang manis selalu mengiang di benak Arjuna.Cinta memang membuat mereka saling merindu, dan juga saling merasakan berbagai getaran yang kin tak teratur di dada mereka. Drupadi saat itu kelihatan sangat menawan hati, rambutnya yang pirang, matanya bulat, hidungnya yang mancung, giginya yang rata, dan senyumannya yang manis membuat dirinya anggun dan penuh pesona. Hati Arjuna ibarat ikan terkapar mengelepar di kepanasan cinta.

“Drupadi, jiwaku benar-benar terpaut dengan dirmu, aku selalu ingat denganmu, bisakah aku belajar dari para dewa di kahyangan, bila konsentrasi belajarku, terpusat padamu?” Drupadi tersenyum, “Kanda Arjuna, aku tidak mengerti mengapa engkau jatuh cinta padaku, padahal aku merasa, wanita yang biasa saja, Aku juga khawatir di kahyangan ada banyak bidadari cantik disana?”

Arjuna berkata, “Aku jatuh cinta pada hati, vibrasi hatimu sungguh menawan, kecantikanmu sungguh sempurna di mataku. Drupadi, tataplah wajahku, adakah tanda dalam mataku aku akan mengkhianatimu, adakah kerling di mataku, aku mudah jatuh cinta, aku selalu bisa membedakan kecantikan itu bukan datangnya dari mata, dia berada di beranda hati ini, Drupadi.”
Drupadi bercerita tentang kisah pertemuannya pertama dengan Arjuna. ”Kanda Arjuna, beberapa tahun silam, ketika Ayahku menggelar sayembara, engkau datang ikut, berpakaian seorang brahmana, aku ingin berguru padamu, engkaulah guru idolaku, aku berdoa semoga engkau memenangkan sayembara ini. Akhirnya benar juga. Kakanda Arjuna memenangkan sayembaran ini. Tak lama berselang, Aku sedih karena cintaku harus berbagi, karena kalian mengikuti orang tua kalian, apa yang didapatkan harus dibagi dengan saudara yang lain, celakanya, yang didapat adalah aku, seorang wanita, maka aku harus berdamai menjadi istri saudaramu. Oh... inilah kehidupan.”

Dalam perasaan sedih itu, Pandu Dewanata, yang sudah menjadi Hyang Bethara hadir di hadapan mereka untuk memberikan nasehat-nasehat tentang kehidupan, moralitas dan etika. Melihat roh ayah mereka hadir, mereka memberi hormat, dan sembah sujud dengan takzim. Arjuna berkata, ”Guru, engkau adalah guru rupaka kami, kehadiranku karena engkau bercinta dengan ibu Kunti, kemudian aku lahir atas namamu. Hatiku gundah, sebab aku sebentar lagi berpisah dengan orang yang aku sayangi, walaupun suami-suami yang lain telah berjanji setia untuk menjaganya, namun hatiku tetap tak bisa tenang, khawatir akan keselamatan orang yang aku sayangi, mengapa Tuhan menciptakan cinta yang seperti ini?”
Pandudewa berkata, "Demi siapakah engkau mencintai Drupadi? Suami mencintai istri bukan demi sang istri. Ia mencintai istrinya demi dirinya sendiri. Kita mengira bahwa ibu mencintai anak demi si anak, tetapi tidak demikianlah halnya. Ia mencintai si anak demi dirinya sendiri. Orang mengatakan bahwa guru mencintai muridnya demi si murid, tetapi sebenarnya ia mencintai murid hanya demi dirinya sendiri.”

Arjuna kaget, dia tersipu malu, sebab selama ini, cintanya untuk Drupadi sebenarnya agar dia selalu dekat dengan Drupadi. “Lalu apa arti semua itu, Guru?” kata Arjuna heran.
“Ilustrasinya bisa engkau dapatkan pada kisah seorang bhakta mencintai Tuhan, tetapi ia mencintai Tuhan bukan demi Tuhan; ia mencintai-Nya demi dirinya sendiri. Namun, Tuhan mencintai pengabdi hanya demi pengabdi, bukan demi Diri-Nya. Sebabnya ialah Tuhan tidak mempunyai rasa perbedaan, rasa perseorangan bahwa sesuatu adalah milik-Nya dan yang lain adalah bukan milik-Nya.”

“Aku paham Guru, Aku sangat mencintai Drupadi, demikian juga Drupadi sangat mencintai diriku, Aku tidak tahu apakah Drupadi juga memiliki cinta yang sama pada suami yang lain?” kata Arjuna.”

Hyang Bhetara Pandu berkata: Drupadi, engkau seorang istri, yang pengabdianmu pada keutuhan keluarga sangat termasyur. Laku spiritualmu adalah menggunakan bahasa hati, yang suci dan murni. Engkau terkenal merawat Ibu Kunti (mertuamu) dengan kasih sayang, engkau telah memahami bahwa melayani orang lain seperti ayah dan ibu kandungmu sendiri. Pesanku padamu, bila terdapat rasa perbedaan dan rasa perseorangan akan timbullah sifat mementingkan diri sendiri dan rasa keakuan serta kempeilikan. Tetapi Tuhan tidak terbatas pada satu wujud, Tuhan tidak memiliki egoisme; Ia tidak memiliki perasaan yang terpisah mengenai "Milikku" dan "Milikmu". Karena itu, ketiga langkah ini: "Bekerjalah untuk Aku", "Semata-mata demi Aku!", "Berbaktilah hanya kepadaKu!" semuanya diberikan demi kepentinganmu. Petunjuk ini akan melenyapkan semua sifat egois dan membantu engkau mencapai tujuan. Sayang sekali tidak banyak orang yang dapat memahami kebenaran agung di balik pernyataan ini.

Drupadi merunduk dia memahami hatinya, selama ini Arjunalah yang dia cintai, merindukannya dengan sepenuh hati. Pandudewa berkata, ”Arjuna dan Drupadi, jiwamu telah terikat cinta, engkau keduanya saling membutuhkan dan saling ingin membahagiakan. Padahal Drupadi bukan milik Arjuna, dia dimiliki oleh suami yang lain. Pesanku pada Arjuna: kurangilah beban yang harus engkau bawa dalam perjalanan kehidupanmu. Ingat, semua yang bukan ‘engkau’ adalah beban. Engkau bukanlah badanmu, jadi badanmu itu sendiri adalah salah satu beban juga. Pikiran, indera, kecerdasan, angan-angan, keinginan, rencana, prasangka, ketidakpuasan, kesedihan adalah barang-barang yang membebani. Buanglah semua itu segera, sehingga akan membuat perjalananmu lebih ringan, aman dan nyaman.”

Drupadi tersenyum, bahagia, dia ingin melepaskan suaminya menuju kahyangan untuk menggali ilmu di negeri para dewa. Ilmu untuk bekal perang besar Mahabarata. Walaupun Gurunya menghendaki aku harus adil teradap suamiku, namun Drupadi tidak mampu membohongi perasaan hatinya, dia sebenarnya hanya mencintai Arjuna. “Demi perasaan cintaku untukmu, aku tetap memberikan bunga hatiku hanya padamu. Walaupun membedakan merupakan tindakan dosa, namun aku tetap lakukan karena cinta sejatiku hanya padamu kakak Arjuna, “ Desah Drupadi lirih. Om Gam Ganapataye namaha*

Selanjutnya......

Atom,Wujud Tuhan yang Paling Halus

Anak Agung Gede Raka

Dewasa ini para ilmuwan menyebarkan berbagai teori ke seluruh dunia. Para tokoh spiritual juga menyebarluaskan teori tentang Tuhan. Meskipun demikian, umat manusia tidak mampu memahami hal yang dikatakan oleh para ilmuwan dan para tokoh spiritual. Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa dunia ini terbentuk dari kumpulan molekul dan atom.Tidak akan ada dunia tanpa atom.

Alam semesta ini merupakan gabungan atom-atom. Para ahli Weda menyatakan “Anoraniiyam mahato mahiiyam." (Brahman lebih halus daripada yang paling halus, dan lebih luas daripada yang paling luas). Karena bergabungnya atom-atomlah, maka kita mendapati kelima unsur alam, manusia, berbagai benda, dan aneka kegiatan di dunia ini. Atom meliputi segala sesuatu. Manusia, unggas, margasatwa, makanan, air, gedung-gedung, cahaya dan segala sesuatu terbentuk dari atom.

Mengapa Tuhan mengenakan busana atau selubung badan manusia? Sejumlah orang mengatakan bahwa Tuhan tidak berwujud. Lainnya mendebat bahwa Tuhan mempunyai wujud yang tidak terbatas.Setiap atom mempunyai wujud. Demikian pula, Tuhan juga mempunyai suatu wujud.Tuhan mengambil wujud yang dianggap sebagai wujud Beliau oleh para penyembah. Beliau tampil dalam wujud yang dikasihi, dipuja, dan direnungkan oleh penyembah -Nya.

Suara tidak berwujud,tetapi benda yang menimbulkan suara mempunyai suatu wujud. Demikian pula kebahagiaan jiwa itu tidak berwujud, tetapi orang yang menghayatinya memiliki wujud. Bau wangi tidak berwujud, tetapi bunga yang memancarkan keharuman itu mempunyai wujud. Kasih tidak berwujud, tetapi ibu yang memberikan kasih itu mempunyai suatu wujud. Demikian pula, Tuhan tidak berwujud, tetapi atom yang menampilkan Tuhan, mempunyai wujud.

Atom merupakan landasan permulaan bagi segenap ciptaan. Tanpa atom, tiada apa pun yang ada-Atom-atom membentuk dunia-Tuhan ada sebagai prinsip kesadaran di dalam atom.Wujud atom merupakan wujud Tuhan. Para ilmuwan berusaha keras selama ribuan tahun untuk mengetahui bahwa atom itu meliputi segala sesuatu. Meskipun demikian, ribuan tahun yang lalu, bocah Prahlada mengetahui dan menyatakan kebenaran ini. Sekarang, manusia harus berusaha menyadari kebenaran ini. Jangan pernah memiliki keraguan bahwa Tuhan hanya ada di suatu tempat tertentu dan tidak ada di tempat lainnya.

Namun, sekarang pun para ilmuwan belum mengakui kebenaran ini.Tuhan melampaui ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya orang-orang menyebut Tuhan sebagai kekuatan adikodrati. Orang-orang memberikan berbagai nama-Mungkin nama itu banyak, tetapi
landasan dasarnya sama, yaitu atom-Kekuatan atom itu tidak terbatas dan ada dalam setiap makhluk.

Jika ditanya seorang bocah,apakah magnet itu, ia akan berkata bahwa magnet itu adalah benda yang dapat menarik serbuk besi. Jika diajukan pertanyaan yang sama kepada seorang pedagang, ia akan berkata bahwa uang adalah magnet. lstri adalah magnet bagi suaminya, dan suami merupakan magnet bagi sang istri. Bunga mempunyai magnet bagi lebah. Dengan demikian kita lihat bahwa segala sesuatu dalam ciptaan ini mengandung kekuatan magnetis yang laten. Bahkan ilmu pengetahuan pun tidak dapat mengingkari hal ini. Pada zaman dahulu para raja biasa mengenakan mahkota yang dipasangi magnet sehingga orang-orang tertarik padanya. Demikian pula para ratu biasa mengenakan perhiasan yang dipasangi magnet untuk menarik orang banyak.Tuhan juga merupakan perwujudan magnetis.Beliau merupakan magnet yang luar biasa. Itulah sebabnyaTuhan menarik segenap ciptaan-Kekuatan magnetis yang suci semacam itu ada dalam setiap makhluk.

Yang dibutuhkan umat manusia bukanlah kesenangan dan kemakmuran. Kedamaian dan kebahagiaan merupakan kekuatan sejati bagi manusia. Setiap makhluk mempunyai kekuatan magnetis suci yang terpendam dalam dirinya. Manusia merupakan gudang energi panas, listrik, laser, dan sebagainya.Tubuh manusia itu seperti generator listrik yang kecil. Hati dapat diibaratkan dengan televisi, dan manas itu seperti kamera.Tidak ada kemampuan di dunia ini yang tidak terpendam dalam diri manusia. Kemampuan Tuhan ini terpendam dalam diri setiap manusia dan mempunyai potensi untuk muncul. Itulah sebabnya Weda menyatakan, “Iishvara sarva bhuutanam" Tuhan bersemayam dalam segala makhluk. “Ishavasyam idam jagat" -seluruh alam semesta ini diliputi Tuhan.

Pertama-tama kita harus memahami prinsip atom. Orang-orang melakukan berbagai latihan spiritual, tetapi Tuhan tidak dapat dicapai dengan aneka latihan semacam itu. Kini manusia tidak mampu menyadari kebenaran karena tidak ada yang menunjukkan jalan yang benar kepadanya. Tidak satu pun dari aneka latihan spiritual ini akan menolong manusia mencapai Tuhan.

Bagaimana manusia dapat mencapai Tuhan? Sebagaimana Tuhan mencurahkan kasih Beliau kepada semuanya, demikian pula manusia harus memberikan kasihnya kepada semuanya.Tuhan akan melimpahkan rahmat Beliau kepada mereka yang bersikap tidak membeda-bedakan.

Mencapai Tuhan tidak berarti bahwa Tuhan itu terpisah dari manusia.Tuhan akan tampil dari dalam dirinya.Cerminan, reaksi, dan gemanya ada di dunia luar, tetapi kenyataan yang sejati ada di dalam batin manusia. Itulah dasar yang utama.Tidak seorang pun berusaha menyadari hal ini,tidak seorang pun dapat memahami Tuhan.

Walaupun Tuhan ada di mana-mana,tergantung pada kesungguhan doa seorang penyembah,Beliau menganugerahkan penampakan Beliau kepada orang tersebut.Tuhan tidak akan membuat diri Beliau demikian murah dan muncul memberikan penampakan bila seseorang memanggil Beliau.

Segala kemampuan yang diperlukan untuk mengetahui Tuhan sudah ada secara laten dalam diri manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat sakti dan suci. Dengan tekad yang teguh dan keyakinan yang tidak tergoyahkan, ia dapat mencapai dan menyelesaikan tugas apa saja.

Selanjutnya......

DEMOKRASI WEDA DAN HATI NURANI

Ngurah Parsua

Rgveda 10-173-10, menyatakan: ‘’Wahai para pemimpin, kami membawamu dan mendudukanmu di istana, janganlah engkau goyah, tetaplah teguh karena seluruh rakyat menghendakimu. Dan dalam memimpin Negara ini agar jangan sampai jatuh atau menghancurkannya.’’ (Dr. Somvir, 108 Mutiara Weda, Untuk Kehidupan Sehari-hari, 2001:150).

Memang rakyatlah yang memilih, tersurat di dalam Weda, sebagai unsur demokrasi. Suara rakyat, diharapkan memilih pemimpin dengan suara bulat. Di tingkat implementasi, hal ini sepertinya agak sulit diwujudkan saat sekarang. Namun konon di India, yang penduduknya (satu milyard orang lebih), sembilan puluh persen lebih beragama Hindu, phenomena Weda terlihat. Seperti presiden dan perdana menteri pernah dijabat oleh non Hindu. Anggota parlemen dipinang oleh rakyat, dan kadang-kadang rakyatlah yang menyumbang fasilitas kepada calon. Bukan suara rakyat dibeli oleh calon pemimpin. Meskipun phenomenanya, bercampur pula dengan hal-hal yang berwajah negatif.

Sebagai koreksi, memang layak diperhatikan pernyataan Richard Wholhen, di dalam kertas kerjanya, berjudul: ’’ A paradox in the Theory of Demokrasi’’ (1962). Menyatakan: ‘’Jika demokrasi berarti kekuasaan dipegang oleh rakyat keseluruhan, bagaimana mungkin itu bisa terjadi diwujudkan.’’ (Richard M. Kitchen, editor. ‘’Demokrasi Sebuah Pengantar’’, 2004:XIV).

Kesulitan itu, rupanya didekati dengan memilih pemenang suara mayoritas. Bukan lagi berkutat pada seluruh kebulatan suara rakyat. Mengamati dari luar, di dalam memilih pemimpin secara demokratis, baik pernyataan Weda maupun demokrasi modern, mempunyai cukup persamaan. Rakyatlah memilih, menentukan dan membentuk pemerintahan, mengangkat pemimpinnya. Cuma bedanya, di dalam Weda tersurat, setelah tercapai suara bulat, rakyatlah yang meminang pemimpinnya. Kebulatan suara rakyat ke dalam, dianggap relatif lebih mudah, mewujudkan suara bulat rakyat. Bukan sebaliknya seperti kecendrungan sekarang, pemimpinlah yang meminang rakyatnya.

Di samping itu, seorang pendekar demokrasi modern, Winston Churchil menegaskan: ’’Democrasy is the worst form of government excep all other that have been fried from time to time;’’ Memang demokrasi itu bentuk pemerintahan yang jelek, tetapi yang lebih baik tidak ada.’’

Di Indonesia, di dalam lembaga legislatif berlaku sistem perwakilan suara rakyat. Memilih wakil yang dapat dipercaya mewakili, menyampaikan, melindungi dan memperjuangkan hak-haknya sebagai rakyat suatu Negara. Wakil rakyat itu, mewakili pula memilih eksekutif, seperti bupati, gubernur maupun presiden. Bahkan sekarang lebih terwakili secara signifikan, di mana bupati, wali kota, gubernur dan presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pada sistem demokrasi, berlaku satu orang satu suara. Suara seorang cendekiawan, sama nilainya dengan suara seorang petani, pengemis atau profesor. Satu suara satu orang. Hal terpenting adalah pengumpulan suara terbanyak. Mayoritaslah yang menang, tidak perduli siapa pemilihnya. Pokoknya, berasal dari suara rakyat yang mempunyai hak pilih. Pada hal mungkin saja, pemilih yang menang tidak rasioanal. Semua itu, sudah dianggap merupakan kehendak Tuhan.

Suara yang diperoleh karena membeli, curang atau menipu, intimidasi, tidak masalah, sepanjang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Berarti apa yang dikatakan K. Bertens (Persfektif Etika, 2001:51) ada benarnya. Dikatakan antara lain: ’’Salah satu kesulitan terbesar yang mengancam pelaksanaan demokrasi sekarang adalah peranan uang. Hal ini pasti tidak pernah terbayangkan oleh bangsa Yunani Kuno, yang menciptakan istilah demokrasi (demos=rakyat; kratein=kekuasaan).

Perkembangan selanjutnya seperti di jaman sekarang, nampaknya uang mengejawantahkan menjadi kuasa ekonomis, semakin akrab dengan kuasa politik. Di sini, baru kelihatan bahayanya dalam sistem demokrasi yang murni. Ternyata, yang menjadi kuasa bisa jadi, jumlah uang terbanyak. Uang dapat membeli suara mayoritas.
Secara empiris apa yang direkomendasikan Weda maupun sistem demokrasi modern, memang agak sulit dilaksanakan seutuhnya secara murni. Calon pemimpin sekarang, relatif aktif mempromosikan diri. Baik melalui tim sukses, janji-janji, kampanye terselubung, intimidasi maupun bentuk lainnya. Bahkan sampai mengritik lawan-lawan politiknya, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya, mungkin lebih ‘’buruk’’ dan munafik dari yang dikritiknya. Ini pun tidak salah, sepanjang tidak melanggar aturan main. Sekedar menarik perhatian hati rakyat.

Promosi terbuka, rakyat dapat menilai, secara luas dan tentunya diharapkan dapat memilih dengan hati nurani. Mana menghayal, mana yang berjanji secara realistis. Rakyat dapat menilai karakter dan reputasi calon, apa yang telah diperbuat dan bagaimana perspektifnya, bila ia memimpin. Di balik itu, prilaku bersifat pragmatis dari calon pemimpin, tetap merupakan ancaman. Iming-iming uang, kedudukan maupun bentuk lain yang mempengaruhi kejujuran pemilih, tetap bisa terjadi.

Bagaimana dengan uang dikeluarkan calon? Hukum ekonomi paling sederhana, tentunya bisa berlaku di sini. Pendapatan harus lebih tinggi dari pengeluaran. Kembali lingkaran ‘’setan’’ menjadi jalan keluar paling sederhana. Korupsi diam-diam mengintai. Calon pemimpin bisa jatuh miskin dan tim sukses juatru bisa bertambah kaya. Tindakan frustasi, bisa dipilih sebagai jalan keluar. Di sini membuktikan kembali, demokrasi dan hati nurani menjadi ancaman bila dipisahkan. Dalam demokrasi, segala sesuatu ditentukan oleh banyaknya suara. Seharusnya, ditentukan pula oleh terjadinya proses, sesuai aturan yang disepakati.

Pernyataan Weda dan demokrasi modern, nampaknya banyak kesamaannya. Mengharapkan kualitas keberhasilannya, ditentukan oleh kejujuran manusianya. Di dalam Weda diketemukan kata, sarva vanchantu; kami seluruh rakyat menginginkan supaya seorang pemimpin Negara sesuai dengan keinginan rakyat. Sehingga ia menjadi, rastramadhi bhrasat; kami rakyat menerimanya sebagai pemimpin Negara ini. Selanjutnya dinyatakan pula, dhruwah dhruvena havishabi somam mrsamasi…(Rgveda 10-173-6). Di sini, ditekankan supaya pemimpin dipilih oleh rakyat untuk melindungi hak-hak rakyat dan memberikan keadilan. Bukan lagi kelompok, golongan atau pribadi tapi seluruh kepentingan rakyat dengan adil.

Karena itu, saran Plato mengandung kebenaran cukup tinggi, ia menyatakan :’’Kita harus menyerahkan pemerintahan kepada orang arif bijaksana, yaitu filsuf-raja. Para filsuf harus dijadikan raja atau para raja (pemimpin) dijadikan filsuf.’’ Sedangkan pemimpin harus memegang kata-kata (mantra), sesuai Rgveda 10-174-5 (Dr. Somvir) : ‘’ Oh, Tuhan, semoga saya tidak mempunyai musuh dan semoga saya menghancurkan para musuh dan semoga saya memerintah seluruh rakyat dengan baik (adil dan penuh kejujuran).’’

Mencoba memahami demokrasi Weda maupun modern, keduanya menuntut kejujuran yang bersumber dari hati nurani. Memilih berdasarkan bisikan hati nurani, berproses dan menjadi pemimpin dengan mendengar suara hati nurani. Apabila terjadi kekeliruan dalam memilih pemimpin, maka perlindungan, keadilan dan ketentraman sulit akan terwujud. Diskriminasi hal yang paling ditakuti minoritas, harapan memiliki rasa aman dan hidup tidak terancam, tidak dibayangi kesewenang-wenangan adalah janji pemimpin. Bila ketidakadilan terjadi, Weda secara tersirat mengingatkan, pemimpin tersebut akan berhadapan dengan Tuhan. Karena diangkatnya sebagai pemimpin atas nama; saksi Tuhan. Bersiap-siaplah menghadapi kekacauan Negara. Bukan tak mungkin akan berakhir dengan kehancuran nama, keluarganya sendiri dan Negara yang dipimpinnya.

Harus diingatkan, pemimpin jangan bermain-main dengan suara rakyat yang dipercayakan dengan jujur. Suara itu adalah suara Tuhan. Sebaiknya bertindak adil dan benar, hal itu mengangkat ia sebagai raja. Sebaliknya, rakyat jangan main-main dengan suara Tuhan. Memberikan suara kepada pemimpin yang tidak berdasarkan hati nurani, tapi kepentingan pragmatis sesaat, bersiap-siaplah untuk mengalami penderitaan panjang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,1989: 3O1) makna kata hati nurani adalah hati yang telah mendapat cahaya Tuhan; perasaan hati murni dan yang sedalam-dalamnya.
(Penulis, Budayawan tinggal di kota Denpasar, Bali)

Selanjutnya......

Manfaatkan Konsep Ajaran Hindu sejak dini

Made Dwija Putra

Belakangan ini Bali banyak sekali mendapat masalah. Beberapa tahun terakhir seperti yang diberitakan sebuah majalah dari luar negeri, yakni majalah Time edisi 1 April 2011 yang memberitakan Bali adalah Pulau Neraka. Maklum, sebelumnya memang terlihat sampah-sampah yang berada di pantai Kuta tak terurus dan merusak pemandangan. Tak pelak, baru ada pemberitaan seperti itu, berbagai pihak, baik instansi pemerintah dan juga masyarakat berbondong-bondong bersuara dan membersihkan sampah- sampah itu serta menata pantai. Tapi kalau tidak ada berita seperti itu, mungkin kita tidak tahu apa yang terjadi.

Selain itu, kasus yang menjadi masalah krusial, yakni kasus desa pakraman atau kasus desa Adat. Bahkan demi kepentingan pribadi seperti kasus di Tabanan baru- baru ini, oknum- oknum tersebut sampai mengucilkan masyarakat sesama pemeluk agama Hindu. Begitu juga kasus yang terjadi di Bangli hingga betrok sesama nyama Bali memakan korban jiwa. Pun demikian, di Klungkung juga berbuntut menjadi bentrok antara sesama warga Bali yang beragama Hindu karena masalah sepele dan juga memakan korban jiwa. Sungguh miris mendengar berita buruk seperti itu yang terjadi saat ini.

Selain itu, demi kepentingan pribadi kasus yang belum selesai hingga sampai saat ini yang kerap bermunculan di berbagai media cetak mau pun elektronik, yakni terkait salah satu media di Bali yang memberitakan bahwa orang nomor satu di Bali itu sempat mengatakan untuk membubarkan desa pakraman di Bali. Tak pelak, berita ini heboh, pro dan kontra pun terjadi. Banyak isu yang bermunculan. Sayang, para petinggi itu tak melihat bagaimana nasib masyarakat kecil. Rakyat kecil sama sekali tak tahu menahu mana yang benar dan salah. Akhirnya, kasus itu pun hingga berbuntut ke jalur hukum. Maklum, api ketemu api tentunya semakin membara saja yang terjadi dan semua panas dan tak ada mau mengalah sama sekali. Tapi kita sebagai rakyat kecil tak tahu apa yang terjadi. Apa mungkin ini hanya sebagai permainan polilik semata demi meraih kursi yang diidamkan atau memang benar memperjuangkan rakyat Bali untuk menuju kehidupan yang Jaghaditha. Tentunya mereka yang berada di dalam lingkaran itu yang tahu.

Begitu ironisnya permasalahan yang menyelimuti pulau seribu pura ini. Mesti ini menjadi pembelajaran dan mampu mulat sarira bagi semunya untuk menuju kehidupan yang harmonis. Para pemimpin, masyarakat dan generasi muda penerus bangsa setidaknya memahami ajaran agama, khususnya bagi pemeluk Hindu di Bali. Ajaran yang bersumber dari sastra suci yakni Veda mesti dihayati dan juga dimplementasikan. Tak cukup hanya membaca dan mendengar tanpa ada action.
Maka dari itu, mari kita muali pahami, hayati dan laksanakan konsep ajaran Hindu yang paling tingkat sederhana dari sejak dini. Seperti ajaran Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, dan masih segudang lagi ajaran Hindu yang bisa menjadi referensi bagi kita semua kalau mau menggali lebih dalam.

Nah, sebut saja konsep Tri Kaya Parisudha, yakni tiga prilaku yang dimuliakan dan disucikan oleh setiap umat Hindu. Konsep ini sejak dari duduk bangku Sekolah Dasar sudah diajarkan dengan pembagian Manacika (pikiran yang baik), Wacika (perkataan yang baik), Kayika (perbuatan yang baik). Kalau semua umat Hindu mampu melaksanakan ajaran ini tanpa menjadikan menara gading, tentunya sangat membuahkan hasil.

Selain itu, konsep Tri Hita Karana yakni tiga hubungan yang vertikal dan horizontal yang mesti dilaksakan. Namun pada kenyataan, konsep ini telah mengakar dan terkenal dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahkan sering disampaikan dalam pidato para pejabat, seolah tanpa menyinggung konsep tersebut, pidatonya kurang lengkap saja. Tapi pada realisasinya tak ada. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Kalau bisa tiga pilar itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata, tentunya tidak terjadi berbagai persoalan yang menimpa Bali. Seperti menjaga lingkungan sejak dini dan itu bisa menepis Bali tidak dicap sebagai pulau neraka. Hubungan sesama manusia kalau mampu dilaksakanan dengan baik tentunya tidak akan terjadi saling baku hantam hingga menimbulkan korban jiwa. Namun, yang terpenting hubungan dengan Tuhan ini mesti mampu masuk dalam pikiran para pemimpin, masyarakat, dan generasi muda. Tak pelak ini bisa menjaga Pulau Bali yang indah ini agar tidak diperkosa dan dinodai dengan hal- hal yang disengaja mau pun tidak disengaja. Mari kita semua saling intropeksi diri menuju Bali yang Jagaditha seperti tujuan akhir Agama Hindu, yakni Moksatam jagadhita yacaiti dharma.
Top of Form

Selanjutnya......

Membuat Tongkat dari bahan Bertuah

Pada masyarakat Bali, tongkat adalah salah satu barang seni yang juga sekaligus bernilai spiritual. Karenanya, ada tongkat tertentu yang merupakan simbol keagamaan dan pada bagian lain sejumlah tongkat diyakini memiliki kekuatan gaib. Berbeda halnya dengan tongkat biasa atau souvenir untuk wisatawan, maka tongkat-tongkat yang diharapkan memiliki nilai niskala harus dibuat dari kayu-kayu tertentu dan memperhatikan sejumlah syarat.

Pedoman Aji Janantaka
Jero Gede Wayan Sacita Nagara, 45 tahun, yang tinggal di banjar Sengguan Kawan, Gianyar adalah seorang perajin yang sekaligus seorang rahaniawan Hindu yang menyebutkan, bahwa tongkat itu dapat dibuat dari berbagai macam jenis kayu, tergantung untuk apa dan menjadi tongkat apa. Ia menyebut berbagai jenis kayu yang baik digunakan sebagai tongkat, seperti, kayu cendana, majegau, krsnadana, bradah dan lain sebagainya. Menurut Jero Gede, apa yang termuat di dalam lontar “Aji Janantaka” sudah memberikan kita garis dan batasan jelas mengenai kayu-kayu apa yang dapat dijadikan tongkat agar memiliki tuahnya tersendiri. Sebut saja kayu “sentigi”, itu adalah kayu sakti yang baik digunakan tongkat bagi kaum yang suka sekali melanglang bhuana dalam dunia magis, atau sekedar suka mengadu ilmu kawisesan.

Kayu itu diyakini sekali memiliki tuah yang dapat menolak serangan gaib dan bila batang kayu itu dipergunakan sebagai tongkat kemudian dibawa oleh orang yang benar-benar “wikan”, maka hasilnya adalah ia menjadi mandraguna. Tongkat itu sendiri juga akan memiliki tuah, jika selesai dibuat, tongkat dibersihkan kemudian disakralisasi lewat sebuah upacara yang bernama “pasupati”.

Pasupati sendiri menurut Jero Gede, hanya sebatas proses sakral yang akan menjadikan pemegangnya pada keyakinan atau sugesti yang lebih kuat dari sebelumnya. Sebab “pasupati” itu sendiri akan membawa dampak psikologis secara niskala bagi pembawanya. Misalnya, jika kita membeli sebuah tongkat yang ada di pasar seni yang tentunya tanpa disertai proses sakralisasi, maka tongkat itu hanyalah sebuah tongkat hiasan yang tidak memiliki makna spiritual, apalagi yang membawa adalah orang-orang biasa.

Lain lagi, jika yang membawa itu adalah seorang wiku, atau sulinggih, kemudian tongkatnya kapasupati, maka akan membawa makna yang jauh lebih dalam dalam aspek niskala dari yang pertama. Namun tidak mesti seorang sulinggih harus memasupati tongkatnya, sebab kembali lagi, itu masalah sugesti dan hanya memperkuat rasa, tidak lebih. Jero Gede sendiri memberikan sebuah pendapat bahwa tongkat yang dibeli di pasar seni yang menjadi barang komersial, jika dibuat dengan proses yang benar, dewasa ayu yang baik, maka tanpa proses pemasupatian pun, maka suatu ketika nanti dapat saja tongkat itu menjadi “hidup” dan bertuah.

Ada banyak contoh kasus untuk hal ini. Jero Gede menuturkan, suatu ketika ada seorang “pemangku” yang membeli sebuah tongkat di pasar seni. Kemudian tongkat itu dibawa pulang dan dipergunakan sebagai mana mestinya untuk membantu jero mangku berjalan karena usianya sudah renta. Tongkat itu sebenarnya tidak mengalami sebuah proses sakralisasi (pasupati) atau sebuah upacara yang lainnya. Bahkan tongkat itu diletakkan sembarangan, sebentar-sebentar ada di bawah kolong tempat tidur, kemudian di dapur atau ditempatkan di depan kamar mandi, sesuai kebutuhan ke mana jero mangku lingsir itu pergi.

Suatu ketika, tongkat itu ternyata mengeluarkan sebuah mukjikzat. Ceritanya, tongkat itu dapat menyembuhkan orang sakit dan dapat melindungi sang pemilik dari berbagai macam serangan gaib. Padahal tongkat itu tidak kapasupati. Di sinilah perannya sebuah kualitas sang pembuat, dan menurut Jero Gede kemungkinan besar saat tongkat itu dibuat, dewasa ayu-nya sangat baik, kemudian kayu yang dipergunakan juga merupakan kayu-kayu utama yang tertera dalam lontar Aji Janantaka dan lontar Taru Pramana. Meskipun tidak kapasupati atau mengalami sebuah proses sakralisasi, namun tuahnya didapat dengan alami.

Jero Gede yang juga merupakan seniman topeng ini memberikan penjelasan, bahwa meskipun tongkat itu kapasupati, namun jika dewasa ayu saat membuat tongkat itu buruk, kemudian kualitas kayunya juga buruk, maka reaksi dan akibat pasupati-nya itu tidaklah dirasakan dengan sempurna. Misalnya, ada sebuah kayu roboh dengan sendirinya karena akarnya dimakan rayap, usianya sudah sangat tua. Kemudian kayu itu tumbuh di tepi selokan atau parit, lalu kayu itu dipotong dan batangnya dijadikan tongkat.

Kayu yang Tidak Baik untuk Tongkat
Saat memotong kayu, saat membuat tongkat, dewasa ayu tidak diperhatikan, setelah jadi malah tongkatnya kapasupati, maka hasilnya tidak akan optimal. Tambah gawat lagi jika kayu itu bukan kayu yang bertuah, alias kayu-kayu nyakitin, maka bukan kebaikan yang diberikan pada pemiliknya namun petaka.

Menurut Jero, kayu-kayu yang berkualitas buruk itu adalah sebagai berikut: (1) Kayu yang pernah disambar halilintar (sander kilat). Misalnya dalam sebuah ladang, hutan atau sawah, tumbuh batang kayu besar, dan hlilintar pernah menyambarnya, maka kayu ini tidak baik untuk tongkat atau bahan bangunan. (2) Kayu mungkatang raga, atau kayu yang roboh sendiri karena termakan usia, rayap dan sebagainya. Juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat. Meskipun kayu itu kayu-kayu yang dipandang angker, seperti pule, kepuh rangdu, dan lain-lain. (3) Kayu yang tumbuh di kuburan (setra), meskipun kayunya kokoh, batangnya lurus dan sangat kuat, namun karena tempat tumbuhnya itu di kuburan, maka tidak baik dipergunakan untuk tongkat, apalagi tongkat Ida Sulinggih atau tongkat yang akan dibawa bagi sang wiku. (4) Kayu Tunggak Semi, adalah sebuah pohon yang dulunya pernah dipotong habis dan tumbang, kemudian karena seiring berjalannya waktu, kayu itu tumbuh kembali dan menjadi besar. Lalu batangnya dipotong dan dipergunakan tongkat, maka hasilnya akan buruk. Sebab kayu jenis ini tidak baik dipergunakan untuk tongkat apalagi jika tongkat tersebut, akan dipergunakan untuk benda sakral. (5) Kayu akweh sauca (kayu yang banyak matanya /soca). Kayu ini juga akan sulit untuk dijadikan tongkat, sebab mengingat akan kesukaranlah seseorang yang membuat ukiran bagian atas tongkat.

Berikutnya yang tidak baik digunakan sebagai tongkat adalah, (6) Kayu yang tumbuh menjadi pagar pembatas. Misalnya, jika ada sebuah pekarangan rumah, tanah dan tegalan, kemudian temboknya atau pembatasnya itu ditanam sebuah batang kayu, karena saking lama, batang kayu itu tumbuh besar, lalu dipotong untuk tongkat, maka hasilnya kurang bagus. (7) Kayu surudan adalah kayu yang bekas dipakai untuk hal-hal aneh sebelumnya, misalnya untuk tiang jemuran, atau kayu yang pada awalnya dipergunakan untuk sebuah penyangga tenda, rumah dan pondok atau kubu, maka tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (8) Kayu abilan, adalah kayu bekas disensor, meskipun besar kuat dan panjang, maka tidak baik dipergunakan untuk sebuah tongkat. (9) Kayu bekas rumah juga tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (10) Kayu yang didapat ditempat orang yang habis menggelar upacara Pitra yajna, misalnya dalam sebuah pekarangan ada upacara ngaben, lalu dibuatkanlah sebuah petulangan lembu, bade dan sebagainya. Sisa dari pembuatan itu, juga tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. (11) Kayu yang dahulunya pernah kena tempat musibah, misalnya di dahan kayu itu, pernah ada orang yang gantung diri. Kayu ini juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat.

Menurut Jero Gede Sacita, itulah kayu-kayu yang tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. Tetapi jika hanya membuat sebuah tongkat yang tujuannya hanya komersial semata, bersifat profane tanpa sebuah pelibatan proses sakralisasi, maka kayu apa saja, asalkan kuat dan panjang dapat dijadikan sebuah tongkat.
Tetapi jika menginginkan sebuah tongkat yang memiliki tuah bagus, nilai sakral yang tinggi serta memang diperuntukkan untuk sebuah benda-benda sakral, maka perhatikan pemilihan kayu.

Kayu Baik Lainnya
Pria yang tahun 2012 ini juga ngayah sebagai Klian Adat Sengguan Kawan ini, memberikan beberapa contoh kayu yang baik untuk tongkat yang memang diperuntukkan bagi kesakralan baik pengguna ataupun tongkat itu sendiri: Pertama, Kayu yang katunas di pura atau areal suci pura. Bisanya ini tidak dapat diperoleh sembarangan, perlu sebuah ijin dari pengempon pura, jero mangku yang bersangkutan ataupun restu dan berkat dari Ida Bhatara yang memang berstana di pura tersebut. Kayu ini pun jika saat nunas menggunakan banten pejati dan tidak boleh sembarangan main tebang dan main tebas. Perlu sebuah atur piuning ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di pura.

Kedua, kayu yang tumbuh di hutan-hutan, tegalan yang tidak menjadi tanaman pembatas jalan atau tanaman pagar halaman atau penyengker. Dengan kata lain, kayu ini tumbuh di wilayah hutan yang memang bebas dari perhitungan kayu buruk seperti yang dipaparkan di atas.

Ketiga, kayu yang bersinar sekala niskala. Kayu jenis ini hanya dapat dideteksi oleh orang-orang yang memang mata batinnya sudah terbuka. Keempat, kayu yang tumbuh di tepai danau, pantai dan juga sungai.

Beberapa contoh kayu yang baik lainnya menurut Jero Gede di antaranya, kayu krsnadana, bradah dan juga santigi atau kayu sulaiman. Semua kayu tersebut baik digunakan sebagai tongkat apalagi untuk pengembara yang suka bepergian ke tengah hutan. Kayu sulaeman sendiri dapat memberikan kita perlindungan dari bahaya serangan ular berbisa. Ular-ular dalam jarak sekian meter akan takut berhadapan dengan orang yang memegang tongkat dari kayu sulaeman. Itulah sebab mengapa kayu sulaeman dipilih oleh sekian banyak pengembara dalam membuat tongkat, sebab hutan adalah wilayah yang banyak dihuni oleh ular dan binatang berbisa lainnya.

Hati-hati Buluh Empet
Selain itu, ada juga tongkat yang terbuat dari tiying empet. Jika kita melihat bamboo (tiying) empet, maka ini adalah jenis bambu yang ada baik dan buruknya untuk dijadikan sebuah tongkat. Bambu ini adalah sebuah bambu yang buluhnya tidak kosong atau empet (mampat). Bambu ini biasanya terbentuk disebabkan karena adanya pemampatan sari energi dalam batangnya atau buluhnya, sehingga ia tidak berlubang dan tidak memiliki rongga. Ada juga yang menyatakan bahwa bambu ini adalah bambu yang digemari oleh makhluk halus.

Ada juga orang yang membuat tongkat mereka dengan menggunakan bambu jenis ini. Jika menggunakan bambu jenis ini, maka seseorang yang membawanya diyakini akan kebal terhadap senjata jenis apa pun dan mampu menghalau makhluk halus lainnya. Juga dapat dipergunakan sebagai penawar racun. Tetapi kemalangannya adalah, seseorang yang membawa tongkat dari bambu empet ini, akan cepat sekali emosi. Amarahnya meledak-ledak dan oleh sebab itulah, mengapa orang yang membawa tongkat dari bahan ini, sebaiknya dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Teteken: seken-seken tungked
Jero Gede menambahkan, meskipun kayu-kayu pilihan sudah ditentukan dan tongkat itu juga dibuat dengan seksama, maka yang harus perhatikan adalah pemegang tongkat itu sendiri. Menurut Jero Gede, seseorang yang sudah berani memegang tongkat secara niskala atau memegang tongkat dalam aspek spititual, maka seyogyanya dia adalah orang-orang yang sejatinya sudah benar-benar matang lahir dan batin.

Tongkat dalam terminologi agama Hindu di Bali, disebut juga dengan nama teteken. Secara harafiah ini memiliki arti ditekan, secara simbolis ini memiliki difinisi “yang benar-benar serius” atau “mula seken”. Seken adalah sejati, dan sejatinya itu merupakan sebuah kesadaran manusia pada jalan kebenaran. Itulah tungked manusia Hindu Bali. Bukan semata-mata sebuah tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan ketika dia tua, melainkan sebuah cerminan penguat rasa, bahwa orang yang membawa tongkat itu benar-benar telah melihat kehidupan secara nyata.
(Agus Budi Adnyana)

Selanjutnya......

Pengempon Puri Agung Dharma Giri Utama Metirtayatra ke Puri Ibu Majapahit-Trowulan

Pengurus dan pengempon Paguyuban Dharma Giri Utama bertirtayatra ke Puri Ibu Majapahit-Trowulan dan Pura Mandara Giri Lumajang. Peserta berangkat dari Puri mengunakan 2 bus tanggal 24 Februari 2012 pukul 21.30. Keesokan harinya Rombongan sampai di Trowulan kurang lebih pulul 15.30, kelelahan dalam perjalanan sirna begitu saja ketika mulai memasuki Puri Ibu Majapahit. Ketika memasuki gerbang Puri terlihat beberapa arca serta pusaka-pusaka yang kurang terurus, sarang laba-laba serta debu terlihat menempel di setiap benda di dinding tembok. Namun suasana sejuk masih terasa karena pohon-pohon disekitar candi masih menghijau.

Halaman demi halaman di lewati pandangan masih asik melongok ke sana ke sini memperhatikan bangunan-bangunan di ruang dalam. Sebagian peserta sebelum melakukan persembahyangan asyik menjepretkan kameranya harapan tidak mau melewatkan momen langka ini. Pada akhirnya dengan bimbingan para pengempon Puri Ibu Majapahit dan para mangku dari Puri Giri Utama persembahyangan pun dimulai. Suara kidung, suara genta dan harumnya wewangian dupa menghantarkan pikiran untuk lebih berkonsentrasi melakukan persembahyangan. Sampai akhirnya selesai dan peserta melakukan sujud di altar di mana disingasanakan pratima-pratima Ida Sanghyang Widhi dan peninggalan pusaka leluhur.

Setelah selesai sembahyang peserta melakukan pembersihan diareal Puri dan panitia tirtayatra menyerahkan bantuan dana punia kepada pengempon Puri Majapahit peserta pamit dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Pura Mandara Giri Lumajang. Namun sedikit ada hambatan dimana bus kedua mengalami kehabisan bahan bakar, dan ketika hendak melakukan pengisian bahan bakar listrik padam, sehingga harus menunggu berapa lama menungu listrik menyala. Di tengah guyuran hujan yang cukup lebat akhirnya listrik tak kunjung menyala, sehingga timbul inisiatif untuk minta bantuan ke bus pertama yang masih memiliki persediaan yang cukup dan akhirnya perjalanan bisa dilanjutkan. Hambatan tak hanya sampai di sana saja, karena bus pertama mengalami gangguan sampai akhirnya benar-benar mogok dan diputuskan untuk mencari bus lain. Waktu pun terbuang begitu panjang sampai akhirnya panitia rapat dan diputuskan untuk pulang ke Bali dan membatalkan jadwal ke Pura Semeru. Keajaiban pun muncul, karena bus tiba-tiba bisa dinyalakan dan beberapa saat ada informasi kalau Gunung Semeru sedang siaga satu karena aktifitas letusan Gunung Semeru. Akhirnya peserta memahami fenomena hambatan ini dan kembali ke Bali. Dan berencana melakukan persembahyangan di Pura Segara Rupek-Gilimanuk.
(Aa.nanda)

Selanjutnya......

Gubernur Bali Tak ke Napal, Bantuan Diserahkan di Bandar Lampung

Laporan Made Mustika

Gubernur Bali Made Mangku Pastika memang sempat ke Lampung. Namun dia dan rombongannya hanya sampai di Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung. Dengan demikian Gubernur Pastika dan rombongan tak pernah menginjakkan kaki di Dusun Napal, Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan. Bantuan yang dibawa Gubernur Bali berupa dana Rp 654 juta untuk korban dusun Napal diserahterimakan di Bandar Lampung Penjelasan itu disampaikan Ketua Posko Korban Napal yang juga Ketua PHDI Kecamatan Sidomulyo Wayan Gunawan kepada Raditya di rumahnya pada akhir Februari 2012 lalu. “Saya sendiri yang pergi ke Bandar Lampung untuk menerima bantuan dari Gubernur Bali,” tutur Gunawan.

 Tentang alasan Mangku Pastika tidak jadi ke Napal tidak diperoleh informasi jelas. Menurut informasi yang diperoleh Gunawan, Gubernur Bali beralasan biar tidak ada kesan pilih kasih sehingga kunjungan ke lapangan dibatalkan. Pilih kasih bagaimana? Selain mendapat bantuan dari Gubernur Bali, posko korban Napal juga menerima bantuan-bantuan dari lain pihak. Misalnya dari Pemkab Lampung Selatan sebesar Rp 1,2 milyar, dari Bali Post Group Rp 99 juta, Pemkab Tabanan Rp 91 juta, Pemkab Badung Rp 150 juta, Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) se-Bali Rp 140 juta, dan dari umat Hindu baik yang ada di Lampung maupun yang di luar Lampung. Akan tetapi semua bantuan itu tidak diterima langsung oleh posko Napal. Sebagian ditampung oleh PHDI Provinsi Lampung. Seperti bantuan dana dari BEM se-Bali dan dari Pemkab Badung serta umat Hindu dari seluruh Nusantara yang totalnya mencapai Rp 510 juta menyangkut dulu di PHDI Provinsi Lampung, lalu didrop ke PHDI Lampung Selatan. Hanya pakaian bekas layak pakai yang dihimpun PHDI Provinsi Lampung yang disalurkan langsung ke Napal. Jumlahnya cukup banyak sehingga harus diangkut dengan satu bus. “Pakaian bekas itu sudah disampaikan langsung kepada kami.

 Namun uangnya masih tersendat sampai di PHDI kabupaten. Dana yang Rp 510 juta lebih itu diminta untuk memilah menjadi dua, yaitu untuk ekonomi kerakyatan (non-fisik) 75 persen, dan 25 persen lagi baru dimanfaatkan untuk perbaikan fisik,” kata Gunawan mengutip rekomendasi yang dikeluarkan PHDI provinsi. Walaupun rekomendasi itu hanya bersifat harapan, tetapi bagi PHDI Kabupaten Lampung Selatan rekomendasi tersebut dimaknai sebagai kebijakan yang harus dijalankan. Sementara posko korban Napal mengharapakan agar 100 persen bantuan diturunkan dananya untuk perbaikan rumah. Kesepakatan belum tercapai menyangkut skema pembagian tersebut. Ada perbedaan pendapat di antara mereka. “Karena ada perbedaan tersebut sehingga dana itu belum sampai di tangan kami,” ucap Gunawan saat dihubungi dari Bali pada 12 Maret 2012. 

Lalu bagaimana hubungan antara masyarakat keturunan etnis Bali dengan warga Lampung paska deklarasi damai pada 27 Februari 2012 yang dilaksanakan di Desa Kota Dalam, Kecamatan Sidomulyo? Apakah deklarasi itu mampu menutup luka hati masyarakat. Apakah dendam berhasil dikubur? Tidakkah di kemudian hari meletus lagi? Banyak pertanyaan lain yang mungkin bisa diajukan. Terhadap segala pertanyaan itu, Gunawan menyatakan optimis terjadi rekonsiliasi dan hubungan harmonis seperti sebelumnya akan terwujud kembali. “Paska deklarasi damai, hubungan masyarakat sudah baik seperti biasa dan tidak ada permusuhan lagi,” katanya melalui sms membalas pertanyaan Raditya. Ayah tiga orang anak ini termasuk sosok yang berjiwa optimistik dalam menyikapi perbedaan etnis. Sementara itu Made Supini (32) yang sehari-hari berjualan aneka minuman serta keperluan-keperluan lainnya, juga merasa terpukul akibat kerusuhan massa itu. Pasalnya warungnya yang berukuran 7 x 3,5 meter persegi juga dibakar massa. 

Kerugian yang dialami memang relatif sedikit. Yakni sekitar Rp 15 juta. Beruntung dia, suami, dan dua anaknya memperoleh bantuan dari pemerintah dan para dermawan. Sehingga terkumpul uang sekitar Rp 7 juta. Lalu dia meminjam lagi untuk bisa mendirikan warung kembali. Sebab kalau dia lama tak jualan, maka dapurnya dikhawatirkan tak mengepul. Tempat dia berjualan persis di utara Pura Puseh, hanya dipisahkan oleh jalan raya. Warung yang dibangun kembali itu, dindingnya dibuat dari gedek dan atapnya dari seng, sehingga biayanya relatif murah. Itulah siasat Made Supini untuk keluar dari prahara. Sama seperti Wayan Gunawan, Supini punya optimisme sendiri dalam menghadapi hari-hari ke depan. Walaupun kedua orangtuanya berasal dari Bali, namun dia dan suaminya dilahirkan dan dibesarkan di Lampung. Mereka mengaku sebagai orang Lampung. “Maaf ya bahasa Bali saya jelek,” katanya malu-malu. Seperti halnya pedagang Hindu di Bali, di salah satu sudut warungnya itu ditempelkan tempat menghaturkan canang. Selain Supini, warung lain yang sudah rampung adalah milik Wayan Budi Arsana. Walau demikian, warungnya itu masih kosong karena untuk membeli barang-barang tentu butuh modal besar. Warung milik Arsana memang lebih besar dibandingkan milik Supini dan ditembok batako. Selain itu dia harus mengutamakan perbaikan rumahnya yang dibakar massa ketimbang membeli barang-barang dagangan. Perbaikan rumah tentu memerlukan biaya besar. Dari semua rumah yang dibakar di Napal, tak satu pun yang telah selesai pemugarannya. Hal itu dijelaskan Wayan Gunawan pada pertengahan Maret 2012 lalu, ketika Raditya memasuki persiapan cetak. Ya, semoga warga Napal tabah menghadapi cobaan dan dapat menarik hikmah dari kejadian buruk itu. Ya, semoga. *

Selanjutnya......

Ke Napal Lampung Main Layangan dan Mendongeng

Laporan Switi Maryam

Mingu ini kembali pulang ke kampung. Kampungku yaitu Dusun Napal Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo - Lampung Selatan. Dusun yang merupakan tempat terjadinya konflik antara warga Lampung etnis Bali dengan warga Lampung etnis Lampung, tanggal 24 Januari 2012 silam. Kemudian, dua Hari setelah Perayaan Sivaratri berlangsung, 8 hari sebelum Hari Raya Galungan. Dan hari itu merupakan hari tergelap bagi dua warga yang bertikai, Napal dan Kota Dalam. Ada 78 rumah rusak parah. Rumah-rumah dijarah dahulu sebelum dibakar. Ada dua Pura, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem ikut dirusak dan dibakar. 

 Sedikitnya, 300 kepala keluarga mengungsi ke rumah saudara yang jauh dari lokasi dan banyak pula yang memilih tinggal di ladang – ladang mereka. Dengan kondisi apa adanya saat itu dan perbekalan yang sangat terbatas. Berhari-hari mereka di pengungsian dengan kondisi jiwa yang tertekan, takut dan gelisah. Sekarang kondisi sudah berangsur-angsur pulih. Pihak yang bertikaipun sepakat untuk berdamai. Dan bertekad untuk menjaga kondisi tetap kondusif. Semua pihak ikut membantu memulihkan Napal. Baik dari Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, Pemda Kabupaten Lampung Selatan, Ormas, Parisada dan Wanita Hindu. Bahkan Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, berkesempatan hadir di Perayaan Kuningan di Pura Way Lunik – Bandar Lampung untuk memberikan bantuan dari Pemprov Bali untuk Napal. Hanya saja tidak sempat ke lokasi kejadian di karenakan kesibukannya. Pembangunan fisik sudah mulai di lakukan. Warga yang sebelumnya tinggal di tenda-tenda di halaman rumahnya, sudah mulai memperbaiki dan menempati rumahnya kembali. Yang punya ladang, sawah sudah mulai beraktivitas kembali. Anak-anak sekolah yang sebelumnya diliburkan selama dua minggu pun sudah mulai kembali belajar. Hari ini kami hadir di Napal.

 Wanita Hindu Kabupaten Lampung Selatan bekerja sama dengan Sanggar Dongeng Dakocan mengusung tema ’Fly for Brotherhood’. Khusus untuk anak Napal. Karena secara tidak langsung, mereka merupakan korban terbesar dalam kerusuhan ini. Bermain adalah dunia anak. Dengan bermain, seorang anak dapat mengeksplorasi kreatifitas. Dan mendongeng adalah salah satu metode bermain bagi anak dengan cara yang paling lengkap. Cara paling efektif bagi anak untuk dapat menerima apa yang disampaikan. Menangkap pesan moral yang akan di rekam anak sampai ia tumbuh dewasa. Dongeng mengajarkan anak tentang kebaikan dan keburukan, serta memberikan nilai-nilai dari sebuah cerita. Secara psikologis, mendongeng dapat mengasah intelegensia anak karena anak lebih cepat daripada melalui pesan verbal yang di sampaikan langsung. 

Bersama 75 anak korban kerusuhan, kami berbagi cerita. Mendongeng, bernyanyi dan melakukan permainan. Di pandu oleh Ivan, Iin, Dudi (Dakocan), Widi, Wayan Rusmitini (WHDI Lamsel), Suwarti (Ibu Kepala Sekolah SD Napal), dan Gede Purnadhita. Ada hadiah doorprize juga. Berupa boneka dan alat – alat tulis. Bersama-sama membuat layang-layang perdamaian dan menerbangkannya. Suasana hangat dan penuh tawa. Ceria khas anak-anak. Saat ini kami berusaha menghibur mereka dari trauma psikis akibat kerusuhan, dengan sebanyak-banyaknya melakukan hal yang menyenangkan. Karena seseorang merekam kejadian dalam hidupnya dengan dua cara. Yaitu melalui kejadian yang sangat menyenangkan dan sebaliknya, dengan kejadian yang sangat menakutkan. Mudah-mudahan dengan kegiatan ini mereka bisa pulih dari rasa ketakutan. Dan kami tekankan kalau hal ini murni kriminalitas. Premanisme. Tidak ada hubungannya dengan suku apalagi agama. Karena siapa pun yang tinggal di Bumi Ruwa Jurai Lampung, adalah orang Lampung. Bersama membangun Lampung. Dan semua bersaudara. 

 Kegiatan ini akan rutin kami lakukan. Difokuskan pada para wanita dan anak-anak. Semua bantuan sudah dialirkan ke Napal. Pembangunan fisik pun sudah dimulai. Materi bisa diganti dan dicari kembali. Dan semoga trauma bagi siap pun yang mengalaminya bisa terobati. For you Napal, My second home, for my mother, my father, my brother-Sister, n all my kids. (Siti Maryam Sumantra, lahir di Jakarta, 18 September 1977- Menjadi warga Lampung sejak 1999. Ketua WHDI Kab. Lampung Selatan)

Selanjutnya......

Atasi Stress Melalui Seni Nafas dan Seni Hidup

Gaya hidup masa kini, seperti pola makan tidak sehat, polusi udara, stres dan kurangnya istirahat atau tidur di malam hari, membuat energi tubuh terkuras dan dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Dengan menjaga empat sumber energi dan belajar olah nafas untuk meningkatkan kapasitas paru-paru melalui workshop basic course yang diajarkan di Art Of Living Foundation berupaya membantu manusia memperbaharui lagi energi hidupnya juga untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.Seperti yang diungkapkan oleh Asih, seorang The Art Of Living & Sri Sri Yoga Teacher bersama rekan teamnya Bayu The Art Of Living Teacher Bali, bahwa banyak yang sudah mendapatkan manfaat dengan mengikuti workshop yang mencakup yoga asanas, pranayama, meditasi, olah nafas dan seni hidup ini. Salah satu perusahaan BUMN di Bali baru-baru ini menyelenggarakan Workshop Mahakriya sebagai salah satu program pengembangan kepribadian dan kesehatan untuk karyawan, di mana program ini akan berkesinambungan mencapai 300 karyawan yang pelatihannya dilakukan secara bertahap. Program ini terlaksana atas motivasi dari Bapak Gede Agung Sindu Putra Manager PT.PLN (PT.Persero) Area Bali Selatan yang sudah merasakan manfaat dari teknik pernafasan ini.

Teknik pernafasan yang dikenal dengan Sudharsan Kriya ini, di mana dengan irama nafas tertentu untuk melepaskan emosi negatif yang menyebabkan stres, seperti marah, depresi kecemasan, dan kekhawatiran, membuat pikiran benar-benar bahagia, santai, dan berenergi. Latihan ini mengisi seluruh sel-sel tubuh kita dengan oksigen dan energi baru. Teknik pernafasan ini bisa juga sebagai terapi anti depresi dan ketergantungan obat obatan tanpa efek samping.Studi ilmiah membuktikan bahwa sudharsan kriya menjadikan Hidup lebih sehat produktif dan emosional stabil. Saat kita dalam keadaan stres, tubuh mengeluarkan hormon stres yang disebut kortisol. Pelepasan hormon kortisol ini mengakibatkan terjadinya perubahan proses metabolisme tubuh.

Kortisol ini memicu ketidaknormalan kadar gula darah. Hormon ini pun mempercepat penyusutan tulang yang bisa menyebabkan pengeroposan tulang atau osteoporosis. Sudarshan Kriya menyelaras seluruh sistem dengan membersihkan stres yang terakumulasi sehari-hari. Studi menunjukkan bahwa sejak pertama sesi dari Sudarshan Kriya hormon Prolaktin secara signifikan meningkatkan. Prolaktin adalah hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari. Kelenjar kecil ini terletak di dalam otak dan bertanggung jawap terhadap banyak proses berperan dalam mengatur metabolisma tubuh.

Dengan latihan rutin secara keseluruhan fisik dan mental menjadi sehat dan tenang.Teknis pernapasan yang unik ini dikembangkan oleh Maha Guru Sri Sri Ravi Shankar sekaligus pendiri dari The Art Of Living Foundation yang dalam waktu dekat yang pada tanggal 4 sampai dengan 8 April 2012 hadir di Bali. The Art Of Living sampai saat ini sudah tersebar di 160 negara di bawah naungan Economic and Social Council PBB adalah lembaga nirlaba bergerak di bidang pendidikan non formal dan kemanuasiaan

Selanjutnya......