Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 14 Februari 2012

Padma Bhuvana Nusantara: Misi, Obsesi, atau Mimpi?

Mahasabha PHDI X yang lalu menetapkan Padma Bhuvana Nusantara, namun tak pernah dibicarakan khusus dalam sidang Sabha Pandita. Keputusan diambil di sidang parfipurna yang hanya dihadiri sedikit Pandita. Apakah di Pura Luhur Uluwatu akan disthanakan Dewa Brahma sesuai konsep Padma Buvana Nusantara dan di Kuil Shree Mariyaman akan disthanakan Dewa Sangkara? Nah, kerancuan apakah yang ditimbulkan Padma Bhuvana Nusantara ini?

Ketetapan Mahasabha Parisada Nomor: VIII/TAP/MAHASABHA X/2011, Tentang Padma Bhuvana Nusantara, menyebutkan berbagai pura yang tersebar di pelosok Nusantara kini difungsikan sebagai Pura Padma Bhuvana Nusantara. Sebelumnya pura-pura di luar Bali difungsikan secara umum oleh umat Hindu, yang mana pada awalnya didasari atas pertimbangan umat Hindu di berbagai daerah yang butuh tempat ibadah. Karena itu, pada masanya di awal-awal kiprah Parisada Hindu, umat didorong membangun pura di luar Bali yang bersifat umum, yaitu membangun satu pelinggih Padmasana saja dalam komplek pura. Dan ini pura-pura tersebut pun dulunya bisa terwujud berkat jasa para prajurit TNI yang beragama Hindu yang bertugas di berbagai daerah dan kota. Lantas, jika pura di luar Bali yang selama ini telah berfungsi dengan baik sebagai pura umum, kini diberi makna baru sebagai unit-unit bagian Pura Padma Bhuvana, bukankah ini bermakna hanya menstanakan ista dewata tertentu saja di pura tersebut.

Sebutlah misalnya, dalam konsep Pura Padma Bhuvana di Bali, di mana Pura Luhur Uluwatu menempati arat barat daya (Lihat buku “Hasil-Hasil Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2010” halaman 109), di mana sesuai konsep pengider bhuvana dewata nawa sanga, di pura itu bersthana Dewa Rudra. Nah, kontradiksi akan muncul, sebab dengan ditetapkannya Pura Luhur Uluwatu menempati arah selatan di dalam konsep Padma Bhuvana Nusantara, maka bukankah ini menimbulkan kerancuan ista dewata mana yang kemudian disthanakan di pura tersebut? Dewa Brahma atau Rudra atau dua-duanya sekaligus, sehingga antara Dewa Pencipta dengan Dewa Pelebur bisa bersanding?
Ini baru satu pertanyaan yang muncul yang perlu penanganan lebih jelas. Sebab, menurut Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara, yang dimaksud Padma Bhuvana di Bali adalah kahyangan jagat yang rujukan sastranya sudah jelas bersumber dari lontar Padma Buana. Pedanda di Geriya Kusumayati, Desa Yangbatu, Denpasar itu pun ikut bertanya-tanya, dari mana pijakan sastra Pura Padma Bhuvana Nusantara ini.

Menurut beliau, andai pun kemudian dicarikan alasan berdasarkan perdebatan tattwa, bahwa Ida Hyang Widhi itu tunggal adanya, sehingga ista dewata apa pun bisa disthanakan dan dipuja pada suatu pura, lantas jika demikian, apa kemudian urgensinya membangun banyak pura. “Bukankah cukup sebuah pura, sehingga tidak perlu konsep Padma Bhuvana,” urainya. Hal ini beliau tegaskan untuk mempertegas maksud penetapan Padma Bhuvana Nusantara itu, supaya tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat, lebih-lebih dirinya mengaku tidak tahu apa dasar sastranya Padma Bhuvana Nusantara itu.
Pertanyaan Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara menjadi menggelitik kita. Jika landasan penetepan Padma Bhuvana Nusantara itu adalah lontar Padma Bhuvana, maka coba lihat dalam ketetapan Padma Bhuvana Nusantara disebutkan Kuil Agung Shree Mariyaman ditempatkan pada posisi barat laut, di mana dalam konsep Padma Bhuvana di Bali, barat laut bersthana Dewa Sangkara. Dengan ditetapkannya Kuil Shree Mariyaman sebagai pura berkedudukan di barat laut dalam Padma Bhuvana Nusantara, apakah ini berarti umat Hindu di Medan akan mengganti ista dewata-nya yang dipuja di kuil tersebut untuk kemudian memuja Dewa Sangkara di kuil itu? Tapi kalau ista dewata-nya tetap sebagaimana yang dulu, lalu apa maknanya membuat Padma Bhuvana Nusantara. Atau apakah ini alasannya cuma obsesi politik keagamaan untuk menunjukkan eksistensi diri agama Hindu di Nusantara yang telah menyebar di mana-mana. Semacam misi untuk memperkuat eksistensi umat Hindu di berbagai daerah? Andaipun ada alasan “tersembunyi” (dugaan Raditya saja) seperti itu di balik penetapan tersebut, apakah sudah tepat hal itu direalisasikan dalam konsep keagamaan Padma Bhuvana yang sebenarnya konsep itu lebih ditujukan pada titik pandang spiritual.

Satu pertanyaan lagi, jika seandainya di pura tertentu hanya terdiri sebuah Padmasana, kemudian pura tersebut ditetapkan sebagai menempati arah utara, yaitu Pura Agung Giri Jagat Natha, yang berarti sthana Dewa Wisnu. Nah, relevankah Padmasana sebagai linggih Dewa Wisnu.


Di Mana Pusat Hindu Nusantara

Ida Pedanda Gede Pemaron dalam kesempatan wawancara hari Sabtu, 13 Januari 2011, menyinggung hal lain juga. Ia mengaku merenung sendiri, bahwa siapakah yang memberi mandat Parisada untuk menetapkan keputusan-keputusan seperti itu. Menurutnya, agama Hindu di Bali dilaksanakan oleh desa pakraman, sehingga mungkin lebih tepat jika yang membentuk Parisada itu adalah desa pakraman. Dengan demikian, Parisada mengakar ke bawah dan Parisada lebih mencitrakan dirinya sebagai refresentasi wakil umat.

Selain itu, beliau juga menilai, Parisada bukanlah organisasi keagamaan, tetapi lebih tepat adalah majelis keagamaan, seperti MUI. Sebagai majelis keagamaan, Parisada semestinya terdiri dari para pandita. Berbeda halnya dengan organisasi keagamaan seperti Peradah, Pemuda Hindu dan sejenisnya yang memang diatur berdasarkan aturan organisasi yang memiliki keanggotaan dan bergerak di ranah sosial kemasyarakatan. Sedangkan mejelis keagamaan adalah yang menentukan kebijakan atau pandangan atau tafsir keagamaan, sehingga sesuai Manawa Dharmasastra, Parisada terdiri dari para pandita.
Penetapan Padma Bhuvana Nusantara menurut Ida Pedanda Pemaron juga akan membawa implikasi lain. Jika pura-pura di luar Bali kedudukannya dianggap sederajat dengan pura di Bali, apakah hal ini tidak akan menjadikan identitas Bali sebagai pusat Hindu Nusantara memudar. “Orang Katolik secara konsisten menganggap Vatikan sebagai pusat agamanya, meskipun negara kecil itu penduduknya sedikit. Jumlah pemeluk agama bukanlah ukuran suatu tempat jadi pusat agama tertentu, tetapi konsistensilah yang menentukan,” urainya, sambil menjelaskan kalau dari dulu Bali konsisten tetap dengan kehinduannya, sehingga pantas disebut pusat Hindu Nusantara.

Bali tidak pernah berubah, sedangkan daerah lain sebagaimana perjalanan sejarah telah beralih ke agama lain. Pentingnya menentukan pusat keagamaan suatu kawasan adalah berhubungan dengan kiblat umat di tempat itu. Kalau Bali memang diakui sebagai pusat kiblat Hindu Nusantara, maka logikanya Bali-lah dijadikan acuan di dalam menjalankan kehidupan beragama Hindu di Nusantara. Tetapi jika kiblatnya bukan ke Bali, lantas di mana?

Pegang Konsepsi

Masih menurut Ida Pedanda Pemaron, bahwa di dalam beragama mutlak untuk berpatokan pada konsepsi yang jelas. Konsepsi harus tetap demikian, karena bersumber dari sabda Tuhan. Konsepsi atau sastra agama ini di Bali dikenal dengan istilah sastra drsta. Sastra drsta tidak boleh diubah, yang boleh diubah adalah tradisi, karena menurutnya tradisi bersumber dari pemikiran manusia di dalam menghadapi tantangan hidup dan mengekspresikan rasa. Namun, dalam praktik di masyarakat sering muncul, kuna drsta, loka drsta atau desa drsta lebih diutamakan dari sastra drsta. Padahal kuna drsta itu, adalah tradisi menurut jaman kuna (lampau), jadi tentu kita harus paham bagaimana situasi saat itu sehingga tradisi itu dibuat. “Jika sekarang situasinya berubah, tentu kita harus pintar-pintar beradaptasi dengan tradisi baru, asalkan konsepsi keagamaannya jangan diubah,” tegasnya. Lantas, drsta apa yang dipakai pijakan di dalam menentukan Padma Bhuvana Nusantara? Pedanda berusia 80 tahun ini hanya tersenyum sambil berujar, “Aduh, tityang nenten uning indik nika,” jawabnya rendah hati, sambil menimpalinya dengan pesan, bahwa sebagai wiku beliau tidak ingin berpolemik.

putrawan


Selanjutnya......

Lebih Baik Membangun Padma Bhuwana Dalam Diri

Ida Ayu Tary Puspa

Acara dalam agama Hindu merupakan salah satu dari tiga kerangka agama Hindu selain tattwa dan susila. Dalam bahasan tentang acara termasuk di dalamnya adalah tempat suci. Tempat suci bagi umat Hindu disebut pura walaupun di Hindu Nusantara ada pula kelokalan mereka menyebut dengan istilah yang berbeda, tetapi secara umum tempat bersembahyang umat Hindu disebut pura.
Pura dalam bahasa Sanskerta pada mulanya berarti sesuatu yang dikelilingi oleh tembok. Pura kemudian bermakna benteng, kota, kerajaan, istana. Dalam bahasa Jawa kuna tidak jelas perbedaan antara pura dengan puri. Dalam bahasa Bali pura berarti tempat suci sedangkan puri berarti istana raja.

Bila merunut sejarah tentang tempat suci yang ada di Bali, maka yang mengajarkan tentang mendirikan pura pertama kali adalah seorang pujangga sekaligus seorang Maharsi, yaitu Mpu Kuturan sekitar abad XI. Disebutkan pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) datanglah Mpu Kuturan ke Bali. Beliau mengajarkan perihal membuat parahyangan atau kahyangan desa, baik yang disebut Sad Kahyangan maupun Kahyangan Jagat. Bali pada waktu itu diperintah oleh Raja Marakata yaitu anak kandung Raja Airlangga.

Pada zaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem ke Bali istana raja disebut Keraton atau kedaton. Semenjak dinasti Sri Krsna Kepakisan di Bali istana raja tidak lagi disebut Kedaton melainkan Pura. Penggunaan nama pura sebagai istana raja seperti misalnya Keraton di Samprangan disebut Linggarsapura, Keraton di Gelgel disebut Swecapura, Keraton di Klungkung disebut Semarapura, di Badung disebut Bandanapura, dan di Mengwi disebut Kawyapura.

Nama pura sebagai rempat suci dipakai setelah dinasti Dalem yang berkeraton di Klungkung. Kata pura yang berarti istana raja ketika itu diganti dengan puri. Selanjutnya kata pura dipakai sebagai istilah untuk tempat suci.

Selain Mpu Kuturan, maka ada seorang pendeta suci dari Jawa Timur yang banyak jasanya dalam penyebaran agama Hindu termasuk mendirikan tempat suci adalah Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada abad XIV. Tempat suci yang beliau dirikan terbangun dari Purancak sampai Watuklotok. Di samping itu beliau juga mengajarkan membuat pelinggih Padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berdasarkan fungsi dan karakterny, maka pura dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: (1) Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat. (2) Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur seperti pura paibon, panti, dadia, dan pedharman.

Berdasarkan filosofinya Kahyangan Jagat dkelompokkan berdasarkan konsepsi. (1) Konsepsi Rwa Bhineda, yakni Pura Besakih dan Batur. Pura Besakih sebagai purusa dan Pura Batur sebagai Pradana. (2) Konsepsi Catur Loka Pala yang dikaitkan dengan empat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi yang disebut Cadu Sakti. Yang termasuk dalam konsepsi ini, yaitu Pura Lempuyang di timur, Pura Batukaru di barat, Pura Pucak Mangu di utara, dan Pura Andakasa di selatan. (3) Konsepsi Sad Winayaka yang ada hubungannya dengan sad kretih (Sad Winayaka=kelompok enam Dewa, Sad Kretih= enam jenis prakerti yadnya. Kahyangan tersebut adalah Besakih, Lempuyang Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukaru, dan Pusering tasik.

Ketiga jenis konsepsi yang melatarbelakangi secara filosofis pendirian Kahyangan jagat di Bali, akhirnya menjadi satu konsepsi yang dinamakan konsepsi Padmabhuwana, diwujudkan dalam sembilan kahyangan jagat di Bali. Dalam penggabungan tiga konsepsi itu terlihatlah bahwa: Pura Besakih dilandasi oleh konsepsi Rwa bhineda dan Sad Winayaka. Pura Lempuyang Luhur dilandasi oleh konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura Batukaru dilandasi oleh konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka.
Padma Bhuwana yang mencakup sembilan Kahyangan Jagat di Bali meliputi: Pura Besakih pada arah timur laut, Pura Lempuyang pada arah timur, Pura Andakasa pada arah tenggara, Pura Goa Lawah pada arah selatan, Pura Luhur Uluwatu pada arah barat daya, Pura Batukaru pada arah barat, Pura Pucak Mangu pada arah barat laut, Pura Batur pada arah utara, Pura Pusering Tasik pada arah tengah.
Itulah Padma Bhuwana yang ada di Bali dengan landasan konsepsinya. Lantas ada yang berkeinginan untuk menciptakan Padma Bhuwana Nusantara dengan menempatkan pura yang ada dari Sabang sampai Merauke. Sepertinya ingin menyatukan Nusantara seperti sumpah palapa dulu, mungkinkah?
Masalah ini tentu berbeda lokasi termasuk manusianya yang mendiami pulau-pulau tersebut karena mereka memang heterogen. Walaupun ada umat Hindu yang mendiami dan ngemong pura tersebut tentulah dari jumlah yang tidak begitu banyak, karena Hindu adalah minoritas di tanah air ini. Kalau hal tersebut ingin diwujudkan dengan mengesampingkan pura tertentu dengan umatnya, tentu hal itu sangatlah tidak adil dan bijaksana karena tidak mengakomodasi kepentingan seluruh umat. Apa jadinya konsep yang berubah-ubah dan belum ada ketetapan, dan mengesampingkan seperti Prambanan yang diperuntukkan kegiatan ritual umat Hindu di Jawa Tengah yang semestinya menjadi wakil pura di tengah? Sedangkan yang diusulkan adalah pura lain yaitu Kutai?

Selain itu umat Hindu di Pekanbaru pun protes karena bukan pura di Pekanbaru yang mewakili Padma Bhuwana, melainkan pura di Batam. Oleh karena menuai protes, maka digantilah lagi Pura yang diusulkan menjadi bagian Padma Buwana seperti akhirnya Kutai yang sebelumnya diposisikan berada pada arah tengah justru diganti dengan pura di Palangkaraya. Pura di Batam tidak jadi diusulkan dan diganti dengan Kuil di Medan, mungkin maksudnya agar umat di Pekanbaru tidak protes.

Daripada umat Hindu bergolak karena merasa terpinggirkan akibat pura yang mereka sungsung tidak dinominasikan dalam Padma Bhuwana Nusantara bagaimana kalau menempatkan Padma Bhuwana dalam diri sehingga kita selalu merasa dekat dengan para ista dewata yang berstana di masing-masing pura itu termasuk menyembah Beliau yang tertinggi, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan bhakti yang tulus semoga Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa akan selalu ada di hati kita dan kita selalu merasa dan terpanggil untruk menyembah Beliau. Menempatkan Beliau di dalam diri kita bukan berarti kita tidak akan menuju Beliau pada hari-hari tertentu. Itu adalah jalan sosial kemasyarakatan yang bisa dilakukan oleh umat Hindu pada saat ada ritual seperti odalan, tentu umat akan pedek tangkil ke pura tersebut.

Penulis, Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par, Sekretaris Pasca Sarjana IHDN Denpasar


Selanjutnya......

Padma Bhuwana Nusantara Hanya Hasil Kompromi

Penetapan Padma Bhuwana Nusantara yang disahkan dalam Maha¬sabha X PHDI bulan Oktober la¬lu di Hotel Bali Beach Sanur, ternyata tidak melalui sidang Sabha Pandita. Padahal dalam bunyi ketetapan itu, seolah-olah Sabha Pandita yang menetapkan Padma Bhuwana Nusantara. Penetap¬an ini agaknya dilakukan pada sidang ple¬¬no Mahasabha berdasarkan acuan yang diberikan Panitia (SC) Mahasabha.
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda yang aktif sebagai peserta dalam Mahasa¬bha itu mengatakan, satu-satunya sidang Sabha Pandita adalah ketika memilih Dharma Adyaksa dan menetapkan Sabha Pandita yang baru. “Selain itu tak ada sidang apapun yang dilakukan Sabha Pandita. Satu-satunya sidang hanya menetapkan Sabha Pandita yang baru dan menunjuk Ketua Dharma Adhyaksa serta wakilnya. Sidang itupun hanya berlangsung sekitar satu jam,” kata Pandita Mpu yang se¬waktu walaka dikenal vokal dengan nama Putu Setia ini.

Menurut Mpu Jaya Prema -- demikian nama yang dipopulerkan di dunia internet -- Panitia (SC) Mahasabha sudah me¬¬nyiapkan materi yang tebal, di situ ada rancangan Padma Bhuwana Nusantara. “Barangkali rancangan itu dibahas oleh Komisi B atau C, lalu disahkan di pleno. Saya tak mengikuti karena sebagian besar sulinggih ikut di Komisi A,” kata Mpu Jaya Prema. “Jadi saya memang tak tahu menahu soal itu.”

Apakah Mpu Jaya Prema setuju adanya Padma Bhuwana Nusan¬tara? Pandita mantan wartawan Tempo ini tak mau menanggapi pertanyaan ini. “Sudahlah, saya sekarang jadi wiku, berpolemik ngotot-ngototan seperti waktu walaka harus saya hindari. Sasana kawikon membuat saya harus tunduk kepada wiku senior, apalagi beliau berstatus nabe,” katanya. Namun, Mpu Jaya Prema ada menyebutkan sedikit uneg-unegnya, Padma Bhuwana Nusantara ini lahir dengan kompromi, mungkin saja meninggalkan bekas luka, atau setelah terbentuk tak berfungsi apa-apa. Tapi, lagi-lagi beliau tak mau menjelaskan apa masalahnya.

Sementara itu, sumber Raditya dari kalangan sulinggih menyebutkan, ide Padma Bhuwana Nusantara ini sudah ada sejak 2 tahun lalu pada saat Paruman Parisada 2009. Idenya datang langsung dari Ida Pandita Sebali Tianyar Arimbawa, Ketua Dharma Adyaksa PHDI. Namun, setiap ada Paruman Agung selalu konsep ini kan¬das karena mendapatkan perlawanan. Perlawanan dari sulinggih tentang apa perlunya Padma Bhuwana Nusantara itu? Sedang perlawanan dari walaka (pengurus PHDI Provinsi) adalah tawar-menawar Pura yang akan dijadikan Padma Bhuwana Nusantara.

Semula Jawa Tengah ngotot mengusulkan Candi Prambanan sebagai pusat Padma Bhuwana Nusantara. Dari sisi politis dan lokasi menguntungkan Hindu. Prambanan dikenal dunia dan sudah boleh dipakai bersembahyang. Namun Pedanda Sebali mengusulkan Pura Kutai dengan alasan, Kutai menjadi titik awal Hindu di Nusantara. Akhirnya kompromi dilakukan, keduanya dibuang, maka gantinya adalah Pura di Palangkaraya.

Begitu pula untuk pura di barat laut, tadinya disebut Pura di Batam yang sangat megah. Namun, Pengurus PHDI Pekan Baru protes karena Batam termasuk bagian dari Kepulauan Riau, semestinya pura di ibukota provinsi yang mewakili. Kare¬na sama-sama ngotot dicari kompromi, keduanya dibuang, diganti Kuil di Medan -- kuil ini tadinya mewakili barat. Karena kuil di Medan pindah mewakili barat laut, maka Pura di Palembang dijadikan wakil barat.

Akan halnya Bali, tadinya diusulkan Tanah Lot yang dipakai, mengingat Pura Uluwatu sudah menjadi Padma Bhuwana Bali. Pura Tanah Lot juga menjadi pura atau kuil Hindu terindah di dunia (lihat Berita Hindu Nusantara). Tapi, ada yang ngotot memasukkan Pura Uluwatu. Pengurus PHDI Bali yang pada dasarnya tak setuju Padma Bhuwana Nusantara ini cuek saja, mau pakai pura yang mana saja terserah. Akhirnya Uluwatu yang ditetapkan. Aneh jadinya, di Padma Bhuwana Bali Pura Uluwatu mewakili barat daya (Dewa Rudra), di Padma Bhuwana Nusantara mewakili selatan (Dewa Brahma).

Ya begitulah “mimpi” membuat Padma Bhuwana Nusantara. Seandainya Padma Bhuwana Nusantara dibahas dalam sidang Sabha Pandita, sudah dipastikan tak akan disahkan, alias menggantung. Barangkali ini menjadi salah satu keunikan -- dan keanehan -- Mahasabha X PHDI yang hasil-hasilnya penuh kontroversial itu.
(Tim Raditya)

Selanjutnya......

MENJALIN PERSATUAN UMAT DENGAN PADMA BHUWANA NUSANTARA

Nyoman Sedana

Hampir di setiap daerah di seluruh Indonesia atau Nusantara, umat Hindu telah memiliki tempat ibadah, entah berapa jumlahnya yang pasti, mungkin bisa dilihat dari data statistiknya di Parisada Pusat. Masing-masing tempat ibadah berdiri sendiri-sendiri, dan dikelola sendiri-sendiri, alamatnya juga sulit ditelusuri, sehingga umat dalam berkomunikasi sering mengalami kendala.
Saat sekarang dapat dirasakan sendiri, sudah termasuk minoritas, terpencar, dan kurang solid. Berbeda dengan umat dari agama yang lain, tempat ibadahnya telah dikelola secara terintegrasi, sebagai contoh ada Dewan Kesejahteraan Mesjid & Dewan Dakwah, ada Persatuan Gereja Indonesia yang bertugas mengelola tempat ibadahnya sesuai dengan perkembangan/ tuntutan zaman.

Lalu sekarang timbul gagasan, untuk membangun atau mendirikan Padma Bhuwana di Nusantara. Mendirikan bangunan suci masa sekarang, hendaknya disesuaikan dengan tuntutan zaman, meskipun di dalamnya terkandung hal-hal yang mengandung nilai sejarah atau bahkan mistik. Mungkin ada banyak persepsi yang sangat bervariasi yang didapatkan, tergantung dari tujuannya. Ada yang bertujuan mengagungkan dan menstanakan Tuhan, untuk meningkatkan sraddha dan bhakti, ada juga untuk mensejahterakan alam semesta, bahkan sampai dengan yang diluar logika/ pemikiran manusia yang awam. Menurut penulis, mendirikan Padma Buana itu penting, bukan sebatas maksud di atas, tetapi sebagai salah satu sarana untuk menyatu padukan umat Hindu yang ada di Nusantara sejalan dengan filsafat persatuan, “Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, artinya: berbeda-beda Dia, tetapi satu adanya, tak ada kebenaran yang menduakannya.

Dalam mendirikan Padma Bhuwana di Nusantara, hendaknya belajar dari sejarah Hindu pada masa lalu, banyak bangunan suci Hindu yang telah dihancurkan, baik yang ada di India maupun Nusantara. Perjalanan panjang dari agama yang tertua di dunia ini, merupakan pengalaman berarti bagi penganut Hindu atau Sanātana Dharma "Kebenaran Abadi" masa kini, yang jumlahnya sekitar satu milyar, agar selalu tetap waspada. Tidak patut ditanam kebencian “advesta sarva bhutanam” janganlah membenci karena Ia ada dalam setiap nama dan wujud, biarkan hukum karma yang mengeksekusi. Dan telah diketahui dari sejarah, untuk bertahan saja, menolak agama yang diklaim paling benar disebarkan, berapa banyak para brahmana yang telah dibunuh dengan cara tidak beradab, dan berapa juta umat yang telah meninggal dalam peperangan.

Selanjutnya, yang perlu dipertimbangkan dalam mendirikan Padma Bhuwana, tidak bersifat mercusuar (didasari sifat Rajas), dan tidak mengedepankan bangunan fisik. Tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kehebatan/ keunggulan terhadap agama yang lain, tetapi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan harus mengerti dan perduli pada lingkungan disekitarnya. Karena akan dapat dijadikan alasan yang destruktif oleh pihak lain yang agresif menyebarkan agamanya. Di samping itu, juga akan memberatkan umat, karena membutuhkan sumber daya yang besar. Mulailah dengan mengidentifikasi bangunan suci yang telah ada, dengan mencari benang merah di setiap daerah, lalu diputuskan bagunan suci yang akan dipilih.

Untuk mencapai tujuan, coba lakukanlah revolusi berpikir, sejalan dengan filsafat ”Simple living high thinking” yang perlu ditingkatkan adalah effektivitas penggunakaan tempat ibadah yang sesuai dengan tuntutan zaman. Para pimpinan umat dituntut lebih inovatif dalam meningkatkan kualitas umat dan soliditas umat, dengan meningkatkan peran penggunaan tempat ibadah. Penggunaan Pura/Kuil di Nusantara yang berada di luar Bali beberapa puluh tahun terakhir sudah diarahkan untuk menjawab tantangan umat yang ada, khususnya untuk meningkatkan kualitas sraddha dan bhakti. Sudah semestinya, harus ada keseimbangan peningkatan jnana dengan pembangunan fisik, sejalan dengan tattwa, susila dan upacara. Yang diperbaiki adalah sistem komunikasi yang baik, sebagai salah satu pondasi untuk meningkatkan soliditas umat.

Lebih lanjut, kenalilah diri dan kenalilah lingkungan di mana kita berada, sehingga kita dapat menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi orang banyak/warga setempat, karena pada dasarnya orang saling membutuhkan. Hindu mengajarkan umatnya, bukan untuk mempromosikan untuk memperdagagkan keselamatan atau janji-janji surga dengan sekedar pengetahuan teoritis, dan perubahan atribut/identitas lahiriah saja, akan tetapi beragama menurut Hindu adalah kesadaran mendedikasikan diri untuk melayani Tuhan, dan semua ciptaan-Nya, selanjutnya yang menentukan adalah hasil karmanya (perbuatannya) bukan merek kepercayaan. Dengan demikian keberadaan tempat ibadah seperti Pura/Kuil, bisa diterima oleh warga setempat, karena memberikan manfaat buat lingkungannya, bukan sebagai pengganggu lingkungan. Misalkan, umat di Pura/Kuil setempat, aktif memberikan bantuan bencana, bantuan pada orang tidak mampu, berobat gratis, dan sebagainya.

Umat Hindu sangat mengutamakan kedamaian, setiap akhir doa tidaklah sempurna kalau tidak ditutup dengan doa kedamaian. Rasa damai/anti kekerasan, cinta kasih, harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, sebagai contoh, penerimaan pendatang atau tamu di Bali, umat menerima dengan tulus sebagai saudara “semeton” karena Hindu mengajarkan, perlakukanlah tamu sebagai Dewa “Athithi Devoh Bhava” tetapi ternyata disalah gunakan pihak lain, sehingga lingkungan menjadi rusak, bahkan ada yang tega membalas dengan Bom, itu harus diwaspadai.

Akhir kata, semoga dengan didirikan Padma Bhuana di Nusantara, kita akan dapat menjalin persatuan umat, lebih mampu mengasihi seluruh ciptaan-Nya, semoga semua memperoleh kebahagian, semua memperoleh kedamaian, semua memperoleh kebajikan dan saling pengertian, dan semua terbebas dari penderitaan.
(Penulis: DR. Nyoman Sedana, adalah Pendharmawacana, tinggal di Banten)

Selanjutnya......

PADMA BHUWANA BALI DAN INDIA

Gede Agus Budi Adnyana

Dalam kitab Bhagawata Purana, dinyatakan bahwa setiap loka (alam) dalam kapasitas apa pun akan berada dalam satu dasar fundamen yang merupakan stana dari Tuhan (linggaacala). Dengan demikian, dapat juga dinyatakan bahwa duni adalah stana Tuhan dan yajna adalah porosnya.
Visualisasi alam yang disetarakan dengan bunga padma adalah salah satu bentuk difinisi untuk memahami bahwa alam ini sejatinya adalah pancaran kekuatan Brahman yang tunggal. Oleh sebab itulah, setiap dunia, atau loka akan disemayami oleh kekuatan internal dan eksternal Tuhan.

Pemahaman ini kembali dijabarkan dalam banyak varian konsep yang tentu saja akan membawa tafsiran-tafsiran yang berbeda sesuai dengan guru parampara. Namun yang jelas adalah pemahaman akan padma sebagai visualisasi dari stana Brahman, adalah tetap sama. Karena itu, konsep apa pun, bentuk dari setiap prabhava Tuhan akan distanakan sesuai dengan penjuru alam itu sendiri atau dengan kata lain, setiap penjuru, memiliki kapasitas kedewataan yang tentu saja disemayami oleh nama-nama dan bentuk paripurna Tuhan yang beraneka macam.

Padma Bhuwana ini sendiri tentu akan ada sembilan tempat yang merupakan sembilan dari Nawa Stana Dewata, yang masing-masing disemayami oleh Dewata tersendiri. Di tanah India (Bharatawarsa), konsep Padma Bhuwana ini tersebar secara luas dan terdapat pura-pura atau kuil yang merupakan stana dari bentuk paripurna dewata yang mengayomi setiap penjuru mata arah angin yang berbeda. Ada pun kuil dan pura itu adalah sebagai berikut:

(1) Jagatnatha Puri. Adalah sebuah Pura yang terletak di bagian timur yang merupakan wilayah bagian Orissa. Di Pura tersebut terdapat arca yang merupakan perwujudan dari Narayana, Balarama yang merupakan Ista Dewata utama. (2) Kuil Mahabali Puram. Adalah sebuah pura yang terletak di bagian wilayah Tamil Nadhu, kota Madras yang jika kita carikan padanaannya dengan arah angin adalah Gneyan atau tenggara. (3) Pura Ramesvaram Lingga, adalah sebuah pura yang merupakan tempat bersejarah ketika Rama dan Laksmana dalam kitab Ramayana hendak menyeberang menuju Lanka, untuk membebaskan Sita, di sanalah Rama membuat sebuah Lingga untuk memuja Sang Hyang Siva, sebab mengingat Rahvana merupakan pemuja Sang Hyang Siva yang sangat taat. Pura ini tentu saja terletak di bagian arah selatan (Daksina). (4) Pura Sringgiri, adalah sebuah pura yang mendiami wilayah barat daya (Neritti) dan berada di wilayah Misore. (5) Pura Somanatha, adalah sebuah pura yang merupakan stana untuk memuja kebesaran Sang Hyang Dewa dari segala minuman para Siddha Loka. Terletak di bagian barat (Pascima) dan berada diwilayah Gujarat. (6). Amaranatha Linggam Pura, adalah sebuah pura yang merupakan stana dari paduka Bhatara Sang Hyang Siva, dan ini pun terletak di bagian barat laut (wayabya) kaja –kauh. Kemudian terletak dibagian wilayah Kashmir. (7) Badarikasrama atau Badrinatha Pura. Adalah sebuah pura yang terletak di kawasan Uttara Prades dan merupakan tempat suci yang berada di lereng Gunung Himalaya dekat sungai suci Bhagirathi dan ini adalah wilayah Utara. (8) Pasupathinatha, adalah pura yang berada di wilayah timur laut Airsanya, yang merupakan tempat padmasana yang ada di Bali. Arah ini merupakan arah istimewa, dan di India sendiri pura ini terletak di lereng gunung paling istimewa, yakni Mahameru. (9) Kasi Visvanatha, adalah sebuah pura yang terletak di tengah-tengah (madya) di kota suci Benares. Ini adalah pura yang menjadi pusatnya umat Hindu melakukan tirthayatra.
Di Bali sendiri, Padmabhuwana meliputi pura-pura Kahyangan Jagat yang juga menempati posisi sembilan penjuru mata angin, yakni Pura Besakih (timur laut), kemudian Lempuyang Luhur (timur), kemudian Pura Goa Lawah (Tenggara), kemudian Pura Andakasa (selatan), kemudian Pura Luhur Huluwatu (Barat daya), kemudian Pura Luhur Batukaru (Barat), Pura Puncak Mangu (barat laut), kemudian Pura Batur (Utara) kemudian Pura Pusering Jagat (tengah).

Dengan kata lain, Padmabhuwana bukan hanya sekadar sebuah refleksi nyata tentang bagaimana prabhawa dan bentuk paripurna Tuhan itu bersemayam, namun juga sebuah benteng yang melindungi wilayah dengan pancaran kekuatan spiritual yang dalam terminologi Bali disebut sebagai benteng ancak sajining niskala. Khususnya di Bali, kita melihat pura-pura itu terletak secara tersitematis dan melindungi Bali sebagai pulau magis yang kesuciannya perlu di jaga. Dengan adanya padmabhuwana ini, maka kita diberikan sebuah jalan untuk menjaga wilayah secara sekala (material) dan niskala (rohani) dari berbagai macam gngguan dan marabahaya yang mungkin saja akan mendatangi Bali.

Keseimbangan Bhuwana atau Loka, adalah sebuah kesejajaran keadaan yang harmonis secara simultan antara sisi sekala dan niskala. Orientasi kita jangan hanya pembangunan secara material semata atau sekala, namun juga pemertahanan Hindu yang datang dari sisi rohani. Spirit itu dapat dibangun dengan pertahanan Pura-pura tersebut. Dengan demikian, Padmabhuwana menjadi sebuah konsep yang amat jelas tentang kelestarian, kemanaan, rohani, dan tempat pemujaa bentuk paripurna Tuhan Yang Maha Esa dalam segala prabhawa-Nya.

Selanjutnya......

Akibat Gengsi, Banyak Pekerjaan Diambil Pendatang

Ronny Purna Bagus Haryono

Sebagai daerah dengan gegap gempita dunia pariwisatanya yang saat ini masih menjadi leading sector, karakteristik orang Bali di tengah peradaban yang kian sekuler, agaknya lebih suka mengikuti trend mengejar cita-cita menjadi pekerja-pekerja yang dianggap lebih bergengsi dan bergaji tinggi, seperti bekerja di kapal pesiar, sehingga dapat sekalian plesiran ke luar negeri. Padahal, lapangan pekerjaan di berbagai sektor begitu melimpah ruah. Namun sekali lagi, tak dapat dipungkiri, salah satu tipikal orang Bali adalah gengsi gede-gedean.
Misalnya, jika pekerjaan yang diinginkan gagal didapatkan, sebagian besar di antaranya memilih untuk lebih menjadi seorang pengangguran daripada mengambil pekerjaan yang dianggap menjatuhkan gengsi seperti menjadi buruh bangunan, tukang gali, pemulung, pedagang keliling dan lainnya.

Sikap memilih-milih dari orang Bali itulah yang menjadi pintu masuk yang lebar bagi kaum pendatang. Hanya dengan modal nekat, mengesampingkan rasa malu dan terkadang menyerempet hukum sedikit, kaum pendatang bisa eksis di Bali dan seakan tanpa ada saingan berarti dari penduduk lokal.

Sementara itu, tengok orang Bali, lantaran tidak mendapat pekerjaan bergengsi walaupun dengan berbekal ijazah memadai, mereka lebih suka “membuat” pekerjaan yang relatif lebih menyenangkan semisal bekerja atau bergabung di bidang pekerjaan yang maksiat, entah itu kafe yang tidak dapat dipungkiri kini keberadaannya semakin marak, terjun ke dunia judi ( togel atau tajen) yang ternyata keberadaannya semakin mendapat “tempat yang layak”.

Atau, karena merasa gagal mendapatkan pekerjaan bergengsi, mereka berkumpul dan menghimpun diri dengan organisasi kemasyarakatan yang ruang geraknya cenderung lebih mengandalkan otot daripada otak. Dengan bergabung di organisasi yang mengandalkan kekuatan, mereka mulai mencari lahan-lahan potensial untuk mendapatkan keuntungan. Kondisi tersebut terasa pas karena dengan glamour-nya Bali sebagai daerah industri pariwisata, yang namanya fulus begitu banyak tersedia meski dengan resiko siap konfrontasi dengan organisasi massa lainnya.

Belum lagi mereka membentuk “seminar” (sekeha minum arak) dengan tampilan bergaya premanisme yang tak jarang unjuk gigi dengan mengerahkan kekuatan untuk bisa eksis di percaturan merebut lahan pencaharian. Lebih – lebih lagi, jika mereka dibalut dalam kemasan politik, maka orang Bali sangat mudah diajak megonggang lalu mecongkrah. Sepertinya inilah model “pekerjaan” yang kini banyak dilakoni orang Bali.

Banyak sekali terlihat di tengah masyarakat Bali, meski berjuluk pengangguran, namun kenyataannya bisa hidup berkecukupan. Apa yang terjadi di atas bukanlah sekedar fenomena tetapi sebuah kenyataan yang sungguh-sungguh ada dan nyata di tengah kehidupan kita. Akibatnya, orang Bali semakin lengah dan kadangkala menjadi lengeh juga karena kurangnya obsesi membangun Bali yang ajeg.
Bagi kita, masyarakat Bali, jelas sekali tidak pantas menyalahkan para pendatang. Kedatangan mereka yang bagaikan air bah ini diakibatkan orang Bali sendiri yang terjangkit penyakit gengsi gede-gedean. Jika tidak segera sembuh dari penyakitnya, orang Bali akan semakin tersudut di tengah persaingan global ini.




Selanjutnya......

Makna Spiritual Kelahiran Krishna

Sri Sri Ravi Shankar

Krishna termanifestasi begitu saja; ia tak pernah lahir. Namun, kita merayakan kelahirannya! Krishna terlahir dari Devaki dan Vasudeva. “Vasu” berarti “nafas” – prana, dan “Devaki” berarti “tubuh”. Kansa mempenjara Devaki dan Vasudeva. “Kansa” berarti “ego”. Kansa (ego) adalah kakak Devaki (tubuh). Jadi ego mempenjara tubuh dan nafas.
“Ananda” (kedamaian) terlahir dari penyatuan tubuh dan nafas, dan karena itulah kenapa Krishna disebut Nandalala. “Nanda” atau “ananda” berarti kedamaian – perwujudan kedamaian, perwujudan pengetahuan, perwujudan ketakterbatasan/infinitas. Di dalam tubuhmu yang kecil, kamu bisa merasakan ruang tak terbatas ini.

Di dalam gambar-gambar, Krishna selalu “diwarnai” biru. Juga, Shiva selalu digambarkan dalam warna biru. Kamu tahu kenapa mereka diperlihatkan dengan cara itu? Karena warna biru mengindikasikan bahwa tubuh ini transparan; tubuh ini seolah-olah tak ada di sini. Ini tidak merujuk pada fisik tubuh luar, namun yang ada di dalam, yang tak lain adalah infinitas. Apa saja yang tak terhingga selalu direpresentasikan oleh warna biru – maka langit biru, dan samudera biru. Biru menggambarkan yang agung dan yang besar. Ia menggambarkan kedalaman yang begitu besar…dan ia menggambarkan kedamaian itu, Pribadi itu – jiwa.

Jiwa tak pernah “lahir”; ia ada di tingkat kesadaran lain. Ia tercipta ketika pikiran, prana dan tubuh menyatu, dan inilah yang kita lakukan ketika kita berlatih Hollow and Empty Meditation (Meditasi Kosong dan Lowong – salah satu tehnik mendalam yang diajarkan pada Pelatihan the Art of Living). Kita ajak pikiran ke sana kemari…dan tiba-tiba, kita merasakan ruang. Kita merasakan bahwa di dalam tak ada apa-apa, hanya ruang – ruang murni. Ruang sudah selalu ada di sana – namun, biasanya kamu tak pernah merasakannya.

Saat Krishna lahir jam 12 tengah malam di penjara, semua pengawas dan penjaga lelap tertidur. Sekarang, siapa sesungguhnya penjaga saat itu? Siapa penjaga saat ini? Mereka adalah mata, hidung, telinga, lidah dan kulit – panca indera adalah lima penjaga yang selalu membuatmu ada di “luar”, yang senantiasa membuatmu sibuk, sehingga kamu tak melihat langit yang tak terbatas yang sesungguhnya ada di dalam. Lima indera ini selalu membuatmu sibuk dengan “dunia luar” – kamu melihat ini atau melihat itu, kamu mendengar ini atau kamu mendengar itu, kamu membaui ini, mengecap itu, kamu menyentuh ini, dan seterusnya. Kamu senantiasa sibuk dengan dunia luar, dan penjaga tak mengijinkanmu masuk; mereka tak mengijinkanmu mengalami Dirimu!

Jadi, ketika semua penjaga tertidur, Krishna lahir. Sebab saat semua penjaga tertidurlah prana bisa meresap, dan memunculkan kedamaian itu, kebahagiaan itu ke seluruh atmosfir. Vasudeva (prana) membawa bayi itu ke kota lain bernama Gokul. Krishna diselundupkan di tengah malam karena Kansa (ego) pasti akan membunuhnya. Sama halnya seperti seseorang yang tengah merasakan kedamaian, dan kedamaian itu sendiri menjadi “perjalanan” egonya. Ini akhirnya menghancurkan infinitas, kebahagiaan dan kedamaian. Jadi untuk melindungi Krishna (kedamaian, infinitas dan kebahagiaan), Vasudeva (prana atau nafas) membawanya menyeberangi sungai cinta (sungai Yamuna adalah simbol cinta). Sekarang, Vasudeva membawa Krishna ke Yasodha. Infinitas terlahir dari yoga dan meditasi. Tetapi, yoga sendirian tak mampu menanganinya. Maka bhakti ( pengabdian tulus, cinta) dibutuhkan untuk membesarkannya. Yashoda adalah simbol dari bhakti, simbol dari shraddha, simbol dari keyakinan.

Vasudeva membawa si bayi Krishna di dalam keranjang, diusung di kepala, harus menyeberangi sungai Yamuna membawa si anak ke Gokul. Saat itu tengah hujan, dan saat menyeberangi sungai, air mulai menaik dan semakin tinggi. Yamuna (cinta) naik dan naik sampai sekilas bisa memandang infinitas. Ia kemudian menyurut untuk bersentuhan dengan keheningan, bersentuhan dengan kedamaian. Itulah sebabnya ketika seseorang memainkan musik, di sana juga dia “naik ke atas” dan kemudian “turun ke bawah” – bak sungai Yamuna. Bukan saja bernyanyi yang penting; nyanyian, sendirian, tidaklah cukup. Seseorang bisa saja terus bernyanyi, namun di antara lelaguan, mesti ada secarik momen sepi, kedalaman, merasakan kedamaian infinitas. Ini sangat penting. Banyak group hanya menyanyikan bhajan semata , satu disambung yang lain. Mereka menyanyi dengan baik – seperti sedang berlomba, namun mereka tak berhenti, merasakan ruang di antara bhajan.

Di Gokul, Yashoda tengah tertidur bersama bayi perempuannya ketika Vasudeva datang dan menukar putrinya dengan Krishna, di tengah malam. Dia membawa bayi perempuan bersamanya dan meninggalkan Krishna di rumah Yashoda, di mana ia kemudian dibesarkan. Jadi hanya bhakti (pengabdian tulus) yang bisa membuat ananda (kedamaian) bertumbuh pada kita. Yashoda adalah simbol dari shraddha – keyakinan dan pengabdian tulus.

Pada diri Krishna, ada kelahiran dari semua kualitas yang ada pada tubuh manusia, yang ada pada jiwa. Pada Krishna, kamu bisa melihat kepribadian total dari semua sudut. Ia multi-dimensi. Krishna adalah pemekaran penuh dari semua potensi manusia. Kamu bisa melihatnya duduk menyepi seperti Buddha, dan kamu bisa melihatnya menari. Kamu bisa mendapatinya di medan perang, dan kamu bisa mendapatinya sebagai teman paling setia; kamu bahkan bisa menemuinya sebagai seorang anak yang sangat nakal. Pada Krishna, pribadi – keberadaan – telah mekar penuh dari setiap sudut.

Diterjemahkan dari salah satu booklet wejangan Yang Mulia Sri Sri Ravi Shankar (Pendiri the Art of Living Foundation) berjudul Krishna – Absolute Joy oleh I Gusti Raka Panji Tisna.

Selanjutnya......

BIakas Metali

I Dewa Gede AIit Udayana

Orang Bali mana yang tidak mengenal blakas? Kalau ada, tentu boleh dibilang: luar biasa. Mengapa? Karena benda yang satu ini adalah salah satu perabot yang sangat akrab dengan keseharian orang Bali, terutama bagi mereka yang tinggal di kampung, di desa pakraman.
Bagi sebagian orang Bali yang tinggal di pedesaan, blakas boleh disebut sebagai seselet, semacam aksesoris, bahkan semacam 'senjata' dalam menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari. Kalau boleh dibandingkan secara ekstrim, blakas bagi warga desa mirip perannya seperti pena (pulpen) bagi pegawai kantoran.

Blakas adalah sejenis pisau besar, pendek dan tebal dengan bentuk bersahaja, namun khas. Karena kesahajaannya (blakas) itu, hingga tutur-kata yang sederhana, jujur, dan lugas tanpa tedeng aling-aling kerap disebut sebagai (omong) beblakasan. "Tityang matur beblakasan", demikian kerap kita dengar tutur-sapa seorang warga, yang artinya: "Saya berkata seadanya (tanpa ditambahi atau dikurangi)". Ada juga perabot yang mirip blakas yang dikenal sebagai timpas. Namun timpas ini mempunyai mata pisau yang menggeliat ke arah luar. Memang sengaja dibuat seperti itu, karena penggunaannya yang khusus untuk nabas (meluruskan dan merampingkan) kayu bahan bangunan. Justeru blakas yang hebat untuk tugas lain tidak bisa melakukan tugas seperti timpas ini. Timpas memang dibuat untuk mengerjakan tugas khusus.

Di Bali, blakas digunakan untuk berbagai keperluan kerja, terutama yang terkait dengan keperluan upacara adat dan agama. Mulai dari untuk ngebah tiying (memotong bambu) untuk rompok (bangunan darurat) upacara, membuat katik sate, membuat klatkat hingga untuk merajang bahan lawar. Fungsinya banyak. Dalam kehidupan sehari-hari, blakas juga merupakan "teman" dekat para krama. Dia digunakan untuk memotong saang (kayu bakar) hingga untuk ngengesan nyuh (mengupas kelapa).

Ketajaman blakas sangat ditentukan oleh bahan untuk membuatnya. Krama yang sering berhubungan dengan penggunaan blakas menceritakan, bahwa per mobil (per daun) adalah bahan baku favorit. Kata mereka: becik tur mangan (bagus dan tajam). Selain bahan, hal lain yang menentukan baik-jeleknya blakas adalah kelihaian pande (tukang) pembuatnya. Jangan heran bila di kalangan krama, dikenai pande favorit, misalnya Pande A, B atau C (A, B dan C biasanya merujuk pada nama desa). Entah apa "resep" yang diterapkan oleh si pande favorit hingga beken, belum ditelusuri secara khusus. Membuat blakas juga harus memperhitungkan dewasa (hari baik). Konon, bila tidak diperhitungkan, maka blakas yang dihasilkan akan lumah (tidak tajam) dan bahkan, kadang-kadang, bisa melukai pemiliknya.

Saking dekatnya dengan kehidupan dan keseharian krama di pedesaan (Bali), nama blakas menjadi tidak asing lagi. Bahkan padanya "ditempelkan" satir untuk menyindir orang. Tepatnya sebagai sesawangan, perumpamaan. Umumnya, blakas tidak menggunakan pengikat (tali). Bila blakas sampai menggunakan tali pengikat tentu ada maksud-maksud tertentu dan pemiliknya. Karena bila blakas diraih orang, maka pemiliknya akan segera menarik talinya, hingga orang yang mau mengambilnya terperangah. Berdasarkan cerita seperti ini ada perumpamaan berbunyi begini: cara ngentungan blakas metali (bagaikan menyodorkan blakas bertali pengikat).

Esensi dari sesawangan “Cara ngentungan blakas metali” ini menggambarkan orang yang tidak pernah ikhlas. Sikapnya selalu penuh teka-teki, tarik-ulur, dan bahkan mungkin menjebak.

Bermaksud supaya lebih pas, ada baiknya dikemukakan sebuah contoh. Wayan Lempod, hanya nama rekaan, adalah seorang krama desa, seperti yang lainnya. Sikap Lempod kerap mengundang tanda tanya, tidak pernah jelas, apa maunya. Terkadang sikapnya seolah-olah pro (memihak) sesuatu, tetapi di balik semua itu (di tengah jalan) dia menarik diri. Kata-katanya selalu "bercabang", kerap hanya untuk memancing reaksi orang, seperti apa. Boleh jadi Lempod pas dicap sebagai seorang oportunis, mencari keuntungan sendiri. Lempod dengan sikap yang serba canggung, penuh teka-teki dan sulit dimengerti ini, terlebih ada keinginan terselubung di balik semua sikapnya, di olok-olok sebagai ngelebang

blakas metali. Jelek orang begitu. Orang lain biasanya selalu skeptis terhadap semua tingkah lakunya.

Idealnya, dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih dengan teman seiring, bersikap bak nglebang blakas metali sebaiknya dihindari. Ini penting agar orang lain dapat mengetahui apa yang kita inginkan. Dengan demikian orang lain dapat mengatakan ya atau tidak, kalau itu membutuhkan jawaban dan tidak menempatkan teman seiring di wilayah kegamangan, keraguan, abu-abu. Kata orang-orang bijak, sikap yang jelas, akan membantu membangun citra karakter seseorang, apa pun itu. Sebaliknya, sikap yang tidak jelas, tarik-ulur, bak blakas metali itu akan membenamkan kita dalam predikat yang tidak mengenakkan: oportunis, sulit dipercaya
(Dewa Gede Alit Udayana, tinggal di Bangli)

Selanjutnya......

DOA ORANG (YANG MAU) MENINGGAL

Agus S. Mantik

Di dalam Chandogya Upanisad (iii, 17, 6) Ghora Angirasa, GuruNya Sri Krishna, setelah menyampaikan hal ini kepada Putra Devaki, dia berkata, “Pada saat terakhir seseorang harus berlindung kepada hal yang tiga ini: aksitam asi, acyutam asi, prana samsitam asi. Engkau tidak bisa dihancurkan, Engkau tidak bisa tergoyahkan, Engkau adalah sarinya hidup.” Mantram ini sesungguhnya tercantum juga di dalam Yayur Veda dan RgVeda (viii, 74).
Bagi dia yang paham maka dia seyogyanya menyampaikan mantram ini kepada seorang yang sedang sakit untuk mengingatnya dan menyebutnya berulang-ulang sedang untuk dia yang menghadapi penyakit berat, maka tentu saja sebaiknya mantram ini dibisikkan oleh yang paham pada telinga si sakit.

DOA UNTUK VISI TUHAN
15. hiranmayena patrena satyasyapihitam mukham/tat tvam pusan apavrnu satyadharmaya drstaye. Wajah dari kebenaran ditutupi oleh piring emas. Bukakanlah hal ini wahai Pusan, hingga aku yang mencintai kebenaran bisa melihatnya.

- apihitam – tersembunyi, sebab tidak seorang pun yang pikirannya tidak terpusat akan bisa melihat hal ini. Mukham – muka, sifat pokok. Pusan – Matahari, Dewata Cahaya, yang menjadi pelindung dunia. Apavrnu – memindahkan sebab gangguan dari pengelihatan. Satya-dharmaya – kepadaku yang telah menyembah kebenaran atau melakukan kebajikan seperti diwajibkan.

16. pusan ekarse yama surya prajapatya vyuha rasmin samuha tejah/yat te rupam kalyanatamam tat te pasyami yo sav asau purusah, so’ham asmi. Pusan, Rsi Yang Tunggal, wahai Yama, Surya, Putra dari Prajapati, sebarkanlah cahayaMu, kumpulkanlah cahayaMu yang gemerlapan sehingga aku bisa melihat bentukMu yang terindah. Siapapun oknum itu (yang disana) aku adalah Dia juga.

-ekarsih – dia yang bepergian sendiri. Matahari bergerak sendiri. Yama – pengendali. Rupam kalyanatamam – bentuk yang paling indah. Jiwa memuja untuk melihat Muka Tuhan yang merupakan inti hubungan dari Tuhan kepada jiwa tanpa suatu perantara dan dengan Satu Pengetahuan yang ada pada Hyang Widdhi. Soham asmi – berhubungan dengan bentuk pemujaan dimana yang memuja samadhi tentang Tuhan yang berada di dalam dirinya. Dia yang bersemayam pada Matahari adalah dia dengan cahaya didalam sifatnya yang paling dalam. Didalam mantra ini pencari mengharapkan mengalami realisasi dari Tuhan, pengertian langsung mengenai Yang Nyata.

17. vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram/aum krato smara krtam smara krato smara krtam smara. Semoga hidup ini memasuki nafas yang kekal dan kemudian semoga raga ini berakhir didalam abu. Wahai buddhi ingatlah, apa yang telah ku perbuat. Ingatlah wahai buddhi, apa yang telah kuperbuat. Ingatlah.

- amrtam anilam – nafas abadi. Sama dengan mantra didalam RgVeda (x, 16, 3), Satapatha Brahmana (x, 3, 3, 8), dan Bhrad-aranyaka Upanisad (iii, 2, 13), AitREYA Brahmana (ii, 6), Sekarang ketika aku sedang sekarat, semoga hidupku (vayu) melepaskan raganya dan memasuki nafas abadi. – krato – buddhi mempunai tujuan dan cita cita, samkalpatmaka. Sesungguhnya manusia terdiri dari tujuan. – kratu-maya – pada saat saat kematian kita harus mengingat masa silam kita dan samadhi kepada Yang Maha Tinggi. –krtam – apa yang telah diperbuat ; mungkin pula berarti yang disempurnakan. ‘Ingatlah Kesempurnaan.’ Kratu – adalah juga pengorbanan. Yang Maha Agung adalah Penguasa Yajna. Dengan samadhi kepada Yang Maha Tinggi yang juga adalah Penguasa Yajna, dengan menyerah kepadanya, kita berdoa untuk kehadiran Yang Maha Tinggi.

18. agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan/yuyodhy asmaj juharanan eno: bhuyistham te nama uktim vidhema. Wahai Agni, bimbinglah kami sepanjang jalan harapan kepada kebahagiaan, wahai Tuhan yang mengetahui semua perbuatan perbuatan kami. Bersihkanlah kami dari dosa dosa kami. Kami menghaturkan sembah doa untukMu.

- Hal yang sama dijelaskan di dalam RgVeda (i, 189, 1). Yang mengerti semua perbuatanku - Ini adalah pernyataan erendahan hati terlahir dari rasa bahwa Tuhan selalu berada di antara kita, bahwa semua pikiran dan perbuatan kita diketahuiNya. Dia setiap waktu selalu berada bersama kita. – Ambilah semua dosa dariku. Ini adalah permohonan menyangkut dosa dosa kita. Tuhan adalah pencari hati dan bukan pencari kata kata.

Mantra dengan nomor 15 sampai dengan 18 adalah memang demikian didalam Isa Upanisad. Didalam Bhrad-aranyaka Upanisad rangkaian mantra ini terdapat didalam (BU. v, 15, 1-4). Mantra ini biasanya dibacakan pada saat kematian dan bahkan sampai sekarang dipakai di dalam upacara penguburan (dan tentu saja ngaben). Kita diwajibkan untuk mengingat perbuatan perbuatan kita di masa lalu sebab buahnya akan menemani mereka yang mau meninggal dan menentukan sifat dari kehidupan berikutnya. Mantra ini menekankan satunya Tuhan dengan dunia dan persatuan dua kehidupan, yang merenung dan yang berbuat. Kita tidak bisa memperoleh hidup merenung tanpa aktif. Kita harus membersihkan jiwa kita untuk mencapai puncak perenungan. Para Rsi Upanisad, Buddha, Yesus telah memberi contoh untuk tidak melupakan perbuatan di dunia menuju kepada cinta perenungan. Ketenangan mereka adalah ketenangan yang siaga. Mereka berbuat tanpa memikirkan diri sendiri dan membanu tanpa mengharapkan apa apa. (dari S. Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama).

Selanjutnya......

DOA ORANG (YANG MAU) MENINGGAL

Agus S. Mantik

Di dalam Chandogya Upanisad (iii, 17, 6) Ghora Angirasa, GuruNya Sri Krishna, setelah menyampaikan hal ini kepada Putra Devaki, dia berkata, “Pada saat terakhir seseorang harus berlindung kepada hal yang tiga ini: aksitam asi, acyutam asi, prana samsitam asi. Engkau tidak bisa dihancurkan, Engkau tidak bisa tergoyahkan, Engkau adalah sarinya hidup.” Mantram ini sesungguhnya tercantum juga di dalam Yayur Veda dan RgVeda (viii, 74).
Bagi dia yang paham maka dia seyogyanya menyampaikan mantram ini kepada seorang yang sedang sakit untuk mengingatnya dan menyebutnya berulang-ulang sedang untuk dia yang menghadapi penyakit berat, maka tentu saja sebaiknya mantram ini dibisikkan oleh yang paham pada telinga si sakit.

DOA UNTUK VISI TUHAN
15. hiranmayena patrena satyasyapihitam mukham/tat tvam pusan apavrnu satyadharmaya drstaye. Wajah dari kebenaran ditutupi oleh piring emas. Bukakanlah hal ini wahai Pusan, hingga aku yang mencintai kebenaran bisa melihatnya.

- apihitam – tersembunyi, sebab tidak seorang pun yang pikirannya tidak terpusat akan bisa melihat hal ini. Mukham – muka, sifat pokok. Pusan – Matahari, Dewata Cahaya, yang menjadi pelindung dunia. Apavrnu – memindahkan sebab gangguan dari pengelihatan. Satya-dharmaya – kepadaku yang telah menyembah kebenaran atau melakukan kebajikan seperti diwajibkan.

16. pusan ekarse yama surya prajapatya vyuha rasmin samuha tejah/yat te rupam kalyanatamam tat te pasyami yo sav asau purusah, so’ham asmi. Pusan, Rsi Yang Tunggal, wahai Yama, Surya, Putra dari Prajapati, sebarkanlah cahayaMu, kumpulkanlah cahayaMu yang gemerlapan sehingga aku bisa melihat bentukMu yang terindah. Siapapun oknum itu (yang disana) aku adalah Dia juga.

-ekarsih – dia yang bepergian sendiri. Matahari bergerak sendiri. Yama – pengendali. Rupam kalyanatamam – bentuk yang paling indah. Jiwa memuja untuk melihat Muka Tuhan yang merupakan inti hubungan dari Tuhan kepada jiwa tanpa suatu perantara dan dengan Satu Pengetahuan yang ada pada Hyang Widdhi. Soham asmi – berhubungan dengan bentuk pemujaan dimana yang memuja samadhi tentang Tuhan yang berada di dalam dirinya. Dia yang bersemayam pada Matahari adalah dia dengan cahaya didalam sifatnya yang paling dalam. Didalam mantra ini pencari mengharapkan mengalami realisasi dari Tuhan, pengertian langsung mengenai Yang Nyata.

17. vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram/aum krato smara krtam smara krato smara krtam smara. Semoga hidup ini memasuki nafas yang kekal dan kemudian semoga raga ini berakhir didalam abu. Wahai buddhi ingatlah, apa yang telah ku perbuat. Ingatlah wahai buddhi, apa yang telah kuperbuat. Ingatlah.

- amrtam anilam – nafas abadi. Sama dengan mantra didalam RgVeda (x, 16, 3), Satapatha Brahmana (x, 3, 3, 8), dan Bhrad-aranyaka Upanisad (iii, 2, 13), AitREYA Brahmana (ii, 6), Sekarang ketika aku sedang sekarat, semoga hidupku (vayu) melepaskan raganya dan memasuki nafas abadi. – krato – buddhi mempunai tujuan dan cita cita, samkalpatmaka. Sesungguhnya manusia terdiri dari tujuan. – kratu-maya – pada saat saat kematian kita harus mengingat masa silam kita dan samadhi kepada Yang Maha Tinggi. –krtam – apa yang telah diperbuat ; mungkin pula berarti yang disempurnakan. ‘Ingatlah Kesempurnaan.’ Kratu – adalah juga pengorbanan. Yang Maha Agung adalah Penguasa Yajna. Dengan samadhi kepada Yang Maha Tinggi yang juga adalah Penguasa Yajna, dengan menyerah kepadanya, kita berdoa untuk kehadiran Yang Maha Tinggi.

18. agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan/yuyodhy asmaj juharanan eno: bhuyistham te nama uktim vidhema. Wahai Agni, bimbinglah kami sepanjang jalan harapan kepada kebahagiaan, wahai Tuhan yang mengetahui semua perbuatan perbuatan kami. Bersihkanlah kami dari dosa dosa kami. Kami menghaturkan sembah doa untukMu.

- Hal yang sama dijelaskan di dalam RgVeda (i, 189, 1). Yang mengerti semua perbuatanku - Ini adalah pernyataan erendahan hati terlahir dari rasa bahwa Tuhan selalu berada di antara kita, bahwa semua pikiran dan perbuatan kita diketahuiNya. Dia setiap waktu selalu berada bersama kita. – Ambilah semua dosa dariku. Ini adalah permohonan menyangkut dosa dosa kita. Tuhan adalah pencari hati dan bukan pencari kata kata.

Mantra dengan nomor 15 sampai dengan 18 adalah memang demikian didalam Isa Upanisad. Didalam Bhrad-aranyaka Upanisad rangkaian mantra ini terdapat didalam (BU. v, 15, 1-4). Mantra ini biasanya dibacakan pada saat kematian dan bahkan sampai sekarang dipakai di dalam upacara penguburan (dan tentu saja ngaben). Kita diwajibkan untuk mengingat perbuatan perbuatan kita di masa lalu sebab buahnya akan menemani mereka yang mau meninggal dan menentukan sifat dari kehidupan berikutnya. Mantra ini menekankan satunya Tuhan dengan dunia dan persatuan dua kehidupan, yang merenung dan yang berbuat. Kita tidak bisa memperoleh hidup merenung tanpa aktif. Kita harus membersihkan jiwa kita untuk mencapai puncak perenungan. Para Rsi Upanisad, Buddha, Yesus telah memberi contoh untuk tidak melupakan perbuatan di dunia menuju kepada cinta perenungan. Ketenangan mereka adalah ketenangan yang siaga. Mereka berbuat tanpa memikirkan diri sendiri dan membanu tanpa mengharapkan apa apa. (dari S. Radhakrishnan, Upanisad Upanisad Utama).

Selanjutnya......

Kecanggihan Weda dalam Bidang Saintifik

Agus sudewa

Acap kali pernyataan ini terlontar dari non-Hindu yang antipati terhadap Weda. Mereka selalu berusaha mencari celah kelemahan pada Weda dan bila mereka tidak menemukan kelemahan itu, maka mereka akan memutar balikkan fakta. Apa tujuannya? Sudah jelas untuk mengkonversi. Mengapa harus mengkonversi? Supaya dapat pahala, karena semakin banyak dapat merekrut anggota, maka konon sorga jaminannya.
Tapi tak jarang akibatnya bagi orang yang berusaha mencari kelemahan Weda tersebut pada akhirnya jatuh cinta kepada Weda. Mengapa umat Hindu menjadi incaran mereka? Karena mereka tahu bahwa masih banyak umat Hindu yang tidak berpengetahuan luas tentang agamanya sendiri, kebanyakan dari mereka bahkan tidak pernah membaca Weda. Jadi umat Hindu yang demikian gampang untuk di buat bingung dan dibikin bimbang, sebab orang-orang yang berusaha mengkonversi itu telah berbekal sedikit pengetahuan tentang Weda.

Mereka pasti akan berpikir ribuan kali sebelum berusaha berdebat tentang Weda yang bertujuan mengkonversi tokoh-tokoh seperti Bapak Prof. Made Titib, Dr. I Gusti Sudiana, N. Putrawan (Raditya), Bapak Suratnaya, Bapak Made Madrasuta (Media Hindu), dan masih banyak cendikiawan Hindu lainnya. Sebenarnya dengan mengkonversi mereka berdasarkan pengetahuan Weda yang mereka ketahui, dengan menyatakan Weda itu tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, maka tentunya cukup satu tokoh saja dikonversi, maka sekali tepuk mereka bisa merekrut banyak umat Hindu, bahkan termasuk saya. Andai usaha mereka itu berhasil.

Tapi, mengapa mereka tidak berani adu pemikiran dengan orang yang telah mendalami ajaran Weda dengan cukup sempurna? Jawabannya adalah karena Weda tidak ada kelemahannya sampai detik ini dalam ilmu pengetahuan. Contoh, Dalam pengetahuan bahasa di mana bahasa Sanskerta adalah ibu segala bahasa ini sudah diakui (mereka yang belajar sastra/bahasa tahu akan hal ini), dalam ilmu Astronomi, Matematika, Pengobatan, dan lain-lain.

Dalam matematika, Veda mengenal bilangan nol. Sistem ini revolusioner, sebab dalam hal ini Weda mengenal angka nol dan notasi posisional. Hal tersebut dianggap sebagai tonggak penting dalam pengembangan matematika.

Lihat lagi ke belakang, bagaimana Vivekananda membuka mata dunia akan Hindu, bagaimana mati kutunya orang-orang yang sebelumnya menganggap Weda itu bukan apa-apa saat adu debat dengan seorang Vivekananda. Karena susahnya mendapatkan seorang benar-benar cendikiawan Hindu untuk dikonversi, maka cara satu-satunya bagi mereka adalah dengan membuat suatu propaganda. Contoh: Ida Bagus Erit Budi Firnarno, SAG, kelahiran Tabanan yang ternyata tak jelas dan bukan orang kelahiran Hindu.

Saya meskipun tidak begitu pandai dalam pengetahuan Weda tapi saya gemar membaca dan suka mencari tahu. Sri Krisna sangat menyukai orang yang suka mencari tahu, karena dengan mencari tahu kita menemukan kebenaran. Saya yakin apabila kita bisa mempertahankan kebiasaan membaca dan mencari tahu, maka niscaya pengetahuan Weda bisa kita dapatkan sepenuhnya.

Keajaiban Purana Tentang Alam Semesta
Weda dan Purana, yang diturunkan untuk kedua kalinya 6 000 tahun yang lalu dan telah berlalu berabad-abad lamanya. Fakta-fakta kebenaran mengenai Weda telah dibuktikan dan diakui oleh para ilmuan di masa ini. Ini membuktikan bahwa Weda dan Purana tersebut adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Maha Rsi/bangsa Arya yang kemudian dicatat (Weda dan Purana adalah wahyu Tuhan yang tertulis).

Hal ini adalah di luar pemikiran orang kebanyakan bahkan sebelum Abraham atau bahkan sebelum Adam dan Hawa berjalan di Bumi telah diketahui fakta-fakta kebenaran mengenai pengetahuan alam semesta dalam Weda dan Purana. Ini telah melalui rangkaian pembuktian dan pengujian dengan peralatan yang lebih maju dan metode ilmiah yang canggih yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan dari berbagai bangsa dan agama.

Teks asli dalam bahasa Sanskerta menyulitkan penulis untuk mengangkat masalah ini akan tetapi dengan adanya terjemahan dalam bahasa Inggris, maka semuanya menjadi mudah dipahami oleh berbagai bangsa. Terjemahan Weda dalam bahasa Inggris ada banyak dan hal ini wajar, karena Inggris sempat menjajah India beberapa abad lamanya. Meskipun tak sedikit kitab dan kuil Hindu telah dihancurkan pada era sebelum penjajahan Inggris, yaitu pada masa dinasti Mughal yang berkuasa berabad-abad di India bahkan ada beberapa kitab yang ditulis ulang berdasarkan propaganda dari penguasa Mughal untuk mengkonversi rakyat India yang masih Hindu. Akan tetapi atas kehendak dan cinta kasih dari Tuhan ilmu pengetahuan Weda masih bisa terwarisi kepada kita.

Kebulatan Bumi
Keberadaan konsep yang maju seperti bentuk Bumi yang bulat dan penyebab musim cukup jelas dalam literatur Weda. Sebagai contoh: Terjemahan dalam bahasa Inggris: “The Sun does never set nor rise. When people think the Sun is setting it is not so. For after having arrived at the end of the day it makes itself produce two opposite effects, making night to what is below and day to what is on the other side. Having reached the end of the night, it makes itself produce two opposite effects, making day to what is below and night to what is on the other side. In fact, the Sun never sets.” Brahmana Aitareya (3.44).
Shape of Earth is like an Oblate Spheroid. (Rig VedaXXX. IV. V)

‘Earth is flattened at the poles’ (Markandeya Purana 54.12)
Indonesia: “Matahari tidak pernah tenggelam ataupun terbit. Ketika orang berpikir Matahari tenggelam tapi tidaklah demikian. Setelah tiba di penghujung hari, matahari membuat dirinya menghasilkan dua efek yang berlawanan, menghasilkan malam hari untuk apa yang di belahan bawah dan siang hari di belahan lainnya. Setelah sampai di penghujung malam, matahari membuat dirinya menghasilkan dua efek yang berlawanan, menghasilkan siang hari di belahan bawah dan malam hari di belahan lainnya. Pada kenyataannya, Matahari tidak pernah tenggelam.” Brahmana Aitareya (3.44)

Bentuk Bumi adalah seperti oblate spheroid (bulat pepat). (Rig VedaXXX. IV. V)
'Bumi diratakan/dimampatkan di kutub' (Markandeya Purana 54,12)

"Sixty-four centuries before Isaac Newton, the Hindu Rig-Veda asserted that gravitation held the universe together. The Sanskrit speaking Aryans subscribed to the idea of a spherical earth in an era when the Greeks believed in a flat one. The Indians of the fifth century A.D. calculated the age of the earth as 4.3 billion years; scientists in 19th century England were convinced it was 100 million years."

"Enam puluh empat abad sebelum Isaac Newton, Hindu Rig-Veda menegaskan bahwa gravitasi mengikat alam semesta bersama-sama. Bangsa Arya yang berbicara bahasa Sansekerta mewariskan/memberikan gagasan bola bumi di dalam era ketika orang Yunani percaya bawasannya bumi itu datar. Orang-orang India dari abad kelima Masehi menghitung umur bumi sebagai 4,3 miliar tahun, para ilmuwan di Inggris abad ke-19 yakin bahwa umur bumi adalah 100 juta tahun ".

Siang dan malam di kutub
“For the period when the sun is north it is visible for six months at the north pole and invisible at the south, and vice versa.” - (Ibid Sutara)
"Untuk periode ketika matahari di utara, dia terlihat selama enam bulan di kutub utara dan tidak terlihat di selatan, dan begitu pula sebaliknya." - (Ibid Sutara)

Bintang-bintang tak lain adalah matahari
"There are suns in all directions, the night sky being full of them." (Rig Veda)
“Terdapat matahari-matahari di segala arah, langit malam dipenuhi olehnya.” (Rig Veda)
"Seven horses draw the chariot of Surya (Sun)". (Rig Veda )

Further it states, these seven horses are the seven colors compromising light. (Rig Veda)
“Tujuh kuda menarik kereta Surya (Matahari).” (Rig Veda)
Lebih jauh disebutkan bahwa tujuh kuda ini adalah tujuh warna yang membentuk cahaya. (Rig Veda)

Planet-planet
“There are planets in all directions, but only visible in night sky” (Rig Veda)
“Terdapat planet-planet di segala arah, tetapi hanya terlihat di langit malam” (Rig Veda)
Mengenai warna biru langit
“Blue Sky is nothing but scattered sunlight” (Markandeya Purana 78.8)

“Biru langit hanyalah sinar matahari yang tersebar” (Markandeya Purana 78.8)

Alam Semesta
"Then he began creation with Plasma, which created smoke. From that smoke the entire universe came into existence. Then the universe began to expand by the Will of Brahma and it will go on to do the same in future. He then made 'Heavens and Earth' from the Golden part of egg". (Brahama Puran)
"Lalu ia mulai penciptaan dengan Plasma, yang menciptakan asap. Dari asap tersebut terbentuklah seluruh alam semesta. Kemudian alam semesta mulai meluas/membesar oleh kehendak Brahma dan akan dilakukan hal yang sama di masa depan. Ia kemudian membuat 'Surga dan Bumi 'dari bagian keemasan telur".

Ilmu Kosmologi modern; observasi/penelitian dan teoritikal, sangat jelas menyatakan bahwa di suatu masa, seluruh alam semesta bukanlah apa-apa, tetapi hanya awan asap. Lalu kemudian bintang-bintang terbentuk darinya.
“Nothing in Brahmand is immovable” (Sam Veda)
“Tidak ada dalam Brahmanda yang tidak bergerak”
"Nothing is static in this world neither living or non living". (Brahmand Puran)
“Tidak ada yang statis dalam dunia ini baik yang hidup maupun tidak”
"Earth is divided in many plates as much as 14 of them in present Manavatara." (Brahmand Purana)
“Bumi dibagi dalam banyak lempengan, 14 di antaranya di Manavatara ini”


Narayan: Before creation, it was only the Brahma that was everywhere. There was no day, night or sky. First I created the waters. And in the waters I sowed the seeds of brahmanda. The great egg. From this seed there developed an egg which began to float on the waters. This egg is known as Brahamand (Universe).

Narayan: Sebelum penciptaan, hanya ada Brahma di mana-mana. Tidak ada siang, malam ataupun langit. Pertama Aku ciptakan air. Dan di perairan Aku menaburkan benih brahmanda. Telur yang maha besar. Dari benih ini berkembang sebuah telur yang mulai mengapung di perairan. Telur ini dikenal sebagai Brahamanda (Alam Semesta).

“Finally we came to conclusion that Universe is shaped like an egg but this information was already present in Hindu Literature.”
(Alan Kogut, NASA)
“Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta ini menyerupai sebutir telur akan tetapi informasi ini telah terdapat pada literature Hindu.”
(Alan Kogut, NASA)


PELINDUNG BUMI
“After the formation of the earth planet, Brahama created atmosphere in group of seven, from that formation oceans began to exist, and the first form of life appeared on the earth planet. Atmosphere was created as protective skin of earth” (Shrimad Bhagwatam)
“The atmosphere surrounds the earth to the hight of 60 miles, and clouds, lightning and the like are all phenomena connected with it.” ( Ibid)
"Setelah pembentukan planet bumi, Brahama menciptakan atmosphere dalam tujuh kelompok, dari formasi tersebut lautan menjadi ada, dan bentuk kehidupan pertama muncul di planet Bumi. Atmosphere diciptkan untuk melindungi kulit Bumi” (Shrimad Bhagwatam)
"Atmosphere mengelilingi bumi setinggi 60 mil, dan awan, petir dan sejenisnya adalah semua fenomena yang berhubungan dengannya." (Ibid)
Bahkan dalam Visnu Purana dijelaskan sangat mendetail mengenai proses/penyebab terjadinya pasang surut air laut. Di mana di dalam Visnu purana juga dijelaskan air laut selalu tetap, tidak pernah bertambah ataupun berkurang. Tapi ibarat air yang dipanaskan di kuali dia bisa membesar masanya.

Dalam Brahma Purana dijelaskan bagaimana terjadinya bulan atau satelit-satelit yang mengitari planet-planet termasuk bumi "In the initial stage of creation of Universe some creation material slipped from the hands of Brahma and collided with earth resulting in the formation of Moon". (Brahmand Purana) terjemahan "Pada tahap awal penciptaan alam semesta beberapa bahan pembuatan tergelincir dari tangan Brahma dan bertabrakan dengan bumi yang mengakibatkan pembentukan Bulan" ini sesuai dengan teori modern dimana pada masa pembentukan bumi yang terjadi 4.5 Miliar tahun, ketika bumi masih berupa gas panas dan membesar ia melepas objek/debris berupa batu yang kemudian akibat gesekan objek itu mengorbit bumi.

Kata orang tertentu, Weda tidak masuk akal. Pada dasarnya memang tidak masuk akal bagi kita di masa ini. Tidak habis pikir bagaimana peradaban di masa lampau yang menghasilkan Weda tersebut dapat memiliki pengetahuan yang di mana baru bisa diketahui di masa modern ini? Ilmuan ahli saja terperangah apalagi bagi kita yang awam ini. Sudah tentu bagi orang awam hal ini tidak masuk akal tapi bagi ilmuan ahli ini adalah hal yang mengagumkan.

Komentar Ilmuan Modern
“Hinduism is the only religion in which the time scales correspond, to those of modern scientific cosmology. The Hindu literature is work of a Genius.” (Dr. Steinn Sigurdsson, Pennsylvania State University)

“Hindu adalah satu-satunya agama di mana skala waktu sesuai bagi kosmologi ilmiah modern. Literatur Hindu adalah hasil pekerjaan Genius "(Dr Steinn Sigurdsson, Pennsylvania State University).”

“It looks like that the writers of Vedas and Puran came from the future to deliver knowledge. The works of the Ancient Arya Sages is mind blowing. There is no doubt that Purans and Vedas are word of God.” (Scott Sandford , Space Scientist, NASA)

"Tampaknya bahwa para penulis Veda dan Puran datang dari masa depan untuk memberikan pengetahuan. Karya-karya orang bijak Arya Kuno adalah pemikiran yang luar biasa. Tidak ada keraguan bahwa Purans dan Veda adalah firman Tuhan "(Scott Sandford, Ilmuwan Antariksa, NASA).

“How could Hindus (Aryas) have possibly known all this 6,000 years ago, when scientists have only recently discovered this using advanced equipment which did not exist at that time? Such concepts were found only recently.”
(Dr. Kevin Hurley of the University of California at Berkeley)


“Bagaimana mungkin orang-orang Hindu bisa mengetahui ini semua pada 6.000 tahun yang lalu, dimana para ilmuwan hanya menemukannya baru-baru ini menggunakan peralatan canggih yang tidak ada pada waktu itu? Konsep-konsep tersebut hanya ditemukan baru-baru ini” (Dr. Kevin Hurley of the University of California at Berkeley)
“Finally we came to conclusion that Universe is shaped like an egg but this information was already present in Hindu Literature.”
(Alan Kogut, NASA)
“Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta ini menyerupai sebutir telur akan tetapi informasi ini telah terdapat pada literature Hindu.”

Bolehlah bila masih ada yang menyangsikan kebenaran Weda dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi para ilmuan telah mengakui sumbangsih dan pengetahuan Weda dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena kemajuan jaman, kebebasan dalam penelitian dan informasi telah terkuaklah berbagai tabir yang dulu dipendam contoh ilmu hitung dan bilangan ternyata berasal dari India, dan lain-lain.
Jadi beruntunglah kita dilahirkan dalam jalan dharma, sehingga kita memiliki pemikiran yang luas akan segala hal dan tidak terkekang oleh segala sesuatu serta tidak memiliki perasaan membenci yang ditanamkan. Sebagai umat Hindu kita wajib menjunjung tinggi Tri Hita Karana. Kita semua di Bali masih punya PR besar di dalam hubungan Manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya. Nilai rapor kita di dua dari tiga butir Tri Hita Karana masih merah. Malulah bila kita harus menghancurkan lingkungan, hutan dan perairan serta habitat didalamnya demi kesenangan dan keuntungan kita belaka, dan malulah bila kita harus menyakiti sesama apa pun bentuknya.

Selanjutnya......

Spiritual Perlu Dipraktikkan Supaya Tak Terhenti di Teori

Peace Academy-Ahimsa Satya Karuna menyelenggarakan Community Dialogue dengan mengambil tajuk “Guru sebagai Pembimbing Spiritualitas di Era Globalisasi dan Peran Wanita dalam kiprah Politik”. Seminar ini menghadirkan narasumber, yakni BR. Indra Udayana seorang pendiri Ashram Gandhi Puri dan Dr.Dra. Ida Tary Puspa ,S.Ag.,M.Par. sebagai Dosen pengajar di Institut Hindu Dharma Denpasar, serta A.A.A. Arina Sarswati Hardy dari Yayasan Ari Prshanti Nilayam mantan anggota DPRD Bali dan Romo Paskalis dari Keuskupan Denpasar. Dialog bulan seperti ini ini dimulai pada pukul 18.00 di Peace Academy-Ahimsa Satya Karuna Center (Ashram Gandhi Puri) di Denpasar setiap minggu ketiga.
Tujuan pelaksanaan ini tiada lain adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang guru spiritual di era globalisasi juga pentingnya politik bagi generasi muda. Menurut Ketua Panitia acara ini menjadi suatu tombak bagi kita semua untuk memahami lebih dalam arti Guru di era globalisasi ini. “Dengan adanya Dialog ini diharapkan agar pemuda dapat memahami lebih jauh tentang pengaruh dan peranan dari guru spiritual di era Globalisasi serta bagaimana berpolitik yang santun,” kata Ni Nengah Puji Widiani selaku ketua panitia.

Pembicara pertama, Dr.Dra. Ida Ayu Tary Puspa,S.Ag.,M.Par. dengan membawakan makalah yang berjudul “Peran Guru Spiritual dalam era Globalisasi”. Dalam pemaparan makalah tersebut beliau memaparkan dalam kehidupan kita ini kita memiliki tiga orang guru yang berperan penting mereka adalah Guru Rupaka, Guru Pengajian, dan Guru Swadyaya. Guru Rupaka adalah kedua orang tua kita di mana kedua orang tua kita telah memberikan kita kasih sayang dan cinta kasih, Guru Pengajian adalah Guru yang mengajarkan dan memberikan ilmu pengetahuan kepada kita di sekolah, dan Guru Swadyaya adalah Guru Pemerintahan yang memberikan kita pengetahuan tentang sistem kepemimpinan dan norma-norma sebagai acuan berperilaku. “Spiritual sangatlah penting untuk kehidupan dan dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari dalam dunia yang kompleks. Di era global ini yang dibutuhkan adalah perubahan sikap pikiran dan terus-menerus menyadiari diri agung,” sebut dosen IHDN Denpasar ini. Menurutnya, pada era ini sangatlah penting untuk menemukan seorang guru yang dapat memberikan pengetahuan transcendental yang sangat ditekankan dalam Agama Hindu.

Selain itu beliau menjelaskan tentang hubungan Guru-Sisya antara Krishna dan Arjuna. Di dalam Bhagavad Gita disebutkan dialog antara Sang Krishna dan Arjuna di dalam medan peperangan di mana pada saat itu Arjuna menerima Krishna sebagai gurunya. Hubungan ini dianggap sebagai salah satu ideal dari Guru-Sisya. Pada saat peperangan tersebtu Krishna menyebutkan betapa pentingnya peranan guru dalam kehidupan. Beliau juga memaparkan beberapa cara untuk meningkatkan peranan guru, yaitu melalui sekolah, ashram, yoga, tantra, dan bhakti. Guru di sini berperan sebagai satu-satunya jaminan bagi individu untuk mengatasi belenggu kesedihan dan kematian dan pengalaman kesadaran realitas.

Pembicara kedua dilanjutkan oleh BR. Indra Udayana selaku Guru Spiritual bagi sisya Ashram Gandhi Puri. Beliau membawakan tentang makna guru spiritual tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa sekuntum bunga yang sudah mekar dan secara otomatis lebah akan datang menghampiri dan membantu penyerbukan bagi bunga tersebut. Makna yang ingin disampaikan oleh Beliau adalah seorang guru akan datang kepada muridnya ketika seorang murid sudah siap menerima pengetahuan yang akan diberikan atau ketika ia membuka dirinya untuk menerima pencerahan untuk berkembang menjadi lebih baik. Beliau juga menambahkan bahwa terkadang seorang guru spiritual menguji muridnya, namun terkadang muridnya salah mengartikan tentang ujian tersebut. Sebuah contoh yang diberikan adalah mengambil cerita tentang Mahattma Gandhi dimana salah satu muridnya sangat dekat dengan beliau dan tidak mau dipisahkan dari Sang Mahattma, namun pada akhirnya Mahattma Gandhi memutuskan untuk mengirim muridnya tersebut ke suatu daerah jauh dari Mahattma Gandhi dan murid tersebut beranggapan bahwa Gurunya membenci dirinya dan menyuruhnya agar menjauhi Sang Mahattma. Namun, ia tersadar pada saat kepergian Sang Mahattma Gandhi ia sadar apabila ia selalu berada di dekat Sang Mahatma maka ia akan merasa sangat kehilangan, namun dengan ujian yang diberikan Sang Mahattma ia menjadi lebih tegar dan kuat untuk menghadapi kepergian Sang Mahattma. Jadi beliau menjelaskan tentang guru spiritual yang selalu menuntun kita untuk menjadi lebih kuat menghadapi kehidupan, menghadapi permasalahan yang ada di dalam hidup ini, dan selalu berpikiran positive untuk melangkah ke depan.

BR Indra Udayana juga mengulas pentingnya memaknai hubungan guru sisya saat ini,ketika dunia sains dan tekhnologi makin mendekati penguasaan segalanya, justru hubungan humanisme makin terpinggirkan. Karena itulah beruntung di dunia ketiga seperti Bali khususnya nilai lekat antara manusia dengan manusia tetap menjadi pijakan, sehingga guru sisya itu menjadi dasar pijakan kuat untuk saling melengkapi dan bahkan akan menjadi kekuatan bagi hasil kreatifitas karena keduanya secara tidak langsung termotivasi serta saling menginspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang lebih banyak untuk kemanusiaan.

A. A. A. Arina Saraswati Hardy berbagi bagaimana kiat-kiat dan tips prilaku politik.Karena Politik yang selama ini selalu dikatakan kotor justru adalah pengabdian dan swadharma untuk melakukan pelayanan bagi kesejahteraan masyarakat. Bagaimana pula peranan politik seperti RA Kartini dan Dewi Kartika disadur oleh Gung Ayu Arina, di mana kutipan tulisan dari RA Kartini: “Kami di sini memohonkan diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajiban yang diserahkan alam sendiri kedalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama.” Itulah cuplikan yang sempat ditekankan beliau dan dibacakan pada saat dialog semakin membuka wawasan bahwa politik itu adalah kekuatan dan juga perjuangan.


Romo Paskalis menyampikan pandangannya tentang wanita, bahwa wanita adalah mitra (teman) bukan saingan dari laki-laki dan mendapatkan suatu perlakuan yang sama dengan laki-laki. Dalam berpolitik diperlukan adanya etika yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Di dalam politik tersebut diperlukan seorang wanita sebagai pelengkap dan juga sebagai pemanis karena diketahui bahwa apabila hanya laki-laki tidaklah lengkap karena suatu sinergis sifat dan juga kerjasama yang kuat akan menguatkan pula kebijakan yang dihasilkan. Bagi Romo yang cukup akrab dengan anak muda antariman ini menyatakan, lebih mendalam lagi, politik itu seni dan keindahan untuk menghasilkan sesuatu,tergantung seberapa jauh kita memaknai dan mau melaksanakannya sebagai sebuah persembahan bagi kemanusiaan.

Seminar berlangsung santai namun juga hangat dan dihadiri beberapa undangan dari mahasiswa IHDN, mahasiswa Dwijendra, mahasiswa UNHI dan beberapa perwakilan BEM Universitas di Bali. Acara dipandu oleh Ni Luh Ratna Dewi di Center Peace Academy-Ahimsa Satya Karuna Denpasar. Acara berakhir sekitar pukul 20.30 yang ditandai dengan penyerahan kenang-kenangan kepada kedua Narasumber oleh Panitia.

Selanjutnya......

Pilkada di Buleleng akan Berdarah-darah?

Laporan Made Mustika

Pemilihan umum (pemilu) kepala daerah di Buleleng, Bali, masih sekitar 3 bulan lagi. Namun banyak yang risau akan pelaksanaan pemilu kada (kepala daerah) tersebut. Sebab, baru saja menginjak tahun 2012, sudah ada gerakan massa dalam bentuk tindakan anarkis pengrusakan rumah. Apabila masyarakat di daerah itu tidak cerdas menyikapi pemilu kada 2012, terbuka kemungkinan akan terjadi pertumpahan darah.
Teropong ini disampaikan oleh Ratu Agung Pancering Jagat, yang oleh para pengikutnya diakui sebagai orang “pintar” atau guru. Nama lengkap dia sebenarnya adalah I Gusti Ngurah Agung Suarnada, beralamat di Jl. Arjuna 4L Singaraja. Tidak sulit menemukan alamat tersebut, karena letaknya di pusat kota Singaraja. Teropong yang dilihatnya itu bukanlah sebuah provokasi atau sengaja memanas-manasi warga Buleleng agar berbuat onar dalam rangka penggagalan pesta demokrasi tersebut. Tidak sama sekali. “Saya tidak memihak manapun. Dan saya sesungguhnya buta dalam politik, bagaikan katak dalam tempurung,” katanya merendah. Jawaban itu terlontar semata-mata karena Raditya memancing lewat sebuah pertanyaan.

Rumahnya itu boleh dikatakan sebagai rumah terbuka bagi siapa saja, sejak pagi hingga malam. Diakui oleh sang tuan rumah, bahwa pintu rumahnya tidak pernah terkunci karena ada saja yang berkepentingan keluar-masuk setiap saat. Apakah itu untuk membuat air panas guna menyeduh kopi, atau istirahat tidur-tiduran, maupun tidur sungguhan setelah lelah seharian melakukan aktivitas. “Rumah ini memang dikenal sebagai pasraman dan ada orang-orang yang menyatakan diri sebagai sisya. Mereka datang ke sini setiap saat, namun saya tak mengajarkan apa-apa kepadanya. Mereka belajar sendiri dengan guru spiritualnya masing-masing lewat alam gaib yang tak kasat mata. Sebab pembelajaran melalui perantara roh,” kata Ratu Agung.

Ketika Raditya bertandang ke rumahnya, hari sudah sore. Mendung tebal menggayut di langit. Belum sampai di rumahnya, langit telah terlebih dulu mencurahkan hujan sehingga membuat bumi bayah kuyup. Ya, Raditya kalah cepat dengan turunnya hujan. Syukur ketika hujan mulai turun, Raditya sudah dekat dengan rumah yang dituju sehingga hanya menimbulkan basah sedikit. Jika telat lagi sedikit, lain lagi ceritanya.

Menyadari suasana dingin, sang tuan rumah menyuguhkan kopi hangat kepada Raditya. Praktis selama dua jam wawancara, hujan meningkahi obrolan itu tanpa sempat berhenti. Dalam wawancara itu, istri Ratu Agung, Noor Endah Pramudji setia mendampingi. Ya, istri Ratu Agung adalah perempuan Jawa yang dikenalnya sewaktu sama-sama menjadi mahasiswa di Solo, Jawa Tengah. Noor Endah berpendapat, dia sama sekali tidak pernah berpikiran akan memiliki seorang suami yang “abnormal”. Dikatakan demikian, karena suaminya kini seolah milik banyak orang, karena melayani banyak umat yang membutuhkan bantuannya. Sehingga waktu dan perhatian suami untuk keluarganya tidak sebesar sebelumnya. Namun demikian Noor tidak ada memperlihatkan sikap menyesal. Mungkin Noor percaya dengan namanya takdir atau suratan tangan. Garis hidupnya memang harus dijalani seperti sekarang ini.

“Sebelum suami ngiring, anak saya yang paling kecil pernah kerasukan. Saat itu anak saya dalam keadaan tak sadar mengatakan, bahwa bapaknya kini bukan lagi miliknya. Ternyata itu isyarat bahwa suami harus berbagi waktu untuk melayani umat,” kata guru di sebuah SMK negeri di Singaraja itu. Proses adaptasi itu telah dilewati dengan baik oleh keluarga tersebut. Mereka telah bisa menerima keadaan suami atau ayahnya menjalani profesi yang dulu tak pernah dibayangkan di benak mereka. Tadinya Noor hanya berpikiran bahwa setelah menikah tahun 1994, punya rumah, punya penghasilan, dan memiliki sejumlah anak-anak untuk meneruskan keturunan. Suatu cita-cita sederhana sebagaimana pengharapan keluarga-keluarga yang lain. Tak lebih dari itu. Namun yang didapati sekarang tak terduga sama sekali.

Ratu Agung mengatakan, bahwa dirinya tidak bisa memberi ramalan siapa yang menang pada pemilukada di Buleleng nanti. Namun siapa pun yang terpilih nanti, keadaan tidak akan berubah total. Hal itu terjadi karena manusia sekarang secara umum telah terlalu jauh terbenam dalam cengkraman maya. Manusia terlalu sering lupa akan kesejatian dirinya. Kama (nafsu), loba, kroda (kemarahan), dan iri hati telah menyelimuti raga manusia demikian tebal. Kemurnian manusia (atma) adalah kunci untuk mengatasi keadaan sekarang. Kemurnian jiwa itu merupakan kunci jawaban untuk menundukkan segala kama, loba, kroda, dan iri hati. Proses ke arah itu bisa dicapai melalui meditasi, misalnya. Tapi di zaman hedonis seperti sekarang ini, siapa yang sudi melakoni meditasi? Ataupun berjapa?

“Namun demikian, bila Buleleng ingin maju, pemimpin terpilih nanti harus memulai dari seni dan budaya. Hanya melalui cara itulah Buleleng akan mencapai kemajuan,” tegasnya.

Selama tahun 2012, menurut teropongnya, di Indonesia akan sering terjadi bencana alam yang melibatkan air, mulai dari banjir akibat curah hujan tinggi hingga terjadi tanah longsor. Apakah Bali terkena juga? Dia tidak dapat memastikan. Pokoknya teropongnya seperti itu. Apa yang dilihatnya itu bukan didapat setelah ada bencana banjir di sana-sini di awal tahun 2012. Informasi lewat alam gaib itu telah didapatnya sejak 2011. Hanya Raditya saja yang terlambat mewawancarainya.

Sebenarnya profesi I GN Agung Suarnada sebelumnya adalah sebagai guru kesenian, khususnya vokalia dan drum band. Dia mengajar di Singaraja dan Denpasar. Namun sejak 2008, sejak mewinten dan bergelar Ratu Agung Pancering Jagat, pekerjaan itu dikurangi. Tadinya ingin berhenti total namun karena pihak sekolah masih sangat membutuhkan, terpaksa diterima dengan catatan jam mengajarnya tidak terlalu banyak.
Keterampilan yang dimilikinya itulah yang mempertemukan kedua insan suami-istri tersebut. Di kampusnya dulu, I GN Agung Suarnada adalah pembina ekstra drum band. Sedangkan Noor Endah merupakan salah satu mahasiswa peserta ekstra drum band. Padahal mereka satu angkatan hanya beda fakultas. Noor Endah menaruh kagum pada diri I GNA Suarnada. Dan karena sering ketemu, jadilah mereka pacaran selama 6 tahun, sejak 1988. Setelah menikah mereka lalu boyongan ke Bali sampai akhrnya memiliki 3 orang anak, dua lelaki dan satu putri. Yang terbesar, putri, sudah duduk di SMA kelas II sedangkan yang terkecil duduk di kelas IV SD. Yang tengah-tengah duduk kls III SMP.
Apakah prosesinya sebagai orang pintar yang dijalani sekarang ini patut disyukuri atau disesali? Ratu Agung tidak memberikan jawaban langsung atas pertanyaan itu. Dia hanya mengemukakan bahwa hidupnya kini mengalir bagai air. Ambisi-ambisi material telah banyak melorot. Mereka mengaku tak punya kekhawatiran atas masa depan dan tak menyesalkan atas kehidupan di masa lalu.

Lalu kemampuan apa yang dimiliki Ratu Agung sehingga menyedot perhatian banyak orang? Dia mengaku dinaungi oleh tiga roh tokoh terkenal di masa silam. Siapa? Mereka adalah roh Raja Buleleng pertama Ki Barak Panji Sakti, kemudian sosok proklamator RI Bung Karno, serta mahapatih Gajah Mada. Dijelaskan, banyak orang yang telah datang kepadanya untuk berobat atau menanyakan silsilah keluarga. Mereka yang datang tidak melulu umat Hindu. Tapi juga umat Kristen dan Islam. “Bahkan ada orang yang sudah menyandang hajjah suka datang ke tempat kami. Si hajjah itu mengaku menemukan pencerahan dan kedamaian kala datang ke rumah saya. Saya tak tahu kenapa. Semuanya ini karena Beliau yang di atas, saya hanya menjadi alat-Nya saja,” tandasnya.


Kritik sosial
Di bagian lain dia mengkritik Pemda Buleleng yang selama ini telah menghabiskan dana besar untuk pekerjaan yang dinilai sia-sia. Pekerjaan manakah yang dinilai sia-sia? Tiada lain adalah upacara membayar kaul Raja Ki Barak Panji Sakti. Pada periode silam, Pemda Buleleng melakukan upacara yang menyertakan kerbau “bertanduk emas” dengan berjalan kaki dari Desa Panji (pinggiran kota Singaraja) ke sebuah pura di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan. Belum lama berselang, lagi Pemda Buleleng menyelenggarakan suatu upacara yang mengatasnamakan Raja Ki Barak Panji Sakti. Kali ini menghaturkan sejumlah sesajen hingga melilitkan puluhan meter kain putih di Gunung Batur, Kintamani, Bangli.

“Seharusnya kita pintar-pintar membaca informasi yang disampaikan lewat pawisik. Harus dikupas secara bijaksana. Sebenarnya bukanlah tindakan yang demikian itu yang dimaksudkan oleh beliau. Roh beliau sudah tenang di alam “sana”, tidak memerlukan upacara ini-itu lagi,” katanya.

Mengupas pawisik itu sama seperti membaca penanggalan surya sengkala atau candra sengkala untuk mendapat tanggal, bulan, dan tahun Saka. Misalnya kalau ada kata bumi dalam surya sengkala itu bukanlah berarti alam, tapi angka 1. Demikian seterusnya sehingga dengan cara demikian kita akan mendapat informasi tentang tahun pembuatan sebuah candi misalnya. Karena itu, roh Ki Barak Panji Sakti sambil geleng-geleng mengatakan, mengapa masyarakat Buleleng tidak cerdas-cerdas. Kalau tidak mau belajar dari kesalahan yang sudah lewat, ke depan kemungkinan besar akan terlaksana upacara besar lagi yang mengatasnamakan kaul ki Barak Panji Sakti. “Coba kalau uang yang dipakai untuk upacara tersebut dipakai untuk membantu masyarakat miskin, betapa besar manfaatnya,” ujar Ratu Agung.

Lalu apa arti sebenarnya pawisik-pawisik lalu? Ratu Agung menjelaskan, sebenarnya seluruh pawisik itu adalah bahasa isyarat untuk meningkatkan spiritual masyarakat tanpa harus membuat upacara besar. Dalam bahasa sederhana bahasa pawisik itu dapat diungkapkan dengan kata-kata seperti berikut ini; temukanlah jati dirimu sebagai manusia dan kikis segala ego dan kama yang melekat di badan. Kekacauan sosial yang terjadi belakangan ini karena manusia berlomba-lomba memupuk kama dan ego.

Selanjutnya......

Tingkatkan Kemampuan Bisnis Lewat Meditasi

Meditasi selama ini lebih sering dihubungkan dengan tindakan untuk meneteralisir stres, untuk meningkatkan kedamaian dan meningkatkan kesucian rohani. Tak berlebihan kemudian, jika meditasi lebih banyak dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat ‘gaib’, pengalaman mental dan penikmatan terhadap sensasi-sensasi proses tersebut. Padahal sesungguhnya berbagai sensasi yang muncul itu, oleh beberapa maha guru yoga dikatakan hanyalah luapan sisa-sisa samskara seseorang yang tertimbun di bawah sadarnya. Lalu, adakah manfaat meditasi yang lebih produktif mendukung eksistensi manusia di muka bumi ini?
“Meditasi membantu pikiran kita menjadi lebih cerdas dan syaraf-syaraf halus kita menjadi bersih dan kuat. Dengan terbntuknya pikiran yang jernih, maka kita akan dapat mengambil keputusan yang tepat, efektif, sehingga usaha-usaha dapat dilalui lebih lancar. Ini pengalaman saya,” tutur Made Ratnadi di Center Setyaki, Denpasar pada Minggu 8 januari 2012 lalu. Praktisi meditasi Trancendental Meditation ini lebih lanjut menguraikan, bahwa dalam pengalamannya sebagai seorang pebisnis, maka akan berhadapan dengan berbagai macam karakter orang. Banyak rekanan yang berhubungan secara intensif yang sebenarnya dalam niatnya hanya datang untuk menipu. “Dengan menghaluskan pikiran kita, maka getaran pikiran kasar dari orang-orang yang kita ajak bicara maupun berhubungan bisnis akan segera dapat kita rasakan, sehingga hal-hal negatif dapat kita tangkal,” urai Ibu yang berdomisili di Bandung ini.

Karena itu, berdasarkan pengalamannya bermeditasi selama bertahun-tahun, manfaat meditasi hendaknya tidak selalu dihubungkan dengan alam-alam esoteris, sehingga kita menghabiskan banyak waktu untuk aktifitas mental saja. Sebaiknya, setelah ada kemajuan di bidang meditasi, segera gunakan kemajuan tersebut untuk kebaikan, di antaranya memanajenen usaha dengan baik. “Dengan pikiran yang halus kita dapat mengambil tindakan yang efektif, tapi untungnya lebih besar dari sekadar mengandalkan semangat dan kerja keras saja. Tapi, jangan lupa, untuk memelihara kehalusan pikiran hasil meditasi supaya tidak tercemari oleh aktifitas bisnis, maka ingatlah untuk rutin menyumbang berbagai kegiatan sosial, berbuat amal dan sejenisnya,” sarannya.

Selain pengaruh positif yang disebutkan di atas, dalam pengalaman pengusaha di bidang ekspor-impor ini, dengan berlatih meditasi kita juga dapat lebih terbuka di dalam menghadapi berbagai masalah. Baik itu masalah keluarga yang ruwet maupun kendala-kendala bisnis yang bagi banyak orang akan membuatnya pusing. “Meditasi mengantarkan kita untuk lebih ringan cara berpikirnya, lebih ikhlas dan tidak gampang jatuh dalam penyesalan dan kekecewaan. Inti semua itu adalah rasa syukur, karena pikiran kita getarannya semakin halus dan tidak terlalu kuat dipengaruhi unsur-unusr energi material dan indrawi,” paparnya sebelum upacara api dari Haidakhand Ashram dilakukan di tempat itu.

Terakhir ia menyarankan, kalau ingin belajar spiritual yang benar, kurangi bahkan hilangkan fanatisme sempit dengan menganggap perguruan atau kelompok sendiri paling baik. Pandangan demikian malahan akan memperkasar gelombang pikiran kita, sehingga berapa keras pun kita bermeditasi, melakukan kirtan, ritual dan sejenisnya bakalan sia-sia. Itu pula alasannya, kenapa ia menjadikan rumahnya di Jalan Setyaki Denpasar pusat dari berbagai kegiatan spiritual. Aliran, kelompok, perguruan mana saja boleh menggunakan tempat itu, karena dengan menghormati setiap cara di dalam pendakian spiritual akan meluaskan jiwa kita dan semakin menjadikan pikiran halus dan damai. Ini juga terlihat pada waktu upacara api yang dilakukan pada hari itu dengan dihadiri berbagai kalangan, seperti Haidakhand Ashram sebagai penyelenggara, ada juga anggota Art of Living, Hare Krishna, bhakta Sai Baba, dan sebagainya. (Putra)

Selanjutnya......

Teropong Zaman Dari Pura Dalem Solo di Desa Sedang

Ronny Purna Bagus Haryono

“Dulu pura ini bernama Pura Kauh, karena letaknya yang berada di sebelah barat perkampungan warga,” ungkap Jero Mangku Pura Dalem Solo, I Gusti Ngurah Lanang Putra. Dirinya mengungkapkan, perubahan nama sebuah pura yang terletak di Desa Sedang, Kecamatan Badung Utara ini terjadi sampai dua kali sebelum nama yang kini digunakan. “Setelah bernama Pura Kauh, kemudian berubah menjadi Pura Dalem Majapahit dan akhirnya kini lebih dikenal dengan Pura Dalem Solo,” terang Jero Mangku.
Perubahan nama menjadi Pura Dalem Solo, tutur Jero Mangku, terjadi sewaktu ada bencana gempa bumi yang saat itu hanya terjadi di dalam areal pura. Dan kebetulan, pada waktu gempa terjadi, di pura tersebut sedang ada piodalan dan salah seorang yang tangkil mengalami kerauhan (kesurupan) serta mengatakan Ratu Dalem Solo rauh (datang). “Sejak itulah nama pura berganti menjadi Pura Dalem Solo,” ucap Jero Mangku.
Menurut Jero Mangku, ada beberapa kejadian tentang pura ini yang berkaitan dengan sejarah negeri Indonesia. Kejadian tersebut berupa perubahan peta politik yang terjadi di tanah air pada tahun 1964 dan 1971.

Jero Mangku lantas bercerita, di tahun 1964, ada seseorang umat yang tangkil dan mengalami kesurupan. Dalam alam bawah sadarnya, orang itu mengatakan, agar seluruh warga yang ada di desa tersebut untuk segera meninggalkan partai berwarna merah. Namun, warga desa pada saat itu tidak mempercayai apa yang telah dikatakan orang yang kesurupan tersebut. Tak lama kemudian, terjadilah Pemberontakan G 30 S yang dilakukan orang-orang PKI. “Pada saat itu, partai yang berwarna merah adalah PKI. Orang-orang yang menjadi pengikut partai tersebut kemudian mati diadili,” ungkap Jero Mangku.

Hal ini berulang di tahun 1971. Saat itu, seseorang kembali mengalami kesurupan di Pura Dalem Solo. Orang tersebut berkata, akan ada seorang Raja Kuning yang akan berkuasa sangat lama dan warga desa dianjurkan untuk mengikuti raja tersebut. “Saat itu, warga desa tidak mengetahui maksud orang kesurupan tersebut. Setelah Soeharto dengan Partai Golkarnya berkuasa, barulah mereka menyadarinya,” ungkap Jero Mangku.

“Dulu sewaktu saya bersembahyang di pura ini, ada seseorang yang datang kemudian kesurupan serta mengatakan bahwa akan ada seorang raja wanita yang berkuasa dalam waktu yang tidak begitu lama. Dan itu ternyata pernah terjadi di tampuk pimpinan negeri ini,” ujar Jero Mangku.
Pura Dalem Solo kata Jero Mangku, berdiri sebelum pura desa setempat. Pura ini diyakini sebagai peninggalan Ratu Dalem Solo sebagai penyelamat Pulau Bali yang dimana waktu kedatangannya, pulau ini sedang terjadi wabah.

Orang-orang yang bersembahyang di Pura Dalem Solo terang Jero Mangku, banyak yang meminta keselamatan atau kesembuhan atas penyakit yang sedang dideritanya. Bahkan, selain Sesuhunan Keraton Yogyakarta, banyak orang-orang yang duduk di pemerintahan sering mengunjungi pura ini.

“Banyak di antara mereka yang datang merupakan orang yang berkuasa di bidang pekerjaannya kemudian memohon agar tampuk kekuasaannya langgeng. Selain itu, jika ada orang yang menginginkan sebuah jabatan, mereka akan melakukan persembahyangan di pura ini agar harapannya terwujud,” ujar Jero Mangku.

Ada satu keunikan yang dimiliki Pura Dalem Solo. “Jika ada salah satu warga desa yang melakukan upacara potong gigi, tidak perlu memanggil seorang balian (dukun). Cukup nunas tirta di Pura Dalem Solo, dijamin upacara tersebut lancar,” ungkap Jero Mangku.


Cagar Budaya

Pura Dalem Solo yang terletak di Desa Sedang, Badung Utara ini memiliki tiga benda yang telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Ke-3 benda tersebut yakni sebuah arca kecil setinggi 35 centimeter yang terbuat dari batu padas dengan sikap duduk yang disebut Virasana, sebuah arca pancuran yang menggambarkan seekor kepala naga dan sebuah Prasada yang dimana ornamen-ornamennya berbentuk relief serupa dengan bangunan abad 14.

“Penetapan ini berdasarkan Lontar Tattwa Catur Bhumi yang dimiliki pura ini,” ujar Jero Mangku yang juga menyebut tanggal 7 Januari 2004 sebagai penetapan resmi dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali sebagai benda cagar budaya.

Selanjutnya......

Memaknai Trisandhya melalui Pengucapannya

Sebuah mantram akhirnya hanya jadi kalimat biasa bila cara mendapatkan dan mengucapkannya tidak tepat. Padahal mantra itu jembatan penyeberang menuju keberhasilan. Ada sebuah proses untuk mendapatkan mantram, ada jalur serta cara-cara khusus pula untuk mendapatkannya, dan sebuah mantram telah memiliki ‘taksu’ bila diajarkan oleh seorang Guru yang mumpuni. Oleh karena itu ucapkanlah mantram dengan hati dan rasa, bukan sekadar formalitas, maka akan mendatangkan manfaat seperti yang diharapkan.
Kalimat di atas dikatakan oleh Rasa Acharya Prabhuraja Darmayasa pada workshop sehari tentang Trisandhya dan Kramaning Sembah dengan tema “Mengucapkan dan Memaknai Mantra dengan Hati” di ruang seminar Bank Indonesia lantai IV- Jakarta, Minggu 18 Desember 2011.

Acara diawali dengan bedah buku. Ada tiga buku baru yang diperkenalkan oleh Prabhu Darmayasa yaitu “Lentera Spritual”, sebuah buku yang berisi 18 artikel renungan. Buku kedua “Renungan Tahunan, Pembuka Cakrawala Spritual” yang berisi kumpulan renungan berbentuk seperti kata mutiara dari tahun 2003 hingga 2011, dan buku ketiga “Divine Love, Umbrella for All” yang dwi bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Salah satu artikelnya ditulis oleh seorang penekun Meditasi Angka dari Rusia, dr Lidia Ukhaneva.

Prabhu yang cukup fasih berbahasa Sanskerta membahas kata per kata serta cara-cara pengucapan mantra Trisandhya. Utamanya mantra Gayatri yang menjadi mantra pada bait pertama Trisandhya karena mantra Gayatri ini adalah mantra yang paling utama yang memiliki berkah luar biasa bagi yang melafalkannya. “Bila ingin membuktikan kehebatan mantra Gayatri ini cukup membacanya dengan baik dan benar sebanyak jumlah dan waktu tertentu serta berpantang makan daging, niscaya semua kegelisahan, sakit dan stres akan hilang tanpa perlu ke dokter atau psikiater, “ papar Prabhu di hadapan peserta seminar yang datang tidak hanya dari wilayah Jabodetabek tetapi juga dari Bandung, Banten dan Cirebon.

Dalam workshop yang digelar oleh Yayasan Dharma Sthapanam bekerjasama dengan Bank Indonesia ini, Prabhu menekankan bahwa pembacaan Trisandhya yang diungkapkan itu bukan membenarkan atau menyalahkan yang ada selama ini. “Saya hanya ingin mengajak untuk bersama-sama mencari yang lebih baik dari yang kita lakukan selama ini, karena akan lebih baik bila kita bisa mengucapkan dengan lebih benar berdasarkan penulisan dan pengucapannya.” Dengan sebuah iringan musik instrumentalia yang diaranseman khusus, peserta pun diajak untuk melafalkan beberapa bait sloka. Semua tampak antusias karena sloka itu mengalun dengan ringan bercengkok khas sehingga siapa pun bisa menirukan dengan baik. “Saya suka dengan acara yang langsung praktik seperti ini daripada mendengarkan teori sana-sini, lantas berdebat ramai,” ujar Agung, mahasiswa yang datang bersama teman-temannya.

Untuk sekadar membuka wawasan bagi yang hadir bagaimana melafalkan dengan spelling Sanskerta itu Prabhu menayangkan beberapa video singkat, mulai cara pengajaran sekarang ini hingga yang kuno di mana untuk mengetahui panjang pendek bacaan ditandai dengan gerakan tangan.

Sebelum mengupas satu persatu lafal mantram Trisandhya, Prabhu sempat menyinggung tentang waktu paling tepat untuk melaksanakan sembahyang Trisandhya khususnya di pagi hari yang disebut dengan Brahma Muhurta.

“Brahma Muhurta atau detik-detik sambungan waktu yang secara logika spiritual sangat penuh ‘stroom’. Kita tidak perlu usaha keras tapi ‘charging’ kita langsung terhubung dengan Yang Maha Kuasa lebih cepat. Oleh karena itu dalam tradisi leluhur kita saat senja, misalnya, tidak boleh keluar rumah tapi ingat Tuhan atau saatnya mendekatkan diri pada Tuhan. Itulah makna yang harus diresapi saat ini,” urainya.

Waktu tersebut adalah pada pagi hari ketika kita masih bisa melihat bintang-bintang di langit (sanaksatram), siang hari ketika matahari tepat di atas ubun-ubun (madhya bhaskaram) dan senja hari ketika matahari belum tenggelam (sasuryam pascimam). Bila lewat dari waktu-waktu tersebut sudah tidak lagi memiliki makna istimewa untuk bertrisandhya, walaupun Trisandhya tetap dapat dilakukan dan tetap ada manfaatnya. Beliau pun mengumpamakan seorang anak yang mengerjakan tugas rumah, ketika waktunya dikumpulkan dia tidak mengumpulkan tugasnya, tapi molor. Meski hasilnya bagus, tetap saja sang anak tidak dapat memiliki nilai dari tugas yang menjadi kewajibannya. “Jadi kalau bisa ber-Trisandhyalah tepat waktu, toh dalam tuntunan agama kita ada cara-cara sederhana bila kita tidak bisa melakukan Trisandhya secara sempurna.”

Acara workshop ini sebagai bagian kegiatan CSR (Company Social Responbility) Bank Indonesia seksi kehoranian Hindu yang dua tahun terakhir ini sudah beberapa kali mengundang Prabhu Darmayasa sebagai pembicara.. Menurut K Wartika, Deputi Direktur Sistem Informasi Bank Indonesia, acara seperti ini selalu ditunggu umat Hindu, apalagi bahasan-bahasan yang disampaikan Prabhu Darmayasa ringan namun mengena di hati. Pada kesempatan akhir acara, Ny Wartika mendapat berkah khusus berupa kain suci warna kuning keemasan yang dipakai oleh Prabhu. Saat menerimanya Ny Wartika sempat menangis terharu karena beliau merasa mendapat berkah yang luar biasa. “Saya tidak menyangka...,” katanya.

Sementara itu menurut Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN), I Gusti Ngurah Suyadnya, kajian ini sangat strategis sebagai tahap awal mengenali rambu-rambu dharma dengan lebih jelas lagi, sehingga dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan baik bukan membebani. Acara yang didukung oleh anggota Hdnet, PLN dan PSN ini dibuka secara resmi oleh Kombes Pol I Ketut Wardana SH, Ketua PHDI DKI Jakarta.

Dalam sambutan singkatnya, Ketua PHDI menyatakan kegembiraannya atas diselenggarakannya acara seperti ini karena pengetahuan tentang hal ini “tidak dipunyai”. “Bila di tentara atau kepolisian setiap tindakan ada prosedurnya, mulai dari baris-berbaris hingga langkahnya, kita selama ini tidak mempunyai SOP (Standard Operational Procedure) dalam pengucapan mantra Trisandhya. Oleh karena itu, dengan adanya acara ini kami bisa lebih paham bagaimana mengucapkan mantra Trisandhya dan Kramaning sembah dengan lebih baik lagi,” ujarnya.
(oentari)

Selanjutnya......