Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 16 Maret 2011

Melasti dan Mencari Berkah Laut

Setahun sekali, umat Hindu di Bali dan sejumlah daerah lain di Indonesia mengadakan upacara melasti. Upacara pergi ke tepi air (laut, danau, sumber mata air lain) untuk menghanyutkan kekotoran batin dan mengambil amrtha, yaitu inspirasi baru untuk menghadapi hidup ke depan.
Apakah makna melasti sedangkal itu, sementara dalamnya samudra yang dikunjungi saban tahun dalam ajang ritual itu sungguh tak terkira? Meskipun dalam budaya Bali sangat akrab dengan konsep sekala-niskala di dalam memahami sesuatu, tetapi dalam rutinitas tahunan yang diperagakan dalam ritual melasti nampaknya bolehlah kita katakan, kalau peristiwa itu masih hanya diapresiasi sebatas pemaknaan niskala saja. Lalu apakah pesan sekala dari ritual itu, apakah umat Hindu alpa akan prinsip keseimbangan sekala-niskala ini?

Dalam lontar Sundarigama dan Swamandala disebutkan, “.........melasti ngarania ngiring prewatek dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, amet sarining amertha ring telenging segara.” Artinya: “............melasti adalah membawa semua pratima dewata untuk menghanyutkan kekotoran, penderitaan, dan unsur-unsur dunia yang tidak baik serta mengambil tirta amrta di tengah laut.

Dalam petikan lontar tersebut jelas-jelas disebutkan “mengambil amrtha di tengah laut” yang tentunya bermakna, dalam prosesi melasti ini ada amanat sekala (perintah nyata-empiris duniawi), supaya umat Hindu mengakrabi lautan. Amrtha di tengah laut itu berarti sumber penghidupan yang terkandung di dalamnya dan umat Hindu dimotivasi untuk menumbuhkan kemampuan untuk memiliki kemampuan membawa amrtha itu kembali ke rumah masing-masing. Jika amrtha secara niskala itu adalah disimbolikkan dalam wujud tirtha, maka amrtha dalam makna sekala tentulah berbagai hasil laut, seperti ikan, mutiara, rumput laut, dan lain-lain yang bisa dimanfaatkan sebagai penopang hidup.

Bali adalah pulau kecil, jadi sungguh mengherankan juga jika penduduknya secara tradisional berebut di sektor agraris dan kurang memaksimalkan lautan sebagai lahan yang bisa diolah untuk kesejahteraan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan daerah Sulawesi misalnya, di mana daratannya luas, hutannya melimpah (dulu) tetapi secara tradisi justru masyarakatnya lebih mengandalkan lautan sebagai penopang kehidupannya. Sebutlah suku Bugis yang terkenal sebagai pelaut dan pembuat kapal kayu. Kebudayaan maritim mereka jauh lebih maju daripada kebudayaan agrarisnya. Dengan demikian, Bali dan Sulawesi adalah sama-sama menunjukkan keunikan, yang pulaunya besar malahan meninggalkan pulaunya untuk pergi ke laut, sementara Bali yang wilayahnya kecil justru berjubel di daratan dan membiarkan sumberdaya lautnya tak tergarap.

Apakah Bali tidak memiliki budaya bahari sama sekali? Memang di sejumlah pantai di Bali secara turun-temurun ada kantong-kantong nelayan tradisional, seperti di Kusamba, Kedonganan, Seseh, Kuta (dulu), Serangan, dan tempat-tempat lain di Bali. Beberapa penduduk juga menjadi peladang garam seperti di daerah Suwung Denpasar, namun keberadaannya sungguh-sungguh marginal.
Pada era belakangan budidaya rumput laut sempat menjadi primadona di kawasan Nusa Lembongan dan tempat lain, demikian juga tambak ikan bandeng mulai diminati di daerah Jembrana. Tapi semua itu rupanya masih jauh kurang menggiurkan dibandingkan pesona pariwisata yang dianggap lebih cepat menghasilkan uang yang banyak, meskipun ekses dari industri pariwisata besar-besaran dan menggila itu membuat lautan malah tercemari.

Pada zaman Sri Watur Enggong menjadi raja di Gelgel, kerajaannya memiliki armada laut bernama Dulang Mangap yang salah satunya berlayar menuju Blambangan untuk menaklukkan negeri itu. Ini artinya, soal kemampuan melaut orang-orang Bali memiliki kemampuan untuk itu, tetapi mungkin kemudian yang tidak mentradisi adalah budaya teknologi kelautan yang tidak berkembang, sehingga penghasilan nelayan tidak kunjung meningkat yang menyebabkan sektor ini akhirnya menjadi pilihan terakhir.

Di jaman dulu di Bali, orang mengagung-agungkan Tabanan sebagai daerah subur yang menghasilkan padi melimpah, bahkan hingga kini pun masih saja ada orang yang terjebak mitos itu. Kenyataannya tidak ada orang yang mengagung-agungkan daerah Kusamba misalnya, sebagai tempat panen ikan laut yang melimpah, sehingga nelayannya kaya-kaya. Tak ada cerita seperti itu di masa lampau hingga masa sekarang. Ini semua pertanda tidak adanya kemampuan dari orang-orang Bali menikmati kekayaan hasil lautnya, karena terkendala oleh berbagai hal. Berbeda dengan Jepang misalnya yang penduduknya bangga menjadi nelayan, karena teknologi yang mereka pelajari dan kembangkan memungkinkannya untuk mengeksplorasi hasil lautnya untuk kesejahteraan hidup mereka di daratan.

Narasi di atas sekadar untuk menunjukkan, bahwa butuh perjuangan keras (Karma Yoga) di dalam kehidupan beragama, supaya konsep-konsep keagamaan, seperti melasti, sekala-niskala, tirtha amrtha, pemuteran Mandara Giri dan lain-lain akhirnya memiliki korelasi dengan kehidupan empiris (duniawi). Jika agama melulu dimaknai dari sisi mitis-mitologis, maka semua aksi dan reaksi ritual akan menjadi pertunjukan monoton sekadar menjadi dekorasi sebuah zaman, dan manakala zaman telah berubah sungguh dekorasi tersebut akhirnya kelihatan tampil lucu dan asing bagi zamannya.

Semangat pemaknaan aktifitas keagamaan ke ranah empiris praktis ini perlu diketengahkan di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk yang menuntut pertambahan sumber makanan. Agama tidaklah bisa dijadikan sarana untuk sekadar melamunkan hal-hal normatif tanpa memiliki akarnya di bumi. Jika cara beragama seperti ini terus digalakkan, maka akan terulanglah tragedi Rsi Drona, seorang Rsi dengan kaliber pengetahuan keagamaan, tetapi sekadar untuk membelikan Aswatama kecil susu saja tidak sanggup, sehingga untuk sekadar gengsi supaya para tetangganya mengira Aswatama kecil sudah minum susu, maka ibunya mengolesi bibir anaknya dengan air beras. Pun, karena ketidakberadayaan ekonomi brahmana hebat ini, trauma kemiskinan membuatnya memutuskan untuk memerintahkan Pandawa menyerang Drupada sebagai guru daksina dari Pandawa. Begitulah kisah bercerita, Raja Drupada kalah dan setengah kerajaannya menjadi hak Rsi Drona, dan menjadilah ia Rsi kaya raya seketika.

Berbeda dengan Rsi Wasistha yang memelihara lembu Kamadhuk. Lembu Kamadhuk dapat menyediakan apa saja yang diminta tuannya. Ibarat zaman sekarang, Rsi Wasistha memiliki rekening tak terbatas (non limited). Dengan lembu Kamadhuk inilah Rsi Wasistha dapat melakukan berbagai kebaikan, membantu umat, dan kepentingan duniawi lainnya. Demikianlah idealnya, ahli agama harus dapat memberdayakan dirinya supaya bermanfaat bagi dunia. Hal yang sama berlaku bagi penganut Hindu, ajaran-ajaran keagamaan idealnya tidak berhenti pada tataran mitis-mitologis, tetapi harus mampu menunjukkan korelasinya pada tataran praktis.

Melasti memberikan umat Hindu pesan, terutama Bali sebagai pulau kecil yang minim sumberdaya sepatutnya semakin menambah sumber-sumber penghidupan bagi penduduknya. Meskipun industri pariwisata di masa kini dapat dijadikan banyak tumpuan masyarakat, tetapi tak ada jaminan industri ini akan bertahan selamanya atau setidak-tidaknya tentu sangat berat, jika sektor itu harus menanggung beban Bali yang penduduknya terus bertambah. Untuk itu, Bali perlu mengembangkan kebijakan yang terukur untuk mulai menggarap potensi lautnya dengan serius bukan sekadar menjadikannya sektor pelengkap (penderita) seperti selama ini berlaku.

N. Putrawan

Selanjutnya......

Melasti Semestinya Memperkuat Karakter, Bukan Hanya Seremonial

I Wayan Miasa

Masyarakat Hindu memang memiliki banyak jenis upacara penyucian secara skala-niskala. Mulai dari upacara mebayuh, mebiakaon, melis atau yang di India ada namanya kumbhamela. Upacara penyucian atau pembersihan ini dilakukan dalam kaitannya dengan ritual –ritual tertentu.
Pada jaman dulu ritual melasti atau disebut jugas melis, mekiyis, dilaksanakan selain ke pantai juga pergi ke sumber mata air (klebutan), sungai dan danau. Karena itu para tetua mensterilkan kawasan tersebut supaya bebas dari sesuatu yang bisa dianggap berpotensi mencemarkan secara skala dan niskala. Lokasi itu betul-betul dijaga kesuciannya.

Seorang peneliti Jepang, Masaru Emoto pernah meneliti manfaat doa yang dilantunkan dekat air atau kepada air. Dari hasil penelitiannya itu ia mendapat temuan, bahwa doa-doa yang dilantunkan kepada air akan mempengaruhi komposisi air tersebut sesuai bunyi doa-doa yang dilantunkan di dekatnya.

Sehubungan dengan melasti di jaman kini, di mana masyarakat kita telah banyak berubah dalam segala aspek kehidupannya, baik secara material maupun rohani. Hal ini karena pengaruh peradaban, kemajuan jaman dan berbagai alasan praktis ditambah semakin pesatnya pengaruh konsumerisme yang menciptakan masyarakat konsumtif.

Hal ini membuat ekosistem mengalami perubahan fungsi ke arah yang semakin beragam. Misalnya di pantai Kuta, Sanur, Kusamba, dan sebagainya, di mana tempat-tempat dimaksud kini juga sudah ramai dengan kepentingan pariwisata. Ini membawa implikasi, bahwa melasti yang diselenggarakan tidak hanya semata-mata menjadi aktifitas spiritual, tetapi akan menjadi tontonan bagi para turis. Oleh karena itu perlu rasanya kita mengemas acara melasti ini secara bijaksana agar membawa manfaat secara skala dan niskala, supaya semua kepentingan bisa berjalan tanpa saling mengganggu.

Ada contoh nyata dalam upacara melasti di suatu pantai, di mana melasti ini diikuti oleh banyak umat hingga iring-iringan mobil peserta melasti mencapai dua kilometer panjangnya. Namun ketika tiba di pantai yang berpartisipasi dalam bersembahyang jumlahnya sedikit saja, seperti pemangku, pemunut pretima, dan tapakan, sementara peserta lain menggunakan kesempatan itu untuk pelesiran, belanja dan macam-macam urusan di luar kegiatan melasti.

Kemudian ada sedikit ketimpangan saat kegiatan melasti ini, di mana ada kasus-kasus umat yang ikut ngiring melasti saat berbelanja makanan dan keperluan lainnya kemudian tidak mendisiplinkan diri untuk belajar membuang sampah di tempat yang telah tersedia. Jika sampah bekas kemasan makanan dan minuman berupa kaleng, plastik terbawa air laut kemudian menyangkut di terumbu karang, bukankah itu akan merusak habitat terumbu karang dan juga merusak habitan sumber hayati laut secara luas. Di sinilah terjadinya ketimpangan, yaitu tiadanya kesadaran untuk memelihara kelestarian lautan sebagai sumber amrta, tetapi amanat “....... anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, .......” malah diwujudnyatakan dalam perilaku nyata dengan menjejali laut dengan sampah saat melasti (membuang kekotoran ke laut).

Perlu dipahami, bahwa melasti atau melis itu bukan sekadar acara penyucian, tetapi lebih dari itu, orang jaman dulu melakukan melasti atau melis ke laut karena laut adalah sumber kekayaan untuk mendukung aktifitas keagamaan mereka. Dewa Kuvera, Dewa Baruna adalah sang penguasa samudra dan kekayaan, maka umat memohon kepada beliau dengan cara melasti. Dengan demikian, melasti sekalian memberikan kesempatan kepada umat untuk memanjatkan doa-doa ke hadapannya.

Mungkin situasi masa lampau sedikit berbeda dengan sekarang, karena kepentingan bisnis di lautan masih terbatas, sehingga laut dan pantai relatif masih lestari, asri dan bersih. Ekosistem yang demikian memungkinkan biota laut bisa hidup sehat, para nelayan pun bisa mendapatkan tangkapan ikan atau hasil laut cukup melimpah. Hal ini boleh diibaratkan, para nelayan mendapatkan tirta kamandalu atau sanjiwani, seperti apa yang digambarkan dalam cerita Dewa Ruci.

Laut merupakan aspek yang penting bagi kehidupan kita, tidak saja sebagai tempat melasti, tetapi lebish luas dari itu. Oleh karena pentingnya keberadaan lautan tersebut, maka masyarakat perlu menjaganya supaya dapat memanfaatkan laut dengan baik. Bukti-bukti pentingnya fungsi lautan bisa dibaca dalam cerita Pemuteran Mandara Giri, perjalanan nyegara-gunung, Perjalanan Bima Mencari Tirtha Amrtha dan lain-lain. Bila laut telah tercemar, bisa dibayangkan efek samping yang akan ditimbulkan pada alam sekitarnya. Bagaimana kita bisa membicarakan kesucian, kalau lingkungan tempat kita melasti dipenuhi sampah, air lautnya tercemar limbah dan sejenisnya. Jika kondisinya demikian, layakkah sebagai sumber penyucian? Meskipun Bhagawadgita II.23-25 menjelaskan keberadaan sifat-sifat Tuhan, dewa, betara yang menyatakan keberadaan beliau tak terkontaminasi oleh keadaan sekitar, tetapi pasti berpengaruh pada perasaan pikiran kita sebagai pelaksana keagamaan itu.

Karena itu perlu umat Hindu menjaga kebersihan dan kesucian air danau, sungai, samudra dan sumber mata air lain, sehingga dapat menjadi sumber kehidupan yang berfungsi baik. Hal ini bisa bertolak belakang bila laut dan pantai serta tempat lainnya hanya dieksplorasi demi kepentingan material. Akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan kita. Terlebih lagi di daerah-daerah kawasan wisata, di mana patani-pantai yang dulu bersih, terlindungi, kini setelah “dicaplok” kepentingan bisnis pariwisata, maka suatu saat kita akan mengalami kesulitan mencari tempat yang ideal untuk melasti. Belum lagi urusan teknis, seperti masalah parkir yang terbatas. Masih mungkinkah kita menikmati kegiatan spiritual kita di tengah kepungan sampah menumpuk, bau tak sedap menyengat dan wisatawan hanya berbikini lalu lalang di depan kita menggelar sesajen saat melasti?

Saat Pemerintah Provinsi Bali mengumandangkan kampanye “Clean and Green” maka sebagai warga Hindu terhormat, sebagai tuan rumah di buminya sendiri, maka sudah sewajarnya para tokoh umat, tokoh desa pakraman memberi pencerahan kepada krama desa supaya membiasakan hidup tertib, hidup bersih, paling tidak saat melasti. Jangan jadikan melasti sebagai ajang menyumbang sampah ke pantai dan laut, tapi jadikanlah ajang sebagai penyadaran, bahwa amrtha yang dimaksud adalah sumber hayati yang dipelihara kelestariannya dan diberdayakan seutuhnya untuk kesejahteraan manusia secara bijaksana.

Bila acara melasti ini sukses secara skala-niskala, maka melasti itu adalah bagaikan perjalanan mencari amrtha. Acara penyucian berhasil dan alam pun bebas dari pencemaran. Ingatlah, melasti itu bukan hanya menyucikan pretima, tetapi juga untuk menyucikan kebiasaan kita berperilaku. Melasti bukan hanya mengambil tirtha amrtha secara spiritual dalam artian abstrak, tetapi juga makna mengambil manfaat ekonomis dari laut sesuai porsi yang dimungkinkan alam dapat menanggungnya. Jika sudah demikian, maka ritual melasti ini tidak lagi hanya menjadi seremonial tahunan yang gempita di sisi aksesoris luarnya, tetapi juga semakin memperkaya umat Hindu di dalam memperbaiki susila (perilaku)-nya dan memperbaiki taraf hidup ekonominya.

Kalau ritualnya saja yang sukses, tetapi tidak membawa perubahan mentalitas atau kebiasaan hidup kita, maka melasti tentu belum bisa diklaim penyucian itu berhasil. Bukankah ada slogan bijak: pikiran dibersihakn oleh perbuatan baik? Karena itu, di masa-masa selanjutnya, perlu gerakan untuk mendidik generasi muda Hindu, supaya dapat memanfaatkan kegiatan ritual untuk memperkuat karakter dan budi pekerti mereka. Bila hal ini terwujud, maka citra masyarakat yang berkarakter luhur itulah disebut kamandhalu atau sanjiwani.

Selanjutnya......

Pengembangan Ekonomi Kelautan Butuh Keberpihakan Politik

Raditya sengaja mewawancarai Dr. I Wayan Koster, MM., salah satu putra Bali yang kini menjadi anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP. Bagaimanakah pandangan lelaki kelahiran Singaraja – Bali, 20 Oktober 1962 ini tentang prospek ekonomi kelautan Bali di masa depan. Berikut petikan wawancaranya.

Umat Hindu telah turun temurun memanfaatkan pantai dan lautan sebagai tempat ritual, tapi menurut Bapak apakah masyarakat Bali sudah memanfaatkan pantai dan lautan dari sisi ekonomi ?

Kalau dari sisi pariwisata pantai dan lautan di Bali merupakan objek wisata yang telah berkembang sejak dahulu dan terus berkembang sampai saat ini. Pantai dan lautan di Bali merupakan objek wisata yang sangat indah dan menarik bagi wisatawan Nusantara dan wisatawan manca negara. Inilah yang mendorong terjadinya pembangunan yang sangat pesat dalam bidang sarana-prasarana wisata seperti hotel, villa, restauran, dan sarana komersial lainnya. Karena itu, pantai dan lautan Bali telah menjadi sentra perekonomian masyarakat, artinya dari sisi ekonomi telah dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Bali.

Sebenarnya berapa besar potensi lautan Bali yang bisa dieksplorasi untuk kesejahteraan masyarakat Bali ?

Potensi lautan Bali adalah sangat besar dari sisi perekonomian. Pengembangan dan pemanfaatan lautan Bali lebih banyak baru untuk tujuan wisata. Sejatinya, pengembangan dan pemanfaatan laut tidak saja dari segi pendekatan pariwisata, tetapi juga dari segi pendekatan pengembangan dan pemanfaatan isi lautan itu sendiri, ini yang belum dilakukan secara optimal. Kita bisa melakukan budi daya ikan, baik ikan untuk dikonsumsi maupun ikan hias. Tetapi untuk itu perlu penelitian dan pemetaan. Selain itu perlu diintervensi dengan teknologi, sehingga bisa menghasilkan ikan yang berkualitas untuk bisa memenuhi kebutuhan hotel berbintang lima dan untuk ekspor. Selama ini kita masih impor ikan yang kualitasnya tinggi untuk memenuhi kebutuhan hotel berbintang lima seperti untuk restoran Jepang, dan lain-lain. Kita juga bisa mengembangkan kapal penangkap ikan dan pabrik pengolah ikan, sehingga ikan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Ke depan kita perlu lebih giat mengembangkan dan memanfaatkan isi lautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sekarang sudah berapa persen yang tergarap?

Kalau dihitung dengan persen berapa potensi lautan yang sudah digarap, tentu sulit dihitung dengan tepat, tetapi secara kasar kita bisa menilai bahwa potensi kelautan yang baru dikembangkan masih dibawah 50 persen, artinya kita belum mengembangkan secara optimal.

Apa hambatan-hambatan yang menyebabkan potensi kelautan Bali belum begitu
tergarap?


Ada sejumlah hambatan, diantaranya sebagai berikut. Pertama, kebijakan politik dan regulasi secara nasional belum berorientasi atau berpihak pada pengembangan kelautan. Akibatnya dari segi kebijakan program dan anggaran dalam APBN maupun APBD masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor lainnya. Kedua, kita belum mencetak sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga SDM dalam bidang kelautan masih amat langka. Ketiga, kita belum melakukan penelitian dan pengembangan secara memadai mengenai potensi kelautan guna melakukan pemetaan, sehingga investasi dari sektor swasta belum berkembang dengan baik. Akibatnya yang terjadi sekarang adalah pencurian ikan secara besar-besaran olah kapal asing, sehingga merugikan negara mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Keempat, kita belum mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industri dalam memberdayakan potensi kelautan. Kelima, investasi dalam bidang kelautan masih sangat minim dikarenakan regulasi yang belum baik, sehingga tidak menarik buat para investor.

Industri pariwisata yang investasinya dimiliki asing justru menjadikan
orang Bali dijauhkan dari pantai (karena hotel dan villa di pantai milik asing
menutup pantai di wilayahnya) bagaimana menyikapinya?


Menurut saya, itu tergantung dari regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harus ada regulasi yang jelas, mana yang bisa dilepas kepada investor besar (bukan orang lokal), dan mana yang harus diberikan kepada pengusaha/masyarakat lokal. Bagaimanapun kita memang tidak bisa menutup kesempatan orang luar untuk berinvestasi dalam bidang pariwisata karena sifatnya terbuka, tetapi tetap harus ada ruang untuk memberi kesempatan kepada pengusaha/ masyarakat lokal agar orang Bali jangan hanya menjadi penonton di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertumbuhan pariwisata di Bali. Kalau sudah ada regulasi yang jelas, tidak ada masalah orang luar investasi dengan skala besar, hal itu juga terjadi di daerah lain dan juga di negara lain.

Adakah langkah strategis bagi Bali ke depan untuk menggarap potensi laut,
selain hanya melihat sektor pariwisata yang semakin jenuh dan pertanian yang
lambat pertumbuhannya?


Harus ada perubahan cara pandang (mindset) yang dimulai dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (eksekutif maupun legislatifnya) serta masyarakat. Bahwa potensi laut lebih besar dari potensi pertanian, kehutanan, dan sumber daya alam lainnya. Karena itu, ke depan harus ada perubahan dalam paradigma pembangunan nasional dan pembangunan daerah yang lebih berpihak atau lebih memprioritaskan pada sektor kelautan. Itu perlu regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan, keputusan politik, dan kebijakan dalam bentuk program dengan anggaran serta alokasi sumber daya lain untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi kelautan dalam membangun perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bila itu dilakukan dengan kebijakan yang tegas, saya yakin, sektor kelautan akan mampu membuka banyak lapangan kerja baru, mengatasi kemiskinan, memajukan perekonomian rakyat dan meningkatkan pendapatan negara guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

(Pewawancara: Putrawan)

Selanjutnya......

Melasti Saat Pantai Dikuasai Pihak Asing

Gede Agus Budi Adnyana

Pemberlakukan Undang-undang. No 5 Tahun 1990 adalah untuk melestarikan dan melindungi, serta menjaga apa pun yang menjadi sumber daya alam Nusantara, baik secara ekosistemnya dan keberlangsungan pemberdayaan kehidupan secara makro, yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Merujuk pada UU tersebut, maka pantai merupakan sumber daya alam yang dilindungi oleh undang-undang dan pemanfaatannya tidak dapat dimonopoli oleh satu orang saja. Sebab ini menyangkut keberlangsungan sumber daya hayati tersebut dan keseimbangan alam itu sendiri.
Oleh sebab itu, saya sedikit miris dan prihatin melihat di sepanjang pesisir pantai yang sejak tahun 2000 masih berada dalam kondisi baik yang masyarakat pakraman di sepanjang pantai mampu digunakan untuk aktifitas khalayak banyak, sekarang malah didominasi oleh satu orang yang berduit. Dengan kata lain, menunduk pada budaya kapitalisme, ngandap kasor ring wong sugih, membuat pesisir pantai kita sekarang sudah habis dijejali hotel dan villa, yang mana secara ekosistem sumber daya alamnya, tentu akan mengalami sebuah gangguan sekala dan niskala.

Sekala, ada banyak masyarakat kecil yang tadinya mencari nafkah dengan mencari ikan kemudian menaruh perahu mereka di sana, tiba-tiba saja harus rela kehilangan lahan parkir perahu mereka, karena di sana ada villa yang berdiri lengkap dengan tempat tidur bule yang berjejer rapi. Nelayan kecil jadi enggan untuk tetap berada di sana, hasil akhirnya adalah mengeluh dan mengelus dada sendiri. Padahal pantai merupakan wilayah Sumber Daya Alam (SDA) yang dilindungi keberadaannya dengan undang-undang.

Sekarang dari sisi niskala, mengapa leluhur kita terdahulu membuat pura-pura yang begitu perkasa di tepi pantai? Hanya untuk menjaga kesucian, membentengi Bali, dan secara harfiah ikut juga menjaga SDA pantai, yang di tahun 1990 baru diundangkan. Dengan demikian, khalayak masyarakat ramai akan menggunakan pantai untuk kepentingan bersama, penjagaan ekosistemnya juga dilakukan secara niskala, dan dengan jalan itu masyarakat dapat melakukan proses melasti di pantai dengan nyaman. Sekarang apakah masih demikian?

Saya rasa tidak, sebab pantai sekarang sudah penuh sesak oleh bangunan yang menutup kemungkinan masyarakat kecil ikut mencari nafkah di sana, juga semakin susah orang Hindu Bali melakukan melasti, dan semakin memudarlah taksu Bali. Sebab pantai dengan kondisi yang demikian sekarang sudah tidak seabra dahulu. Banyak bekas alat kontrasepsi bertebaran, yang membuat saya harus pindah –pindah untuk mencari tempat baik yang nyaman bersih dan tenang untuk meditasi.

Bahkan Bhisama Parisadha untuk radius kesucian pura, apeneleng dan juga apenimpug, tidak lagi digubris. Ada banyak pura yang berdiri di tepi pantai, tapi alangkah terkejutnya saya ketika Pura Sagara di salah satu pantai di Gianyar harus berdampingan dengan villa, dan pemiliknya pun adalah orang asing. Ketika tahun 2004, saya senang pergi ke seputaran wilayah pantai di seputaran Gianyar karena ada banyak tempat yang baik untuk melakukan aktifitas. Kemudian di sepanjang pesisir itu ada banyak perahu nelayan yang dengan indahnya berjejer sambil menawarkan ikan segar. Sewaktu upacara Nangluk Mrna, maka dari sebelah timur hingga barat, pantai Gianyar tetap tersedia tempat bagi umat Hindu seluruh Gianyar untuk menghaturkan bhakti.

Pengamatan ini juga dilakukan oleh DR.Drs. Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. pada kesempatan pemberikan Kapita Selekta Pendidikan Agama Hindu di Pasca-sarjana IHDN Denpasar. Beliau pernah menyampaikan, bahwa sekarang sebagian besar pantai yang ada villanya bukan milik manusia Bali lagi. Dengan demikian Bali bisa saja menjadi Betawi yang ke dua. Atau Majapahit yang selanjutnya. Bahkan dalam bedah buku, tanggal 28 Januari 2011 lalu, tentang Geneologi Keruntuhan Majapahit oleh Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmaja, MA, disinggung tentang pemertahanan SDA dan SDM Bali yang sedang sekarat.

Jika kita kaitkan dengan fenomena terkikisnya sedikit-demi sedikit pantai Bali, maka kita akan sampai pada sebuah teori “Makan Bubur Panas” dalam sebuah mangkok. Jika seseorang makan bubur panas, maka tidak akan mungkin langsung memakan dengan satu sendok makan penuh. Bertahap dari samping, terus sedikit demiki sedikit, dari sisi piring terpinggir dan akhirnya bubur pun habis.

Demikian juga Bali, pantai kita di pesisir sedikit-demi sedikit dibanguni villa, hotel dan sebagainya. Kemudian ditutup dengan alasan berbagai macam hal. Anak Bali asli lantas pindah ke gunung, terus demikian. Terkikis, dan SDA alam Bali menjadi milik perorangan. Alangkah konyol dan sangat gila, jika suatu ketika nanti, ada upacara melasti, pengiring pluss Ida Bhatara harus membayar karcis masuk ke pantai untuk melakukan uparaca melasti, disebabkan pantai itu milik perorangan.

Menukik kembali apa yang pernah dinyatakan oleh Mangku Pastika, mantan Kapolda Bali yang kini tengah menjabat sebagai Gubernur Bali, bahwa untuk meng-ajeg-kan Bali, yang paling fundamental adalah jangan menjual tanah Bali. Untuk meng-ajeg-kan Bali, maka tanah lah yang harus di-ajegkan. Sebab peradaban dan kebudayaan, hanya dapat ada, berkembang dan lestari di atas tanah dan wilayah.

Ini bukan masalah Chauvinisme atau Sukuisme yang ortodoks dan paranoid. Tetapi ini merupakan langkah nyata untuk sebuah agama Hindu, pemertahanan yang baik dan perlu dilakukan untuk tetap memelihara kebhinekaan, dan kita tidak harus menunduk terus pada pemegang kapital yang notabene orang asing. Sekarang, masih bisa belum terlambat. Tetapi jika kita tutup mata, tutup telinga dengan apa yang menimpa pantai kita, maka 30 tahun lagi, masihkah manusia Hindu Bali dapat melasti dengan baik?

Selanjutnya......

MELASTI, KISAH TIGA NAGA DAN KOMODIFIKASI LAUT

Ida Ayu Tary Puspa

Melasti adalah prosesi ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang melekat pada pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Akan tetapi, melasti bukan hanya dilaksanakan pada waktu merayakan Nyepi. Sering pula umat Hindu merayakan yadnya tertentu dengan melasti terlebih dahulu. Baik merayakan Nyepi, mlaspas, ngodalin, melasti maupun ngebejiang yang dituju adalah air. Air demikian memiliki peran dalam kehidupan manusia terlebih di dalam Hindu dalam kontek religi. Segala aktivitas ritual mulai dari lahir sampai meninggal memerlukan air, yaitu tirta.
Di dalam Panca Maha Butha terdapat unsur air, baik yang ada di dalam diri kita sebagai manusia maupun yang ada di alam ini. Itulah sebabnya ketika upacara ngaben, setelah jenazah menjadi abu, maka dilanjutkan dengan menghanyutkan sekah karena untuk mengembalikan unsur pembentuk raga manusia kepada alam semesta ini. Demikian besar peran air dalam ritual Hindu.

Tentang siklus air sehingga dapat digunakan manusia dalam segala aspek kehidupan tidak terlepas dari peran Tuhan (dalam manifestasi sebagai Tri Murti) seperti yang termuat dalam Lontar Siwagama. Kerika sudah cukup lama alam ini mengalami keseimbangan, maka suatu saat alam ini pun mengalami kemerosotan ditandai dengan tidak adanya lagi tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh manusia maupun binatang. Dewa Siwa kasihan melihat manusia dan alam di bumi mengalami musibah, maka diutuslah Dewa Tri Murti untuk menyelamatkan Bumi. Turun Dewa Brahma menjelma menjadi Naga Ananta Boga lalu masuk ke dalam tanah. Dewa Wisnu turun menjelma menjadi Naga Basuki. Kepala Naga Basuki itu menjadi laut, ekornya menjadi gunung. Dewa Iswara turun menjelma menjadi Naga Tatsaka, yaitu naga yang bersayap terus terbang memasuki udara atau lapisan angkasa. Dengan turunnya Dewa Brahma menjadi Naga Ananta Boga, maka tanah pun menjadi gembur dan subur. Kepala Naga Basuki masuk ke laut menggerakkan air laut sampai menguap menjadi mendung kemudian menurunkan hujan. Hujan pun ditampung oleh gunung sebagai perwujudan ekor Naga Basuki sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Gunung sebagai tempat menyimpan air hujan kemudian baru akan dialirkan ke danau, mata air, dan sungai. Setelah aliran itu sampai di masing-masing tempat tadi, barulah manusia dan makhluk hidup lainnya dapat memanfaatkan air itu untuk kehidupan. Naga Tatsaka mengibas-ibaskan sayapnya menimbulkan desauan angin yang dapat menyejukkan makhluk hidup di bumi ini. Peran ketiga naga ini yang tak lain adalah penjelmaan Dewa Tri Murti sungguh besar

Ada pula sumber lain yang memberikan kita suatu tuntunan tentang bagaimana menghormati air sebelum kita akan memberdayakannnya, yaitu dalam kitab Mahabarata kisah tentang Bima Ruci. Bima diperintahkan Sang Guru Drona untuk mencari Tirta Amrta di tengah samudra. Dalam perjalanan mencari tirta amrta itu, Bima banyak menemukan rintangan seperti perlawanan yang dilakukan oleh Raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Dalam pengembaraannya yang tiada gentar di samudra luas, Bima dililit oleh Naga raksasa, sehingga samudra pun menjadi lautan darah. Oleh karena ketekunan, keberanian, dan bhakti pada gurunya, akhirnya Bima menemukan tirta amrta itu.

Sejalan dengan kisah di atas, maka salah satu Parwa dari Asta Dasa Parwa yang ada pun mengisahkan tentang pemutaran Mandara Giri, tepatnya yang termuat pada Adi Parwa. Umat Hindu di Bali memaknai kisah-kisah itu menjadi suatu tuntunan dalam berkehidupan religius menjadi sebuah ritual yang disebut dengan Melasti. Seperti yang termuat di dalam Lontar Sundarigama dan Lontar Swamandala disebutkan bahwa:
“.............melasti ngarania ngiring prewatek dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, amet sarining amertha ring telenging segara”

Terjemahannya:
...............melasti namanya membawa seluruh pratima dewata untuk menghanyutkan kekotoran, penderitaan, dan unsur-unsur dunia yang tidak baik serta mengambil tirta amrta di tengah laut.

Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang dikeluarkan oleh PHDI Pusat dinyatakan bahwa “melasti nganyudang malaning gumi ngamet tirta amrtha.

Sejatinya melasti bukanlah merupakan ritual yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian dari ritual tertentu sebagai simbolis pembersihan lahir batin, menghilangkan segala kekotoran dan penderitaan di dunia ini sehingga manusia mendapatkan kesucian hati dan pikiran yang akan menumbuhkan sinergi harmonisasi kehidupan manusia dengan Sang Pencipta, manusia, dan alam (Tri Hita Karana).

Mungkin saja kita berpikir kenapa ke laut kita melasti untuk ngamet tirta amrtha? Bukankah laut merupakan tempat melebur segalanya? Secara ilmiah di lautlah terjadinya siklus hidup dan pembersihan alamiah. Di laut bila ada ikan, baik besar maupun kecil akan membuang kotoran organik dan kotoran tersebut diubah oleh bakteri menjadi produk organik. Produk ini merupakan bahan makanan dan memungkinkan hidup serta tumbuhnya ganggang laut dan plankton yang menjadi sumber makanan ikan kecil. Ikan kecil sendri merupakan makanan ikan besar. Bila ada ikan besar dan kecil yang mati, bangkainya diubah menjadi bahan anorganik untuk menjadi makanan ganggang dan plankton. Demikianlah siklus klehidupan di laut yang berjalan alami dan sempurna di tengah laut, sehingga kesucian dan kejernihan air laut tetap terpelihara.

Bercermin pada uraian melasti dan kisah tiga naga perwujudan Dewa Tri Murti semoga umat Hindu dapat memahaminya, sehingga menjalankan ritual kaya akan makna bukan tanpa makna apa-apa karena kita dituntun untuk selalu tidak merusak dan mengotori samudra. Kalau kita merusak dan mengotori samudra berarti kita akan mengotori mulut Naga Basuki yang tidak lain adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Menebang pohon sembarang di gunung akan pula menyakiti ekor Naga Basuki yang merupakan Dewa Wisnu sendiri. Udara pun demikian hendaknya tetap terpelihara tanpa polusi agar kita menghormati Naga Tatsaka yang tidak lain adalah Dewa Iswara sendiri. Tanah pertiwi pun demikian pula hendaknya tidak tercemar dan tetap terpelihara sebagai rasa hormat kita kepada Naga Ananta Boga yang merupakan penjelmaan Dewa Brahma.

Sejatinya tuntunan di dalam lontar Swamandala itu memberikan kita inspirasi untuk menjaga tiga hal di muka bumi ini. Akan tetapi kenyataannya ternyata manusia pun merusak ketiga bagian alam ini. Karena telah terjadi eksploitasi alanm secara berlebihan melalui kapitalisme, insdustrialisasi, komodifikasi, dan ideologi pasar yang membawa alam kita sebagai produk/komoditas. Pemberdayaan laut bagus sepanjang tidak keluar dari aturan dan akhlak etika ekologi. Melalui melasti, kita ngamet amerta, kita jadikan amerta yang kita ambil di laut berupa aura,vibrasi, termasuk air laut sendiri dapat menjadi sumbangan inspirasi religius spiritual dalam kita berkehidupan.

Selanjutnya......

Umat Hindu Nusantara Maligya ke India

Sejumlah 25 orang umat Hindu dari berbagai daerah di Indonesia menyelenggarakan upacara Maligya ke India, untuk ngiringang para leluhur mereka ke tanah tempat turunnya wahyu suci Weda. Rombongan yang berangkat tanggal 23 Januari 2011 dan kembali lagi di Bali pada 29 Januari 2011 melakoni sejumlah ritual di tanah India dengan pembimbing spiritual sekaligus pamuput Ida Pedanda Gde Nabe Bang Buruan Manuaba bersama Pedanda istri, Ida Pedanda Istri Keniten.
Acara Maligya ke India oleh masyarakat Hindu Indonesia baru pertama kali ini dilaksanakan dan digagas oleh Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba dari Geriya Bang Swarga Manuaba, Muding, Kerobokan, Badung. Menurut Ida Pedanda, kegiatan ini semata-mata untuk melayani umat, karena banyak di antara peminat tirta yatra ke India belum merasa puas, jika tidak disertai upacara model Hindu di Bali. Karena itulah, kegiatan bernuansa keagamaan ini ditawarkan kepada masyarakat yang ternyata mendapat sambutan antusias.

Bertindak sebagai Tri Manggalaning Yadnya adalah, Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba selaku pamuput, Ida Pedanda Istri Keniten selaku wiku tapini dan Jro Mangku Wayan Suniarti sebagai Yajamana.

“Memang selama ini umat Hindu kita di Bali sudah diberikan karunia oleh Ida Hyang Widhi, sehingga memiliki kemampuan untuk ber-tirta yatra sampai ke India, tetapi dari pengalaman mereka ternyata ada juga yang kurang merasakan kepuasan bathin dari tirta yatra itu, karena menurut mereka tirta yatra-nya mirip pelesiran saja. Nah, karena itulah kita kemudian gagas tirta yatra dengan tujuan utama Maligya sebagai rentetan prosesi Pitra Yadnya,” jelas Ida Pedanda Kepada Raditya awal Februari 2011 lalu di Geriya Muding. Pedanda menambahkan, kegiatan ini pun telah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan dilaporkan ke Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar RI di New Delhi.

Para peserta Maligya berasal dari Lampung, Lombok, Jembrana, Tabanan, Denpasar, Badung, Singaraja, Klungkung dan Karangasem. Untuk mengikuti tirta yatra plus Maligya ini, peserta harus merogoh sakunya sejumlah Rp 16 juta lebih. Maklum, biaya sebesar itu sudah termasuk akomodasi perjalanan, hotel, upakara, fee untuk tempat-tempat suci yang dikunjungi dan kebutuhan lainnya yang dikelola travel. Ikut diangkut sejumlah banten, sanggar tawang rong tiga, surya lingga, Siwa lingga, lingga sapta rsi dan Padma lingga.

Sebelum berangkat, masing-masing peserta nunas Bhatara Lingga di Geriya untuk dibawa ke rumah masing-masing untuk nunas sinar Ida Bhatara Hyang Guru. Setelah itu Bhatara Lingga kairing ke Geriya dan umat mengikuti prosesi selanjutnya berupa ngangget don bingin. Setelah semua prosesi selesai, Bhatara Lingga katangkilang ke Pura Luhur Uluwatu.

Tanggal 23 Januari 2011 rombongan akhirnya berangkat ke India melalui Bangkok. Aktifitas ritual dimulai tanggal 24 Januari 2011 dengan upacara ngulapin di Kurukshetra untuk ngelinggayang Panca Pandawa yang dilakukan di Bhisma Kund, tempat Rsi Bhisma roboh setelah dihujam ratusan anak panah Arjuna. Menurut Ida Pedanda, perlunya Meligya-kan Panca Pandawa, karena maknanya sama dengan memuliakan para Sapta Rsi sebagai leluhur umat Hindu. Selain itu, Panca Pandawa adalah orang-orang suci yang lahir ke dunia untuk mision tertentu bersama Sri Krishna.

Masih pada tanggal 24 Januari 2011 semua puspa lingga dari para peserta Maligya ketangkilang ke tempat turunnya wahyu suci Weda, tempat tersebut bernama Jyotisar.Di tempat ini Ida Pedanda memimpin ritual untuk mohon restu, semoha upacara Maligya yang diselenggarakan oleh umat Hindu Nusantara di India benar-benar mendapat hikmah dan sinar spiritual dari Tuhan.

Menginjak pada tahapan acara selanjutnya, yaitu pada 25 Januari 2011, semua peserta menuju Swarga Ashram di Haridwar yang terletak di hulu sungai Gangga. Di tempat inilah upacara Maligya dilaksanakan dengan mendirikan Sanggar Tawang Rong Tiga, kemudian Surya Lingga, Siwa Lingga dan lingga serta Sapta Rsi, juga Padma Lingga tempat puspa lingga. Jadi, secara vertikal dalam Padma Lingga ditempatkan lingga di tempat teratas, kemudian di bawahnya adalah Ratu Niang Ngurah Sakti mediksa Widhi, sementara yang paling bawah adalah puspa lingga dari peserta.

Prosesi upacara diawali dengan mecaru untuk nyarunin Swarga Ashram sebagai tempat upacara, tentunya dengan caru Shanti Ahimsa yang non daging. Dilanjutkan melasti ke sungai Gangga yang berada di dapan Ashram. Terjadi keajaiban saat itu, karena pada hari-hari biasa tidak ada sapi lewat di sana, tetapi pada saat melasti tempat itu didatangi sapi, hewan yang disucikan umat Hindu.

Setelah acara melasti selesai, peserta kemudian kembali ke Ashram.Saat itu Homatraya dipersiapkan diiringi pecaruan manca kelud, yang sebelumnya didahului dengan mepesaksi, meprayascita-durmanggala, pengulapan lis lengkap dengen eteh-eteh padudusan ngundang dewata-dewati, ngaturin atau ngaskara-tarpana dewa pitara. Selanjutnya diadakan diksha Widhi untuk Ratu Niang Sakti katapak oleh Bhatara Lingga Ida Bhatara Sakti Dwijendra dengan perantara atau media Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba.

Dikagumi Warga Lokal

Saat inilah banyak warga India menonton kegiatan ritual Bali yang baru pertama kalinya mereka saksikan. Beberapa orang berebut kwangen yang bekas dipakai sembahyang, dan Maharaj setempat menyampaikan kekagumannya terhadap ritual Bali ini. Lebih-lebih semua peserta berpakaian adat Bali, yang di mata mereka begitu asing, tapi mempesona.

Berbagai persiapan untuk Maligya puspa lingga telah disiapkan seperti, bubur madu pakem dan semua pratisenitana yang ngiring puspa lingga Dewa Pitra-nya mengikuti mandi Weda di sungai Gangga, katapak Bhatara Lingga berlanjut mengikuti prosesi mewinten dengan digosokkan batu mirah satu per satu ke setiap peserta, yang mana mirah itu kemudian dibawa pulang oleh setiap peserta. Perlengkapan mewinten dan mandi Weda menggunakan wanci tembaga (sejenis kaleng tempat air suci) bertuliskan lambang dewata nawa sanga dengan tangkai wanci diikat benang tri dhatu. Saat upacara mandi Weda dan pawintenan selesai, semua peserta mengenakan pakaian adat Bali putih-putih untuk kemudian mengikuti acara pemasmian puspa lingga yang abunya dihanyutkan di sungai Gangga, di daerah Horti Pura yang didahului dengan pakelem nyalian emas, udang perak, kepiting tembaga, lele besi, mirah panca desa. Waktu menghanyutkan abu puspa lingga inilah terjadi keajaiban, dimana salah seorang peserta cincin emasnya ikut “kaambil” oleh sungai Gangga dan hanyut terbawa arus Gangga. Padahal cincin itu menurut pengakuan pemiliknya sangat susah dilepaskan, bahkan dengan memakai sabun pun biasanya kadang bisa lepas kadang tidak. Tapi saat upacara itu cincin itu lenyap begitu saja.

Pada tanggal 26 Januari 2011 diadakan upacara nyegara-gunung di tempat pemandian para brahmana dengan bebangkit duang soroh. Sehabis nyegara-gunung semua peserta bertirta yatra ke Mamsa Devi yang terletak di sebuah bukit, di mana untuk mencapai lokasi itu peserta naik kereta gantung.

Untuk acara meajar-ajar, peserta ber-tirta yatra ke Mathura, tempat lahirnya Krishna, kemudian ke Vrindawan, Yamuna, Rsikesh, yang semua itu dilakukan pada 28 Januari 2011. Tanggal 29 Januari 2011 rombongan ini sudah kembali ke Bali dan mereka masih harus mengikuti upacara di Geriya Bang Swarga berupa upacara tarpana dan ngiring daksina linggih dan kwangen yang dibawa dari India diupacarakan dengan pulegembal. Peserta kemudian kembali ke rumahnya dengan membawa pejati, daksina linggih dan kwangen untuk disthanakan di Merajan masing-masing.

Banyak kenang-kenangan yang dialami Ida Pedanda yang pertamakali tirtyatra ke India untuk memimpin umat melakukan upacara Maligya. Misalnya, ternyata makanan India yang menggunakan serbuk rempah sangat sulit diterima orang-orang Bali. Selain menimbulkan iritasi tenggorokan, makanan itu juga menyebabkan diare bagi yang tidak kuat lambungnya. Syukurnya Ida Pedanda dan rombongan sudah berbekal sekaleng saur (kelapa parut digoreng/serundeng, dicampur kacang goreng). Di masa depan, jika ada perjalanan suci ke India untuk waktu lama, Ida Pedanda menyarankan untuk menyiapkan perbekalan bahan makanan sederhana dari rumah yang bisa tahan lama. Akan semakin bagus kalau bisa masak sendiri, sehingga ketidakcocokan makanan tidak akan menggangu aktifitas tirta yatra.

(Putrawan)

Selanjutnya......

Radius Suci Pura Dipermasalahkan Lagi

Laporan Nyoman Suamba

Peraturan Daerah No. 16/2009 tentang rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali tahun 2009-2029 ternyata menyulut polemik. Banyak pihak yang merasa dirugikan dengan Perda tersebut, bahkan Gubernur dibuat repot untuk menyurati kepala daerah tingkat II yang dinilai membangkang. Atas polemik itulah, maka pada Minggu, 13 Februari 2011, Gubernur Bali mengundang para Bupati/Walikota se Bali, DPRD, Parisada dan sejumlah sulinggih, MUDP, LSM, dan unsur lain untuk berdialog mencari solusi atas polemik ini.
Pada ajang diskusi yang diselenggarakan di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali, Bupati Badung Anak Agung Gde Agung menandaskan, bahwa pihaknya bukan bermaksud memberontak kepada Gubernur, melainkan menginginkan yang terbaik bagi masyarakatnya di Pecatu. Ia mengatakan, bahwa sebelum industri pariwisata merambah wilayah Pecatu, masyarakat setempat dikenal sebagai penyandang predikat Ho atau berkekurangan, penduduk makan ketela atau jagung. Kemudian setelah pariwisata merambah daerah tandus itu, ada mulai perbaikan kesejahteraan. Gde Agung mempertanyakan, “Bila radius 5 Km dari Pura Uluwatu harus dibebaskan dari bangunan pariwisata, sesuai dengan ketentuan bhisama PHDI maupun Perda, lantas apakah rakyat Pecatu harus kembali ke status HO?”

I Dewa Gede Ngurah Swastha, SH., dari Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang juga hadir di ruangan itu menyampaikan aspirasi dan sarannya, bahwa bangunan untuk kepentingan pariwisata di radius dimaksud, jika sudah terlanjur dibangun apalagi beroperasi, maka tidak usah diganggu. Tetapi ia meminta, untuk masa ke depan, supaya bhisama PHDI dan juga Perda hendaknya tidak diterobos lagi. “Ini sudah merupakan jalan tengah yang paling baik,” tegasnya.

Sedangkan Ida Pedanda Made Gunung menyatakan, kalau ia ingin bhisama itu diwujudnyatakan di lapangan supaya keasrian dan kesucian Bali yang religius tetap bertahan. Hal senada dilontarkan Ida Pedanda Gde Sebali Tianyar Arimbawa yang menyatakan, supaya warisan leluhur berupa tempat suci dan berbagai aturannya agar dilestarikan kesuciannya, seperti mengenai batas-batas areal kesucian pura adalah harga mati, apa pun dalihnya baginya tak perlu sampai melanggar norma etik tempat suci umat Hindu itu.

Di sela-sela forum diskusi itu, Raditya mewawancarai Kepala Kementerian Agama Provinsi Bali untuk melihat apa yang berkembang belakangan ini mengenai perda RTRW Propinsi Bali. Kepala Kemeterian Agama Provinsi Bali, Drs. IGAK Suthayasa, M.Si mengatakan, “Kita melihatnya dari dua sisi, yaitu secara sekala dan secara niskala. Secara sekala kita melihat banyak terdapat bangunan-bangunan suci seperti pura yang merupakan warisan leluhur yang patut kita jaga kelestarian dan kesuciannya,” ujarnya. Ia melanjutkan, bahwa tempat-tempat tersebut oleh umat Hindu telah dipergunakan sebagai wahana tempat untuk mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam segala manifestasinya, untuk itu diharapkan kita sebagai umat Hindu wajib untuk menjaga dan melestarikan kesucian tempat-tempat tersebut. Seperti istilah Hindu menguraikan ada batasan-batasan tertentu yang harus dimengerti seperti istilah apenimpug, yaitu jarak yang diperoleh dengan batas melemparkan batu sebesar genggaman tangan orang dewasa (sekitar 50 meter), kemudian apeneleng, yaitu jarak batas kemampuan mata memandang (sejauh 5 kilo meter), kemudian ada namanya apengambuhan, yaitu jarak terciumnya bau yang tidak sedap akibat berbagai aktifitas manusia, sedangkan terakhir apenyengker, yaitu batas tembok pura.

Semua batasan itu dimaksudkan supaya lingkungan pura dalam jarak tertentu dijaga supaya tidak tercemar, sehingga tidak mengganggu konsentrasi umat yang bersembahyang di pura. Untuk itulah bagi umat Hindu hendaknya menyadari, bahwa apa yang ada di Bali ini tidaklah hanya sekadar konsep melainkan konsep dalam pembangunan tata ruang untuk Bali sudah ada dan diamanatkan oleh sastra agama. Karena itulah Suthayasa meminta, Untuk merealisasikan konsep dari sastra agama Hindu tersebut, hendaknya kembali bercermin ke dalam pura yang ada di dalam diri, karena kalau kita berbicara menjaga kesucian pura tentu harus dikembalikan ke dalam fundamen tiap umat Hindu untuk mensucikan terlebih dahulu pura yang ada dalam dirinya.

Yang dimaksud pura dalam diri itu adalah bagaimana umat mampu merealisasikan tiga hal atau gerak yang harus disucikan sesuai konsep Tri Kaya Parisuda, yaitu berpikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik. Nah untuk merealisasikan wujud sekala ini diperlukan cara-cara yang profesional seperti diadakan dialog-dialog seperti pada pertemuan hari ini, sehingga dengan dialog yang melibatkan semua piha,k maka tidak ada lagi pikiran yang tidak baik. “Dengan dialog akan terjadi keterbukaan, dengan ketransfaranan ini tentu kita berharap secara nyata dapat menjaga kelestarian dan kesucian pura serta budaya Bali,” harapnya.

Menurutnya, dengan cara jalan dialog akan terjadi keterbukaan pikiran yang suci, seperti halnya dalam dunia kerja. Misalnya umat Hindu semua kita andaikan karyawan, sehingga untuk itu tentu diperlukan pembinaan hubungan baik antarumat, karena semua umat juga adalah ciptaan Tuhan yang patut kita hormati. Tanpa memandang asal, agama, kepintaran, bahkan tingkat kesadaran spiritualnya sekalipun, dalam hal ini seorang karyawan atau umat Hindu sudah sepatutnya bisa diajak berbagi. Demikian juga hubungan manusia dengan lingkungan , dalam hal ini lingkungan dapat disebut bhuta, yaitu segala hal yang sifatnya perlu bimbingan dan perlindungan dari umat sedharma yang dalam dunia kerja antara atasan dan bawahan. Karena manusia dibekali tiga hal yang membuatnya lebih sempurna dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya, dalam hal ini manusia berperan sebagai atasan dan lingkungan sebagai bawahan, jadi sudah seharusnyalah umat Hindu atau atasan menjaga dan memperlakukan bawahan atau lingkungan dengan cara yang baik. Dengan tidak semena-mena.

Demikian juga hubungan manusia dengan Tuhan sudah selayaknya kita sebagai umat Hindu bisa berpikir bahwa semua yang ada adalah ciptaan Tuhan. Dengan demikian apa pun yang umat manusia perbuat hendaknya selalu bercermin berdasarkan landasar sastra agama. Dengan demikian pertemuan apa pun yang mengutamakan sifat dialog tidak akan menimbulkan emosi, apabila sifat emosi tertanam dan berkembang, maka bukan sifat dewa yang keluar, melainkan sifat butakala. Karena buta kala dan sifat dewa merupakan sisi pandang dari niskala.

Untuk mewujudkan hal itu tentu harus dimulai dari hati ke hati dan harus dari pandangan manusia bukan dari pandangan yang berbeda, seperti kalau manusia memakai kacamata hitam maka semuanya akan kelihatan hitam, demikian juga kalau manusia memaklai kaca mata merah, dan putih maka semuanya akan terlihat seperti merah dan putih tadi. Jadi kalau manusia harus melihatnya dengan kaca mata putih, sehingga semuanya terlihat jernih. Artinya segala sesuatu hendaknya dipandang secara proporsional, apa dan bagaimana dan tidak menggunakan emosi semata.

Kalau alam kita rusak, maka akan terjadi bencana dan semuanya akan dirugikan. “Untuk itu saya selaku Kepala Kementerian Agama Propinsi Bali mengharapkan kepada umat sedharma, mari ikut berperan serta dalam menjaga alam ini mulai dari berpikir yang terkecil untuk menjaga alam lingkungan sekitar kita dan yang terpenting menjaga alam sarira, kita sehingga umat sedharma bisa berpikir yang suci,” ajaknya.

Kegagalan Tradisi Berdialog dengan Transisi
Di tempat terpisah, sejarawan dan penulis berbagai buku tentang agama, budaya, biografi dan sejarah, I Nyoman Putrawan ketika dimintai pendapatnya soal polemik RTRW yang berpangkal pada radius kesucian pura mengatakan, bahwa semua ini tak lebih dari sekadar nafsu bertarung antara pengusung tradisi dengan pengusung budaya kapitalistik. Kedua pihak bertahan di “benteng” nya masing-masing, karena kedua-duanya memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.

“Baru sekitar dua tahunan umur Perda ini, ketika ditetapkan kemudian pelaksanaannya langsung mendapat sandungan di daerah tingkat dua dan Pemprov Bali tak sanggup menjalankannya dengan tegas, sehingga harus melakukan dialog ulang. Apakah proses pembentukan Perda ini yang prematur, kurang data-data akurat, atau dialog ini memiliki agenda lain, jadi semuanya menjadi spekulatif dan mentah lagi,” jawab Putrawan di rumahnya.

Putrawan melihat kasus ini mencuat karena yang terjadi di sekitar Pura Uluwatu, karena di sekitarnya banyak lahan bernilai ekonomis tinggi, sementara bagaimana dengan Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan lain? Bagi penganut tradisi, memiliki pura ideal dengan pemandangan indah, nyaman, yang dapat menciptakan kekhusukan adalah harapan ideal baginya. Tetapi harapan-harapan religius itu tentu tak bisa diperoleh dengan cara non religius, atau dengan cara-cara melawan norma agama itu sendiri. Misalnya, demi keasrian pura, pemilik tanah di sekitar pura dilarang menjadikannya sebagai tempat bangunan komersial. Masyarakat juga dilarang menanam pohon-pohon besar dekat pura, sebab jika ada angin kencang ditakutkan pohon itu rebah menimpa pura. Bagus semua larangan itu, jika tanah di sekitar pura itu adalah pelaba pura yang bisa ditur semau gue. Nah, bagaimana jika tanah itu milik pribadi, adakah hak menista hak orang demi dengan dalih agar pura itu lestari, suci dan umat Hindu nyaman saat sembahyang? Inilah namanya mencari kenyamanan keagamaan dengan menimbulkan ketidaknyamanan di sektor profan dan terhadap masyarakat yang dirugikan dengan kebijakan itu.

“Saya heran juga, sejak tahun 1970 pulau ini menyatakan dirinya “menjual diri” demi pariwisata. Dan setelah sekian lama berlangsung sedikit orang baru nyadar, bahwa banyak kerugian yang harus ditanggungnya tinimbang hasil yang didapatkan oleh Bali, baik materi maupun moral. Kalau memang iya pulau ini mengembangkan pariwisata budaya, maka beli saja tanah penduduk dalam radius 5 km itu, maka selesailah urusan. Kenyamanan keagamaan berjalan dan rakyat pun tak merasa dirampas hak-haknya,” sarannya. Ia menambahkan, kalau pemerintah daerah kesulitan dana untuk membebaskan tanah seluas itu, maka alangkah lucunya setelah 40 tahun pariwisata budaya didengung-dengungkan di daerah ini, ternyata untuk membuat kawasan cagar budaya religius di Pecatu saja tidak sanggup, apalagi harus disuruh membangun sejumlah pura, membuat subak, menciptakan ratusan jenis tarian tabuh dan lain-lain. “Jika begini jangan salahkan pendapat saya, bahwa kita ini hanya mahir menjual warisan leluhur, tetapi tidak cakap dalam mempertahankannya, apalagi membuatnya bertambah kuat,” ucapnya mengakhiri pembicaraan.

Selanjutnya......

Politisi Muda Sederhana Pimpin Demokrat Bali Harapkan Kebangkitan dengan Inspirasi Mahabharata

Laporan Suamba

Setiap manusia harus melakukan kewajibannya masing-masing, sebagaimana diamanatkan dalam Bhagawad Gita. Bhagawad Gita menyebutkan: wahai Arjuna lakukanlah kewajibanmu dengan tanpa memikirkan hasilnya. “Demikian juga kami yang baru dilantik akan bekerja keras tanpa memikirkan hasil,” urai I Made Mudarta dalam pidato politiknya pada hari pelantikannya sebagai Ketua DPD Demokrat Bali periode 2011-2016, pada hari Senin, 14 Februari 2011 di Grand Bali Beach, Sanur.
Lebih lanjut, Mudarta menandaskan, bahwa kerja keras adalah ilmu tertinggi bagi pelayanan masyarakat. Dengan demikian, selaku pemegang pucuk tertinggi Partai Demokrat di Bali, pihaknya berharap mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat, terutama dukungan rekan-rekannya, agar bisa sukses menjalankan visi dan misi partai Demokrat di Bali.

Politisi muda asal Jembrana ini menggantikan I Gusti Bagus Alit Putra sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Bali. Pada acara pelantikan dihadiri Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Di sela-sela pidatonya, Mudarta juga menyatakan, bahwa dipilihnya tanggal 14 sebagai hari pelantikan pengurus baru partai Demokrat Bali, karena angka ini adalah merupakan angka persahabatan. Bagi manusia Bali, angka 14 ini pun adalah sangat spesial karena angka tersebut sangat sakral dan telah melalui batas ke 13, yaitu sesuai kisah Ramayana Dan Mahabharata di mana Panca Pandawa dan kisah dari Rama yang menjalani hukuman diasingkan ke hutan. Dari perjalanan tersebut pada tahun ke 14 lah merupakan akhir dari derita yang dialaminya. Demikian juga bagi partai Demokrat, angka 14 tersebut dipilih sebagai angka yang penting di mana konggres-konggres yang diadakan Demokrat pasti memilih angka 14 sebagai hari kegiatannya.

Made Mudarta membakar semangat kader partai dengan yel-yel “Demokrat” dan langsung dibalas kader partai dengan jawaban “Jaya” lanjut hadirin Mudarta mengumandangkan “SBY” dan hadirin menjawabnya dengan “Yes”. Begitu juga manakala Mudarta mengumandangkan nama “Anas”, spontan kader menjawab dengan “Mantap” dan pada giliran nama “Mudarta” dikumandangkan, hadirin menjawabnya dengan “Oke”.

Mudarta menegaskan, bahwa partainya berada di level tertinggi di tingkat nasional, diibaratkan bintang- bintang di antara planet-planet ciptaan Tuhan. “Demokrat adalah bintang, di mana Demokrat berada pada rel yang sudah ada, seperti jangkar semuanya sudah jelas. Demokrat bukan seperti oplet yang bisa disewa setiap saat. Demokrat ibarat kereta api yang mempunyai jalur yang pasti,” ujar Mudarta.

Made Mudarta, pria kelahiran Nusamara, Desa Yeh Mbang Kangin, Mendoyo, Jembrana, pada 28 Nopember 1969 adalah pengusaha percetakan dan property. Suami dari Ni Wayan Sumayani ini adalah mantan Ketua Penjaringan DPRD Provinsi Bali untuk Partai Demokrat pada Pemilu lalu, tapi ia sendir tak ikut mencalonkan diri. Pada Pemilukada Jembrana lalu, DPP Partai Demokrat pernah memintanya untuk maju sebagai bakal calon Bupati Jembrana, tetapi ia menolak, karena Mudarta sendiri tidak ambisi dengan posisi jabatan itu.

Tema acara pelantikan hari itu adalah “Selebrasi Politik Harmoni” yang mengandung harapan, agar semua partai politik hidup rukun di bumi Indonesia. Apa pun partai politik itu, pada prinsipnya semua untuk kesejahteraan bersama sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 45. Untuk memelihara kerukunan antarpartai politik, ia menyodorkan filosofi pelangi. Tak segan-segan Mudarta lantas unjuk kebolehan menyanyikan lagu pelangi-pelangi, sebuah lagu anak-anak. Usai itu ia menegaskan, bahwa pelangi tersebut sebagai sebuah keanekaragaman yang diciptakan Tuhan. Dari keanekaragaman tersebut tercipta berbagai budaya, karakter dan sikap politik. “Kalau satu partai politik mengganggu warga lain berarti telah mengganggu ciptaan Tuhan,” urainya.

Bagi-Bagi Bantuan
Acara pelantikan tersebut diawali dengan tarian penyambutan Garuda Wisnu yang bermakna, bahwa seorang pemimpin yang selalu merangkul rakyat bawahannya dari suku, ras, dan agama apa pun mereka berasal. Setelah sajian tari penyambutan, acara dilanjutkan dengan sambutan kehormatan kepada Pimpinan Partai, undangan dan peserta pelantikan. Kemudian diisi dengan selebrasi paduan suara, yaitu menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dipimpin langsung Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Berikutnya disuguhkan Himne Demokrat yang dibawakan oleh anak-anak SMA dan diikuti oleh peserta. Kemudian Sambutan Panitia Acara Pelantikan, IB. Astawa. Astawa mengatakan, acara ini dipilih bertepatan dengan hari valentine day, dimaksudkan untuk menyampaikan rasa kebersamaan dalam kasih bagi sesama kader, juga untuk berbagai partai dan untuk semua masyarakat Indonesia, khususnya Bali. Harapan dari ketua panitia adalah semoga kegiatan ini dapat sukses dan dituntun oleh Ida Sanghyang Widi Wasa, agar mendapatkan Anugerah. Kemudian dilanjutkan oleh pengumuman –pengumuman SK Pengurus yang disampaikan langsung oleh Sekjen Partai Demokrat, Edi Baskoro Yudoyono atau yang akrab di panggil Ibas. Setelah pembacaan SK Pengurus, acara dilanjutkan dengan pembacaan janji pengurus yang langsung dipimpin Ketua Umum Pusat Partai Demokrat yang diisi dengan berfoto bersama.

Acara hari itu semakin meriah dengan sambutan Gubernur Bali dalam hal ini diwakili oleh I.B Sedawa sebagai Staf ahli. Sedawa menyampaikan dengan kepengurusan Partai Demokrat Bali yang baru ini Gubernur berharap, agar apa pun selalu mengedepankan musyawarah dan kebersamaan, agar kehidupan perpolitikan di Bali dapat terealisasi dengan baik dan berbudaya. Gubernur Bali menilai kiprah partai yang ada di Bali saat ini tengah berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini harus selalu dipertahankan dengan mengedepankan konsep menyama braya.

Tampil ke podium pada giliran berikutnya, Anas Urbaningrum dengan memberikan pengarahan yang lebih banyak memberi motivasi dan mengulas makna tema “Selebrasi Politik Harmoni”. Ia mengatakan, politik dapat dijadikan penyeimbang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga dalam membangun kerukunan kehidupan bangsa salah satunya adalah dengan mewujdukan harmoni, sesuai tema pelantikan hari itu.

Anas juga menyempatkan diri untuk menyinggung kehidupan pariwisata di Bali yang diakuinya sebagai identitas pariwisata nasional. “Pariwisata Bali bukan pariwisata hanya untuk masyarakat Bali, melainkan pariwisata Bali telah diakui sebagai identitas pariwisata nasional,” ungkapnya dengan semangat yang disambut aplaus.

Acara hari itu juga dijadikan Partai Demokrat Bali sebagai ajang menunjukkan kepedulian sosial. Hal ini ditunjukkan dengan penyerahan Bantuan sosial dari seluruh kabupaten, baik anak yang berprestasi dari berbagai kabupaten yang ada di Bali, juga pemain Drama Gong seperti Dolar, demikian juga untuk keluarga yang terkena bencana banjir di Buleleng. Bantuan juga diberikan kepada pelaku seni kerawitan gending Cangak dari Negara, juga pemain terbaik sepak bola Bali yang dicoret oleh PSSI tanpa alasan yang jelas, termasuk sumbangan bagi anak-anak kurang mampu, dan sebagainya.

Selanjutnya......

Dari India Utara hingga Selatan, Tirta Yatra ke Situs Suci Kuno

Laporan Agus Indra Udayana

Tirtayatra yang ditekankan sejak era Itihasa dan Purana sampai saat ini masih menjadi tradisi utama bagi umat Hindu. Mengunjungi daerah atau tempat-tempat suci yang diyakini mampu memberikan dampak spiritual bagi pelaku menjadi salah satu event religius yang penting di dalam kehidupannya. Sejak beberapa tahun terkahir umat Hindu di Indonesia mulai mengangap bahwa mengunjungi tempat-tempat suci di India sangat penting seiring dengan semakin disadarinya sumber asal perkembangan sanatana dharma (Hindu).
Seperti misalnya tirtayatra yang dilakukan oleh rombongan sebanyak 21 orang asal Bali yang didampingi oleh pengasuh Ashram Gandhi Puri BR Indra Udayana dan Pengasuh Ambar Ashram I Made Suambara ke beberapa tempat suci di India. Perjalanan dilakukan selama satu minggu dari tanggal 9 sampai 16 Desember 2010. Ada beberapa tempat yang dikunjungi di bagian utara India seperti Rishikesh, Haridvar, Kuruksetra, Mathura, Brindavan, dan Akshardam.
Rombongan selama 3 hari menginap di Omkara Gangga Sadan Rishikesh. Selama ini mereka dengan khusuk melakukan persembahyangan di beberapa temple dan juga mendapat dharsan dari beberapa guru suci yang berdiam disana. Rombongan juga mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sri Prabhuji dan Siddharta Krishna di Krishna kutir Omkara Gangga Sadan, Rishikesh. Rishikesh diyakini sebagai tempat di mana Rama melakukan tapa untuk membunuh Rawana. Laksmana, adik Rama saat itu menyeberangi sungai gangga dimana tempat penyeberangan itu sekarang disebut Lakshman Jhula. Aliran Sungai Gangga melawati Rishikesh meninggalkan Shivalik dan menuju daratan di wilayah bagian utara India sampai di Bay of Bengal. Rishikesh juga terkenal sebagai tempat berbagai ashram, temple dan organisasi spiritual besar seperti Divine Life Society, Paramartha, dan lain sebagainya.

Rombongan juga sempat mengikuti Arathi Gangga di Haridvar. Arathi adalah salah satu pemujaan Hindu dengan menggunakan api untuk Dewa melalui nyanyian Ilahi yang dikidungkan bersama. Haridvar adalah salah satu tujuan penting tirtayatra. Haridvar adalah salah satu dari empat tempat (yang lainnya: Ujjain, Nasik, dan Allahabad) di mana Kumbha Mela diadakan (setiap 3 tahun). Diyakini, bahwa keempat tempat tersebut adalah tempat yang pernah ditetesi oleh Tirtha Amerta yang menetes saat dibawa oleh burung Garuda. Diyakini pula, bahwa dengan melakukan ritual mandi di sungai Gangga di Haridvar ini, seluruh dosa-dosa yang pernah dilakukannya akan terhapuskan serta akan meraih moksa. Di sekitaran tempat ini juga berdiri temple-temple penting seperti Mansa Dewi, Chandi Dewi, Maya Dewi dan yang lainnya.

Rombongan juga sempat mengunjungi Kurukshetra. Tempat ini juga disebut dharmakshetra, tempat di mana perang besar antara Kaurava dan Pandava terjadi. Di wilayah ini ada beberapa tempat yang penting untuk di kunjungi seperti Bhisma Kund (tempat bhisma berbaring di atas panah-panah Arjuna), Jyotisar (tempat turunnya Bhagavad gita), Brahma Sarovar (diyakini sebagai tempat dimana Brahma menciptakan alam semesta pertama kali), dan yang lainnya.

Dalam satu jurusan rombongan mengunjungi Taj Mahal, Mathura, dan Brindavan. Mathura adalah tempat kelahirannya Krishna, Brindavan merupakan tempat masa kecilnya Krishna, dan Taj Mahal merupakan situs peninggalan Kerajaan Mughal Shah Jahan untuk mengenang istrinya Mumtaz Mahal. Di tengah kota Delhi rombongan mengunjungi Akshardham, temple terbesar di dunia yang didirikan oleh BAPS atas prakarsa Pramuks Swami Maharaj.

Sebelum balik pulang, pada tanggal 15, rombongan menuju wilayah selatan India, yakni Chitoor via Chennai. Rombongan berkunjung ke Oneness University yang didirikan oleh Amma Bhagavan. Beliau diyakini sebagai Kalki Awatara. Rombongan sempat melakukan meditasi di temple berwarna putih yang disebut Oneness temple yang berbentuk Surya Yantra. Demikian juga rombongan mendapat kesempatan mendapat Dharsan langsung dari Amma Bhagavan. Seusai melakukan diksa paduka di Oneness temple, rombongan balik ke Chennai dan berangkat balik ke Bali.

GERBANG SPRIRITUAL DI INDIA SELATAN

Indra Udayana yang didampingi oleh 3 warga Ashram Gandhi Puri (I Gede Suwantana, I Nyoman Sukerta, dan I Made Sudarma) setelah mengantarkan rombongan ke bandara langsung menuju Chinmaya Heritage Centre yang kemudian disambut hangat oleh Swami Mitrananda, salah seorang Acharya yang sekaligus sebagai presiden Youth Wing Chinmaya Mission. Pada kesempatan tinggal beberapa hari ini, I Made Sudarma juga sempat menampilkan tari Bali Kebyar Duduk pada saat pertunjukan seni “2047” di Tapovan Hall, Chinmaya Heritage Center yang ditonton lebih dari 500 pengunjung.

Tanggal 19 Desember kita berangkat ke Trichy. Ada beberapa temple utama yang sangat penting dikunjungi di tempat ini, yakni Siwa temple di Tanjavur yang orang-orang di sana menyebutnya sebagai Tanjavur Temple. Temple ini sangat kuno dan besar dengan arsitektur yang unik. Semua bangunan terbuat dari batu dan doom yang terletak di puncak temple di atas Siwa lingga terbuat dari batu gelontongan yang beratnya ber ton-ton. Uniknya bayangan doom itu tidak pernah tampak di tanah saat matari bersinar dari arah manapun. Di sini juga terdapat Nandini (wahana Siwa) terbesar di dunia yang juga terbuat dari satu bongkah batu besar. Setiap hari temple ini dikunjungi puluhan ribu pengunjung dari seluruh India.

Temple yang paling terkenal di Trichy adalah Sri Ranganathaswamy temple atau orang menyebut sebagai Srirangam temple. Temple ini diyakini sebagai salah satu dari delapan Svayam Vyakta Ksetra (perwujudan langsung dewa Wisnu). Tujuh tempat lainnya adalah Srimushnam, Venkatadri (Tirumala), Saligram (Muktinath), Naimisaranya, Totadri, Pushkara dan Badrinath. Menurut sejarah temple ini dibuat pada masa kerajaan Chola pada abad ke-10. Keindahan arsitektur dan kemegahan bangunan membuat suasana temple ini sangat baik untuk dijadikan sebagai tempat tujuan tirtayatra.

Temple lain yang bagus untuk dikunjungi adalah Vinayaka temple di atas bukit di tengah-tengah kota Trichy. Temple ini letaknya tidak terlalu jauh dengan Srirangam. Dengan menyeberang sungai Kaveri, sekitar 15 menit temple ini bias kita capai dari sana. Untuk tiba di temple di mana dewa Ganesha dipuja diperlukan berjalan kaki menaiki bukit tersebut kurang lebih 30 menit. Hal yang menarik juga adalah kita bias melihat kota Trichy dan juga aliran sungai Kaveri.

Setelah mengunjungi temple tersebut kami melanjutkan perjalanan ke Madurai kurang lebih 5 jam perjalanan dengan bus. Madurai termasuk kota besar di wilayah Tamil Nadu. Di kota ini terdapat temple yang sangat besar dan indah yang disebut Meenakshi. Meenakshi adalah avatara dari Dewi Parwati yang secara luar dipuja oleh masyarakat Tamil. Temple ini dibangun oleh Raja Pandiyan pada abad ke-13. Konsep temple ini menyerupai temple Srirangam yakni pusat murti diapit oleh empat gapura utama. Gapura ini terbentuk dengan sangat tinggi dan megah.

Perjalanan terakhir sebelum akhirnya kembali ke Chennai adalah mengunjungi situs yang sangat penting yakni Rameswaram. Tempat ini adalah tempat dimana Rama beserta dengan pasukannya membangun jembatan ke alengka. Bersama dengan Kashi, Rameswaram merupakan tujuan tirtayatra paling utama. Bagi masyarakat Hindu, sebelum mengunjungi Rameswaram, hidup ini belum terasa lengkap. Di temple sendiri, pusat pemujaannya adalah Siwa lingga. Lingga yang dipuja juga adalah salah satu dari 12 Jyotirlingga yang tersebar di seluruh India.


PERTEMUAN DALAM UPAYA MERAKIT JARINGAN

Idealisme untuk mengedepankan pendidikan bagi pemuda-pemuda Bali selalu menjadi prioritas utama kemanapun BR Indra Udayana pergi. Belajar di India merupakan kesempatan emas untuk mengerti tentang hidup dan kehidupan, tidak hanya sekedar gelar kesarjanaan akademis mengingat kondisi alam dan lingkungan India mendukung tentang itu. Untuk mewujudkannya maka jaringan international adalah modal dasar baginya. Oleh karena demikian kapan pun mendapat kesempatan untuk ketemu orang, baik dalam forum maupun secara pribadi, BR Indra Udayana selalu berbicara tentang pendidikan serta kemungkinannya mendapat bea siswa bagi pemuda-pemuda Bali untuk belajar di India di segala disiplin Ilmu.

Perjalanan sebulan penuh yang dijadwalkan dari awal tidak memiliki rencana untuk mengikuti beberapa pertemuan penting di India, namun ketika kesempatan itu ada, BR Indra Udayana mengambilnya dan hadir sebagai delegasi. Pada kesempatan itu kami (BR Indra Udayana, I Gede Suwantana, I Nyoman Sukerta, dan I Made Sudarma) dari tanggal 25 sampai 27 Desember 2010 mengikuti International Hindu Summit di Mumbai untuk membahas permasalahan-permasalahan Hindu dan rencana 1st International Hindu Congress 2014. BR Indra Udayana dihubungi Swami Vigyananda, dan dari dialog tersebut, Swamiji mengundang kami untuk menghadari pertemuan tersebut.

Dalam kesempatan bicara di panggung, BR Indra Udayana dalam pertemuan 3 hari tersebut secara singkat mengungkap kondisi pendidikan masyarakat Bali terutama masalah pembelajaran sastra dan dengan tegas menyatakan, bahwa sekiranya organisasi-organisasi Hindu di India memberikan beasiswa bagi pemuda Bali untuk belajar sastra-sastra Hindu di India secara berkelanjutan. Permintaan ini disambut hangat oleh audience dan segera ditanggapi pihak beberapa pihak dan berjanji untuk memberikan beasiswa penuh beberapa pemuda Bali untuk belajar baik S1, S2 atau S3 di Benares Hindu University (BHU). Pada kesempatan ini pula, I Made Sudarma sempat menampilkan tarian Bali Kebyar Duduk di hadapan seluruh peserta yang hadir kurang lebih dari 39 negara.

Setelah 3 hari Hindu Summit tersebut, kami pun mendaptarkan diri untuk menghadiri Camp Hindu Visva Sangh Sibhir dari tanggal 29 Desember 2010 sampai 3 Januari 2011di Pune. Pada kesempatan ini, kami bertemu dengan pentolan-pentolan Hindu dari seluruh dunia. Tujuan camp ini adalah untuk memperkuat rasa kepemilikan terhadap tradisi-tradisi Hindu dan kemungkinannya untuk diaktualisasikan di dalam kehidupan masyarakat. Pada kesempatan itu, salah satu nara sumber sempat menyatakan bahwa sebuah negara memerlukan tentara untuk menjaga negara dari serangan luar sedangkan bagi Sibhir, di dalam tubuh Hindu sendiri mesti memiliki pasukan untuk melindungi diri sendiri di dalam. Bentuk pasukan tersebut bukanlah pasukan militer, tetapi pasukan intelektual yang paham akan (dalam istilahnya Sibhir) Hindutva (kehinduan). Mereka-mereka akan diajak melakukan tindakan untuk memperkenalkan tradisi kehinduan serta memberikan teladan bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya di dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah di Pune, kami menghadiri seminar International antar agama di Somaiya College, Mumbai. Kesempatan untuk menjadi peserta di dalam seminar tersebutpun sangat unik, sebab Dr. Kala Acharya teringat akan mendiang Shri Santilal Somaiya juga sahabat dekat BR Indra Udayana, mengenang 1 tahun berpulangnya Santilal Somaiya seorang bisnisman juga pendidik yang tangguh Direktur College bertemu saat di Hindu Summit. BR Indra Udayana diberikan kesempatan sebagai nara sumber dalam Seminar International Interfaith Dialogue yang mengambil topic “Mater and Spiritual” bersama puluhan Scholar dari berbagai negara. Dalam acara pembukaan acara ini pun penampilan Tari Kebyar Duduk dari Sacred of Arts Shanti Sena Ashram Gandhi Puri sempat memukau seluruh peserta.

Dari uraian BR Indra Udayana di depan seluruh peserta seminar, pihak Somaiya sangat terketuk dan tertarik untuk memberikan kesempatan bagi pemuda Bali untuk mendapatkan beasiswa dan menempuh pendidikan di sana. Yang sangat melegakan lagi di kesempatan tersebut kami bertemu Head of Department of Philosophy Mumbai University dan sekaligus mengundang BR Indra Udayana untuk memberikan kuliah umum di sana. Pada kesempatan ini pula, tawaran untuk belajar di Mumbai University dengan program beasiswa mengalir, terutama untuk kursus enam bulan tentang Niti Sastra. Semoga dengan ini semakin banyak anak muda Bali memanfaatkan peluang beasiswa dari international negara manapun berada, karena ke depan networking dan persaudaraan lintas bangsa tidak dapat dihindarkan.

Selanjutnya......

Kisah Kesadaran Seorang Kucela

Luh Made Sutarmi

Di pagi hari yang cerah, Kucela duduk dengan tenang menghadap pantai di pinggir utara. Udara pagi yang dingin berdesir menembus ruang-ruang kesadaran badan yang berlapis selimut tipis. Di sana terngiang pesan Krishna: tutup telingamu atas semua yang terjadi, biarkan dia hadir sebagai pengetahan yang membuat hidupmu berharga, sebab alam sedang memberikan pelajaran pada diri kita bahwa engkau memang sangat penting. Itulah pesan Krishna pada Kucela saat dia masih dalam usia permaianan.
Ajaran Krishna pada Kucela adalah pesan yang agung, yang tidak lekang sepanjang massa. Krishna menggambarkan bahwa kehidupan anak-anak adalah interaksi seorang pada kondisi murni. Dan itu terjadi dalam atmosfer anak-anak. Jiwa anak-anak adalah sebentuk kemurnian yang tak tergambarkan. Dengan berkembangnya pikiran manusia sering memasukan pikiran yang dilingkupi ego, milikku dan milikmu, sehingga wajar bila anak-anak TK berkelahi beberapa menit sudah berpelukan. Namun jika siswa tersinggung, diperlukan waktu lama untuk berpelukan kembali. Apalagi orang tua tersinggung, bisa-bisa dibawa sampai mati. Ini memberikan pelajaran, semakin tua seseorang, semakin sulit ia memaafkan.

Inilah fosil yang terus menggelembung dalam diri manusia. Ini juga yang bertanggungjawab kenapa kerja sama antarorang menjadi tidak sederhana. Itu sebabnya, mengatur kerja sama antarmasyarakat untuk menyelamatkan sebuah bangsa itu lebih sulit lagi. Menandatangani kesepakatan perdamaian antar negara, itu yang paling sulit dilakukan. Inilah pesan yang hendak dituturkan dalam interaksi Krishna dengan Kucela.

***
Saat bertemu Krishna, Kucela berkata: Krishna, Walapun engkau telah berkuasa sebagai penguasa Dwaraka, namun sifatmu tetap saja memperhatikan teman-teman lain termasuk diriku yang miskin ini. Walaupun saat ini aku miskin, kenapa begitu, apakah karena pendidikan itu membuat seseorang berubah menjadi ‘manusia pembeda?

Krishna berkata dengan senyum simpul, “Saudaraku Kucela, Aku tidak mau gegabah untuk menilai pendidikan dan pengalaman itu berbahaya bagi perkembangan jiwa seseorang. Ada memang pendidikan dan pengalaman yang membuat seseorang jadi fanatik, ada juga pendidikan dan pengalaman yang membuat manusia jadi rendah hati sekaligus memiliki pikiran terbuka (open minded). Manusia harus selalu bersikap waspada, Kucela!

“Apa yang harus dilakukan sebagai orang yang berpendidikan, Krishna?” tanya Kucela heran.

Krishna memegang pundak Kucela, sambil berkata, “Kucela, kegiatan yang sulit dilakukan manusia adalah memegang prinsip berpendidikan itu, atau berpengalaman sekaligus membuka diri pada orang lain. Prinsip itu menjadi sulit karena pengetahuan cenderung membangun kotak, kemudian membagi manusia ke dalam dua kelompok. Yang sesuai dengan kotak disebut teman, yang tidak sesuai menjadi lawan. Itu sebabnya banyak perang dan permusuhan di mana-mana, Kucela.”

“Lalu menurut Krishna, apa yang harus dilakukan manusia?” kata Kucela serius
Krishna melanjutkan, “Kucela, engkau harus menyadari bahwa sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, berjanjilah bahwa manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman. Artinya manusia lain bukan musuh sejatimu, yang menjadi musuhmu yang sebenar-benarnya adalah keserahkahanmu.”

“Keserakahan,” sela Kucela heran. “Ya, hanya bila engkau dapat menenangkan pikiranmu engkau akan mampu mengatasi nafsu, dan hanya setelah engkau berhasil menguasai nafsu engkau akan mampu mengendalikan amarah. Karena itu, langkah pertama untuk menaklukkan nafsu dan amarah ialah dengan membebaskan diri dari proses berpikir. Hal ini berlaku, baik untuk pengabdi maupun orang awam, keheningan pikiran sangat penting bagi seorang bhakta.”

Krishna melanjutkan: Kucela, membantu tanpa pamrih penting engkau hayati, dalam setiap kegiatan pertolongan, tidak saja yang diberi memperoleh manfaat, yang memberi pun memperoleh manfaat. Bahkan manfaat yang lebih besar, yaitu matinya ego sekaligus lahirnya kebaikan. Pemberian itu sudah sempurna hanya dengan dilaksanakan. Tanpa dihitung, tanpa ditagih, tanpa diharapkan. Melayani, itulah satu-satunya tujuan olah spiritual.

Engkau perlu tahu Kucela, bahwa Institusi keluarga yang sedang mengalami keruntuhan, hubungan antar manusia yang memanas di mana-mana, juga ikut ketularan. Ia yang tekun di jalan ini akan mengerti, dalam jangka panjang hanya kebaikan yang paling menyelamatkan, Artinya, ketika kita melaksanakan kebaikan sesungguhnya tidak saja sedang menolong orang, namun juga mendidik diri untuk menjadi baik. Dan kebaikan inilah suatu hari yang akan menyelamatkannya.

Memberilah terus menerus. Kata krishna, itu sebabnya, wajah mereka yang selalu memberi berubah menjadi lebih lembut setelah melakukan banyak pemberian. Untuk bisa memberi engkau harus menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa bersemayam dalam semuanya. Ajaran ini diberikan untukmu dan mereka yang belum menyadari kebenaran agung akan persatuan semua makhluk. Kucela mengangguk, tanda paham, Om Gam ganapataye namaha.

Selanjutnya......

Beragama dalam Konteks Negara Saat Ini

I Nyoman Tika

Radikalisme kembali mencuat di Indonesia terhadap kelompok agama. Negara seolah-olah membiarkan kejadian-demi kejadian yang mengoyak kedamaian dan kerukunan beragama di tanah air. Sekelompok orang hadir ingin menegakkan keperkasaannya untuk menegakkan kebenaran atas logika kelompok bukan atas logika-logika hukum negara. Celakanya negara terlambat (untuk tidak mengatakan diam) menyaksikan kekerasan-demi kekerasan hadir telanjang bulat dalam abad informasi saat ini. Apa penyebabnya? Lalu mungkinkah fenomena itu muncul akan muncul bagi umat Hindu?
Menurut Direktur International Crisis Group Indonesia, Sidney Jones (Kompas 17 Januari 2011), sesuai dengan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang memicu intoleransi tersebut, antara lain, proses ekspansi ajaran agama pada kawasan yang tidak tepat, culture demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi setiap umat, kurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah, dan kurang tegasnya pihak kepolisian. Sadar atau tidak dimensi-dimensi itu yang membuat ekskalasi kekerasan terhadap penganut agama terus meningkat.

Kondisi ini memang benar demikian, pihak kepolisian berdalih minimmnya dana dan personil dalam menghadapi massa yang kian bringas. Hal ini memang bukan semata-mata kesalahan kepolisian, ini semua kelengahan berbagai elemen negara dan masyarakat terhadap arus globalisasi informasi yang bisa melahirkan bayi-bayi konflik. Bayi-bayi itu tumbuh menggerogoti fondasi kebersamaan. Saat ini kebersamaan dikonstruksi atas kebohongan dan janji-janji palsu, namun bukan berdasarkan conscience–colective intelektual dan peningkatan kapasitas pendidikan masyarakat. Kepura-puraan itu kerap melahirkan masyarakat yang apatis dan apriori.

Oleh karena itu, perlu disadari beberapa asumsi Smelser (1968 ) tentang kontruksi masyarakat dalam memilih perilaku. Masyarakat akan cederung menjadi sebuah gerakan fungsional membentuk kultur-kultur baru yang bisa jadi jauh dari akar kultur bangsanya. Pemikiran Smelser adalah, pertama, masyarakat kolektif memiliki dua aksi, yakni perilaku kolektif yang inkonstitusional-konvensional dan yang non institusional. Kondisi ini terus terlihat di tanah air, seiring menguatnya faham demokrasi. Dalam demokrasi, ada faham-faham awalnya tidak boleh muncul, kini semakin banyak ruang untuk bergerak. Misalnya faham radikalisme garis keras seakan bebas berekspresi. Jelas tampak, bahwa bisa dikatakan penyebaran kebencian untuk satu agama atau kelompok itu juga makin luas di Indonesia tanpa ada diskusi antara garis batas kebebasan berekspresi dan penghasutan kriminal.

Kedua, perilaku kolektif non-inkonstitusional merupakan tipe aksi yang tidak dibimbing oleh norma sosial yang ada, namun terbentuk untuk menghadpi situasi-situasi yang masih kabur. Kondisi ini sangat jelas di tanah air. Kelompok Ahmadiyah misalnya, secara negara di kelompok tersebut dilarang atau tidak, belum ada kepastian hukum dari negara. Namun sekelompok orang telah berlaku secara membabi buta, seakan-akan kelompok itu telah bersalah, kalau bersalah terhadap apa bersalah? Dan, siapa yang harus menindak, kelihatan negara tidak mengontrol dengan tegas kondisi ini. Negara telah membiarkan pelanggaran HAM terjadi.

Ketiga, situasi-situasi yang kabur ini harus dipahami sebagai keruntuhan sosial, baik karena runtuhnya agen kontrol sosial maupun karena ketidaklayakannya pengintegrasian normatif masyarakat karena adanya perubahan-perubahan struktural, yang sering tidak dipahami masyarakat, semisal ganti menteri ganti peraturan. Ketika itu terjadi keruntuhan wibawa negara tak terelakkan. Keruntuhan agen sosial saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di negara lain karena akibat globalisasi. Misalnya, negara belum mampu secara sistematis mengatasi menurunnya intoleransi, itu memang gejala global, mungkin karena terbawa situasi politik. Masyarakat seolah-olah tidak dapat membedakan mana yang merupakan urusan agama dan mana yang bukan. Urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan yang karut-marut menjadi pemicu intoleransi tersebut. Terkadang, masyarakat membawa-bawa agama dalam urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan, yang muncul ke permuakaan memicu konflik horisontal.

Keempat, ketegangan-ketegangan, ketidakpuasan, rasa frustasi dan agresi yang dihasilkannya mendorong individu untuk membentuk perilaku kolektif. Di tanah air, banyak faktor penyebab munculnya masalah di atas, karena kontek hubungan antarumat beragama berkaitan dengan hubungan kepentingan, politik, ekonomi, sosial, budaya, tidak semata-mata karena agama. Masyarakat mengalami dislokasi yang menyeluruh karena ketimpangan yang semakin besar.

Kelima perilaku kolektif yang non konstitusional memiliki sebuah siklus hidup, terbuka terhadap analisis sebab-akibat, yang bentuknya bisa mulai dari aksi massa yang spotan sampai dengan pembentukan gerakan sosial dan publik. Bagi umat Hindu belum banyak yang melahirkan fenomena pada konsep ini di tataran negara. Masalah yang muncul bersifat lokal peran Parisada sering menetralisir untuk melunakkan ke arah kondisi pro penguasa, namun saat ini tokoh Hindu pusat telah berani bersikap untuk ikut memberikan tekanan moral pada pemerintah SBY dengan ikut menandatangi pernyataan “Pemerintahan Bohong.”

Kelahiran dan kematangan gerakan sosial, dalam siklus hidup ini, berlangsung melalui proses –proses komunikasi, seperti penularan dari satu pihak ke pihak lain, gosip, reaksi yang tak berujung pangkal (circular reaction) dan difusi. Di tataran inilah umat Hindu mesti turut mengambil peran agar radikalisme juga tidak mengenai umat Hindu, dan juga tidak memberiarkan dirinya ditumbuhi anasir-anir radikal dalam tubuh Hindu.

Oleh sebab itu, maka untuk beragama dalam konteks negara saat ini, maka peran kita semua terus ditingkatkan, sehingga model rekayasa kultur sosial yang tepat, sehingga mampu menciptakan kedamian dan kesejahteraan sejahtera. Om nama siwaya.
_______________
I Nyoman Tika, Dosen Pascasarjana Undiksha

Selanjutnya......

Demokrasi Agama yang Semakin Crazy

Wayan Ngarayana

Belum kering ceceran darah tiga orang anggota Ahmadiyah yang tewas dihakimi ormas tertentu di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang – Banten, Nusantara kembali diguncang oleh tindakan anarkis yang serupa. Di Temanggung, Jawa Tengah tiga buah rumah ibadah umat Kristiani diobrak-abrik setelah sekelompok masa merasa tidak puas dengan vonis 5 tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada Anthonius Richmord Bawengan yang dituduh melakukan penistaan agama. Apa yang salah dengan bangsa ini sehingga cenderung berbuat anarkis layaknya orang barbar?

Pembunuhan, intimidasi dan perusakan yang mengatasnamakan agama sudah kerap kali terjadi sejak negara ini berdiri. Lucunya, kasus seperti ini selalu menimpa masyarakat minoritas. Baik yang beragama minoritas ataupun yang merupakan aliran minoritas dalam agama tersebut. Sistem kepercayaan-kepercayaan minoritas ini selalu dianggap sesat oleh kaum mayorits. Seperti contohnya Ahmadyah yang meskipun secara garis besar sama dengan Islam lainnya, hanya saja berbeda dalam pemahaman nabi terakhir harus menerima label sesat dari aliran Islam mayoritas. Demikian juga Nahdatul Ulama (NU) pada Mei 2006 sebagaimana diberitakan dalam NU Online pernah dicap sesat karena melakukan ritual-ritual yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Demikian juga dengan Hare Krishna, pengikut aliran kepercayaan Islam Watu Telu di lombok, Saksi Jehovah dan sebagainya yang juga pernah berlabel sesat. Sepertinya, sampai saat ini hanya pihak minorotaslah yang selalu mendapat label sesat dari mayoritas. Apakah pelabelan sesat hanya berdasaran suara mayoritas? Bisakah kita mendemokratisasi keyakinan individu seseorang berdasarkan suara terbanyak? Bukankah Undang-Undang Dasar Negara kita menjamin sepenuhnya kebebasan beragama dan menjalani ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing?

Meski undang-undang sudah dengan sangat jelas menegaskan kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya, namun tindakan intimidasi atas nama agama selalu saja terjadi. Apakah masyarakat kita yang terlalu barbar, sehingga tidak mau tunduk pada undang-undang? Penganut aliran sesat tersebut melakukan ritual yang sifatnya kriminal? Ataukah pemerintah kita yang cenderung memihak dan tidak mau menerapkan undang-undang yang ada?

Jika seandainya suatu aliran dalam ajarannya melakukan ritual-ritual dan kegiatan yang bersinggungan dengan kriminalitas seperti melakukan pengorbanan manusia, eksploitasi seksual, membenci dan memusuhi orang lain dan sejenisnya yang sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang ada, maka sudah sewajarnya aliran tersebut harus dibekukan dan dibubarkan oleh aparat penegak hukum. Namun bagaimana jika sistem kepercayaan mereka pada dasarnya tidak bersinggungan dengan ranah kriminal, tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan keyakinan mayoritas? Apakah mereka bisa dikatakan sesat dan harus dibubarkan? Bercermin pada kasus Ahmadiyah, sepertinya mereka yang duduk dalam aparat pemerintahan dan penegak hukum tidak bisa benar-benar menempatkan diri mereka sebagai aparat pelaksana ketentuan undang-undang yang menjamin kebebasan berkeyakinan. Mereka lebih memilih untuk menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri, yaitu dalam hal ini kelompok mayoritas. Sehingga tidaklah mengherankan jika kebijakan dan statement mereka bukanlah merupakan pengejawantahan undang-undang, tetapi memperlihatkan keberpihakan mereka kepada kelompoknya.

Coba kita perhatikan Surat Keputusan (SK) 3 menteri yang pernah diterbitkan dalam upaya meredam kemelut Ahmadiyah. Salah satu butir dalam SK tersebut menyatakan bahwa kaum Ahmadiyah tidak boleh malakukan penyebaran ajaran dan mengangkat anggota baru bagaimanapun caranya. Tetapi di sisi lain, sehari setelah kasus pemberhangusan warga Ahmadiyah di Cikeusik saat media masa sedang hangat-hangatnya menyinggung masalah SK 3 menteri tersebut, beberapa nara sumber dengan terang-terangan mengatakan bahwa umat Muslim yang lain harus melakukan dakwah yang intensif untuk mengajak warga Ahmadiyah menjadi bagian dari aliran mayoritas. Dimana letak keadilan 3 mentri yang menelurkan SK ini? Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka telah melakukan diskriminasi terhadap Ahmadiyah? Bukan hanya mereka telah melanggar kebebasan berkeyakinan setiap warga negara, tetapi mereka juga telah berusaha membunuh Ahmadiyah secara halus dengan siasat seperti mengadu seekor babi hutan tanpa taring dengan seekor anjing pemburu.

Praktek siasat busuk kaum mayorits yang serupa juga terjadi pada agama-agama minoritas. Di satu sisi dengan sangat gencarnya mereka melakukan penyebaran agama melalui berbagai media masa. Tidak jarang metode penyebaran yang mereka lakukan tidaklah elegan karena berisinggungan langsung dengan agama yang lain. Mereka sangat aktif melakukan dakwah-dakwah ke pelosok-plosok yang dianggap sebagai masyarakat yang masih kafir. Tetapi disaat ada pihak lain mencoba menyebarkan ajarannya ke komunitas mereka, mereka langsung mencak-mencak dengan mengatakan pihak yang menyebarkan agama ke komunitas mereka telah melanggar undang-undang penistaan agama dan harus diadili dengan seberat-beratnya.

Indonesia sungguh merupakan negara yang sangat aneh. Di satu sisi menyerukan kebebasan beragama, tetapi di sisi lain mengatur warga negaranya dalam beragama. Jika kita bercermin pada Amerika Serikat, meski negara mereka dibangun atas dasar ketuhanan sebagaimana dibuktikan pada tulisan “In God We Trust” di mata uang mereka, namun tetap saja mereka tidak pernah mencampuri urusan keyakinan personal masyarakatnya. Bahkan jika ada indikasi negara mengucurkan dana untuk tujuan keagamaan tertentu, maka tindakan itu bisa dianggap tindakan melanggar hukum. Negara benar-benar netral, sehingga meskipun penduduknya menjadi atheis, politeisme, monoteisme, pemuja leluhur atau mungkin pemuja tokoh komik tidak akan pernah dipermasalahkan dan tetap diayomi. Negara baru akan bertindak jika diindikasikan seseorang atau seseorang melakukan tindakan-tindakan yang berbau kriminal. Seperti kasus komunitas Mormon yang diindikasikan sebagai sebuah aliran poligami. Sejauh penganut Mormon ini melakukan keyakinannya tanpa melanggar hukum, pemerintah masih tetap membebaskannya. Tetapi disaat terjadi tindakan kriminal dimana banyak diantara mereka menikahi anak di bawah umur, memiliki banyak anak dan menelantarkan anak-anak mereka, barulah pemerintah turun tangan dengan membekukan aktivitas mereka.

Jika memang Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama, maka saya rasa pemerintah harus berani mengambil beberapa langkah konkrit seperti menghapuskan seluruh perundang-undangan yang membatasi ruang gerak kebebasan berkeyakinan dan beribadah, menghapuskan kolom agama di KTP, menghapuskan campur tangan pemerintah dalam pemberian sejumlah anggaran pendirian tempat ibadah, melakukan ibadah dan sejensisnya dan mungkin juga menghapuskan departemen agama dari jajaran kementrian.
Indonesia harus berani menerapkan kitab undang-undangan hukum pidana secara merata tanpa memandang apa pun keyakinan masyarakatnya. Jika terjadi penyerangan seperti kasus di Cikeusik sehingga mengakibatkan rusaknya property seseorang atau bahkan hilangnya nyawa seseorang, maka adili kasus itu secara pidana. Bukan dengan cara melihat penyerang atau diserang sebagai pengikut aliran sesat atau lurus. Karena sesat dan lurusnya ajaran di sini hanya berdasarkan pendapat pihak mayoritas.
Dalam banyak kasus, karena fundamentalis berlebih suatu kelompok, sering kali kolom agama di KTP dapat menghambat karir seseorang. Sebagai contoh kasus penerimaan PNS oleh beberapa oknum di beberapa daerah menyebabkan calon PNS yang dari pihak minoritas sangat sulit diterima. Meskipun pada akhirnya mereka masuk ke dalam suatu instansi, maka karir mereka kadang kala dihambat hanya karena mereka tidak beragama mayoritas. Bahkan seorang kepala daerah di salah satu provinsi didemo oleh sekelompok masyarakat karena diindikasikan menganut agama minoritas.

Baik disadari ataupun tidak disadari, pemerintah sebenarnya sudah sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui departemen agama. Anggaran departemen agama seolah-olah memang lebih difokuskan kepada kepentingan agama mayoritas, dan agama minoritas serta kepercayaan-kepercayaan loka tidak pernah tersentuh oleh anggaran tersebut. Karena tidak diakuinya beberapa jenis kepercayaan lokal, pemerintah juga sering kali mempersulit mereka dalam urusan birokrasi seperti membuat kartu keluarga, surat nikah, KTP dan akta kelahiran anak. Karena kesulitan ini, banyak diantara penganut keyakinan minoritas ini harus mencantumkan agama tertentu yang tidak dianutnya dalam kepengurusan birokrasi mereka.

Jika Indonesia benar-benar menjamin kebebasan beragama, mari kita cari formulasi kebebebasan beragama yang tepat dan berani menumbangkan praktek-praktek busuk oknum penguasa fundamentalis yang hanya ingin mempertahankan dan meluaskan populasi pengikut agamanya melalui kekuasaan dan kekerasan. Demokrasi dalam politik mungkin bagus, tetapi pendemokrasian keyakinan seseorang yang bersifat individu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Selanjutnya......

Yang Namanya Obat Itu Terkadang Begitu Pahit

Agus Sudewa

Saya suka sekali membaca Bali Orti, hal ini bermula dari anjuran guru saya yang juga orang yang saya sangat kagumi dan saya berharap suatu saat nanti saya juga bisa memiliki prestasi yang sama seperti beliau. Beliau adalah salah seorang guru besar di Universitas tempat saya menuntut ilmu dan yang juga saya sangat kagumi, Prof. Sutjaja/Pak Sutjaja begitulah kami memanggil beliau.

Saya sangat tergelitik untuk membahas dan berbagi dengan saudara-saudara pembaca Majalah Hindu Raditya yang kita cintai ini mengenai artikel Bungklang-bungkling yang berjudul “Jemet” oleh I Wayan Juniarta pada Koran Bali Post yang terbit pada hari Minggu tanggal 13 Februari 2011.
Obat Pahit
Di sini dibahas bahwa sejatinya orang Bali itu sangat giat bekerja. Contohnya orang-orang Bali yang berhasil/sukses, karena hasil jerih payahnya di rantau atau transmigrasi seperti di Sulawesi, Sumatera, dan lain-lain. Memang benar sekali orang Bali yang ada di tanah rantau sangat giat bekerja, tapi bagaimanakah dengan orang Bali yang masih ada di Bali? Sangat masuk akal dan mengena sekali apa yang diulas pada artikel itu selanjutnya yang menyatakan, bahwa orang Bali yang masih di Bali itu punya banyak sekali pertimbangan, yaitu:

1. Karena orang Bali mayoritas di Bali, makanya punya kewajiban mengalah dan mengasihi yang minoritas (tenggang rasa). Itulah mengapa banyak sekali pekerjaan yang diserahkan kepada saudara dari seberang lautan. Orang Bali tidak mau berebutan, biarkan saja saudara seberang pulau yang mengambil pekerjaan itu, supaya dapur mereka tetap bisa mengepul, supaya mereka bisa merawat dan menyekolahkan anak-anak mereka. Dari pekerjaan mebersihkan got, buruh bangunan, mengaspal jalan, pedagang bakwan, pecel lele, pegawai hotel, kontraktor, dan lain-lain semuanya diserahkan kepada saudara dari seberang pulau. Sampai memanen padi dan menjual canang pun juga diambil saudara dari seberang pulau yang notabene non Hindu. Begitu sayang dan perhatiannya orang Bali kepada saudara seberang pulau yang miskin.

2. Orang Bali tidak suka menindas orang lain, tidak suka tunjuk-tunjuk, tidak suka menganggap orang lain bodoh, tidak bisa main perintah. Itulah mengapa orang Bali tidak suka mengambil pekerjaan yang hanya main tunjuk dan mengandalkan mulut itu. Bukan karena orang Bali itu tidak mampu, tidak bisa, tapi karena orang Bali tidak suka demikian. Itulah mengapa posisi pekerjaan semacam GM (General Manager) Hotel semuanya diserahkan kepada orang asing (bule) yang di negaranya tidak mendapat pekerjaan. Pekerjaan semacam direktur, pemilik perusahaan, bos restoran atau hotel, pemilik travel, kritikus seni, dan lain-lain. Biarkan semua orang seberang pulau dan Jakarta pada umumnya yang bekerja mengisinya. Sekarang guide sampai makelar tanah pun dibiarkan orang asing yang mengambilnya. Orang Bali kasihan kepada mereka yang jauh-jauh datang biar bisa mereka mendapat penghidupan, biar bisa dia beli mobil, villa, dan menyekolahkan anaknya ke luar negeri.


3. Orang Bali tidak suka mengambil pekerjaan yang sia-sia, pekerjaan yang menyebabkan bercucuran keringat banyak tetapi hasil/uangnya sedikit. Orang Bali sangat pintar, hanya pekerjaan yang cepat, gampang, dan mendatangkan banyak uang yang boleh diambil. Bila ada punya tanah dikontrakkan, bila tidak dikontrakkan ya dijual. Uangnya datang dengan cepat dan banyak dalam waktu singkat. Bila tidak punya tanah, tanah teman, tanah desa, tanah milik pura dicarikan investor. Bila diperlukan bahkan pura, pratima, dan Batara sekalipun dijual (contoh kasus pencurian pratima dan dijual ke orang asing). Itulah baru namanya pintar bekerja, tenaga tidak habis terbuang, dompet jadi tebal.

4. Orang Bali itu adalah orang ksatria, jiwanya nasionalis sikapnya heroik. Itulah mengapa bila dalam urusan membela negara, urusan mengabdi untuk negara, sudah pasti nomor satu orang Bali. Walaupun sudah punya pekerjaan baik dan gaji bagus, kalau ada kesempatan mengabdi kepada bangsa dan negara dengan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) sudah pasti berlomba-lomba orang Bali melamar. Walaupun harus bayar sampai seratus juta sekalipun supaya diterima pasti akan diusahakan. Apalah arti uang sedemikian bila dibandingkan demi membela negara, demi mengabdi kepada bangsa dan negara. Itu baru uang, malahan sampai nyawa pun akan dipersembahkan oleh orang Bali demi membela Indonesia sebagai PNS.

Mari kita bercermin dari sana dan perbaiki sikap yang keliru jangan malahan menjadi marah atau jengkel olehnya, ini adalah kritik sosial bagi kita orang Bali. Bersyukurlah karena ini keluar dari orang Bali sendiri yang tentunya berusaha mengingatkan kita dari goresan penanya sebelum orang luar Bali yang berujar demikian kepada kita.

Canang buatan Non-Hindu?
Sungguh mengagetkan dagang canang di pasar pun ada yang Non-Hindu, mereka pada awalnya mungkin meniru dari canang yang mereka bisa pungut di jalan secara gratis lalu membuat yang sama persis meniru design aslinya. Bila ada salah satu orang Bali menggangap biasa akan hal itu, sungguh dia berpemikiran luar biasa. Bagi saya memang yang terbaik adalah canang buatan sendiri daripada membeli. Tapi bila harus membeli dari penjual sekaligus pembuatnya yang non-Hindu saya tidak akan perlu untuk mempertimbangkan untuk tidak membelinya, lebih baik saya memetik bunga sendiri dan menggunakan daun sebagai alasnya untuk pengganti canang.

Eksploitasi besar-besaran
Kita sudah telalu banyak mengeksploitasi Bali demi kepentingan materi. Masalah radius kesucian pura sudah seharusnya menjadi harga mati bagi kita orang Bali, bukan malahan dipolemikkan dan dipertentangkan. Saya sangat setuju bila pertentangan sebelumnya bisa dicarikan solusi jalan keluar yang baik tanpa harus mengkebiri atau mengaburkan radius kesucian pura tersebut.

Saya sangat merasakan bahwa Bali, Pura, agama Hindu dan kebudayaan Bali itu selalu dieksploitasi demi kepentingan sesaat dan materi. Tidak ada niatan dari semua investor yang ada saat ini untuk melestari dan merawat Bali, Pura, agama Hindu dan Kebudayaan Bali.

Kita orang Bali harus ingat lagi empat sifat pertimbangan masyarakat Bali pada umumnya tersebut yang merupakan kritikan membangun oleh Wayan Juniarta pada artikelnya. Kita harus berpikir bila ada investor yang investasi di wilayah yang termasuk radius kesucian pura itu, pemerintah yang mengeluarkan ijin apakah sudah mempertimbangkan seberapa banyak orang Bali yang bisa diserap di sana, akankah semua posisi bisa ditempati oleh orang Bali, seberapa besarkah timbal baliknya terhadap pura dan masyarakat lokal atau Bali pada umumnya? Apakah kita orang Bali akan tetap jadi pesuruh atau bahkan penonton setia saja? Mempekerjakan orang Bali akan banyak liburnya dan para investor tentu tidak mau akan hal ini, dan apakah pemerintah sudah mempertimbangkan ini? Apakah ada kemungkinan kotraktor, pemegang saham, dan lain-lain orang Bali?

Masih banyak lagi yang harus dipertimbangkan karena di Bali harus selalu punya pertimbangan yang kompleks sebelum harus mengorbankan radius kesucian pura dengan dalih pendapatan daerah.

Orang Bali Sering Ijin atau Liburnya
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak pemilik usaha yang enggan menerima orang Bali Hindu bekerja di tempatnya karena mereka tentu akan sering mengambil cuti/libur/ijin oleh karena rusan adat, baik itu dari sangkep/ngayah. Uupacara-upacara seperti odalan sampai kematian yang terkadang memakan waktu lama yang tidak dapat dihindari di Bali, malahan bila mangkir sanksi yang terberat bagi orang Bali adalah dikeluarkan atau kesepakang.

Badut Sirkus
Mereka semua hanya memanfaatkan view (pemandangan) pura, kebudayaan Bali, dan pulau Bali untuk tujuan komersil dan bisnis belaka tak sekalipun mereka mengerti apa itu pura, kebudayaan Bali apalagi Hindu, yang mereka tahu hanya uang. Orang Bali bagi mereka tak lebih hanya seperti badut pada pertunjukan sirkus dalam estalase bisnis mereka. Orang Bali bak patung hidup penyambut tamu, pelengkap ornament hotel/restaurant, alias untuk kesan formil sama seperti terapan pada bangunan gedung baik itu perkantoran, pertokoan, perhotelan, pusat belanja, bandara, dan lain sebagainya yang dibangun di Bali yang di mana harus bercirikan Bali itu. Cukup ada gapura (nggak peduli bentuknya dan perhitungannya yang penting mirip) dan sedikit sentuhan pada ornament gedung sebagai kesan formilitas belaka karena wajib saja sudah cukup. Bali sangat membutuhkan pertimbangan yang kompleks dan rumit. Jadi masyarakat Bali dan Pemerintah harus siap akan hal itu sebelum mengambil keputusan final akan segala sesuatu yang berkaitan dengan Bali.

Konsep Kabur “Leteh”
Saya mendengar akan dibangun jalan baru untuk mengatasi kemacetan, sekali lagi saya berusaha mengingatkan masalah “leteh” di Bali. Jalan layang akhirnya tidak boleh diterapkan yang dulu sempat digagas putra Bali sendiri yang asal Sukawati Gianyar menjadi mentah di tengah jalan dan terlupakan. Saya rasa beliau tidak main-main memikirkannya dan telah mempertimbangkan solusi rumit bila ada masyarakat yang mendak/ngiring Ida Betara yang harus melintas di bawahnya, baik dengan berjalan kaki beriringan atau naik mobil berkonvoi sekaligus dengan Ida Betaranya.

Akhirnya “leteh” itu mengagalkan jalan layang dan sawah-sawah pun menghilang tergantikan bangunan-bangunan beton, Dewi Sri berganti Mbak Sri, kafe-kafe bertebaran di kanan-kiri jalan menawarkan minuman keras dan Mbak Sri, semuanya bermula dari demi menghindari “leteh”. Herannya lagi Ida Betara dan orang Bali tidak merasa “leteh” saat mendak atau ngiring Ida Betara melintas di sana tapi merasa “leteh” bila ada jalan layang di atasnya meskipun bisa digeser bila akan dilewati di bawahnya itu. Bahkan tidak merasa “leteh” bila saat itu tepat di atas kepala dan Ida Betara yang dipendak atau diiring ada pesawat terbang yang melintas (mungkin ada yang penumpangnya lagi datang bulan, buang air, atau bahkan lagi mebawa mayat di dalamnya).

Hotel dibangun di depan pura atau di kawasan suci, apa ada yang bisa menjamin yang menginap di sana berbuat sopan dan berpikiran bersih? Apa ada yang menjamin yang ber-honey moon di sana sudah terikat perkawinan sah? Kata “Leteh” itu sebenarnya apakah menurut sudut pandang suci atau materi? Apa gap atau perbedaan jarak antara urusan suci dan materi itu begitu kabur sehingga apa yang berbau materi menjadi berbau suci dan suci berarti berbau materi?

Sekali lagi saya tegaskan agar masalah radius kesucian pura itu agar harus ada dan untuk dipatuhi semua pihak. Bila ada bangunan akomodasi wisata yang terlanjur dibangun permanen dan mendapat ijin di sekitar kawasan suci agar hendaknya dicarikan solusi jalan keluar yang terbaik (karena kita bukan orang arogan dan itu juga menyangkut kewibawaan pemerintah bersangkutan).

Bila tempat itu tidak mampu seutuhnya memberikan semua posisi strategis dan staffnya untuk orang Bali serta konstribusi bagi Hindu dan pembangunan kepada pura lain yang bisa dibangun atau terlebih hanya membuat orang Bali sebagai penonton buat apa dipertahankan? Lain kata kalau mereka mau berkomitmen untuk menjaga kebudayaan Bali dan Hindu serta merekrut orang Bali Hindu secara penuh karena sebagai konstribusi oleh karena mereka menjadikan pura dan kebudayaan Bali sebagai daya jual. Saya bukan militant Hindu tapi ketegasan itu diperlukan demi menjamin masa depan anak cucu kita, karena belum tentu mereka seberhasil kita sekarang yang menjadi orang kaya atau pejabat terlebih setelah tanah sudah habis dijual oleh kita!

Mereka mengeksploitasi Bali, Hindu, dan kebudayaan kita jadi sudah sewajarnya kita menuntut, sungguh tolol dan konyol kalau kita tidak menuntut! Jadi kalau mereka tidak mau memenuhi tuntutan itu secara penuh ya jawabannya “No Way”.

Yang namanya obat itu terkadang begitu pahitnya, tapi bila mau lekas sembuh ya harus diminum! Jadi kritikan itu harus kita gunakan sebagai cambuk atau obat mujarab untuk memperbaiki diri kita kedepan agar lebih baik dan mawas diri.

Selanjutnya......