Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Benang Tri Dathu sebagai Simbol Omkara dan Proteksi Gaib


Krama Bali Hindu sudah biasa memakai benang tri dathu sebagai gelang. Sebagai aksesoris ia kelihatan unik dan antik, namun lebih jauh dari itu benang ini memiliki nilai filosofis yang dalam dan diyakini memiliki power magis. Bagaimanakah keberadaan piranti spiritual ini secara menyeluruh.

Tri berarti tiga dan dathu berarti elemen atau warna. Jadi tri dathu adalah tiga warna yang terdiri dari merah, hitam dan putih sebagai lambang Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa). Tiga warna ini biasanya digoreskan pada tiang-tiang bangunan rumah, pura dan sebagainya pada saat membuat upacara pemlaspas, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyucikan dan peresmian bangunan. Maksudnya untuk menjaga penghuninya supaya memperoleh kerahayuan dan segala bhuta kala yang hendak mengganggu dapat diredam. Demikian penjelasan Ketut Gina, dalam bukunya yang berjudul “Gambar dan Lambang.”

Warna yang dipakai pada tiang bangunan atau tempat suci biasanya berasal dari darah binatang yang disembelih sebagai hewan upacara, sebagai warna merah. Kemudian warna putihnya diperoleh dengan menggoreskan kapur sirih, sedangkan warna hitamnya berasal dari arang kayu.

Kehadiran lambang dan simbol dalam upacara Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari praktik tantrik yang mengusung power atau sakti sebagai wadah. Tidak salah kemudian bila tiga warna ini memang dominan fungsinya untuk kepentingan magi, dalam hal ini magi protektif, sebagai pelindung.

Sejarawan, Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum, pernah mengungkapkan, bahwa warna merah, hitam dan putih yang dipandang sakral oleh umat Hindu sebenarnya berasal dari kebudayaan asli Nusantara, di mana ketiga warna tersebut dipercaya bernilai magis. Namun setelah budaya Hindu masuk Nusantara, ketiga warna ini diberi pemaknaan baru dengan filsafat Hindu, yaitu konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu, Iswara (Siwa).

Kemudian bagaimana pemanfaatan tiga warna tersebut (tri dathu) untuk manusia? Jelas memang, untuk manusia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan bagaimana pemanfaatan warna-warna sakral itu pada bangunan maupun hewan. Bila untuk ngurip maupun melindungi bangunan baru atau bangunan suci dari vibrasi negatif, maka warna sakral itu dioleskan pada bangunan, sedangkan pada manusia digunakan sebagai gelang benang tri dathu.

Benang diikatkan pada lengan, maksudnya, mengikat atau melindungi urip atau hidup seseorang, karena benang tiga warna ini selain bermakna kemanunggalan Brahma, Wisnu dan Iswara, juga bermakna manunggalnya bayu, sabda dan idep, yang berarti jangkep-nya sang mahurip. Dari sisi magis, ketiga warna ini mewakili aksara Ang, Ung, Mang. Ketiganya manunggal menjadi aksara Om. Nyatalah benang tri dathu merupakan sebuah mantra sakti, Omkara nada sebagai pelindung.

Selaian itu, pemakai benang tri dathu diharapkan membawa vibrasi baik bagi pikiran pemakai benang tri dathu. Benang tri dathu disebut juga dengan benang tetebus. Ketut Donder dalam bukunya “Panca Dhatu, Atom, Atma dan Animisme” mengungkapkan, benang tri dathu kerap digunakan saat upacara Manusa Yadnya serta pada upacara abhayakala (biakawon) pada hari raya Galungan.

Benang warna merah biasanya dililitkan pada pergelangan tangan, benang hitam dililitkan pada kaki dan benang warna putih disuntingkan pada telinga. Fungsinya untuk menenangkan pikiran, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif.

Ada kalanya yang dipakai adalah benang empat warna atau catur dhatu: putih, merah, hitam, kuning. Selain dipakai masyarakat, pemakaian empat warna juga nampak di sanggar agung, Besakih yang merupakan sthana Tuhan dalam manifestasi Wisnu, Brahma, Siwa dan Mahadewa. Empat warna benang ini juga bisa menyimbolkan catur loka pala, yaitu Indra, Baruna, Kuwera dan Yama. Apa pun itu, warna-warni tersebut selain memiliki arti filosofis dan secara etika indah sebagai gelang, juga berintikan kekuatan magis sebagai pangraksa jiwa pemakainya. Dan zaman modern ini pun telah diketahui secara ilmiah bahwa berbagai warna memiliki pengaruh kesehatan tertentu bagi organ-organ tubuh.

Penolak Wabah

Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Bali tentang keyakinan terhadap grubug atau wabah menjelang sasih Kanem dan Kapitu. Pada seputar kedua sasih inilah akan banyak dijumpai krama Bali mengenakan benang tri dathu di pergelangan tangannya.

Menurut Jro Mangku Oka Swadiana dari Kerobokan, Badung, pemakaian benang tri dathu bagi sebagian orang diidentikkan dengan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling yang bersthana di Pura Dalem Ped. Dengan memakai benang tersebut orang-orang percaya bakalan dijauhkan dari gangguan ancangan Bhatara Dalem Ped, manakala ancangan beliau melawat di tengah-tengah masyarakat Bali antara sasih Kanem dan Kapitu.

Bagi Jro Mangku Oka, melawatnya ancangan Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengadakan evaluasi terhadap perilaku krama Bali. Pada masa-masa itu, konon mereka yang tergolong jadma tan pa kerthi (orang yang tidak berbhakti kepada Tuhan) akan menerima hukuman dari para ancangan tersebut.

Ciri-ciri mereka yang diganggu ancangan Bhatara Dalem Ped, seperti bingung, bengong, gundah gulana, sakit dan penderitaan lainnya. Sebaliknya, bagi krama yang sudah menunjukkan sradha bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta semua manifestasiNya, maka semua ancangan tersebut tidak akan menyentuhnya.

Masih menurut Jro Mangku Oka, ada kalanya benang tri dhatu dilengkapi dengan pis bolong, bawang putih, mesui dan jangu. Dalam hal ini pis bolong sebagai simbol kemanunggalan dengan alam luhur (dewata), kesuna berwarna putih sebagai simbol Dewa Iswara (Siwa), dan mesui dengan karakter panasnya mewakili sifat Dewa Brahma, dan jangu yang sejuk sebagai simbol karakter Dewa Wisnu.

Benang tri dhatu dengan kandungan benda-benda tersebut biasanya dikenakan saat wabah menerjang di suatu wilayah. Tambahan mesui, kesuna, jangu dan pis bolong ini untuk memperkuat getaran magis benda tersebut, sehingga fungsinya semakin optimal. Tapi, benang tri dathu yang dilengkapi dengan pis bolong ini tidak melulu dipakai sebagai gelang, karena ada kalanya digunakan sebagai kalung sebagai sikep atau pangraksa jiwa.

Berdasarkan praktik di tengah masyarakat, benang tri dathu merupakan satu kesatuan dengan upacara. Ia merupakan bagian dari bebantenan, sehingga secara langsung benda ini dimohonkan kekuatan dari Ida Bhatara, sehingga memiliki power khusus. Jadi, tidak perlu pasupati khusus untuk bebang tri dathu, asalkan benang itu dibuat sebagai bagian bebantenan. Namun beberapa pengobat tradisional yang mengobati pasiennya, ada kalanya memberikan benang tri dathu pada pasiennya. Menurut Jro Mangku Oka, benang tri dathu jenis ini umumnya memerlukan pasupati khusus, supaya memiliki power penjaga, dan penyembuh serta pengusir roh-roh jahat. Berapa lama tuah benang tri dathu ini bekerja? Menurut Jro Mangku, power magis benang tri dathu akan terus bekerja selama benang itu masih melekat di badan dan fungsinya akan selesai bilamana benang itu lepas secara alamiah maupun sengaja dilepaskan.
Putrawan

Selanjutnya......

TRI DATU JALINAN BENANG PENUH MISTERI

I Gede Wiratmaja Karang


Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi. Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikut-ikutan trend, paica atau banyak lagi.

Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam. Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa.

Jalinan benang ini benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan. Semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajña dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Upacara Dewa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Dalam upacara Butha Yajña, benang Tri Datu dipakai pamogpog atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara Rsi Yajña juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Pada upacara Manusa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. Sedangkan pada upacara Pitra Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal.

Hakikatnya benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya. Tri Murti merupakan tiga kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, yang terdiri dari tiga Dewa utama, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa Brahma sebagai pencipta alam beserta isinya yang disebut utpeti. Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam beserta isinya yang disebut sthiti. Dan Dewa Siwa sebagai kekuatan mengembalikan alam beserta isinya pada asalnya yang disebut pralina. Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Zat Abadi adalah sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi yang disimbolkan dengan Tri Murti dan diaktualisasikan dengan benang Tri Datu. Memakai benang Tri Datu diharapkan umat Hindu dapat memfungsikan Tri Pramana. Tri Pramana berarti tiga unsur yang menyebabkan terjadinya suatu kehidupan. Tri Pramana terdiri dari bayu, sabda dan idep. Tumbuhan hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, binatang memiliki bayu dan sabda. Sehingga binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang, dan mengeluarkan suara. Sedangkan manusia memiliki bayu untuk tumbuh dan bergerak, sabda untuk bersuara, dan idep agar dapat berpikir sehingga bisa memilah benar dan salah, baik atau tidak baik. Penyatuan Tri Pramanan inilah merupakan jalinan kuat serta satu kesatuan utuh yang disimbolkan dengan benang Tri Datu.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna diantara ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia berasal dari kata Manusah, yang berakar dari kata Manu yang berarti kebijaksanaan, dan sah berarti mempunyai. Sehingga Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia, yaitu bayu, sabda dan idep, yang dikenal dengan istilah Tri Pramana. Tri Pramana inilah yang perlu dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Bertujuan agar manusia menjadi lebih bijaksana, dan menjadi manusia yang sempurna. Makhluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja, yaitu kemampuan bergerak atau bayu dan kemampuan bersuara atau sabda.

Kitab Sarasamusccaya menyatakan, bahwa manusia wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi makhluk yang utama. Oleh karena itu gunakanlah kesempatan hidup sebagai manusia yang sempit ini dengan sebaik-baiknya. Karena kelahiran sebagai manusia sungguh sangat sulit diperoleh. Lakukanlah segala sesuatu yang baik untuk mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan. Gunakanlah kelahiran sebagai manusia ini untuk mencapai moksa. Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain, oleh sebab itu gunakan akal budi untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat hidup dengan lebih baik.

Memahami konsep Tri Pramana akan menjadi penggerak konsep Trikaya Parisudha. Trikaya Parisudha berdasarkan etimologinya berasal dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan atau prilaku, dan Parisudha berarti upaya penyucian. Trikaya Parisudha berarti upaya pembersihan atau penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku. Tri Kaya Parisuda merupakan tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci disebut dengan Manacika, berkata yang baik dan benar disebut dengan Wacika, dan berbuat yang jujur adalah Kayika. Trikaya Parisudha merupakan konsep dasar manusia dalam hidupnya.

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha sebagai aktualisasi diri ini, diharapkan umat Hindu mulai sadar akan jati dirinya. Salah satunya dengan cara introspeksi diri atau dengan istilah mulat sarira. Dengan adanya introspeksi diri ini diharapkan umat Hindu dapat hidup sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu yang satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan. Umat Hindu akan sadar bahwasannya ini adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan hanyalah sebagian kecil alam semesta. Dengan mengingat-Nya, menjalankan ajaran-Nya ada kerinduan manusia untuk kembali pada-Nya.

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha menuntun umat Hindu akan jati dirinya. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya menjadi lebih baik. Walau tidak mudah, tetapi lebih baik berdiri dari pada duduk, lebih baik berjalan dari pada berdiri, lebih baik berlari dari pada berjalan. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi manusia kelahiran tua. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi atman yang rindu akan asalnya. Benang Tri Datu, Tri Murti, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha, dan tri-tri yang lainya merupakan jalinan penuh misteri dan mesti diuraikan.

Selanjutnya......

PEMAKAIAN BENANG SEBAGAI TANDA PROSES KEHIDUPAN

Wayan Miasa


Berbicara mengenai tanda-tanda yang dipakai sebagai penanda dalam kegiatan ritual keagamaan, bisa dikatakan bahwa agama Hindu memang sangat kaya dalam hal tersebut. Misalnya dalam agama Hindu ada gambar-gambar tertentu yang menyatakan senjata para dewa, warna-warna tertentu yang menyatakan arah mata angin menurut Hindu, dan tanda-tanda lainnya.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa dari tanda-tanda keagamaan yang ditunjukkan seseorang kita sudah dapat menebak dari warga mana mereka tersebut. Misalnya para pemuja Siwa, biasanya mereka memakai Rudraksa sebagai ciri khasnya, sedangkan bagi warga pemuja Wisnu tanda yang paling mencolok yang bisa dilihat adalah tanda “Sika” kuncir di belakang kepala, mereka memakai “Kunti mala” kalung dari kayu tulasi, serta tanda-tanda lainnya.

Khusus dalam kegiatan keagamaan di Bali serta wilayah Nusantara umumnya, di mana Hindu pernah berkembang, masyarakatnya juga memiliki tanda khusus yang sering dipakai dalam kegiatan ritual, khususnya pemakaian benang suci. Dilihat dari jenis benang yang dipakai, ada berbagai nama benang suci yang dipakai oleh masyarakat kita, seperti “benang tetebus”, “benang pepegat”, “benang suci tanda brahmana”, “benang tri datu”, serta jenis benang-benang lainnya.

Menurut tradisi masyarakat Bali, pemakaian benang tersebut erat hubungannya dengan ritual tertentu, seperti saat acara matepung tawar, otonan, padiksan, odalan serta ritual lainnya. Bagi warga kebanyakan, memakai benang suci tersebut merupakan suatu acara seremonial tanpa perlu menanyakan apa maksud yang dikandung dalam pemakaian benang tersebut.

Menurut pendapat penulis, bahwa memakai benang suci itu bukan sekedar memakai seutas tali, namun ada makna yang lebih dalam dari pemakaian benang tersebut. Benang adalah cerminan suatu proses pematangan diri untuk menuju suatu kehidupan yang berguna dan suatu jalanan yang saling mengikat dan mengisi satu sama lain. Seperti proses pembuatan benang yang berasal dari kapas, sebelum menjadi benang kapas tersebut harus dipintal agar kita mendapatkan benang. Setelah mendapatkan benang, maka kita dipersilakan lagi mememakainya sesuai dengan kebutuhan kita, apakah mau dipakai untuk menyulam atau ditenun untuk dijadikan kain dan lain sebagainya.

Mengenai nama-nama benang yang dihasilkan dari proses pemilinan tersebut tergantung dari pesan yang kemudian ingin disampaikan sesuai imaginasi seseorang. Misalnya benang tridatu atau benang tiga warna melambangkan proses bersatunya tiga kekuatan yang diwakili oleh warna benang tersebut, misalnya hitam mewakili aspek dewa Wisnu, merah mewakili aspek kekuatan Brahma, putih mewakili manifestasi Dewa Siwa. Melalui benang tiga warna ini, masyarakat ingin menyatakan bahwa mereka itu memuja tiga manisfestasi kekuatan dewa berdasarkan prinsip Tri Murti. Bahkan bisa juga diulas lebih lanjut bahwa warna benang tri datu: hitam, merah, warna keemasan memiliki arti yang lain. Misalnya warna hitam melambangkan kesuburan, warna merah berarti darah, kekuatan atau tenaga , dan warna kuning keemasan melambangkan kemuliaan.

Dalam merayakan “otonan”, perayaan hari kelahiran berdasarkan siklus wuku dimana hari terus tersebut terulang setiap 210 hari, mereka yang natab banten otonan akan diberikan benang “tetebus”, benang yang harus dituntaskan. Tetebus berarti lunasi, atau tuntaskan. Jadi makna filosfis benang tetebus tersebut adalah, jika kita mengerjakan sesuatu seharusnya dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan. Artinya apa pun yang yang kita mulai seharusnya diselesaikan secara sempurna bagaikan orang memilin benang tetebus tersebut, semua diproses dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.

Berbeda lagi pesan yang disampaikan dalam “benang pepegat” saat orang melakukan perpisahan khususnya dalam upacara Pitra Yadnya. Para tetua mungkin ingin menyampaikan bahwa kita ini memang terikat seperti benang, antara satu dengan lainnya, namun bila waktunya kita sudah harus berpisah atau melepaskan perikatan terhadap dunia material, maka orang seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai proses yang tidak dihindari dalam kehidupan manusia normal. Perpisahan bukan berakhirnya suatu proses, namun perpisahan adalah awal dari proses kehidupan baru.

Bisa dikatakan, bahwa makna pemakaian benang suci tersebut tergantung dari jenis aktivitas ritual yang dilakukan dan benang tersebut menyiratkan makna kepada manusia, bahwa kita seharusnya dalam hidup ini mengalami proses pematangan, sehingga terlahir generasi yang bisa saling bersatu dengan yang lainnya. Namun jika pemakaian benang suci tersebut tidak dimaknai secara serius, maka pemakaian benang suci dalam kegiatan ritual tak ubahnya bagaikan orang mendengarkan music rock keras yang berlirik bahasa Inggris, terdengar keren namun kita tidak tahu dengan jelas artinya.

Begitu juga dalam kehidupan ritual orang Bali, mereka banyak merayakan upacara, rela mengorbankan waktu namun, memakai banyak simbul. Namun bila makna yang disampaikan dalam kegiatan tersebut tidak bisa ditelaah secara sempurna, maka hal itu kurang bermakna dan manfaatnya pun kurang.

Dalam kehidupan beragama kita mewarisi banyak petuah yang harus dicerna dan perlu dikaji secara mendalam untuk mengerti makna yang tersirat dalam tanda atau lambang yang digunakan dalam ritual tersebut. Para tetua kita dalam praktek kehidupannya tidak bergulat dengan aktivitas penghafalan sloka-sloka buku suci, namun lebih mewujudnyatakan ajaran itu dalam tindakan nyata. Sehingga tidak mengherankan bila kita diwariskan begitu banyak tanda-tanda keagamaan yang seharusnya kita perdalam maknanya, agar kita memahami cara ritual masyarakat kita di jaman dulu.

Bila kita dalam kegiatan berspiritual hanya mendasarkan diri pada suatu proses “prejani” tanpa mau belajar dari simbol-simbol yang dipakai dalam kegiatan ritual, maka kita akan hanya menjadi selebriti pada kegiatan spiritual, semua ditampilkan dengan meriah, mewah namun semua datang dan pergi tanpa kesan. Hal ini seperti juga mulai menjangkiti kita dalam beritual, karena pengaruh jaman global maka kebijaksanaan leluhur kita yang dulunya menyiratkan pesan-pesan filosofi, sekarang digantikan dengan gaya persembahan modern. Akibatnya, kini jarang terjadi suatu proses “komunikasi” dengan alam di mana kita berpijak.

Hal tersebut kita bisa lihat sekarang di kehidupan masyarakat yang ekonominya sudah mapan, seperti dalam merayakan hari kelahiran. Banyak di antara mereka tidak lagi merayakan otonan-nya, namun lebih berdasarkan kalender modern, sehingga pemakaian benang tetebus, benang tridatu hampir tidak ada lagi. Mereka lebih senang merayakan hari kelahirannya dengan pola “prejani” itu, sehingga mereka lebih hafal dengan istilah “Burgerking”, “Fried Chicken”, “French Fries”, dan hal-hal prejani (instant) lainnya. Karena mereka tidak mendapatkan ajaran filosofis yang terkandung dalam benang, maka semua mereka lakukan dengan prejani.

Ketika mereka ingin memiliki kendaraan, mereka cenderung lakukan secara cepat dengan menjual tanah warisan. Begitu juga tentang bahan persembahan yang dihaturkan untuk upacara mereka cenderung memakai produk dari luar Bali, sehingga ibu pertiwi Bali terabaikan. Jadinya jarang ada proses pelestarian terhadap tanaman Bali, seperti tanaman sentul, mundeh, dau, gunggung, juwet, dan yang lainnya.

Sebelum hal lebih parah terjadi marilah kita bercermin dari pemakaian benang suci atau tali suci itu, biarkanlah kita mengalami suatu proses yang susah untuk mencapai suatu tujuan, seperti apa yang dialami benang itu. Jika kita tidak mau mendalami makna benang suci itu, maka bukan tidak mungkin suatu saat kita ganti benang suci itu dengan tali plastik, atau bagi yang berada bisa saja mengganti benang suci itu dengan untaian gelang emas, kalung emas dan lain sebagainya.

Marilah kita jadikan benang suci sebagai penanda keterikatan kita terhadap agama kita, persatuan di antara warga Hindu, dan berlindung kepada kekuatan tridatu yang melambangkan kekuatan dewa Tri Murti. Semoga saja nantinya kita semakin sadar bahwa kegiatan beragama atau berspritualitas kita semakin kokoh, terpilin seperti benang suci tersebut, saling terikat satu sama lainnya untuk menyatukan dirinya agar berguna pada kehidupan ini.

Selanjutnya......

Pentingnya Yajna Upavitam Bagi Brahmacari

I Ketut Sandika


Veda merekomendasikan tahapan kehidupan ideal yang disebut dengan catur asrama dharma. Keempat tahapan kehidupan ini merupakan lapangan kehidupan yang hendaknya seseorang lalui, mulai dari tahapan awal yang disebut dengan brahmacari (masa menuntut ilmu), grehasta (masa berumah tangga), vanaprastha (masa dimana sedikit demi sedikit melepaskan kehidupan duniawi), dan masa sanyasin (masa sudah secara totalitas melepaskan diri dari ikatan duniawi).

Di antara keempat tahapan kehidupan tersebut, kiranya penting untuk dipahami bahwa tahapan brahmacari merupakan tahapan yang paling menentukan untuk seseorang dapat melewati tahapan kehidupan berikutnya. Mengapa demikian? Karena masa brahmacari ini adalah masa pembekalan diri dan masa pengisian diri untuk seseorang dapat menjalani tahapan selanjutnya. Brahmacari secara konseptual dapat dimaknai sebagai masa dimana seseorang hendaknya menuntut ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan yang bersifat sains maupun spiritual. Pengetahuan inilah yang pada nantinya akan dijadikan pijakan untuk memasuki tahapan berikutnya. Pada masa ini pula seseorang hendaknya membentuk karakter dirinya untuk menjadi mulia, sebab pada saat tua nanti sangat susah membentuk karakter karena beban kehidupan yang banyak dan ketajaman intelek sudah mengalami ketumpulan.

Demikian pentingnya masa ini, sehingga dengan demikian pergunakanlah masa brahmacari ini sebaik-baiknya. Dan senada dengan itu Sarasamuccaya 27 menekankan bahwa “Hendaklah digunakan sebaik-baiknya masa muda, selagi badan sedang kuatnya hendaklah dipergunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilmu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi”.

Sebelum seseorang memasuki masa brahmacari ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan. Menurut karma kanda Veda seseorang yang akan memasuki bramacari hendaknya terlebih dahulu melewati ritual Upanayana Samskara (Upacara Kelahiran Spriritual). Secara harfiah Upanayana dapat diterminologikan bagaimana seorang anak mendekatkan diri kepada guru, karena upanayana secara etimologi kata berasal dari kata “Upa” berarti dekat dan “nayan” berarti membawanya. Demikian juga dapat dimaknai upanayana, yakni duduk dekat kaki guru, agar mendapat berkah pandangan kebijaksanaan. Dalam upanayana inilah kewajiban guru memberikan benang suci yang disebut dengan Yajna Upavitam/Yajnopavitam dan mentasbihkan dengan memberikan Gayatri Mantram sebagai tanda si murid menjadi seorang dwija (kelahiran kedua).

Benang suci atau Yajnopavita, terdiri atas 3 utas benang yang berwarna putih, merah, dan hitam yang dijalin bersama-sama. Sesungguhnya mengacu pada pendidikan Veda tidak sembarangan murid berhak menerima benang suci. Benang suci ini hanya boleh diberikan kepada murid yang benar-benar memiliki kemauan kuat untuk berguru dan memiliki sikap guru bhakti serta kualifikasi lainnya.

Pemberian benang suci atau Yajnopavitam dari guru kepada murid bukanlah hanya sekedar simbolik semata, akan tetapi di balik semua itu terkandung nilai filsafat yang dalam. Pemberiaan benang suci tersebut menandakan, bahwa adanya ikatan antara guru dan murid. Ikatan yang dimaksud tidak saja ikatan secara fisik akan tetapi ikatan rohani yang selamanya tidak akan terlepas kendatipun pada akhirnya murid meninggalkan guru. Benang suci itu pula menandakan suatu makna yang dalam, bahwa guru dalam pandangan murid adalah orang tua yang harus dilayani, mematuhi perintah guru tanpa bantahan dan kesangsian. Seperti layaknya orang tua, guru hanya akan memberikan yang terbaik untuk muridnya. Dan selayaknya juga orang tua, seorang guru seharusnya menyayangi murid-muridnya seperti orang tua sayang pada anaknya. Selain itu, pemberian benang suci ini secara fundamental bertujuan agar supaya murid selalu diingatkan untuk menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan dengan baik agar tidak mengalami stagnasi rohani.

Tiga helai benang suci itu mengandung arti, bahwa murid terlahir ke dunia ini memiliki visi dan misi untuk melayani guru, para deva dan leluhur dengan penerapan disiplin bhakti. Untaian upavitam (benang suci) ini hendaknya murid taruh di bahu dan upavitam ini akan memberikan umur panjang dan cahaya rohani kepada murid, seperti dalam mantram Paraskara Grhasutra 2.2. 11 berikut: “Om,Yajnopavita yang sangat suci yang telah ada sejak zaman dahulu yang sama dengan Dewa Prajapati. Benang tersebut dapat memberikan umur panjang dan membawa ke masa depan. Letakkanlah di atas bahumu. Semoga Yajnopavita tersebut memberikan kekuatan dan cahaya. Wahai anak, kamu sebenarnya adalah Yajnopavita itu sendiri. Aku dekat denganmu melalui Yajnopavita tersebut.”

Pemberian benang suci ini berarti murid sudah siap menerima pengetahuan Veda maupun pengetahuan lainnya. Sistem pendidikan Veda menekankankan pentingnya pada masa bramacari untuk melakukan Upanayana yang di dalamnya terdapat ritual pemberian benang suci (Yajnopavita), sebab pendidikan Veda beranggapan, bahwa lebih dini seorang anak mempelajari Veda, maka lebih cepat mereka mengetahui tentang dharma atau kebenaran, untuk membentuk rohani mereka.

Yajnopavita bagi sang brahmacari adalah penting sebagai sebuah pemaknaan bahwa brahmacari hendaknya mampu mengikat kecendrungan indria-indria yang menyebabkan distraksi. Namun, sungguh disayangkan pendidikan Hindu sekarang tidak memperhatikan hal tersebut. Ironinya adalah Upanayana Samskara yang didalamnya ada prosesi Yajnopavita dianggap bentuk ritual keindia-indiaan. Sebenarnya prosesi tersebut mengandung makna yang dalam yang relevan diaplikasikan dalam pendidikan modern. Murid atau siswa sekarang memakai benang suci adalah kiranya tepat sebagai sebuah tanda, bahwa para murid sudah siap menerima pengetahuan dan sebagai tanda makna untuk selalu diingatkan bahwa ada nilai-nilai di balik mereka menggunakan itu. Daripada mereka menggunakan asesoris modern yang lebay. Zaman memang sudah berubah, tetapi hendaknya nilai-nilai dalam Yajnopavita tidak serta merta dilupakan begitu saja, terlebih hal tersebut tersurat dalam Veda. Apakah kita mau hal-hal tertentu yang mengandung nilai filsafati tinggi dalam Veda digunakan bahkan diklaim umat lain? Seperti penggunaan japa mala dan yang lainnya.

Selanjutnya......

Benang Suci Tanda Komitmen di Jalan Rohani

I Nyoman Suamba

Dalam upacara agama Hindu, Khususnya adat di Bali sering kita temukan dalam acara-acara khusus terdapat upacara pengalungan benang suci atau upacara diisi dengan benang Tri Datu, yaitu tiga helai benang dengan ukuran tertentu yang berwarna Merah, Putih, dan Hitam. Kalau di Bali, merah disebut barak atau biying, Putih disebut Putih, sedangkan hitam disebut selem atau badeng. Seperti upacara panglukatan misalnya yang menggunakan benang Tri Datu. Biasanya benang tersebut di sematkan pada tangan seseorang atau dijadikan kalung dan diisi pis bolong.

Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, benang Tri Datu tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis, agar seseorang terhindar dari kesulitan. Benang Tri Datu juga diyakini sebagai simbol kwaca atau pelindung diri. Di samping itu bagi umat Hindu Simbol benang Tri Datu juga diyakini memberi vibrasi kesucian bagi si pemakai benang tersebut dan menandakan umat yang mengalungkan benang Tri Datu tersebut adalah sebagai tanda atau simbol pengesahan dalam melaksanakan ritual atau upacara pengelukatan.

Dalam kegiatan aguron-guron, seperti saat penerimaan seorang murid, maka akan dilakukan nama karanam dan setelah murid dianggap mempunyai kualitas, maka si murid akan diberi benang suci, yaitu diinisiasi atau di-diksa. Orang yang mendapatkan benang suci tersebut menurut aturan-aturan veda asrama ialah orang-orang yang terpilih, artinya mereka adalah orang-orang yang siap baik secara prinsif dan mengikuti aturan-aturan sastra. Dan tali suci itu sebagai sebuah tanda, bahwa seseorang tersebut dapat disebut sebagai seorang brahmana. Demikian juga dalam prakteknya, seorang diksita atau brahmana harus melaksanakan kewajibannya sebagai pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan dalam tatanan kehidupan rohani misalnya seorang brahmacari dan brahmacarini. Ia harus siap berpantang melaksanakan aturan-aturan daru guru spiritualnya, yaitu mengikuti aturan Guru siksa, dimana ia harus tahan terhadap penderitaan dan menjaga kesuciannya, yaitu dengan saucam, dimana ia harus jujur, tidak menipu dirinya sendiri, jadi pertapaan itu dilakukan untuk kebaikan dirinya bukan untuk orang lain. Demikian juga seorang brahmacari tidak boleh memikirkan tentang orang lain selain melayani Tuhan, apalagi berkata-kata untuk kepuasan indria sehingga prilaku kesucian tetap terpelihara dalam pertapaannya.

Demikian juga seorang grahasta yang sangat penting dalam memobilisasi berjalannya warna asrama dharma, karena para grahasta-lah yang harus bertanggung jawab memfasilitasi para brahmacari dan wanaprastha serta bhiksuka. Dalam posisi ini para grahasta harus menjaga ketat pertapaannya agar dia maju dalam kesadarannya. Dan grahasta diperbolehkan berhubungan seks hanya dimaksudkan apabila menginginkan adanya keturunan, selain itu dilarang.

Namun sekarang banyak di antara kita yang berusaha hidup rohani akan tetapi kesannya menabukan symbol-simbol tersebut. Misalnya banyak di antara kita memakai benang suci tersebut sebagai aksesoris semata atau sebagai variasi-variasi kehidupannya, agar nampak hidupnya suci namun melupakan atauran-aturan standar sastra. Fenomena tali suci yang bertujuan untuk dihormati dan terkesan suci, maka itu sama dengan penggunaan nama suci Gayatri saat ini. Dahulu mantram Gayatri adalah mantram yang khusus penggunaannya bagi para Brahmana untuk bisa mengangkat derajat manusia ke kesadaran yang tinggi, namun sekarang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh melihat pengucapan mantra tersebut didasari atas kualitas orang. Fenomena sekarang sudah tidak mempedulikan aturan-aturan pakai dari mantra dan benang suci tersebut sehingga benar-benar menunjukkan sebagai orang yang bonafide. Sekarang orang mengumbar nama suci tersebut tanpa memikirkan aturan standar dari penggunaan amantra dan benang suci tersebut.

Pemakaian tali suci di era modern ini tentu akan menjadi sangat relepan, bilamana hal itu menunjukkan kesungguhan hati pemakainya di dalam menggantungkan harapan dan ingatannya kepada Tuhan. Karena hanya peradaban rohanilah yang mengantar tiap jiwa ke jalan kebahagiaan sesuai teori kebahagiaan yang diamanatkan Sarasamuscaya, yaitu “Sukha” kebahagiaan dalam hidup ini menuju kebahagiaan hidup yang akan datang.

Selanjutnya......

BENANG TRI DATU SIMBOL SUCI YANG INDAH

I Nyoman Tika

Ketika kita melihat orang Hindu di Bali saat ini, maka semakin marak muncul identitas baru, selain memakai wija di dahi, banyak orang juga memakai benang tridatu, sebagai simbolis telah melalui prosesi tertentu. Apa yang bisa kita maknai dari pemandangan seperti ini? Adakah ini bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Sulit untuk menjawabnya dengan pasti.

Pemakaian benang tridatu, saya temui di keluarga saya pada kondisi, sebagai berikut. Pertama, saat gendongan (kulkul suci) peninggalan Kerajaan Klungkung bersuara. Kedua, ketika salah satu keluarga, pedek tangkil ke Pura Penataran Ped, di Nusa Penida. Ketiga, selesai mengikuti prosesi Agnihotra, yang dipimpin oleh Ida Rsi Agni Jaya Murti di Geriya Sampalan Kelod. Untuk yang terakhir ini sering Beliau lakukan di Bandung, kami alumni ITB, yang gandrung spiritual ketika itu, ikatan benang empat warna (merah, putih, kuning dan hitam) itu sangat membanggakan dan juga indah, di samping ada getaran kesucian dalam hati dan pikiran kami, yang memakainya.

Ida Rsi Agni Jaya Murti, memaknai penggunaan benang catur warna itu, melambangkan catur loka pala, dan energi yang mengitarinya berasal dari empat penjuru mata angin, begitulah makna yang selalu di Dharmawacanakan oleh Ida Rsi. Upacara agnihotra sangat disiplin dan konsisten hingga kini. Kami selalu mengenang dan mendapatkan pencerahan, ada semacam kerinduan di antara kami para alumni itu, yang kini menyebar ke seluruh Indonesia, kadang-kadang kami saling mngunjungi, dan datang untuk ikut sembahyang agniotra di geriya Sampalan Kelod, karena beliau sampai saat ini, sangat disiplin untuk konsisten melakukan yadnya Agnihotra, setiap purwaning tilem dan purwaning purnama.
Maraknya penggunaan benang tridatu, sebagai sebuah pertanda baru. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agama Hindu kaya dengan simbol. Simbol ini sebagai bentuk identitas untuk membedakan pada ordenary person (orang kebanyakan). Apa makna yang terkandung dari penggunaan atribut ini, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama sebagai simbul kesucian. Kedua, eksistensi keberadaan dengan komunitas lain. Ketiga, benang tridatu dapat penangkal mara bahaya.

Benang tridatu sebagai simbol kesucian. Kesucian itu muncul, karena pikiran orang yang memakai selalu teringat tentang aspek trimurti, warna putih, hitam dan merah (Brahma, Wisnu dan Siwa). Tuhan hadir dalam benak sebagai generation, organization dan destruktion (GOD).

Berkaitan pada simbol identitas agama Hindu, maka di era globalisasi, orang kini berpaling pada identitas kelompok, karena kini telah banyak muncul merk global yang menggilas identitas lokal, agar tidak kehilangan identitas. Dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol suci kerap mengatasi kegelisahan manusia untuk memaknai dirinya dalam konstelasi alam raya dengan ketuhanan yang melingkupinya, serta keterbatasan daya analisis manusia itu, menyebabkan manusia kemudian berfilsafat untuk memberikan pemuasan secara intelektual tentang apa-apa yang membuatnya gelisah. Filsafat Wedanta memberikan uraian tentang keterkaitan manusia dengan alam raya dan Tuhan dengan sangat indah dan cerdas. Ada empat statemen berkenaan dengan itu, yakni: Prajnanam Brahman, Tat Twam Asi, Atman Brahman aikyam, Aham Brahma Asmi. Keempat pernyataan agung itu merupakan intisari Upanisad, sebuah mutiara kehidupan yang paling lengkap yang dimiliki oleh peradaban Weda. Peradaban ini awalnya memang diturunkan dan dianut oleh komunitas manusia yang hidup di lembah sungai Shindu. Yang oleh orang-orang Barat disebut Hinduism.

Dalam ajaran yang demikian luas untuk mengekstrak menjadi identitas Hindu, sebenarnya sangatlah sulit, tanpa jiwa spiritual tumbuh dalam pencariaan itu. Weda dimaknai tiada berawal dan tiada berakhir, hanya dengan pemaknaan pada evolusi spiritual manusia dari Dwaita, ke Wisista Dwaita dan akhirnya ke Adwaita dapat menjawab kesulitan itu. Banyak ahli yang ingin menggali dan mengungkap sari pati Weda, namun mereka luluh karena tercerahkan. Max Muller satu diantara banyak sarjana Barat yang mengecap manisnya ‘nektar’ Weda. Inti sari Weda ternyata ditemukan bisa dibahasakan dengan untaian kata ini “memuliakan pengorbanan sebagai kebajikan tertinggi”, Na karmana na prajaya dhanena tyagenaikena amritatwamanasu” Keabadian hanya dapat dicapai dengan pengorbanan. Harta, keturunan, maupun perbuatan baik tidak dapat memberikan kekekalan.

Identitas Hindu seolah-olah dapat muncul di hati mereka yang tercerahkan. Perubahan karakter itu seolah-olah menjadi identitas Hindu, dan kata Hindu itu sendiri menjelma menjadi sebuah identitas menganggumkan, yaitu H (humanity, kemanusian ), I (Integrity, kejujuran), N ( nationality , kebangsaan), D (devotion, kebaktian), U (Unity, kesatuan).

Kemanusiaan berangkat dari pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Ciri ini memang sulit dipisahkan dari Hindu, yang cinta damai, tanpa kekerasan. Predikat cinta damai buat Hindu tetap ajeg sampai kini karena usaha yang tanpa pamerih dari orang suci (Yogi) untuk meningkatkan spiritual masyarakat untuk selalu bertahan di jalan dharma. Para Yogi inilah yang selalu mempertahankan dan penuh disiplin menggali ajaran suci dan memperbaharui penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara sekian banyak para yogi, guru suci dan ahli Weda dalam domain Hindu yang sangat luas, bisa disebutkan Swami Dr Vedavyasa, PhD, seorang president Yoga Brotherhood of Amerika (Inc) USA, menulis dalam bukunya Hinduism In The Space Age (1995, 47) “ A Universal Wisdom Science that is also a life disiplin for healty Harmonious and happy posterity”.

Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki esensinya kata Sartre. Dalam konsep itu nampaknya bisa bersinggungan manakala manusia tidak memiliki identitas yang membedakan dengan segerombolan manusia yang lain. Artinya, manusia tidak dapat didefinisikan. Manusia ialah apa yang dia pilih untuk menjadi. Karena manusia dapat menjadi apa saja, di depan manusia tersedia peluang yang tidak terhingga. Agama Hindu berdiri sebagai salah satu jalan untuk membawa manusia mengenal dirinya sendiri, hakekat dirinya sendiri (true the self). Dalam konsep itu, manusia memasuki tiga tahap, yaitu (1) estetik, (2) etis (3) religiutas.

Dalam hal religiusitas ini, banyak hadir para orng suci Hindu hadir semisal Ida Rsi Agni Jaya yang bertempat di Geriya Sampalan kelod ini, yang kerap hadir memberikan aksentuasi pada identitas Hindu. Di dimensi internasional, kita bisa melihat peran strategis Swami Sathya Narayana (Swami Sai Baba). Guru Suci ini selalu memberikan panafsiran terkini tentang ajaran suci Weda dengan bahasa yang mudah dicerna, dengan organisasi internasionalnya yang hampir meliputi 165 negara di dunia mengalirkan ajaran Weda bak air bah menyusup di lintas negara dan ras bangsa ke seluruh dunia.

Di samping itu, Sai Baba, juga memiliki sebuah payung pelayanan kemanusian yang diorganisir dengan nama: Sri Sathya Sai Seva Organitations yang bergerak memberikan pelayanan kemanusiaan dengan motto sederhana: Manava seva madava seva (melayani manusia adalah juga melayani Tuhan). Dengan prinsip dasar: Religious Tolerance seolah mengembangkan Hindu modern dengan identitas kemanusiaan yang sangat intens. Sevadal-sevadal-nya juga sering menggunakan tanda ikatan benang di tangan kanannya.

Selain itu, Sebuah Wacana Swami Sai Baba tentang Weda, yang membuat para ahli teosofi dan pencinta spiritual kagum adalah kemampuan untuk memberikan terminologi modern terhadap Hindu dalam buku “ Guide to Indian Culture and Spirituality, (ed. Kausalyarani Raghavan 1990, 99) menyebutkan : The essence of all Purana and Weda is : Do good to others and keep way from doing harm to others. Doing harm to others is great papa”

Seruannya yang selalu membuat orang tersentak adalah kemanisan di balik rangkaian kata yang sulit dicari bandingangnya “Love all religions and all nations. Recognise and accept all religion as paths leading men to the same destination. All of them peace and compassion, humanity and forbearance’ (Last Para Devine Discourse, p 248). Selain itu Beliau mengatakan: “Ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia: dhanya’ bahan makanan’ untuk memelihara badan dan dhyana ’meditasi’ untuk memasuki tempat kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaannya.” SriSathya Sai Saying (ed. Dr. D.R. Sadh Khandwa, 1988, 126).

Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan pada semua mahkluk. Om nama Siwaya****

Selanjutnya......

DESA PAKRAMAN WADAH VARNA ASRAMA DHARMA

Ketut Wiana


Istilah Desa Pakraman untuk pertamakalinya saya jumpai secara tertulis dalam Lontar Mpu Kuturan dengan teks sbb: Desa Pakraman winangun dening Sang Catur Varna manut linging Sang Hyang Aji. Artinya : Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna (Brahmana, Ksatriya,Waisya dan Sudra Varna) menurut ajaran kitab suci. Dari teks tersebut dapat dipahami, bahwa Desa Pakraman itu adalah wadah pengamalan ajaran Hindu. Karena untuk menyebutkan pustaka suci Weda dalam tradisi Jawa Kuna dengan sebutan Sang Hyang Aji. Dalam tradisi Hindu di Bali dan Jawa Kuna untuk menyebutkan sesuatu yang amat dihormat, apa lagi sesuatu yang sakral tidak dibolehkan menyebut namanya secara langsung, tetapi dinyatakan sebutan kehormatannya. Seperti Pustaka suci Weda disebut Sang Hyang Aji. Dengan dinyatakan Desa Pakraman itu dasarnya Sang Hyang Aji, artinya Desa Pakraman itu sebagai wadah atau lembaga umat Hindu untuk mengamalkan ajaran Hindu atau Weda Abyasa oleh umat Hindu.

Umat Hindu dikelompokan berdasarkan tahapan hidupnya menjadi Catur Asrama yaitu Brahmacari Asrama,Grhastha Asrama, Wanaprastha Asrama dan Sanyasin Asrama. Umat juga di kelompokan berdasarkan profesinya yang disebut Catur Varna.Ada yang berprofesi sebagai Brahmana varna,Ksatriya Varna,Waisya Varna dan Sudra Varna.Karena itu Desa Pakraman sebagai lembaga atau wadahnya Varna Asrama Dharma.Ini berarti Desa Pakraman Swadharma utamanya adalah menuntun umat Hindu untuk mengamalkan ajaran Catur Varna dan Catur Asrama.

Menuurt Mantra Yajurveda XXX.5 Catur Varna itu diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan Brahmana untuk melindungi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ksatria diciptakan oleh Tuhan untuk melindungan masyarakat, Waisya untuk kesejahatraan ekonomi dan Sudra untuk pekerjaan jasmani. Ditegaskan lagi dalam Manawa Dharmasastra I.31 dinyatakan tujuan Tuhan menciptakan Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra adalah untuk melindungi kebahagiaan dunia. Dalam Sloka tersebut dinyatakan dengan istillah “Lokawiwriddhyartham”. Artinya kebahagiaan dunia itu menyangkut keamanan dan kemakmuran. Desa pakraman seyogianya mengembangkan berbagai upaya agar tidak ada anggota krama desa yang tidak punya profesi. Kalau semua anggota krama desa punya profesi tidak ada anggota krama yang nganggur.

Ini artinya desa pakraman wajib mengembangkan pendidikan dan latihan ketrampilan bahkan sampai ada yang ahli. Ini artinya desa pakraman di samping langsung melaksanakan program untuk membangun anggota krama desa agar ada yang menjadi Brahmana melindungi masyarakat dengan merngembangkan ilmu Pengetahuan, baik Para Vidya maupun Apara Vidya artinya ilmu pengethauan rohani maupun ilmu pengetahuan duniawi. Dengan dua ilmu itu masyarakat akan memiliki pegangan untuk menuntun masyarakat membangun jiwa dan badanya secara seimbang. Dengan para widya masyarakat meningkatkan keluhuran moral dan daya tahan mentalnya menghadapi dinamika kehidupan yang semakin fluktuatif dan tidak mudah memprediksinya. Masyarakat perlu memiliki apara vidya atau ilmu duniawi untuk diaplikasikan menjadi ketrampilan dan keahlian.Tanpa ketrampilan dan keakhlian masyarakat sulit bersaing menciptakan dan merebut lapangan kerja yang terus berkembang. Kewajiban Brahmana Varna menurut pustakan suci bukan hanya memimpin Upacara Yadnya semata.

Para Ksatriya Varna melindungi masyarakat dengan membangun sistem sosial politik yang membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka bagi setiap orang dalam mengembangkan fungsi dan profesinya. Ksatriya Varna juga mempunyai kewajiban menciptakan sistem persaingan hidup yang sehat dan bermartabat. Tidak ada kemajuan dalam kehidupan bersama tanpa persaingan.

Kaum Waisya Varna mempunyai kewajiban untuk membangun sistim ekonomi untuk menumbuhkan kesejahtraan yang adil dan beradab. Sistem ekonomi yang adil dan bermartabat adalah sistem ekonomi yang tiang utamanya oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan oleh konglomerat untuk rakyat. Karena faktanya konglomerat hanya membuat rakyat semakin melarat. Dalam proses ekonomi kapitalis rakyat hanya menjadi alatnya konglomerat. Kaum Waisya harus bersama rakyat menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan produksi barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat Bukan menciptakan barang dan jasa yang mewah untuk memanjakan konglomerat.

Kaum Sudra membangun SDM yang sehat secara fisik dan psikologis. Dengan demikian dalam melakukan kewajiban tidak mudah lelah, sakit, bosan maupun putus asa. Orang yang sehat secara fisik dan psikologis, memiliki semangat kerja yang tinggi. Kehidupan ini tidak semata membutuhkan kecerdasan intelektual semata. Tetapi juga kesehatan fisik dan psikologis yang prima.

Demikianlah hal-hal yang semestinya dikembangkan oleh desa pakraman menurut acuan Lontar Mpu Kuturan dan Mantra Yajurveda dan juga pustaka Hindu lainya. Sayangnya masih banyak program desa pakraman yang tidak ”manut linging Sang Hyang Aji”.

Desa pakraman memiliki banjar sebagai bagian dari desa pakraman. Banjar anggotanya ada tiga, yaitu teruna-teruni, krama ngarep dan krama lingsir.Tiga kelompok ini tiada lain adalah kaum Brahmacari, Grhastha dan Wanaprastha. Karena dalam Agastia Parwa mereka yang telah mencapai Sanyasin tidak dibenarkan lagi hidup aktif bermasyarakat. Karena mereka yang Sanyasin kewajibanya hanya satu, yaitu melepaskan Sang Hyang Atma dengan tenang dari dirinya. Patilaring Atmeng tanupa guruken. Demikian dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra.V.1.

Program Banjar seyogianya mengarah pada penguatan fungsi Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama dan Wana Prastha Asrama. Banjar seyogianya menciptakan iklim hidup yang mampu memotivasi teruna-teruni sebagai Brahmacari menjadikan gemar belajar itu sebagai kebiasaan hidup, Grhastha semakin mampu mandiri. Karena ciri Grhastha adalah kemandiriannya. Seperti dinyatakan dalam Agastia Parwa: Grhastha ngarania yatha sakti kayika dharma. Artinya, Grhastha namanya mereka yang dengan kemampuan sendiri menjalankan Dharmanya. Sedangkan Vanaprastha adalah meraka yang berfungsi sebagai penasehat (Sawecana gegonta). Demikianlah desa pakraman sebagai wadah Varna Asrama Dharma.

Selanjutnya......

Hakikat Pendidikan Sejati adalah Memperbaiki Karakter

Dewi Inggita Manohara Duarsa-Jayapura

Apakah semua orang yang bisa membaca, menulis dapat disebut berpendidikan? Kemudian apakah manusia yang berpendidikan hanya karena ia meraih gelar? Ataukah pengajaran yang tidak membina keutamaan adalah sebagai pendidikan? Bila pendidikan hanya dianggap sarana untuk penghidupan, bukankah orang yang tidak mengenyam bangku pendidikan pun bisa hidup? Tujuan pendidikan bukan sekedar membuat siswa dapat membaca dan menulis; kemampuan yang mendasari pendidikan duniawi. Tujuannya adalah mencapai kemurnian dan ketuhanan. Pendidikan duniawi itu bersifat sementara. Hanya pengetahuan mengenai diri sejatilah yang abadi. Kesadaran diri sejati ini hanya dapat diperoleh dengan bakti dan kasih kepada Tuhan. Manusia lahir untuk memberi teladan kepada dunia, bukan untuk mengumpulkan harta. Uang membuat orang melakukan berbagai perbuatan yang tidak benar. Usahakan agar pikiran dan perasaanmu baik dan suci. Di manakah para raja zaman dahulu yang mengumpukan banyak harta dan menaklukkan berbagai kerajaan? Apa guna kehidupan semacam itu? Manusia harus menempuh kehidupan yang membuatnya abadi.

Bhagavan Sri Satya Sai Baba dalam Puisi Bahasa Telugu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
“Orang bodoh membanggakan kecerdasan
dan pendidikannya yang tinggi,
tetapi tidak mengetahui kenyataan dirinya yang sejati.
Apa guna segala pendidikan yang telah ditempuhnya?
Bila manusia tidak dapat melenyapkan sifat-sifat jahatnya?
Semua pendidikan duniawi hanya akan membawa manusia
Menuju perdebatan yang sia-sia,
Bukan kebijaksaan total.
Pendidikan duniawi tidak dapat membawanya
Menuju keabadiaan.
Karena itu, manusia harus memperoleh pengetahuan
Yang akan membuatnya kekal.”

Itulah pendidikan yang benar. Pengetahuan diri sejati akan melindungi seseorang di mana pun berada. Pendidikan yang benar itu membuat semua mahkluk menjadi sahabat. Apa yang sekarang kita butuhkan? Bukan sekedar pendidikan. Pendidikan hanya memberikan pengetahuan dari buku. Ada empat macam pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan dari buku, yaitu pengetahuan yang dangkal. Yang kedua adalah pengetahuan umum. Yang ketiga adalah pengetahuan pertimbangan untuk membeda-bedakan (yang baik dari yang buruk dan sebagainya). Yang keempat adalah pengetahuan praktis. Namun, seringkali dalam pengetahuan pertimbangan pun orang-orang melakukan kekeliruan.
“Manas anyat, vachas anyat, kamani anyat duratmanam.”
Artinya,
‘Orang yang jahat, pikiran, perkataan, dan perbuatannya berbeda’.
“Manasyekam vachasyekam, karmanyekam mahatmanam.”
Artinya,
‘ Orang yang bajik, pikiran, perkataan, dan perbuatannya selaras.’
Penekanan pada pendidikan dan prestasi akademis semakin dipentingkan yaitu antara prinsip dan pelaksanaan kehidupan spiritual dalam kurikulum pendidikan sehari-hari. Landasan spiritual sangat penting dalam pendidikan. (Pelaksanaan) kehidupan spiritual ini harus timbul dari kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri. Seseorang harus mempunyai kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri. Tanpa keyakinan seperti itu tidak dapat mencapai apa-apa.
“Di mana ada kepercayaan, di situ terdapat kasih.
Di mana ada kasih, di situ terdapat kedamaian.
Di Mana ada kebenaran, di situ terdapat kebahagiaan jiwa.
Di mana ada kebahagiaan jiwa, di situlah Tuhan berada.”

Sesungguhnya tanpa keyakinan, seseorang bahkan tidak dapat mempercayai ibunya. Harus ada kepercayaan. Setelah seseorang percaya bahwa seseorang adalah ibunya, maka kemudian akan mengasihinya. Kepercayaan membawa seseorang menuju Kasih. Kasih akan membawa menuju kedamaian. Kedamaian menimbulkan kebenaran, dan begitu kebenaran terungkap, pasti akan mencapai kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan jiwa ini adalah Tuhan. Karena itu, keyakinan sangat diperlukan. Hilangnya keyakinan inilah yang menjadi penyebab sehingga di dunia dewasa ini hanya sedikit orang yang menempuh kehidupan spiritual. Dengan demikian, kayakinan itu penting sekali. Inilah yang diharapkan dari suatu pendidikan yang di landasi oleh suatu keyakinan akan membuat pendidikan itu bertujuan untuk merubah karakter, karena itulah merupakan hakekat dari pendidikan yang sejati.

Selanjutnya......

Media Berupacara, Bolehkan Berubah?

Mas Ruscitadewi

Untuk menunjukkan rasa syukur, rasa bhakti dan penghargaan terhadap Sang Pencipta, leluhur, sesama dan alam semesta, sebagian besar masyarakat Hindu Bali mengekspresikannya dengan menggelar upacara. Dalam pelaksanaan upacara ini, masyarakat biasanya memakai sarana berupa benda-benda yang ada di sekitarnya.

Ketika jaman mulai berubah, benda-benda yang dipakai sarana untuk tujuan mengekspresikan diri dalam berupacara juga berubah secara perlahan, sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu. Janur dan pisang adalah dua benda yang sangat akrab dengan kegiatan ritual masyarakat Hindu di Bali. Ketergantungan masyarakat Hindu Bali dengan janur dan pisang dalam kegiatan upacara disambut sumringah oleh kalangan pebisnis dan penghasil janur dan pisang. Kini janur-janur dan pisang-pisang untuk keperluan upacara didatangkan lebih banyak dari Jawa.

Sebenarnya bukan persoalan dari mana janur dan pisang itu didatangkan, tetapi bagaimana ketergantungan masyarakat Bali akan kedua komoditi itu membuat spekulan dengan seenaknya mempermainkan harga. Harganya pun melambung sedemikian tinggi, mencekik leher krama Hindu Bali kebanyakan, tanpa kompromi. Ujung-ujungannya banyak krama Bali yang berupacara dengan keluhan-keluhan, bukan dengan ketulusan.

Beberapa krama Hindu Bali mencoba mencari alternatif pengganti janur, pilihan jatuh pada Janur Sulawesi, dan daun lontar. Karena warnanya yang putih dan bidangnya yang lebih tipis, akhirnya pilihan krama lebih banyak jatuh pada janur Sulawesi. Ketika makin banyak krama yang menggantikan peran janur kelapa dengan janur Sulawesi, beberapa pinandita mendharmawacanakan pelarangan, tanpa alasan masuk akal dan pencarian solusi. Pada akhirnya, karena alasan ekonomis banyak krama Bali yang akhirnya tetap memakai janur Sulawesi dan mengabaikan larangan para pinandita.

Kondisi ini lambat laun tentu akan meruntuhkan kewibawaan para pinandita. Semestinya para pinandita melarang dengan memakai alasan yang lebih logis, misalnya jangan memakai janur Sulawesi karena dikeringkan dengan zat kimia yang bisa menyebabkan kanker paru-paru. Atau mencari alternatif lain pengganti janur yang mudah ditemukan di lingkungan krama Hindu Bali.

Anehnya para pinandita yang nota bene didengar saran dan himbaunnya jarang yang memberikan alasan logis yang berkaitan dengan sarana yang dipakai berupacara, malahan sebaliknya banyak oknum pinandita yang terkesan menolak perubahan. Prinsif-prinsif berupacara secara efektif dan ekonomis, sebagai yadnya yang tulus ikhlas seakan semakin jauh. Yang berkembang justru upacara yang semakin mewah dan wah, sebagai bentuk pengharapan yang semakin banyak.

Bukankah kesejatian hidup adalah perubahan, lantas kenapa sarana berupacara yang profan berupaya disakral-sakralkan, media berupacara yang beragam berupaya diseragamkan? Ukuran rasa ketulusan seseorang memang berbeda-beda, tetapi yang harus dipahami adalah masalah rasa ketulusan, bukan medianya. Karena yang memuja adalah rasa kita, benda hanyalah simbul, maka tak heran bila media yang yang dipakai sebagai simbul berubah sepanjang jaman.

Sebutlah misalnya dalam kegiatan upacara kematian, yang sekarang dikenal dengan istilah ngaben. Jika dipelajari perkembangannya dari masa prasejarah Bali, pernah ditemukan data bahwa pada suatu masa orang Bali yang meninggal (terutama tokoh masyarakat) disimpan dalam sebuah peti batu yang disebut sarkopagus. Sistem penyimpanan dalam sarkopagus ini merupakan sebuah bentuk penanganan terhadap jenasah secara langsung (penguburan primer). Dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sudah mengenal teknologi membuat gerabah, maka mayat yang sudah dikubur setelah menjadi tulang belulang disimpan dalam sebuah gerabah dan dikubur dalam tanah dengan segala bekal kubur berupa benda-benda yang ada saat itu (seperti yang ditemukan di situs Gilimanuk dan Semawang). Dikenal dengan istilah penguburan sekunder. Pada masa kemudian, setelah masyarakat mengenal teknologi pengolahan logam (masa perundagian), makan penguburan sekunder dilakukan di dalam sebuah nekara perunggu, seperti yang ditemukan di Desa Manikliu, Bangli.

Kini upacara kematian yang lebih dikenal dengan istilah ngaben yang secara umum dimaknai sebagai upacara pembakaran mayat yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bali juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan teknologi. Perkembangan ini ditunjukkan dengan adanya perkembangan alat yang dipakai dalam pembakaran mayat tersebut. Awalnya pembakaran mayat dilakukan dengan sarana kayu-kayu bakar, kemudian ketika kompor mulai dikenal, sekitar tahun 1980an alat yang dipakai membakar adalah kompor. Awalnya perubahan ini ditentang banyak kalangan, tetapi karena dinilai lebih efektif dan praktis, maka pembakaran mayat dengan sarana kompor bisa diterima masyarakat banyak dan menjadi tradisi. Belakangan ini sarana pembakaran mayat juga berkembang pesat dengan memanfaatkan teknologi terbaru, yaitu sistem oven. Sarana dan cara pembakaran mayat seperti ini juga ditolak oleh beberapa kalangan, tetapi lambat laun pasti akan diterima.

Dalam ilmu bangunan penggunaan alat yang sesuai kemajuan teknologi juga ditunjukkan dengan sarana yang dipakai untuk membuat bale pawedan bagi pendeta saat memuja dalam sebuah upacara. Awalnya bale pawedan dibuat dari bambu dengan atap alang-alang, kini banyak kalangan yang memakai bale pawedan siap pasang dari besi dengan atap terpal. Logikanya yang terpenting tempat itu lebih tinggi, kuat dan tidak panas.

Bahkan lompatan yang begitu tajam terjadi pada media menyembah spirit Hyang Kuasa dalam manefestasinya sebagai Sang Hyang Saraswati, Dewa Pengetahuan. Jika dahulu media yang dipakai adalah rerajahan, lontar yang berisikan pengetahuan, maka kini buku dan laptop pun dimanfaatkan sebagai medai memuja Sang Hyang Saraswati.

Tentu saja ini tidak salah, seperti halnya orang yang bepergian ke tempat tujuan, mungkin awalnya dia hanya berjalan kaki, kemudian memakai tongkat karena mendaki, atau kemudian memilih menunggang kuda, menaiki, sepeda, naik mobil, bahkan naik pesawat bila perlu, asal tempat yang dituju bisa dicapai. Jadi media bisa berubah sesuai kondisi alam lingkungan dan tentu kondisi tempat yang dituju.

Selanjutnya......

Dana Punia Sadhana Utama di Zaman Kali

Mangku Pasek Swastika


Dari segi arti, dana punia disebutkan suatu pemberian tulus ikhlas sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran dharma yang harus dihayati dan diamalkan. Dana punia ini dituangkan dalam Bhisama Pandita PHDI Pusat No: 01/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002.

Selanjutnya disebutkan berupa pemberian, dapat berupa nasehat/wejangan atau petunjuk hidup yang dapat merubah keidupan seseorang menjadi lebih baik disebut Dharmadana. Berikut pemberian dapat berupa pendidikan disebut Vidyadana. Selanjutnya pemberian dapat berupa harta benda disebut Arthadana yang bertujuan untuk menolong atau menyelamatkan seseorang atau masyarakat.

Dana Punia sebagai wujud dharma mempunyai peranan penting dan haus serta wajib menjadi kenyataan dan dijalankan oleh semua umat sesuai dengan keberadaan dan kemampuan masing-masing, seperti diamanatkan dalam Wrhaspati Tattwa 26, yakni Sila-tingkah laku yang baik, Yadnya-pengorbanan suci, Tapa-pengendalian diri, Dana-pemberian, Prawjya-menambah ilmu pengetahuan suci, Diksa-penyucian diri/dwijati, dan Yoga-hubungan dengan Tuhan. Karena itulah setiap umat wajib secara utuh dapat mengamalkan ajaran dharma agama tersebut.

Lain dari pada itu, tujuan pokok dan ajaran dana punia adalah untuk menumbuhkembangkan sikap mental yang tulus pada diri pribadi umat manusia dalam melaksanakan ajaran Wairagya, yaitu ketidak terikatan (keikhlasan) pada diri seseorang. Di masyarakat, ajaran atau tindakan dana punia umumnya dalam wujud materi berupa benda-uang. Namungguhnya un setidaklah demikian adanya. Di atas telah disinggung beberapa wujud dana punia dimaksud.

Disebutkan, dengan ber-dana punia akan memberikan jalan bagi umat manusia mencapai kesempurnaan hidup dan tidak terikat akan duniawi, karena apa yang mereka punyai akan terselamatkan serta menjadikan orang lain sebagai penampung suatu kelebihan dalam hal kebendaan yang dipunyai seseorang, sehingga disini terjadi pemerataan dalam keadilan.

Dana Punia juga mengajarkan umat manusia peduli dengan sesame. Hal ini sesuai dengan ajaran Tat Twam Asi yang memandang orang sama dan sebagai bagian dari diri sendiri, terutama saat memerlukan pertolongan, sehingga akan memberikan serta menimbulkan kebahagiaan hidup yang sejati, seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda, yaitu Vasudhaivakutumbakam, semua makhluk adalah bersaudara.

Dalam ajaran sastra Hindu ada disebutkan, bahwa landasan sastra dari pada dana punia disebutkan sebagai berikut. "tapah param karta yuge, tretayam jnana muccyate, dwapare yajnawaewahur, danamekam kalao yuge." Artinya, bertapa adalah prioritas di jaman Kerta Yuga, di jaman Treta Yuga prioritas jnana, jaman Dwapara upacara yadnya, sedangkan di jaman kali prioritas beragama adalah ber-dana punia.

Dalam Sarasamuscaya disebutkan, "Apan ring tribhuana, yan hana meweh kagawayaniya, lena sangkeng dana, agong wi kang trsna ring artha, apan ulihning kasakitanikang artha katemu." Artinya, sebab di tiga dunia ini tidak ada yang lebih sulit dilakukan daripada ber-dana punia, jika ia sangat terikat hatinya kepada harta benda, karenanya bersakit-sakitlah ia dari harta benda yang diperoleh itu.

Selanjutnya dalam Slokantara disebutkan, "Tithau dasagunam, danam grahane satamewa ca,kanyagate sahasrani, anantam yogantakale." Artinya, dana punia yang diberikan di bulan purnama dan bulan mati menyebaban sepuluh kali kebaikan yang diterima, jika waktu gerhana membawa pahala seratus kali, jika di hari suci sradha, pemujaan kepada leluhur menjadi seribu kali lipat dan jika dilakukan di akhir yuga (Zaman Kali), tak terbatas pahala kebaikan yang diterimanya.

Dalam kitab suci Veda ada disebutkan juga tentang dana punia tersebut, antara lain sebagai berikut: semoga kita dapat mengabdikan diri menjadi instrument Tuhan Yang Maha Esa dan dapat membagikan keberuntungan kita kepada orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan (Rg.Vedha.I.15.8). Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran dan dapat memberikan kekayaannya itu dengan kemurahan hati, mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah mereka tekun bekerja dan meyakini kerja itu sebagai bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa (Rg.Vedha.I.15.9).

Berdermalah untuk tujuan yang baik dan jadikanlah kekayaanmu bermanfaat. Kekayaan yang didermakan untuk tujuan luhur tidak pernah hilang. Tuhan Yang Maha Esa memberikan jauh lebih banyak kepada yang mendermakan kekayaan untuk kebaikan bersama (Atharva Vedha.III.15.6).

Hendaknya bekerjalah kamu seperti dengan seratus tanganmu dan mendermakan hasilnya dengan seribu tanganmu. Bila kamu bekerja dengan kesungguhan dan kejujuran, hasil yang diproleh akan berlimpah ruah-beribu kali. Bagi yang mendermakannya, sesuai dengan keperluannya, Tuhan Yang Maha Esa akan menganugrahkan rahmatnya (Atharva Vedha.III.24.5).

Selanjutnya......

Soham, Latihan Spiritual yang Tepat

A. A. Gede Raka

Apa yang dicari manusia yang tenggelam dalam lautan penderitaan di alam semesta yang mahaluas dan tidak terbatas ini? Untuk apa ia melakukan latihan spiritual? Sejumlah orang mencari kepuasan dalam hal-hal duniawi, beberapa lainnya membuang-buang waktu mereka yang berharga untuk mencari pemuasan bagi aneka keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Lainnya lagi menempuh jalan spiritual karena ingin mendapatkan dharsan ‘melihat’, sparshan ‘menyentuh’, dan sambhashan‘ mendengarkan perkataan’ Sang Avatar.

Manusia merenungkan Tuhan sebagai Brahma, Vishnu, dan Maheswara. Akan tetapi, ini bukan Tuhan dengan wujud manusia. Mereka tidak berwujud dan tidak mempunyai suatu tempat tinggal tertentu. Bila diselidiki sifat wujud mereka, akan jelaslah bahwa mereka hanya mempunyai sejumlah sifat, tanpa wujud tertentu.

Ada dikatakan, ”Ishawarah sarva bhutanam.” Artinya, Tuhan bersemayam dalam setiap makhluk yang tidak terlihat? Apa guna renungan semacam itu?

Tuhan adalah napas hidup manusia yang dapat dirasakan dan didengarkan. Bagaimana kita dapat mengenali dan mengalami suara napas Tuhan ini? Dalam kitab-kitab Upanishad napas Tuhan yang tidak terlihat di dalam diri manusia ini dinamakan Brahman dan Atma.

Apakah makna Ishwarattva ‘asas Shiva? Ini dapat dipahami sebagai napas soham yang suci yang timbul dari diri manusia. Soham artinya ‘Aku adalah Itu’ (Tuhan Yang Mahabesar).Suara napas dalam diri manusia yaitu “Soham” memperlihatkan sifat dan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Bila kita berusaha merenungkan wujud tanpa mengenali suara, kita tidak akan mampu memahami sifat Tuhan.

Soham bersifat sattvika. Wujud ditentukan oleh sifat. Sattvaguna atau ‘sifat sattvika’ ini adalah Ishwarattva ‘prinsip Shiva’. Ada prinsip lain yang timbul dari napas suci ini yaitu Vishnuttva ‘prinsip Vishnu’. Apakah wujud prinsip Vishnu ini? Perasaan-perasaan yang ada di dalam manas. Dengan kata lain manas adalah prinsip Vishnu. Ada wujud lain lagi yang timbul dari pusar Vishnu, yaitu Brahma. Brahma adalah vakswarupa ‘mewujud sebagai kemampuan bicara’. Dengan demikian prinsip Brahma, Vishnu, dan Maheswara timbul dari soham tattva dalam diri manusia sendiri.

Dalam Trimurti ini Shiva adalah soham tattva, Vishnu adalah manas, dan Brahma adalah vakswarupa ‘mewujud sebagai kemampuan bicara’. Ini berarti setiap perkataan yang timbul dari manusia adalah Brahma, setiap tekad (sangkalpa) yang timbul dari manas adalah Vishnu, dan setiap napas yang keluar dari tubuh adalah Ishwara. Dengan demikian Tuhan meliputi seluruh tubuh manusia.Tubuh itu hidup selama napas kehidupan timbul dari tubuh. Manas terbentuk dari sangkalpa ‘ketetapan hati’ dan vikalpa ‘penolakan, atau pemutusan’. Inilah prinsip Vishnu.

Ada dikatakan Shabda Brahmamayi ‘suara adalah Brahman’. Characharamayi ‘yang meliputi seluruh alam semesta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak adalah Brahman’. Vangmayi ‘perkataan adalah Brahman. Durga, Lakshmi, danSaraswati merupakan perwujudan ketiga hal ini yaitu suara, sifat meliputi segala sesuatu atau ada di mana-mana, dan perkataan. Suara soham ini ada dalam napas setiap manusia. Tidak ada napas tanpa suara soham ini. Demikian pula, tanpa manas tidak mungkin timbul sangkalpa ‘ketetapan’, dan tanpa sangkalpa tidak bisa timbul perkataan. Dengan demikian terdapat hubungan yang tidak terpisahkan dan saling tergantung antara suara soham, ketetapan manas, dan perkataan.

Manas timbul dari mana? Manas timbul dari sangkalpa ‘ketetapan’ dan vikalpa ‘pengingkaran atau penghancuran’. Pada gilirannya mereka timbul dari sifat shabda ‘suara’. Suara adalah prinsip Brahma (Brahma tattwa) yang sejati. Pada hakikatnya prinsip soham dalam Brahma tattwa adalah atmatattwa. Karena itu, agar memahami atmatattwa, kita harus mengenali sifat swasa ‘napas Tuhan’.

Soham juga disebut sebagai Hamsa Gayatri.”So (sah)” artinya ‘itu’.”Ham (aham)” artinya ‘aku’. Dengan demikian soham artinya ‘Aku adalah Itu (Tuhan Yang Mahabesar)’. Apa yang dimaksud dengan ‘itu’? Apa yang menyatakan diri sebagai “Aku adalah Itu”? Apakah pikiran? Jika demikian, pikiran menjadi maju dalam perjalanan spiritual, jika kita menghandalkan pikiran yang demikian tidak mantap?

Sesungguhnya manas ‘peralatan batin yang fungsinya untuk berpikir’ adalah perwujudan Vishnu yang meliputi segala sesuatu. Tanpa manas semacam itu tidak mungkin ada napas (swasa). Karena adanya napaslah ,maka manas dapat berfungsi.

Pada waktu kita duduk untuk bermeditasi pada prinsip soham, akan didapati bahwa suara “so” masuk pada waktu kita menghisap napas sedangkan suara “ham” keluar pada waktu menghembuskan napas. Proses ini harus diamati dengan saksama. Di sini “so” berkaitan dengan prinsip ketuhanan sedangkan “ham” berkaitan dengan ahangkara ‘ego atau rasa keakuan’. Dengan demikian, pada waktu Tuhan masuk ke dalam tubuh, ego meninggalkan kita.

Prinsip ketuhanan yang telah masuk ke dalam tubuh ini harus dipertahankan dalam system tubuh dengan proses menahan napas (kumbhakam). Orang-orang yang melakukan sadhana pranayama menyebut proses ini sebagai puraka ‘menghirup napas’, kumbhaka ‘menahan napas’, dan rechaka ‘menghembuskan napas’.

Soham atau Hamsa Gayatri dilakukan dengan menghirup napas dari satu lubang hidung pada waktu mengucapkan “so”, lalu napas ditahan sebentar, setelah dihembuskan keluar dari lubang hidung lainnya sambil mengucapkan “ham”. Agar memperoleh hasil yang paling baik pada waktu melakukan sadhana soham, kita harus memperhatikan supaya ketiga proses (menghirup, menahan, dan menghembuskan napas) dilakukan dengan mengikuti waktu yang benar. Bila orang melakukan pranayama tanpa mengindahkan pengaturan waktunya, hal itu dapat membahayakan hidup. Waktu yang harus digunakan untuk ketiga proses: puraka, kumbhaka, dan rechaka harus tepat sama. Waktu merupakan hakikat sadhana pranayama karena Tuhan adalah perwujudan waktu.

Ketetapan (sangkalpa) kita harus selalu bersifat baik dan murni (sattvika). Agar kita mempunyai ketetapatan yang baik da suci, maka napas (swasa) kita harus murni. Dengan demikian prinsip Brahma, Vishnu, dan Maheswara satu sama lain saling tergantung dan tidak terpisahkan. Mereka satu dan sama. Kita harus berusaha memahami sifat-sifat dasar kemanunggalan mereka.

Selanjutnya......

MEREMEHKAN HANYA AKAN BERUJUNG PADA PENYESALAN

Gede Rio Andre Sutrisna

Karma yang dilakukan manusia, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun pikiran secara berulang-ulang lama-kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan orang tersebut. Tidak salah bila beranggapan seseorang menjadi baik atau buruk, menjadi sedih atau bahagia, sebenarnya telah ia “pilih” jauh sebelum ia mengalaminya. Setelah sadar demikian adanya, kini hanya tinggal introspeksi diri, apakah ingin dilanjutkan, ingin diperbaiki ataupun dihentikan. Anehnya bagaimanapun hasilnya selalu saja ada yang disesalkan.

Banyak orang mempertanyakan mengapa penyesalan munculnya belakangan? Meskipun penyesalan datang di akhir, ia dapat diprediksi sebelumnya. Hadirnya penyesalan dapat sangat terlihat dari orang yang suka berandai-andai dan ulet mengeluh. Selalu ada sebuah alasan untuk apa yang terjadi dalam hidup kita. Namun yang terpenting adalah kita bisa belajar dan mengambil hikmahnya. Manusia sempurna (lengkap) bila ia memiliki kelebihan dan kekurangan. Itulah Rwa Bhineda yang senantiasa menjaga keseimbangan segala yang ada di dunia ini. Bila berbicara tentang kekurangan/sifat buruk yang dimiliki manusia tidak akan pernah habis untuk dibahas. Ada salah satu keburukan manusia yang tidak disebutkan dalam Sad Ripu maupun Sad Atatayi secara eksplisit, namun sering kita lakukan. Musuh ini akan selalu membawa kita kepada pada penyesalan.

Sifat menganggap remeh bisa dimiliki oleh setiap orang, hanya saja barangkali kadarnya berbeda-beda. Sifat meremehkan dapat berupa meremehkan pekerjaan, meremehkan orang lain, dan meremehkan diri sendiri. Dalam bekerja terkadang kita menginginkan untuk mendapatkan hasil yang besar. Kemudian untuk mewujudkan cita-cita tersebut kita berusaha melakukan tindakan yang besar pula, yang memerlukan kerja keras dan banyak pengorbanan. Apa pun tantangan dan hambatannya kita sangat ambisius untuk mendapat hasil yang besar tersebut dengan tekad yang bulat! Apalagi hasil tersebut atas nama kebaikan/kebenaran atau demi orang yang kita sayangi. Tentu saja semakin memotivasi untuk meraih hasil yang besar tersebut.

Tanpa kita sadari karena terfokus untuk mengejar sesuatu yang besar, kita telah melupakan, bahwa sesuatu yang besar diawali dari yang kecil. Oleh sebab begitu semangatnya melakukan kebaikan yang akan “berbuah besar” kita tak hirau dengan kebaikan yang kecil. Perhatikanlah kumpulan kebaikan yang kecil tersebut lama-kelamaan akan menjadi kebaikan besar. Memang amat bagus melakukan kebaikan yang besar. Namun jangan sampai meremehkan kebaikan kecil. Jangan menganggap remeh kebaikan kecil dengan menganggapnya perbuatan yang sia-sia dan tidak memiliki pengaruh yang besar. Bahkan dengan jatuhnya setetes demi setetes, seguci air akan penuh. Seperti halnya orang bijaksana mengumpulkan sedikit demi sedikit, memenuhi dirinya dengan kebaikan. Bukan berarti karena sesuatu itu kecil kita remehkan karena ada sesuatu yang besar dan lebih menjanjikan. Tidak ada kata Penyalah dalam berbuat kebaikan.

Setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang besar, tanpa menyadari bahwa hidup itu adalah kumpulan dari hal-hal kecil. Mulailah dari yang terdekat dan terkecil guna melakukan kebaikan kecil, seperti kebaikan kepada diri sendiri, bagi saudara, keluarga, teman, dan lingkungan/alam. Dibutuhkan kesabaran, keuletan dan ketulusan dalam melakukan kebaikan kecil. Cara terbaik untuk bersabar, adalah dengan menghilangkan kebiasaan menunggu hasil tanpa upaya. Karena tingkat hasil yang kita dapatkan sebanding dengan tingkat upaya kita. Ulangi terus menerus melakukan kebaikan kecil, hingga menjadi sebuah kebiasaan. Motivasi yang membuat kita memulai. Kebiasaan yang membuat kita terus berjalan! Percayalah suatu saat nanti akan menjadi kebaikan besar. Tuhan pasti melihat kesungguhan hati kita seringnya melakukan kebaikan-kebaikan kecil hingga suatu ketika, kita akan diberi kesempatan/kepercayaan untuk melakukan kebaikan yang besar.


Jangan Abaikan yang Kecil
Kesempatan besar hanya pantas bagi yang telah mendaya-gunakan kesempatan kecil. Bukankah untuk berbuat baik kepada orang lain maupun alam yang diperlukan hanya niat tulus dan tindakan? Masalah besarnya itu nomor ke sekian bergantung kemampuan. Begitu pula sebaliknya dengan keburukan yang kita lakukan. Karena kita menganggap keburukan yang besar memiliki pengaruh yang menderitakan, kita malah meremehkan keburukan-keburukan kecil yang telah kita perbuat. Berpikir bahwa keburukan yang kecil tidak akan sangat berpengaruh. Dengan toleransi, toh keburukan kecil, sekali saja tidak mengapa. Karena merasa aman dan belum begitu terasa hasilnya, kita bisa saja ketagihan melanjutkannya. Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan sekarang akan dapat mengubah masa depan kita. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit! Meremehkan hanya akan mengantar kita pada “bebladbadan” mekamben disunduk (meselselan). Barulah setelah itu berlaku “wewangsalan” tai belek tain blenget,(sube jelek mare inget)

Banyak orang ingin mengubah dunia tapi mereka tidak mengubah diri mereka sendiri. kita harus memulai dari sesuatu, dan sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Aneh! Istilah orang penting terlalu sering digambarkan dengan politisi yang berkuasa, bos konglomerat, atlit berprestasi, artis ternama, atau semua yang kita sebut memiliki jabatan tertentu atau pekerjaan bergengsi. Kenyataannya, setiap orang adalah orang penting. Sama pentingnya dengan wajah-wajah yang bermunculan di layar TV atau sampul majalah. Demikian pula "pentingnya" orang-orang di sekitar kita. Jangan remehkan orang di sekitar kita, apalagi dia yang terdekat memperhatikan dan mengasihi kita. Menyepelekan orang lain akan dapat merugikan diri kita dan diri orang yang disepelekan. Meremehkan jenis ini mungkin muncul karena disebabkan merasa tidak ada untungnya, merasa orang itu kecil, merasa percaya diri berlebihan (sombong). Karena yakin bisa melakukan sendiri, kita malah meremehkan. Karena orang itu lemah/kurang dari kita, kita lebih enak untuk meremehkannya.

Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan yang lebih besar bukan untuk menindas/meremehkan yang kecil, melainkan untuk membantu dan melindungi yang kecil. Dengan meremehkan orang lain kita telah menghilangkan tangan bantuan Tuhan. Kesuksesan akan kita peroleh dengan kemudahan karena kita memiliki banyak teman (jaringan). Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, namun informasi di tangan orang banyak. Kita sendiri yang telah mengurangi peluang kesuksesan kita. Meski dia yang kita remehkan lebih rendah daripada kita seharusnyalah kita bisa bersyukur tidak berada di posisinya. Justru kita harus menolongnya. Suatu saat nanti pasti kita akan memerlukan bantuan dari orang yang pernah kita remehkan. Kalau sudah begini, yang ada hanya perasaan malu dan menyesal kembali. Mudah-mudahan orang yang kita remehkan dulu tidak sama seperti kita. Kalau sudah terjadi barulah sadar.

Sesungguhnya, kebaikan yang kita lakukan adalah untuk kita, dan keburukan yang kita lakukan adalah juga untuk kita. Maka, jika ada kebaikan yang kita jauhi, pasti keburukanlah yang mendekati kita. Lalu bagaimana agar tidak gampang menyepelekan orang lain? Sebelum bertindak, pikirkan. Sebelum bicara, dengarkan. Sebelum menghakimi, pahami. Dan sebelum melupakan, maafkan. Mari kita cegah penyesalan akibat meremehkan dengan Tat Twam Asi. Aku adalah kamu. Kamu adalah Aku. Kesamaan aku dan kamu bukanlah dalam segala hal, melainkan yang esensial, sama-sama ingin bahagia dan ingin dihargai. Hargailah bila ingin dihargai. Jangan egois. Jangan menunggu untuk dihargai baru kemudian balik menghargai.

Kita mengetahui kualitas kita, dengan memperhatikan bagaimana orang lain bereaksi terhadap kehadiran dan cara-cara kita memperlakukan orang lain. Bila kita telah baik, tidak ada alasan yang membenarkan untuk meremehkan yang kurang baik. Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun.Yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan air mata. Tetapi ukuran sejati di bawah Surya adalah apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini untuk orang lain. Apa yang kita beri itulah yang akan peroleh. Bila yang kita beri adalah “meremehkan” orang yang lebih kecil, kelak kita akan “diremehkan” oleh orang yang lebih besar daripada kita.

Hapus Trauma Masa Lalu dan Kecemasan Esok Hari

Kepercayaan diri datang dari 50 persen mempercayai (kemampuan) diri sendiri, dan sebagiannya lagi dari menjawab (menjaga) kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita. Demikian juga dengan menghargai diri sendiri. Orang lain belajar menghargai diri kita dari bagaimana cara kita menghargai diri kita sendiri. Banyak hal kecil seperti ini yang terlewatkan karena menyepelekan dan menganggap tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Banyak masalah yang dapat muncul karena kita meremehkan diri kita sendiri. Karena kegagalan di masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan membuat kita meremehkan diri kita sendiri. Penyesalan akan hari kemarin, dan ketakutan akan hari esok adalah dua pencuri yang mengambil kebahagiaan saat ini. Coba bandingkan mana lebih menyakitkan satu jam meremehkan diri sendiri dengan satu jam yang digunakan untuk bekerja keras? Memang benar, masa lalu adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Kita tidak sendiri.

Siapa pun orangnya pasti memiliki masa lalu. Masa lalu tak bisa dihapus dan akan selalu melekat dalam segala aktivitas sepanjang hidup. Ketika ingin tidur atau baru bangun, masa lalu datang menyeruak begitu saja. Jangan sampai rasa putus asa, malu, meremehkan diri sendiri karena kegagalan (cinta atau pekerjaan) membuat kita enggan untuk bangkit. Orang yang meyakini bahwa nasibnya buruk, akan menjadi orang pertama yang meragukan kemungkinan perbaikan hidupnya. Lihatlah orang yang kurang beruntung dari kita, dan lihat pula keberhasilan yang pernah kita peroleh. Sukses memotivasi kita, kegagalan adalah vaksin yang memperkuat jiwa kemudian. Keyakinan memberi kita energi kemudian mulailah dengan beraksi! Awalilah dari sesuatu yang kecil.jangan meremehkan diri sendiri terus menerus. Damaikan diri sendiri dulu, barulah mendamaikan orang lain, bukan egois, tapi sadarilah.

Selanjutnya......

Wujudkan Sikap Menyama Braya dengan Pikiran Positif

I Nyoman Suamba

Menyama braya mempunyai makna yang luas, lugas dan vulgar. Kapan seseorang menggunakan kalimat tersebut, maka kalimat tersebut akan memberikan kesan positif. Seseorang dianjurkan untuk tidak menjadikan kalimat menyama braya ini sebagai wacana saja, akan tetapi tiap orang dituntut untuk merealisasikan wacana tersebut dengan berpikir yang positif. Dengan berpikir positif akan terwujud tindakan harmonis, seperti halnya jika kita melempar batu pada sebuah kolam, maka air kolam tersebut akan nampak membentuk bulatan gelombang yang harmonis dan searah, demikian juga apabila tiap jiwa mampu berpikir positif maka kita akan temukan kehidupan yang harmoni. Kehidupan yang sesuai aturan nilai-nilai etika dan moral, seperti bulatan gelombang yang membentuk satu lingkaran yang tidak berbenturan satu sama lain.

Seseorang akan merasa hidupnya bermakna, ketika kalimat menyama braya tersebut terucap dalam dialektika antara dua orang atau lebih. Dalam percakapan tersebut seseorang akan merasakan sentuhan, bahwa mereka diberi motivasi. Bahkan tidak hanya berhenti sampai di sana, mereka akan merasakan kehidupannya larut dalam hubungan persaudaraan meskipun di antara mereka bukanlah saudara se darah, akan tetapi mereka lebih merasakan sebagai orang yang diperlukan. Dalam prakteknya mereka merasa lebih bersemangat untuk hidup termasuk dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pekerja, karyawan, pegawai, pelajar, dan lain-lain.

Berpikir positif tentang menyama braya adalah sebuah pendewasaan yang direproduksi oleh kesan-kesan atas wasana-nya terdahulu (Sankalpa) dari suksma sarira kemudian terpancar dalam angga sarira terwujud dalam bentuk karmawasana. Untuk itu diperlukan berpikir positif, namun apabila ada banyak orang yang melempar batu pada sebuah air kolam tadi, maka akan nampak banyak riak gelombang yang tidak sepaham dan tidak harmonis. Demikian juga, jika tiap orang hanya mempertahankan egoisme semata dan tiap orang merasa sebagai pembenar, maka akan terjadi benturan-benturan dan tidak akan ditemukan kehidupan yang selaras dan terpadu dalam sebuah kelompok masyarakat. Ini disebabkan karena tiap orang bertindak atas kebutuhannya sendiri untuk kepuasan pribadi semata.

Dalam mewujudkan kelompok keluarga yang harmonis diperlukan pendewasaan diri cermin dari berpikir positif. Pendewasaan diri ini dapat terwujud bila tiap orang mengendalikan dirinya sebagai purusha. Meminjam istilah Bechofen dalam teorinya tentang evolusi keluarga, bahwa tiap orang, baik laki-laki maupun perempuan harus menjadi purusa, sehingga diketemukan keutuhan klennya dalam mengendalikan keluarga sebagai keluarga inti. Dalam pemikiran tersebut tiap orang dipandang sama dalam kedudukan dan derajatnya sebagai Purusa, di mana maksudnya tiap orang hendaknya menjadikan hakekat dirinya, sadar bahwa jiwa adalah hakekat yang sama dan tidak pernah berbeda, ia adalah wasudewo kutum bakem, bahwa kita adalah bersaudara. Dengan kesadaran tersebut, maka tiap orang akan melihat semua hal sama sebagai jiwa-jiwa percikan Tuhan dan perbedaan itu dimengerti sebagai satu kepribadian terwujud dalam berkarma.

Seperti pekerja dalam sebuah kantor terdapat seorang pimpinan dan masyarakat yang dipimpin. Seorang pemimpin dalam hal ini adalah sebagai purusa, pemimpin dalam pikiran yang positif mempunyai kedewasaan diri, dan mampu mengejewantahkan kedewasaan itu pada tiap insan. Pemimpin dalam karakternya tidak saja menjadikan dirinya puas tanpa mempedulikan perasaan yang dipimpin, ia tidak semena-mena terhadap mereka yang dipimpin, melainkan mengayomi. Dengan demikian mereka yang dipimpin akan menyadari diri sebagai sosok yang profesional, sehingga mampu memotivasi pribadi dalam mewarisi daya kepemimpinan pemimpin, dengan demikian akan terekspresikan jiwa pimpinan dalam kekompakan kerjasama dengan yang dipimpin.

Berpikir positif adalah berpikir yang sama, di mana seorang pimpinan harus mampu berlaku sama dan melihat mereka yang dipimpin sebagai seseorang yang memerlukan bimbingan. Pemimpin hendaknya berusaha membawa suasana kepemimpinannya menjadi sejuk, nyaman dan penuh keterbukaan. Dengan demikian terwujud suasana menyama braya yang kental, seorang bawahan tidak merasa canggung, gugup, dan sejenisnya, demikian juga seorang pemimpin mampu menjadikan dirinya objek atau purusa, sekaligus ayah, dimana ia terkendali dan mampu mengendalikan. Dengan berpikir positif seorang pemimpin akan nampak berbeda dalam pengertian berkarma. Dengan perbedaan ini seorang bawahan akan merasa dirinya diperlukan, dalam suasana demikian bawahan akan bekerja penuh tanggung jawab dan tidak menganggap enteng tugas yang diberikan pimpinan. Sikap yang skeptis juga adalah cerminan dari berpikir positif, sikap skeptis atau naluri keraguan seorang pimpinan akan memberi tambahan warna dalam sikap menyama beraya, sikap ragu akan memberikan pilihan sebagai sebuah pertimbangan bagi yang dipimpin.

Sikap skeptis ini juga akan membentuk prilaku berpikir positif dalam kaderisasi pemimpin. Dengan demikian tiap orang akan mempertimbangkan setiap masalah yang ia temukan, sikap skeptis ini penting bagaimana setiap orang dituntut untuk berpikir positif dan orang lain merasa terlibat dalam pemikiran yang diwujudkan un tuk membuat perhitungan cermat di dalam mengatasi keragu-raguannya itu.

Dalam konsep Tri Pramana misalnya, dengan sikap skeptis tersebut tiap orang akan mengajukan pertanyaan dan menduga-duga disana ada asap pasti ditempat sana terdapat api. Ini semacam cara kerangka berpikir logis di dalam menghasilkan suatu keputusan (kesimpulan). Demikian juga dengan sikap skeptis, maka tiap orang jadi ingin membuktikan apa yang menjadi pemikirannya yang positif coba untuk dibuktikan. Orang yang skeptis akan memadukan kebenaran-kebenaran yang ia temukan dan berusaha untuk menggunakan rujukan sastra sebagai acuannya. Sikap skeptis ini telah menjadikan seseorang lebih dewasa dan berwawasan ke depan.

Sikap skeptis bukanlah sekedar sebuah keraguan melainkan sikap wiweka dalam menentukan pemikiran yang positif. Dengan sikap skeptis tiap orang akan terpacu dalam aktivitas positif menuju berpikir positif dalam wujud menyama braya. Berpikir positif adalah berpikir untuk semua orang dan berpikir dari semua aspek, dalam hal mana tiap orang tidak mempunyai pemahaman yang sama tentang sesuatu hakekat yang di wacanakan. Dengan berpikir positif segala perbedaan akan dapat dimengerti sebagai suatu proses pendewasaan dalam mencari jati diri untuk menemukan kebenaran tertinggi, namun dengan keraguan yang ada mereka berusaha memaknai hidup ini sebagai satu titik dimana ia mulai melangkah berusaha mencari kebenaran itu melalui tahapan-tahapan. Ibarat dua aliran pikiran yang selalu berbeda dan tidak akan pernah sama, dan mulai menemukan makna-makna tertinggi dalam pencarian jati diri yang sejati luluh dalam kondisi menyama braya dengan berpikir positif.

Khusus mengenai perbedaan-berbedaan dalam kegiatan karma namun pada hakekatnya semua insan adalah jiwa yang sama dari Tuhan. Pemikiran demikian mesti diwarisi kaum Hindu, sehingga generasi Hindu sampai pada kehinduannya, dimana dalam Hindu terdapat banyak kepercayaan, cara sembahyang dan bentuk pemujaan namun Hindu luluh sebagai pemikiran yang sinkretis yang merangkum semuanya. Demikian kaum Hindu mesti merangkum semua kehinduannya dengan berpikir positif akan terwujud rasa menyama braya dan melupakan harapan tentang kebaikan dan keburukan karena dalam tatanan inseklopedia Hindu tidak sekedar melihat baik dan buruk akan tetapi mencari keseimbangan.

Selanjutnya......

Langkah Awal Seorang Pengusaha dalam Spiritual

Made Sudarsana

Dunia usaha merupakan wujud sewaka atau pengabdian umat kepada Sang Pencipta melalui pelayanan kepada sesama umat manusia. Tanpa memiliki motivasi sewa, orang akan menjadi tinggi hati, angkuh merasa merajai lingkungan dan sebagainya. Bukankah dalam dunia usaha pembeli, pelanggan serta pengguna jasa adalah raja? Sedangkan pengusa itu sendiri sebagai pelayan. Jika ide ini terbalik maka pengusaha itu siap untuk menerima resiko.

Dalam cerita spiritual kitab Hitopadesha, yang merupakan cabang-cabang ajaran Weda disebutkan "Vidya dadati vinayam, vinayadyati patratam, patratvad dhanamapnoti, dhanaddharmam tatah sukham.” Artinya: Pengetahuan memberikan ketundukkan hati. Ketundukkan hati memberikan kelayakan karakter. Selanjutnya karakter yang baik akan mendatangkan harta kekayaan, dan dari harta benda yang didapat dengan dharma akan mengantarkan orang mencapai dharma itu serta berbagai kebajikan, setelah itu barulah orang akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati.

Pengusaha sangat memerlukan pengetahuan serta keterampilan (life skill). Pengetahuan, keterampilan, kecerdasan tanpa disertai dengan ketundukkan hati (rasa sewanam). Ketundukkan hati akan menjadikan seseorang memiliki karakter yang kuat (metaksu). Dengan metaksu inilah merupakan gerbang untuk pencapaian tujuan-tujuan luhur berikutnya. Dengan demikian sebagai umat manusia (makhluk Tuhan) dalam berbagai swadharma, pekerjaan, mata pencaharian hendaknya memiliki sikap penyerahan diri kepada Yang Kuasa, dengan jalan yang mudah membingkai kehidupan serta proses usahanya dengan kegiatan spiritual. Melalui kegiatan ini kita akan selalu bersama Tuhan dalam segala aktivitas, selalu dibimbing untuk mencapai tujuan. Jelasnya aktivitas spiritual bukanlah hanya milik rohaniawan saja. Aktivitas Spiritual bukan melarang untuk melakukan kegiatan duniawi yang berlandaskan dharma itu sendiri.

Kemudian berupa apa kegiatan spiritual yang dapat dilakukan oleh para pengusaha (calon pengusaha itu)? Secara empiris praktis dapat dilakukan dalam berbagai langkah: Langkah awal persiapan selain persiapan materi, fisik, SDM pengelolaan. Secara religi maupun spiritual, hendaknya dipersiapkan juga hal-hal seperti tempat suci, ista dewata yang dipuja sebagai pengayom, pemberi keselamatan, penolak bala (kekuatan negatif), baik nyata maupun gaib. Serta penempatan simbolis-simbolis manifestasi-Nya yang tepat dan berjiwa. Sangat disayangkan penempatan simbolis Yang Kuasa hanya merupakan hiasan biasa, serta tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, penempatan patung Ganesha tidak pada tempatnya. Penempelan keramik lukisan Radha Krisna Govindha/Krisna Gembala di depan kamar mandi, dan sebagainya. Hal ini selain dapat dikatakan pelecehan, akan dapat merupakan awal bencana.

Langkah pelaksanaan, proses usaha selain dikelola secara managemen yang tepat, secara spiritual dapat dilakukan dengan doa-doa penyerahan diri serta semua usaha itu kepada Beliau, Sang Pencipta yang mengatur segala kegiatan ini. Selanjutnya, langkah pensyukuran, ucapan rasa angayu bagya, atas berkah serta wara nugraha-Nya.

Dengan demikian, kegiatan usaha merupakan kegiatan yang mulia. Sewanam (pengabdi) kepada sesama, serta yang Kuasa untuk menciptakan tujuan kehidupan yang sejati, kesejahteraan lahir dan bathin. Terakhir sebagai penguat iman, pengabdi Tuhan yang mulia, bijak dikutipkan ayat suci Bhagawad Gita Bab VII.16.
Catur – Vidhā bhajante mām
Janãh sukrtino 'rjuna,
Ārto jijñasur arthārthi
jñani ca bharata sabha
Ada empat macam orang yang baik hati memuja kepada-Ku, wahai Arjuna, (yaitu) mereka yang sengsara/menderita, yang mengejar ilmu, yang mencari harta dan mencari kebijaksanaan wahai Arjuna.

Selanjutnya......

Menyadari Atma dengan Kontemplasi pada Tuhan

Nyoman Tarsana

Pada suatu hari ketika sedang berbincang-bincang dengan para menteri dan anggota keluarga istana setelah makan malam, Raja Janaka merasa sedikit kelelahan kemudian ia beristirahat di tempat tidurnya. Permaisuri dan pelayan-pelayan istana melayani raja dalam segala hal hingga Raja mulai mengantuk. Melihat keadaan ini permaisuri memberi tanda dengan gerakan tangannya untuk keluar ruangan, sementara permaisuri sendiri duduk di dekat raja. Setelah beberapa saat, Raja tiba-tiba bangun dan mulai berkata-kata berulang-ulang dengan keras, “Apakah ini yang benar atau itu?”

Permaisuri merasa khawatir dan menanyakan kepada Raja beberapa pertanyaan, tetapi Raja Janaka tidak menjawab, tetapi ia terus saja berujar “Apakah ini yang benar atau yang itu?” Kemudian permaisuri mengutus pelayan-pelayannya untuk memanggil para menteri. Perdana menteri datang dan menanyakan kepada Raja tentang apa yang menjadi keragu-raguannya. Tetapi tetap saja memberikan hanya satu jawaban, “Apakah ini yang benar atau itu?”

Para menteri kemudian menghadap Bhagawan Wasistha, pendeta istana. Beliau kemudian menanyakan kepada Raja, “Oh Raja! Apa yang telah terjadi?” Begitu juga terhadap Bhagawan, Janaka memberikan jawaban yang sama. Bhagawan Wasistha kemudian memejamkan mata untuk meditasi. Beliau memiliki mata waskita yang menjadikannya mampu mengetahui tiga periode waktu, yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan kemampuannya itu, Bhagawan kemudian menjelaskan kepada para menteri, bahwa Raja tengah bermimpi. Apa yang Raja lihat dalam mimpinya adalah sebagai berikut: dia telah kehilangan kerajaannya dan kemudian berkelana di dalam hutan. Di dalam hutan ia merasa sangat lapar sekali dan mulai berteriak, “Aku lapar” “Aku lapar”. Sementara itu, sekawanan pencuri sedang makan sesuatu di sana. Ketika melihat Raja, mereka berpikir, kasihan orang ini tampaknya seperti seorang Raja. Karena itu mereka memberikan Janaka makanan. Ketika Raja mengulurkan tangannya untuk menerima makanan yang diberikan oleh pencuri, tiba-tiba seekor burung elang menukik ke bawah dan merampas makanan itu dari tangan Raja.
Karena Raja tidak dapat melindungi makanan yang telah diberikan kepadanya, maka Raja mulai lagi berteriak dengan kerasnya, “Aku lapar, aku lapar.” Di penghujung waktu ini Raja bangun dari tidurnya. Katika Raja terbangun, ia melihat dirinya tengah berada di pembaringan; sementara dalam mimpinya ia merasa berkelana dalam hutan dan didera kelaparan. Maka dari itu Raja bertanya, mana yang benar, yang ini atau itu?

Bhagawan Wasistha mengungkapkan kenyataan ini kepada semua yang hadir, kemudian beliau menyampaikan kepada Raja dan menyadarkannya akan realita itu dan berkata, “Oh Raja, bukannya yang ini yang benar atau yang itu. Engkau sedang berada dalam mimpimu dan engkau sedang berada di sana dalam keadaan sadar. Tetapi mimpi itu tidak ada ketika engkau bangun, dan keadaanmu waktu bangun tidak ada dalam mimpi. Apa yang ada dalam dua keadaan itu, dalam mimpi dan juga dalam keadaan bangun/terjaga, itu memang benar.” Dalam keadaan penyangkalan yang sebenarnya, hidup ini hanyalah sebuah mimpi. Jika paham akan hal tersebut, maka mimpi ini dapat dimusnakhkan kapan saja. Manusia harus mengarahkan hidupnya kepada tanpa keterikatan akan hal-hal bersifat duniawi.

Apakah arti yang mendalam dari cerita ini? Apa pun yang dialami atau dirasakan oleh manusia di dunia ini akan musnah pada akhirnya dalam kandungan sang waktu, suatu hari atau kapan saja. Hanya pengalaman dari atma yang permanen. Cara yang mungkin untuk memperoleh pengalaman dari atma yang mungkin untuk memperoleh pengalaman dari atma hanya dengan berkontemplasi pada Tuhan. Dari Tuhan-lah manusia memperoleh kebahagiaan abadi, karena merupakan kebenaran yang abadi. Tuhan digambarkan sebagai Nirguna niranjanam, nitya, suddha, budhha, mukta, nirmala swarupinam (Tuhan tidak mempunya atribut, tak tercela, menjadi tujuan terakhir, abadi suci, tercerahkan, bebas dan perwujudan dari kesucian). Manusia hanya dapat memperoleh kebahagiaan abadi dari Tuhan.

Apabila Anda lapar, Anda akan pergi ke kantin, membayar beberapa rupiah untuk makan nasi dan rasa lapar terpuaskan. Apabila rasa lapar itu telah terpuaskan, Anda akan merasa bahagia. Tetapi berapa lamakah rasa bahagia Anda dapat bertahan? Anda akan merasa lapar lagi setelah dua jam berlalu. Oleh karena itu, kebahagiaan yang didapatkan dari makan nasi hanya bertahan singkat sekali. Anda harus makan lagi untuk memuaskan rasa lapar berikutnya. Semua kebahagiaan duniawi bersifat sementara dan hilang sewaktu-waktu. Karena itu Adi Sankara mengatakan: punarapi jananam punarapi maranam, punarapi maranam, punarapi janani jathare sayanam, iha samsare bahu dustare, kripayapare pahi murare (Oh Tuhan, hamba terperangkap dalam lingkaran kelahiran dan kematian ini; dari waktu ke waktu hamba sedang mengalami penderitaan berada di rahim ibu. Sangat sulit sekali untuk mengarungi lautan kehidupan duniaiwi ini. Tolong bantulah hamba untuk menyeberangi lautan ini dan karuniailah hamba pembebasan).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat sementara seperti awan yang datang dan pergi di angkasa. Tidak seorang pun yang tahu kapan dia akan meninggalkan badannya. Badan ini mudah berubah seperti gelembung air dan pikiran itu tidak tenang, seperti monyet gila. Karenanya jangan mengikuti badan, jangan mengikuti pikiran, ikutilah kesadaran itu. Kesadaran itu adalah saksi Anda. Apabila Anda mengikuti pikiran yang berubah-ubah dan badan yang sementara, hasilnya juga terbatas jadi sementara.
Dalam dunia yang sementara ini, Anda mungkin dapat mengalami/merasakan kebahagiaan jika Anda memiliki kekayaan atau seperangkat alat yang dapat mendatangkan kenikmatan, tetapi itu semua tidak menjamin. Ada banyak sekali contoh orang yang memiliki segalanya di dunia ini, nyatanya mereka tidak bahagia. Dhritarastra memiliki kekayaan yang melimpah dan istana yang mewah, tetapi dia tidak bahagia. Walaupun ia memiliki tempat tidur yang empuk, kasur dari bulu burung yang halus untuk ditiduri, tetapi pikirannya liar dan garang, seperti gunung berapi.

Kenikmatan-kenikmatan fisik ini tidak dapat memberikan kebahagiaan yang sebenarnya. Jika Anda memiliki cukup uang, Anda mungkin bisa melengkapi kamar Anda dengan AC. Bagaimanapun juga, AC itu hanya akan dapat menyejukkan badan saja, bukan pikiran. Berkontemplasilah kepada Tuhan itu sendiri baru dapat menyejukkan pikiran kita.

Anda mungkin memiliki semua jenis alat yang dapat dipakai untuk menyenangkan dalam hidup ini. Tetapi alat itu tidak adapat dipakai untuk menenangkan pikiran yang gelisah. Arjuna berkata kepada Krishna “Chanchalam hi manah Krishna pramathi Balavadrudham (pikiran itu sangat goyah, bergolak dan sangat kuat, pikiran itu perubahannya sangat tinggi, bandel dan berbahaya. Bagaimana saya bisa mengalami kebahagiaan dengan pikiran ini?”). Kemudian Krishna menjawab, “Wahai orang yang tolol, lakukanlah seperti apa yang kamu ucapkan. Jangan mengikuti pikiranmu, jangan pikirkan pikiranmu lagi, jangan hiraukan dia sama sekali. Pikirkanlah selalu tentang Aku (Tuhan).”

Arjuna bertanya, “Swami! Bagaimana saya bisa memikirkanMu, ketika saya berada di medan perang?” Krishna lalu menjawab, “Maan anusmara yuddhyacha (ingatlah Aku dan bertempurlah dalam peperangan). Engkau mungkin berada dalam di dalam rapatnya barisan pejuang, tetapi sebenarnya hanya badanmulah yang bertempur. Apa yang dilakukan oleh pikiranmu? Pusatkanlah pikiranmu kepada-Ku.”

Apabila Anda berkontemplasi kepada Tuhan dalam segala situasi dan di bawah keadaan apa pun, Anda tentunya akan mengalami kebahagiaan yang abadi. Anda dapat melakukannya dengan cara apa saja, tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Pikiran Anda mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan hal ini.

Selanjutnya......