Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 Februari 2011

Macet Gara-gara Upacara Agama


Bali memang identik dengan aktifitas ritual, naik yang berskala kecil, sedang dan besar. Dari berbagai ritual itu sering harus dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas umum, khususnya jalan. Sering terjadi pengalihan arus lalu lintas, bahkan penutupan jalan manakala ada upacara yadnya. Dalam hal inilah sering kepentingan umum diabaikan dan lebih banyak memikirkan kesuksesan keberlangsungan ritual tersebut.

Akibat kurang adanya kepedulian terhadap ruang publik, maka akhirnya berbagai ekses dari kegiatan tersebut sering muncul. Selain kemacetan lalu lintas, penutupan jalan dengan dalih ritual ini pun sering memancing terlontarnya berbagai kekesalan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atau dicederai oleh tindakan penutupan jalan itu.

Tidak hanya tindakan menutup jalan yang berlebihan, sebab sering juga upacara yajna disertai alunan kidung atau gamelan dari loudspekare yang distel dengan volume kencang dan dibunyikan hingga larut malam, manakala sebenarnya merupakan waktu istirahat tidur. Demikianlah pagelaran ritual yang diikuti kebiasaan “Kemeriahan” berlebihan dan mungkin tidak tepat dengan situasi dan kondisi.

Barangkali suatu kegiatan yang mengganggu jalanan umum sudah dianggap biasa, karena mungkin kurang mendengar keluhan berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kegiatan urgen yang berkepentingan menggunakan akses jalan dimaksud. Contohnya orang yang sedang diangkut kendaraan pun akhirnya ikut mutar-mutar, bahkan ikut macet di sana-sini akibat penutupan jalan yang digunakan untuk pagelaran upacara.

Tanpa pagelaran ritual pun memacetkan jalanan umum sudah jamak terlihat di Denpasar, terutama saat musim layangan tiba. Bila musim main layangan itu tiba, maka di berbagai ruas jalan nampak iring-ringan anak-anak muda mengarak layang-layang ukuran besar melewati jalanan umum yang jelas memicu kemacetan. Dan ada pula layangan itu diangkut dengan truk dan menghasilkan kemacetan yang sama. Mungkin semua kegiatan itu sudah menjadi tradisi di masa lampau, tetapi tidak salah kalau di masa kini teknis penyajian tersebut mestinya dikaji ulang. Mengkaji bagaimana main layangan tanpa mengganggu kepentingan publik, menggelar ritual tanpa merugikan pihak lain.
Di jaman sekarang, di mana warganya dalam segala aspek sudah berubah, maka tentu hal semacam itu perlu diadaptasikan dengan kekinian. Jumlah penduduk Bali sudah bertambah, pekerjaan masing-masing warga juga beranekaragam, jalanan juga tidak hanya dilintasi para pejalan kaki, tetapi sudah dijejali kendaraan bermotor, sehingga pagelaran ritual perlu dicocokkan dengan kebutuhan jaman.

Khusus dalam kegiatan ritual yang disertai penutupan jalan atau pengalihan arus lalu lintas yang menimbulkan kemacetan, maka perlu kita pikirkan solusinya. Apalagi upacara agama itu dilakukan di daerah-daerah yang lalu lintasnya ramai dengan penduduk yang heterogen dari berbagai agama dan berbagai kepentingan. Untuk itu harus dipikirkan, bagaimana caranya supaya semua kepentingan berbagai pihak tersebuit bisa ter-cover.

Ada beberapa contoh kejadian dalam ritual di sebuah pura di kota Denpasar yang menunjukkan tidak adanya koordinasi dan kepedulian dengan pihak pengguna lalu lintas. Kejadiannya seperti ini, sebuah odalan di satu pura digelar dengan melakukan penutupan jalan di depan pura tersebut, sayangnya tanda larangan masuk jalan tersebut bukannya dipasang jauh-jauh sebelum masuk akses jalan tersebut, tetapi tanda stop itu dipasang hanya beberapa meter dekat pura. Alangkah arogannya cara-cara seperti itu, karena sejumlah mobil, motor yang hendak melintas di depan pura dan tak tahu menahu di tempat tersebut ada gangguan lalu lintas terpaksa menelan mangkel dan marah, berbalik arah dengan susah payah.

Perlu diingat, bahwa ritual digelar untuk kesejahteraan semua umat, bukan orang-perorang atau per warga desa pakraman saja, tetapi kesejahteraan semua makhluk (sarwa prani).Namun, jika saat melakukan ritual ada orang dibuat kesal atau mangkel, maka ritual itu tak akan mencapai tujuannya. Oleh karena itu, orang jaman dulu membuat tempat sucinya diusahakan di tempat yang sepi atau jauh dari keramaian dan untuk mencapai tempat itu harus dilakukan dengan usaha yang keras. Tradisi itu berbeda dengan fenomena jaman sekarang, di mana orang yang hendak bersembahyang di pura yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari rumahnya, maka mereka sudah harus naik motor atau mobil. Maunya praktis, tetapi malahan kontraproduktif, karena memicu kesulitan parkir di depan pura, sehingga menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan.

Kita sering mengabaikan rasa toleransi terhadap lingkungan sekitar kita, walau sudah fasih berbicara tri hita karana. Kalau setiap warga di suatu banjar, desa pakraman dan lain-lainnya senang menutup jalan saat mengadakan perhelatan yajna, maka di belakang hari hal tersebut akan dicontoh oleh warga Bali non Hindu. Cobalah tengok pada hari Jumat di kota Denpasar, dulunya umat lain yang tak pernah menutup akses jalan di depan tempat sucinya, maka kini dengan dalih kenyamanan dan kekhusukan sembahyang, mereka pun ikut-ikutan memblokir jalan dengan dalih kegiatan agama.
Sebagai orang Bali yang memiliki banyak kegiatan ritual, seharusnya berusaha mengurangi gangguan kenyamanan terhadap orang lain saat berupacara, entah itu odalan, melasti, upacara pernikahan, ngaben atau main layangan. Dengan meningkatkan rasa rendah hati serta toleransi dengan pihak lain, kita tingkatkan kualitas yajna kita. Bila toh harus memakai fasilitas jalanan umum, maka sebaiknya dimanfaatkan setengahnya saja, sehingga masyarakat umum masih bisa memanfaatkan yang separo lagi. Atau toh harus menutup semua jalan, maka tentu koordinasikan terlebih dahulu dengan pihak kepolisian dan pasang tanda peringatan di tempat yang kiranya memungkinkan pengendara untuk mencari jalur alternatif.

Sementara bagi umat yang berada di dekat pura atau warga desa pengempon pura yang posisinya dekat jalan, maka sebaiknya berangkat ke pura jalan kaki saja, sehingga desa pakraman tidak mendapat tambahan pekerjaan baru, yaitu mengatur parkir, tetapi cukup berkonsentrasi ke pagelaran yajna saja.

Perlu diingat, bahwa bentuk yajna itu tidak saja berupa kegiatan ritual, seperti piodalan, ngenteg linggih, padududan agung atau lainnya, tetapi juga bisa berupa tindakan nyata dalam kehidupan sosial. Entah dengan dana punia kepada sesama, membantu kaum papa atau melakukan aktifitas nyata bagi lingkungan dengan memperhatikan kebersihan lingkungan, sehingga ritual skala dan niskala menjadi seimbang. Kalau ritual itu hanya bersifat niskala saja apalagi disertai penutupan jalan, maka rasanya kurang pas, karena tidak menambah perilaku (etika-susila) kita menjadi lebih baik. Apalagi saat piodalan di sebuh pura, mestinya kita menunjukkan rasa kasih sayang kepada semua makhluk, bukan sebaliknya kegiatan itu menjadi ajang sumber kekesalan pihak lain.

Apalagi Bali sebagai daerah wisata, maka perlu kita memikirkan kenyamanan para wisatawan saat jalan-jalan menikmati keindahan pulau ini. Memang upacara agama di Bali banyak diminati turis untuk ditonton, tetapi bila mereka berlama-lama terjebak dalam kemacetan, tentu hal itu juga kemudian menimbulkan kesan negative bagi agama Hindu kita. Hal ini pernah saya skasikan saat melihat ada iring-iringan orang yang tengah melakukan suatu ritual di jalur Singaraja-Denpasar. Iring-iringan itu mengambil badan jalan melebar melebihi setengah jalan tanpa memperhatikan pengguna jalan lainnya, seolah-olah jalanan itu miliknya sendiri saja. Saat mereka mendapat bagian air minum dalam kemasan, serta merta mereka membuang kemasan itu di berbagai tempat berceceran tanpa memperhatikan keasrian lingkungan. Seorang wisatawan asal Jerman yang saya pandu saat itu nyeletuk, “Begini cantiknya ritual tersebut, sayangnya perilaku orang-orangnya tidak tertib.”

Komentar wisatawan itu berubah menjadi ceramah, jelas yang diceramahi adalah saya sebagai guide-nya. Dengan semua pengalaman yang kita alami (karena saya yakin sebagian besar masyarakat Bali pernah terjebak dalam kemacetan akibat ritual), maka kita perlu merekonstruksi ulang cara berpikir kita, bahwa upacara agama dengan dalih niskala itu bukanlah segala-galanya dan tidak pula satu-satunya event yang harus disukseskan. Sebab, bidang-bidang lain yang bersifat diniawi pun perlu disukseskan, karena bukankah bila secara material kita sukses, maka urusan ritual itu akan lebih mudah terselenggara? Urusan duniawi (skala) dan urusan surgawi (niskala) harus diseimbangkan, sebab bila tidak terjadi kompromi di anatara keduanya, maka niscaya terjadi ketimpangan dalam kehidupan.

I Wayan Miasa

Selanjutnya......

Jangan Jadikan Upacara Ajang Pamer Kewibawaan

Ida Ayu Tary Puspa

Ritual adalah perwujudan dari implementasi Panca Yadnya, baik itu dewa, pitra, resi, manusa, maupun butha yadnya. Melaksanakan ritual tentu harus seimbang dengan pendalaman tattwa dan kesadaran tata susila, karena ketiga hal tersebut adalah saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara signifikan. Ritual yang digelar diusahakan tidak mengabaikan ketiga hal tersebut kalau kita menginginkan suatu keseimbangan hidup.

Dengan upakara yang dipersembahkan sebagai rasa bakti, maka akan ada pembagian wewidangan sebagaimana konsep tri angga dalam agama Hindu. Ada upacara yang dipersembahkan di sanggar tawang sebagai simbol hulu, di paselang sebagai simbol badan, dan di sor sebagai simbol suku. Nah menyelenggarakan ritual dengan pembagian seperti itu akan pula mempengaruhi banyak hal, karena kini di era kali ada keegoan yang ditunjukkan oleh umat, seperti apakah itu meniru pejabat yang menggelar upacara dengan mengambil akses bersama milik umum/masyarakat atau karena mengklaim suatu tempat sebagai miliknya sendiri padahal itu fasilitas umum. Taruhlah misalnya jika ada upacara yang dilaksanakan, baik itu untuk di pura maupun dalam tempat suci di rumah tangga, maka seringkali kita melihat jalan umum sebagai fasilitas umum digunakan sebagian untuk menempatan lapan/pangubengan. Tidak usah ditanya apa yang terjadi terhadap arus lalu lintas lebih-lebih yang dua arah di jalan tersebut. Atau ada tren terbaru dalam melaksanakan upacara terutama menggelar resepsi sampai mengambil ruas jalan dengan memasang tenda. Hal ini seakan mendapat legalitas dari pihak terkait yang bertanggung jawab terhadap hal seperti itu. Terkadang melakukan hal semacam itu sudah lumrah, tapi bijakkah hal itu dilakukan?
Hanya sekedar ada odalan di sebuah pura untuk memberi kesempatan kepada umat melakukan ritual, lantas jalan ditutup, baik dari utara maupun dari selatan misalnya. Lantas pengguna jalan dialihkan oleh pecalang dengan kumis tebal, kacamata hitam, dan arogan menuju jalan kecil yang menimbulkan kemacetan. Padahal setelah diselidiki, ternyata di jalan yang ditutup itu tidak ada aktivitas apa-apa, hanya saja kebetulan pura yang di-odalin saat itu sedang ada warganya yang akan datang bersembahyang dan tidak ada acara meprani atau mendak toya ning. Jadi umat saja yang berseliweran di jalan dan seakan jalan itu hanya milik mereka saja.

Pada kesempatan lain misalnya mengiring jenazah ke setra pada upacara ngaben yang paling sering memacetkan lalu lintas. Padahal ngaben sederhana dengan tidak memakai bade tumpang sehingga pengusung pun tidak terlalu banyak, tetapi masyarakat pengiring itulah yang memenuhi jalan sampai penuh. Kalau saja mereka sadar bahwa akses itu bukan milik sendiri, maka mestinya kesadaran sebagai manusia Hindu bangkit dengan toleran terhadap orang lain. Kalau hal itu tidak disadari, maka sampai kapan pun masyarakat akan tetap seperti itu. Coba kita bandingkan karena orang-orang sekarang sangat egois dan hedonis, bila jalan di depan rumahnya atau sekitar rumahnya ada yang berlubang, tidak pernah kita lihat masyarakat itu mau dengan hati nurani untuk sekedar menutup lobang itu yang bisa diisi batu, pecahan bata atau yang lainnya sehingga para pengguna jalan dapat terhindar dari keterperosokan masuk ke dalam lubang. Masyarakat sekarang apatis, karena hanya menunggu uluran tangan pemerintrah dalam menyelesaikan hal sekecil itu.

Di lain pihak memperbaiki sekecil itu untuk jalan yang berlubang tidak mau, lalu pada saat menggelar upacara, maka orang itu mengganggap bahwa jalan itu adalah miliknya, apakah itu wajar dilakukan? Kalau seperti itu melaksanakan sebuah ritual tentu tidak akan menghasilkan yadnya yang berkualitas karena telah membuat orang banyak ngedumel, susah bahkan mencemooh karena kenyamanan mereka terusik.
Seyogyanya yadnya yang dilaksanakan ikut pula membuat orang lain dapat menikmati yadnya tersebut alias berbahagia sehingga mereka pun akan turut mendoakan, asal yadnya itu dilaksanakan dengan lascarya. Bukankah yadnya itu diperuntukkan pula adalah untuk sesama sebagaimana dalam Agastya Parwa menyebutkan, bahwa Manusa Yadnya itu adalah yadnya terhadap sesama. Jadi hindari berpikir bahwa yadnya hanya dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi saja.

Untuk dapat mewujudkan yadnya yang berkulaitas dan satvik, maka sesuai dengan yang termuat di dalam Bhagawad Gita XVII, 11,12,dan 13 adalah sebagai berikut:
Tamasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci, tidak ada mantra yang dirapalkan, tidak ada dana punia yang diberikan, dilakukan tanpa dasar kepercayaan, tanpa kidung suci, dan dilakukan dengan kebodohan.
Rajasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya, dilakukan dengan tujuan untuk pamer belaka dan dilakukan dengan dorongan hawa nafsu duniawi belaka. Tamasika dan rajasika yadnya adalah yadnya yang tergolong rendah kualitasnya dan tidak akan memberikan peningkatan spiritual.

Yadnya yang tergolong satwika yadnya adalah yadnya yang dilakukan bertentangan dengan tamasika dan rajasika yadnya. Merujuk sloka dalam Bhagawad gita di atas , maka ada tujuh syarat suatu yadnya yang berkualitas tinggi/satwika yang seyogyanya dilaksanakan yaitu.

Sraddha, yaitu kepercayaan bahwa yadnya itu dilaksanakan karena diajarkan kitab suci. Sebagaimana dasar agama Hindu adalah kepercayaan. Yadnya pun yendaknya diyakini sebagai kewajiban suci (yastawyam).

Lascharya, yaitu ketulusiklasan dalam mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan harta benda. Juga dapat diartikan tidak adanya keraguan dalam melaksanakan yadnya kepada Tuhan dan ciptaanNya. Sebagaimana dalam Kuntisraya karena keraguan Kunti pada waktu melaksanakan tapa brata mohon kepada Dewi Durga untuk memusnakahkan wabah yang menyerang Indraprasta. Hal itu berakibat masuknya raksasa Kalika ke dalam tubuh Ibu Kunti dan menyeret Sahadewa, anak tirinya untuk dipersembahkan kepada Durga. Sahadewa ikhlas untuk dipersembahkan sebagai yadnya. Karena itulah Dewa Siwa memasuki raga Sahadewa, sehingga Durga berubah menjadi Dewi Uma. Sahadewa pun selamat sekaligus dapat menyelamatkan Dewi Kunti. Inilah yang menjaid cikal bakal caru ekasata.

Widhi Drista, artinya bahwa setiap yadnya yang akan dilaksanakan hendaknya bersumber pada sastra atau peraturannya yang telah ditradisilkan.
Mantra, setiap mantra yang dilaksanakan hendaknya dilakukan dengan pengucapan mantra, baik oleh pandita, pinandita, dan yajamana.
Daksina, atinya memberikan dengan tuluas ikhlas.
Anasewa, artinya setiap yadnya yang dilaksanakan diharuskan untuk membagi-bagikan makanan dengan keikhlasan sesuai dengan kemampuan, di Bali disebut dengan ngejot sesuai dalam kitab Bhagawadgita yang disebut dengan sristannanam.
Nasmita, artinya yadnya yang dilakukan dimaksudkan adalah bukan dengan pamer kemewahan atau pamer kewibawaan untuk popularitas.

Bercermin dari sastra yang termuat di atas sudah saatnya umat Hindu dalam melaksanakan yadnya dapat melakukannya dengan baik sehingga menuju kepada yadnya yang satwika. Dengan demikian, maka membuat orang lain merasa senang dengan yadnya yang kita gelar merupakan yadnya yang berpahala.

Selanjutnya......

Leteh, Macet, Pasar dan Pesawat Terbang

I Ketut Open

Pada waktu jalan by pass Ngurah Rai baru dibuka sekian tahun yang lalu, jalan itu terasa begitu lebar dan wah. Pengendara motor atau mobil bisa dengan leluasa memacu kendaraannya di atas 100 km per jam. Jarak dari Bandara Ngurah Rai ke Sanur bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Tidak ada yang namanya macet. Sekarang jarak yang sama bisa-bisa harus ditempuh 1 jam karena adanya hadangan macet yang dimulai dari sebelah timur patung Dewa Ruci di persimpangan yang saking semrawutnya disebut “simpang siur” sampai sebelah selatan patung. Hal ini juga disebabkan oleh betapa hebatnya perkembangan jumlah kendaraan di Denpasar. Di negara-negara maju orang malas berkendaraan pribadi karena transportasi umumnya begitu terjamin ketepatan waktunya, nyaman dan aman. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya termasuk Denpasar. Sistem transportasi umum di negara kita tercinta ini justru sangat amburadul, tidak tepat waktu, tidak nyaman dan tidak aman, sehingga orang lebih memilih untuk membeli kendaraan pribadi walaupun dengan mencicil.

Untuk mengatasi masalah tersebut mulai muncul wacana-wacana, solusi apa yang mesti diambil. Ada yang mengusulkan membangun jalan layang atau flyover, ada yang mengusulkan underpass. Ide-ide ini pun mulai memunculkan masalah baru, ada yang setuju dan ada yang tidak. Perbedaan pendapat memang sesuatu yang wajar-wajar saja, tetapi hendaknya sesuatu yang sudah ruwet ini jangan dibuat tambah ruwet, karena yang rugi tetap masyarakat.

Yang kontra dengan kemajuan menyatakan bahwa jalan layang tidak cocok dengan budaya dan kepercayaan masyarakat Bali yang namanya “leteh”. Orang luar Bali sudah pasti tidak ngerti leteh itu apa sih? Leteh bermakna kotor, tapi yang kotor apanya?. Susah juga menjawabnya, karena leteh bukan sesuatu yang nyata namun sesuatu yang abstrak dan juga susah mengukurnya karena keabstrakannya. Saya kira leteh itu sesuatu yang berasal dari pikiran, tergantung bagaimana cara pandang kita terhadap sesuatu. Kalau kita pikir sesuatu itu ngeletehin, muncullah perasaan leteh itu dalam diri kita. Kalau kita tidak berpikir tentang itu perasaan kita akan nyaman-nyaman saja.

Cobalah anda jalan-jalan ke pasar tradisional Bali. Bangunan pasar tradisional di kota besar seperti Denpasar sudah berubah. Bangunan pasar tradisional dibangun dalam bentuk bertingkat, Cobalah masuk ke dalamnya dan keliling-keliling. Yang perlu anda lihat bukanlah barang yang dijual maupun yang jualan. Cobalah anda melihat ke pojok atas timur laut setiap blok. Anda akan melihat banyak pelangkiran dengan canang sari dan dupa yang mengepulkan asap, mulai dari lantai dasar sampai lantai atas. Apakah konsep leteh tidak berlaku di pasar? Mungkin para pedagang di pasar tidak berpikir tentang keletehan, sehingga merasa nyaman-nyaman saja, atau barangkali para pedagang sudah memahami tattwa. Biasanya kalau dilihat dari konsep ekonomi sewa dilantai paling bawah malah paling mahal. Tapi kalau dilihat dari konsep leteh justru sebaliknya. Lantai paling bawah adalah paling leteh karena ada begitu banyak lantai di atasnya dengan banyak orang atau barang yang membuat leteh yang di bawahnya.

Bali disebut dengan banyak julukan, salah satunya “The island of thousand temples” karena di Bali ada ribuan pura. Bagi orang Bali Hindu, pura adalah tempat suci dan sakral. Tidak sembarang orang boleh masuk ke pura, terutama bagi wanita yang datang bulan dilarang memasuki areal pura karena dianggap bisa ngeletehin pura. Ada ribuan wanita wisatawan yang masuk ke pura setiap hari dan tidak mustahil di antara mereka ada yang sedang kedatangan tamu bulanan. Siapa yang tahu mereka punya tamu. Setiap hari ada ratusan pesawat terbang yang melintas di atas pulau Bali dengan ribuan orang di dalamnya, bahkan kadang-kadang juga ada mayat di dalamnya. Leteh-kah Bali? Tidak! Bali tidak leteh. Buktinya tidak pernah ada orang ribut-ribut tentang pesawat terbang yang melintas di atas Bali.

Atau karena orang Bali tidak berdaya melarang pesawat terbang melintas di atas Bali, atau karena adanya kemajuan berpikir orang Bali, atau barangkali mindset orang Bali sudah berubah sehingga mereka berpikir Ida Betara maupun para dewa tidak kena keletehan. Atau lebih luas lagi mereka mulai berpikir sesuai ajaran Hindu, bahwa Tuhan ada di mana-mana memenuhi alam semesta ini (sarvam kalvidam Brahman) dan beliau maha suci, sehingga seluruh alam semesta ini suci adanya. Apakah ini merupakan salah satu keunikan cara berpikir orang Bali Hindu?

Saya kira kuncinya ada pada mindset atau pola pikir kita. Karena ini masalah sekala maka penyelesainnya juga secara sekala. Saya tidak melihat ada cara niskala yang bisa dipakai di sini. Kalau tidak ada perubahan sudah pasti kemacetan akan bertambah panjang setiap hari dan ini bisa menimbulkan masalah baru, seperti emosi menjadi meningkat hingga muncul perasaan marah dan umpatan-umpatan. Cuma bagaimana masing-masing orang mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan tersebut, apakah diungkapkan keluar atau dipendam.

Bagaimana kalau dalam situasi kemacetan seperti ini kebetulan ada rombongan orang ngiring Betara. Emosi-emosi seperti di atas juga akan muncul pada para pengiring Betara. Apa ini tidak ngeletehin? Atau mungkin suatu saat nanti ada pemikiran Ida Betara diterbangkan dengan helikopter dan pengiringnya lewat jalan darat. Siapa tahu mungkin suatu saat ada Betara yang mau melancaran ke luar Bali, contohnya ke Nusa Penida atau ke Jawa bahkan ke India sekalipun sehingga Ida Betara harus dinaikkan ke pesawat udara. Ah ada-ada saja. Kalau Ida Betara naik perahu atau boat bahkan kapal laut saya kira sudah biasa. Budaya akan mengalami perubahan mengikuti zaman. Zaman dahulu mana ada Ida Betara melancaran naik mobil, tapi zaman sekarang Ida Betara sudah biasa naik mobil. Ini kan tergantung pikiran pengiringnya. Ida Betara sih oke-oke saja, mau simpel oke, mau ruwet juga oke. Apa Betara yang mengikuti kemauan pengiring atau pengiring yang mengikuti kemauan Betara? Terserah Anda saja!

Selanjutnya......

Yajna Bukan Alasan untuk Mencederai Hak Publik

Gede Agus Budi Adnyana

Laku masyarakat kita sekarang sudah berubah, orientasi juga jauh berubah, pola pikir yang tadinya penuh idealisme kini diwarnai pragmatisme dan materialistik yang terlalu berlebihan. Bahkan dalam perhelatan yajna sekaliber apa pun, sisi Rajasika senantiasa menjadi hiasan dunia. Bukan maksud hati untuk mencela suatu sikap yang memandang ritual adalah sesuatu yang harus dinomorsatukan secara mutlak tanpa ada sebuah kebijakan dan toleransi.

Demikian juga, intoleran juga akan berakibat kurang baik bagi pendidikan mental manusia kala yajna tengah berlangsung dengan gegap gempita. Wilayah Gianyar adalah tempat di mana saya melakukan banyak pengamatan tentang yang satu ini. Suatu ketika, ada sebuah Puja wali yang sangat besar. Ida Bhatara katuran Nyejer selama tiga hari, dan dalam tempo yang demikian, maka jalan raya di samping pura tersebut harus ditutup sementara waktu dengan alasan perhelatan yajna

Setelah berbincang dengan Bimas Kota, dari Kepolisian Sektor Kota Gianyar, saya mendapatkan sebuah penjelasan,bahwa ketika ada sebuah perhelatan yang mengundang banyak orang untuk hadir, keramaian, dan juga kegiatan atau acara yang bersifat public, dengan mengambil fasilitas umum, seperti jalan raya dan balai budaya atau sebagainya, maka harus ada ijin keramaian dari kepolisian.

Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kejadian yang tidak diinginkan. Sebab analoginya, jika ramai akan ada banyak orang dan jika ada banyak orang, maka semakin banyak masalah yang akan timbul. Untuk itu ijin tersebut dilakukan. Nah sekarang permasalahannya adalah ketika jalan itu ditutup, untuk berlangsungnya yajna, paling hanya saat ngeluar di jaba sisi. Kemudian saat ngaturang pepranian, dan yang paling utama saat mendak toya ning.

Jika kita kalkulasikan dengan waktu, alokasi waktu yang diambil untuk rentetan upacara tersebut tidak lebih dari tiga jam sampai empat jam. Jika Ida Bhatara nyejer selama tiga hari, maka akan ada empat jam dikali tiga hari. Atau tiga jam dikali tiga hari. Itu adalah waktu yang efektif dan efesien mengingat jalan raya merupakan fasilitas publik yang penggunanya bukan manusia Hindu saja, serta ada banyak manusia dengan kepentingan berbeda dan profesi berbeda yang lewat di jalan itu.

Syukur-sykur mereka yang heterogen mau mengerti, namun tidak jarang ada banyak umpatan yang terlontar. Apalagi jika jalan raya harus ditutup ketika jam-jam sibuk dan jam kantor. Mereka jadi terhambat bahkan terlambat, hingga umpatan semakin banyak terdengar, meskipun dalam hati. Tetapi sudah cukup bagi saya untuk merasakan bagaimana jika sebuah yajna yang besar harus dihiasi dengan umpatan-umpatan seperti itu.

Solusinya adalah jalan tersebut hanya ditutup setengah saja, atau jika tidak memunginkan karena satu dan lain hal, cukup ambil ketika dudonan puja wali saja, kemudian selebihnya dibuka kembali karena itu milik publik. Namun permasalahan kembali muncul, manakala setiap odalan di Bali, sebuah tajen tidak pernah absen, inilah yang menutup jalan dan menghabiskan waktu berjam-jam sampai petang, bahkan sampai bebotohnya pulang semua.

Ternyata setelah dicek kembali dan dianalisa, durasi waktu untuk menutup jalan dalam rangka perhelatan ini jauh melebihi kapasitas yang diberikan. Bahkan sampai berhari-hari jalan ditutup lantaran banyak mobil dan sepeda motor milik bebotoh yang parkir di pinggir jalan raya berjubel, kiri dan kanan. Ah, semakin krodit dan ruwet saja. Kemudian umpatan dari orang semakin terus terdengar.

Saya sangat sedih melihat hal itu. Pertanyaan saya adalah, mengapa ketika ada tajen, banyak orang dengan bangga duduk di sisi jalan raya, kuak-kuek, kaak-kuuk tidak karuan-karuan. Tapi ketika Ida Bhatara sedang melakukan prosesi ngeluar, ke manakah semangat itu, semangat duduk nangkilin Ida Bhatara duduk di pinggir jalan menyaksikan tapakan Ida Bhatara katuran ngeluar?

Intinya, kita tidak lagi dikuasai oleh idealisme secara murni, hanya kepentingan pragmatis yang membawa pada sebuah keuntungan, nafsu dan juga tampilan luar saja yang ada dalam diri kita yang paling banyak. Alangkah eloknya, Yajna yang dilakukan jika kita melakukan penutupan jalan dengan durasi waktu yang proporsional kemudian setelah perhelatan selesai, maka jalan sebaiknya dibuka kembali untuk kepentingan umum.

Bahkan tidak jarang ada papan tulisan dengan peringatan “Hati-hati ada Upacara Agama” kemudian di sisi yang lain lagi tertera simbol untuk dilarang masuk. Padahal di sana sama sekali tidak ada kegiatan apa pun, atau eedan karya apa pun juga. Apakah panitianya lupa memindahkan, atau sengaja dibiarkan di sana untuk gagah-gagahan?

Yang jelas, dahulu dan sekarang pola pikirnya beda. Apalagi masyarakat umum yang sama sekali tidak memiliki rasa bhakti, Hindu KTP, atau Hindu tapi sama sekali meboya dengan tapakan Ida Bhatara (Tidak jarang sekarang yang demikian). Mereka akan sangat-sangat dan sangat tidak nyaman dengan situasi demikian, jalan ditutup dan umpatan pasti keluar dari mulut mereka. Jangankan mereka, bahkan manusia Hindu yang terpelajar-pun kadang kala dan sekali waktu pernah juga merasa tidak nyaman dengan situasi demikian, apalagi jika ada urusan mendadak.

Jaman kerajaan dahulu, penduduk Bali masih homogen, tidak se-pluralistik sekarang. Dapat dikatakan agama mereka Hindu secara murni dan keseluruhan memiliki bhakti luar biasa kepada sasuhunan-nya sendiri. Apalagi jika perhelatan yajna tersebut dilakukan atas perintah sang maharaja atau Dalem, maka tidak satu pun penduduk yang berani menentang. Entah jalan mau ditutup sampai sebulan lamanya, juga tidak ada masalah. Sebab tidak ada sepeda motor, tidak ada mobil yang lewat, dan tidak ada apel pagi hari, absen pagi, atau piket pagi. Tapi sekarang berbeda. Ada banyak kepentingan, ada banyak urusan, dan jalan bukan lagi didominasi oleh satu golongan atau individu seperti jaman kerajaan dahulu. Yang baik adalah yajna tetap dijalankan dengan memperhatikan juga kepentingan dan kenyamanan publik.

Selanjutnya......

Rsi dan Pinandita Diharapkan Selenggarakan Yadnya Sesuai Pakem

Laporan Arjana

Pagendu wirasa Ida Bhujangga Rsi pada Hari Raya Sivaratri, 3 Januari 2011 lalu di Pasraman Agung Griya Mas Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung diisi dengan perenungan dan diskusi tentang ajaran agama, pasraman dan mengevaluasi rencana kerja ke depan tentang pelaksanaan upakara Panca Yadnya. Pagendu Wirasa Siwaratri diikuti oleh kurang lebih 150 umat Hindu. Mereka terdiri dari keluarga Bhujangga Waisnawa yang tergabung dalam beberapa pasraman, yaitu Keluarga Bhujangga Waisnawa batan Getas, serta masyarakat sekitar Tumbak Bayuh.

Pagendu wirasa yang dirangkai dengan perayaan Siwaratri ini diisi dengan dharma wacana dari masing-masing sulinggih, yakni, Ida Rsi Hari Dantam dari Grya Mas Tumbak bayuh, Mengwi Badung, kemudian ada Ida Bhujangga Rsi Waisnawa Kemenuh dari Grya Taman Wangining, Temukus, Ida Bhujangga Rsi Dwija Santa-Grya Sindu Manik Mas-Kramas, Ida Bhujangga Rsi Istri Gandawati dari Grya Taman Sunia- Karang Suwung, Ida Bhujangga Rsi Adi Guru–Griya Batur Sari Kesiman, Ida Bhujangga Rsi Esti Guru dari Grya Anyar Sari, Sembung, Banjar Dajanpeken-Sembung, Mengwi, Badung.


Pagendu Wirasa kali ini tidak seperti hari biasanya di mana biasa dilakukan pada hari raya Saraswati setiap 6 bulan sekali. Namun sekarang pada hari Siwaratri juga dilaksanakan mengingat moment Siwaratri sangat tepat untuk melakukan simakrama, pendekatan antara para Rsi dan sisya. Dan menurut rencana yang juga telah disepakati acara gendu wirasa akan tetep dilaksanakan pada hari raya Saraswati dan pada hari Siwaratri.

“Pagendu Wirasa kali ini adalah untuk menyambut perayaan Siwaratri di mana moment yang baik ini dapat dimanfaatkan oleh sulinggih maupun oka-oka dapat saling mengunjungi. Ini adalah yang pertama kalinya dan akan berlanjut setiap setahun sekali dan enam bulan untuk Saraswati,” ucap Ida Rsi Hari Dantam-pendiri Pasraman Tumbak Bayuh.

Beliau menambahkan, tujuan kegiatan ini adalah untuk membangkitkan kesadaran sang diri dalam melaksanakan swadharma masing-masing. Sehingga ketika kesadaran jiwa telah ditingkatkan dan dicapai dapat memberi petunjuk, memberi kerahajengan lan kerahayuan umat Hindu terutama oka-oka di seluruh Bali.

Materi yang dibahas dalam pagendu wirasa tersebut adalah tentang keberadaan Bhujangga, baik sejarah maupun eksetensinya dalam memajukan dan mengembangkan agama Hindu, mulai dari Jawa sampai ke Bali. Mulai dari menata pakem yang digunakan dalam hal pelaksanaan Panca Yadnya, yakni, Dewa yadnya, Rsi yadnya, Buta yadnya, Manusa yadnya dan Pitra yadnya.

Ida Bhujangga Rsi Waisnawa Kemenuh dalam kesempatan daharmawacananya menyampaikan, agar para rsi dan pinandita yang dalam melaksanakan yadnya selalu berpatokan pada pakem yang telah ada, jangan sampai melenceng jauh. “Ke depan dalam melaksanakan yadnya, Panca Yadnya, sebaiknya kita mengacu pada pakem yang telah ada. Bagaimanapun juga ajaran Waisnawa sekarang sudah bisa diterima oleh umat Hindu. Jadi kita kalau ingin mengembangkannya jangan sampai terlalu jauh sehingga esensi pemaknaan dari upakara menjadi lempas dan hanya menimbulkan kesan jor-joran saja. Pada prinsipnya evaluasi dalam praktek yadnya memang diperlukan namun harus diperhatikan inti dari ajaran yang sudah ada,” sebutnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ida Bhujangga Rsi Dwija Santa-Grya Sindu Manik Mas-Kramas. Beliau menyambut baik apa pun yang direncanakan agar memiliki acuan yang telah ada, karena ajaran Waisnawa kalau sungguh-sungguh dipelajari memiliki kelebihan-kelebihan. “Kita sebaga pratisentana wajib mempertahankan hal tersebut,” dukungnya.

Demikian pula ketika Ida Bhujangga Rsi Adi Guru dalam kesempatannya menyampaikan pandangan. Ida menyampaikan dan berterimakasih atas dijadikannya Grya dan Pasraman sebagai pusat pengkajian dan simakrama tukar pengetahuan sesama umat warga Hindu dan untuk melakukan magendu wirasa kali ini. “Acara ini akan dapat menjawab permasalahan-permasalahan umat, ketika umat Hindu mulai mengalami kehausan dalam memperdalam praktek keagamaan. Selain itu adanya keengganan masyarakat melakukan simakrama dengan para sulinggih di luar urusan yajna, maka magendu wirasa inilah jawabannya. Niscaya hubungan yang baik tidak saja terjadi dalam urusan yajna saja,” ungkapnya.

Pada malam harinya oka-oka serta sisya Pasraman Agung Griya Mas Tumbak Bayuh melanjutkan dengan jagra semalam suntuk di pura Balingkang-Kintamani. Jagra dengan agenda perenungan makna Sivaratri dengan kontek kekinian dalam menghadapi tantangan global.

Selanjutnya......

Mendak Tirta di Lembah Sindhu untuk Ngemit Jagat Bali

Laporan Putrawan

Beragam cara yang ditempuh umat Hindu di Nusantara dalam rangka mengekspresikan sradha bhakti-nya ke hadapan Ida Hyang Widhi. Bagi umat kebanyakan, menggelar berbagai ritual dan bersembahyang ke berbagai pura adalah bentuk-bentuk ekspresi spiritual paling umum, sedangkan elemen-elemen lain mewujudkannya dengan menambahnya dengan melakukan pelayanan (seva), mengabdi dengan tekun pada swadharma-nya masing-masing. Atau ada juga yang menempuh jalan yang lebih trancendent, menekuni Raja Yoga untuk meningkatkan kesempurnaan rohani.

Sejumlah umat Hindu dari Bali yang sangat antusias akan keberadaan agama Hindu di Nusantara menempuh jalan yang lebih khusus untuk menguatkan eksistensi Hindu Nusantara dan terwujudnya masyarakat yang hidup harmonis: harmonis dengan dirinya sendiri, dengan insan lain, dengan alam dan dengan Tuhan. Jika elemen-elemen lain penggiat keagamaan melakukan dharma wacana untuk menyebarkan pencerahan kepada umat dan umat lain bekerja keras memperbaiki tempat-tempat suci, maka kelompok ini lebih menaruh perhatian terhadap pendukung keberlangsungan Hindu Nusantara dengan memperkuat hubungan dengan energi cosmic (cosmic mind) atau disederhanakan menjadi energi taksu. Menurut penggiatnya, struktur masyarakat Hindu Nusantara yang kuat, harmonis, eksis, produktif dan efektif tidak cukup hanya diusahakan dengan usaha-usaha rasional saja, tetapi mutlak dibutuhkan “supply” energi taksu, sehingga usaha-usaha keduniawian dalam rangka menciptakan masyarakat yang Vedic mendapat dukungan dari alam.

Usaha-usaha inilah yang telah dirintis dan terus dilakukan oleh Made Dwija Nurjaya, Jro Mangku Aseman dan lain-lain untuk memperkuat jaringan energi taksu Hindu Nusantara. Berbagai usaha telah ditempuhnya, dengan biaya pribadi, pengusaha dupa ini telah merogoh sakunya untuk menjalankan misi tersebut. Setelah sebelumnya berusaha memperbaiki hubungan niskala dengan leluhur di Dalem Solo (Candi Ceto), kemudian mengadakan permakluman (mepejati) di pusat taksu Sabrang Malayu, Palembang (baca Raditya edisi 162), kemudian matur pakeling ke Kutai. Setelah tangkil ke semua lokasi tersebut, kemudian pada tanggal 4 Januari 2011, Made Dwija Nurjaya bersama Jro Mangku Aseman, asal Subamia-Tabanan berangkat ke Jamu Kashmir, India untuk merajut kembali taksu Hindu Nusantara dengan lelangit (leluhur) Hindu di lembah Sindhu. Keberangkatannya ini juga atas dukungan dari A.A. Oka Ratmadi (Tjok. Rat) selaku penglingsir puri dan mewakili rakyat Bali (Ketua DPRD Bali).

Jro Mangku Aseman setibanya kembali dari India mengatakan kepada Raditya, bahwa secara spiritual terdapat 11 langit atau lapisan alam astral dengan 11 dewa yang menempati 11 langit itu. Yang disebut langit ke 11 adalah alam kamoksan (ngewindu) atau Siwa Sampurna. Untuk di Bali terdapat pintu hingga langit keenam, kemudian secara hirarkhis di alam sunia, pintu langit ketujuh terdapat di Dalem Solo, langit ke delapan dan sembilan di Sabrang Malayu (Bumi Ayu dan Goa Putri) dan langit 10 dan 11 terdapat di Jamu Kasmir (Lembah Sindhu). Jadi menurut Mangku Aseman, untuk menguatkan Hindu Nusantara, selain dengan memperkuat eksistensi penganutnya di alam sekala, juga mesti ditindaklanjuti dengan memelihara keterhubungan ke 11 pintu langit itu.

Bila “langit” itu tidak terpelihara dengan baik dalam artian lapisan alam tersebut tidak mendapat perhatian dalam bentuk bhakti dari para penerus umat Hindu, maka terjadi ketidakbahagiaan dengan roh-roh yang berada di lapisan tersebut. Akibatnya, keguncangan di alam sana akan menimbulkan kesulitan-kesulitan di alam nyata. Sujud bhakti dari umat untuk masing-masing lapisan langit itu adalah energi bagi roh-roh di alam tersebut untuk berevolusi naik. Dengan berevolusinya roh-roh di tiap tingkatan langit, maka manusia di alam material pun akan otomatis terangkat naik dan inilah disebut jalinan harmonis antara sekala dan niskala. Karena itulah dalam tradisi kepercayaan orang Hindu Bali, bhakti kepada leluhur sangat penting untuk menolong diri sendiri. Dan leluhur yang dimaksud tidak sebatas lelintihan soroh, tetapi leluhur dalam pengertian, bagaimana energi spiritual dalam bentuk wahyu suci Weda diturunkan kemudian diteruskan oleh orang-orang terdahulu hingga energi spiritual yang penuh taksu itu sampai di Bali.

Untuk itu, leluhur terdahulu sudah membangun “pos” sebagai tempat di mana tiap lapisan langit itu bisa “diakses” seperti telah disebutkan di atas,yaitu Bali (Besakih-Batukaru), Dalem Solo, Bumi Ayu-Goa Putri, dan Jamu Kasmir (Lembah Sindhu). Jika “pos-pos” tersebut tidak terpelihara dengan baik dari sisi niskala (spiritual), maka tujuan umat Hindu untuk mencapai langit kesebelas (Moksa) menjadi sulit.
Jro Mangku Aseman dengan didampingi Made Dwija Nurjaya menjelaskan, ketidakharmonisan hubungan dengan pusat-pusat taksu Hindu tersebut akan menimbulkan masalah di alam nyata. Akibat perlindungan yang lemah dari energi niskala, karena pikiran orang-orang belum tersinkronisasi dengan pusat-pusat taksu tersebut, maka pengaruh-pengaruh budaya luar yang bersifat non Wedic akan mudah menerjang dan menaklukkan masyarakat. Inti persoalannya adalah pikiran orang-orang yang mudah terpengaruh anasir asing akibat tidak kuatnya fondasi pikiran. Dan fondasi pikiran yang bersifat Wedic salah satunya akan bertambah kuat dengan supply dari energi taksu Hindu itu (satelitnya) yang dibangun di berbagai tempat sebagaimana disebutkan di atas.

Di Lembah Sindhu

Sebelum menuju Jamu Kashmir, pada 5 Januari 2011, Made Dwija Nurjaya dan Jro Mangku Aseman terlebih dahulu menyucikan diri di Haridwar-sungai Gangga. Dari sana perjalanan mereka teruskan ke Rajastan, mengunjungi makam penyebar Islam pertama di India. Namanya Hazrat Khwaja Moinuddin Hasan Chisty atau yang lebih dikenal dengan nama Gharib Nawaz. Tujuan mereka mengunjungi makam orang Muslim itu adalah untuk membawa salam perdamaian dunia dari Bali, jadi semacam negosiasi niskala. Kunjungan mereka ini disambut langsung oleh keturunan ke 23 dari Gharib Nawaz dan mendoakan maksud kedatangan dua duta asal Bali ini.

Setelah masimakrama dengan “penguasa muslim” di sana, Jro Mangku Aseman dan Dwija selanjutnya menuju Jamu Kashmir dan tiba di negara bagian itu pada 8 Januari 2011. Tiba di sana mereka bingung, sebab tidak tahu lokasi mana menjadi pusat taksu lembah Sindhu. Sebelumnya, atas petunjuk niskala dari Rsi Danandrya, mereka diisyaratkan pergi ke Jamu Kashmir. Selanjutnya setelah mereka berjalan tak tentu tujuan, turunlah tuntunan untuk pergi ke sebuah temple di lereng bukit di kota Katra, provinsi Jamu. Setelah berangkat ke tempat dimaksud, peta niskala yang dibaca Mangku Aseman menunjukkan, bahwa kalau tempat yang dimaksudkan adalah Temple Shri Mata Vaisno Devi. Untuk mencapai lokasi itu mereka harus naik kuda dengan ongkos 1500 rupee per orang.

Konon, di sanalah Smrti Sindhu diturunkan di masa lampau kepada Rsi Danandrya. Dan dalam kawasan temple yang luas itu, mereka akhirnya dapat menemukan sebuah bangunan yang merupakan petilasan Rsi Danandrya. Jadi inilah titik di mana Smrti Shindu diwahyukan. Sebagai tanda permakluman, bahwa penangkilan mereka untuk menunjukkan bhakti kepada leluhur dan mohon restu bagi kesentosaan umat Hindu Nusantara, dilakukanlah sejumlah ritual untuk mengaktifkan dan menyambung power taksu di tempat itu dengan taksu Hindu Nusantara. Berbagai ritual yang dilakukan adalah ngenteg linggih, mupuk pedagingan, mepasupati dan mulang pancadatu dengan pis bolong tiga biji dan benang tri datu. Sarana yang teramat sederhana itu, seperti daksina ala India dan sesajen lainnya selanjutnya oleh Jro Mangku Aseman kaanteb (dihaturkan) dengan diiringi mantra dan menggelar mudra Siwabumi, mudra prajapati dan mudra pasupati. Dengan ritual komplit ini, maka umat Hindu dari Bali yang ingin bertirta yatra ke tempat itu tinggal mebhakti saja, karena petilasan itu pun sudah diformat sesuai fungsi tempat suci di Bali.


Nebusin di Makam Kabir

Salah satu tempat yang dikunjungi Made Dwija Nurjaya dan Mangku Aseman di Agra adalah makam orang suci Hindu yang hidup pada zaman penjajahan Moghul di India. Dia adalah Kabir. Orang suci ini mati tragis karena dibunuh oleh putra mahkota kerajaan, karena putra mahkota itu cemburu dengan ketenaran Kabir. Ceritanya begini, Kabir memiliki kebiasaan hidup riang gembira, di mana-mana selalu tersenyum gembira sambil bernyanyi-nyanyi. Berita orang suci ini sampai ke istana, lalu diundanglah dia ke istana oleh putra mahkota.

Sampai di istana, Kabir ditanya oleh putra mahkota, apakah benar ia selalu gembira dalam keadaan apa pun. Kabir menjawab, bahwa memang hidupnya hanya berisi kegembiraan. Karena ingin menguji, putra mahkota pun melakukan cara ekstrim, yaitu dipenggalnya tangan kiri Kabir. Ternyata ekspresi Kabir biasa saja, tetap bernyanyi. Selanjutnya tangan kanan Kabir dipotong, satu persatu kakinya dibuat buntung, toh Kabir masih bisa bertahan dalam nyanyiannya. Merasa jengkel dengan kemampuan orang itu, putra mahkota pun memerintahkan pengawalnya memenggal leher Kabir, maka berhentilah nyanyian Kabir untuk selamanya.

Tapi karena peristiwa ini, orang-orang Hindu maupun Muslim di sana menaruh hormat kepada kemuliaan Kabir. Sejak saat itulah nama Kabir banyak dipakai orang, baik Hindu maupun Muslim, bahkan beberapa nama tempat suci non Hindu pun banyak memakai nama Kabir di depannya.

Memasuki makam Kabir bukanlah perkara mudah. Di daerah yang masih terjadi konflik ini memasuki tempat-tempat penting jelas akan sulit. Tapi ajaibnya, saat mereka tiba di lokasi tersebut saat malam, ternyata sejumlah penjaga tak ada nampak, kemungkinan tertidur. Tapi begitu Made Dwija memotret makam itu, kilatan cahaya blitz kameranya mengejutkan para penjaga dan mereka mendatangi Jro Mangku dan Made Dwija sambil marah-marah karena mengiranya sebagai penyusup. Beruntung sebelumnya, Jro mangku sudah sempat melakukan ritual nebusin, karena Kabir mati salah pati, maka perlu dimuliakan supaya tidak kesengsaran di alam sana. Sekali lagi Jro Mangku Aseman menegaskan, ketidakbahagiaan roh-roh para pendahulu akan mempengaruhi kualitas hidup generasi penerus yang kini hidup di dunia. Jadi siapa pun roh-roh terdahulu, apalagi leluhur Hindu wajib kita doakan supaya dapat meningkat ke alam-alam yang semakin halus.

Ngadegang Tirta Lembah Sindhu
Setibanya kembali di Denpasar, dua perwakilan umat Hindu asal Bali atas nama perintah niskala ini kemudian ngadegang tirta di Pura Kerta Sabha yang berada di Jaya Sabha, rumah dinas Gubernur Bali. Tirta dari Lembah Sindhu (Temple Shri Mata Vaishno Devi) selanjutnya ditempatkan dan kasungsung di Bali untuk memberi power, ngemit jagat Bali. Ikut mendak tirta ini masing-masing, Mangku Pura Goa Lawah, Mangku Pura Pucak Sari. Ngelinggihang tirta diiringi menggelar caru siap mesambleh.
Dengan telah utuhnya kembali hubungan niskala (taksu) Bali-Jawa-Sumatra-India, maka selanjutnya masyarakat Bali dan Nusantara tinggal merawatnya, supaya aliran energi kosmis itu tetap lancar dan membantu mencerahkan pikiran kita di dalam menghadapi tantangan dan kompetisi di era global.

Selanjutnya......

Perayaan Gita Jayanthi: Agnihotra Sembilan Kunda

Laporan Nyoman Suamba

Dewan Persatuan Pasraman Bali menyelenggarakan Perayaan Gita Jayanti pada hari Minggu tanggal 19 Desember 2010 bertempat di Gedung DPRD Bali Renon Denpasar. Perayaan ini dimaksudkan untuk memperingati Bhagavad Gita disabdakan oleh Sri Krishna (Tuhan yang maha Esa) pada 6000 tahun yang silam di tengah-tengah medan perang Kuruksetra.

Perayaan Gita Jayanti kali ni dihadiri oleh Seluruh Pasraman yang ada di Bali, seperti Seruling Dewata, Bali Homa, Gandi Asram, Ananda Marga, Sradha, Ratu Bagus, Pasraman Blahkiuh, Sakkhi, Buddha Tri Dharma, Penjor Jagatdhita, Art of Living serta masyarakat luas.

Menurut Ketua Panitia Perayaan Gita Jayanti, I Ketut Gerejeg, S.Ag yang inisiasinya bernama Drtatma Das, mengatakan, perayaan ini diawali dengan pelaksanaan Agni Hotra dengan membacakan 700 sloka Bhagavad Gita yang melibatkan berbagai organisasi spiritual dengan menggunakan sembilan kunda dan mempersembahkan berbagai jenis hasil bumi ke dalam api suci guna tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini Gerejeg mengatakan, prosesi perayaan ini di prakarsai oleh SAKHI yang diketuai oleh Prabhu Adipurusa. Selanjutnya, kegiatan ini kemudian dilaksanakan oleh Dewan persatuan Pasraman Bali yang diketuai oleh Aripta Wibawa,SH, M.Ag yang inisiasinya bernama Acarya Paramananda Muni Daksa.

Menurut Gerejeg yang juga pioneer dan praktisi senior kesadaran Krishna di Asram Sri-Sri Nitai Gorangga Mengwi, pada saat hari Gita Jayanti ini orang –orang di seluruh dunia biasanya bertirtayatra ke Dharmaksetra yang saat ini disebut sebagai Jyotisar Tirtha dan di tempat tersebut didirikan monumen di mana Sri Krsna sebagai Parthasarati (supir Kereta) dari Arjuna. Di dekat bangunan tersebut juga terdapat sebuah pohon yang umurnya sangat tua yang diyakini sebagai saksi bisu pewahyuan Bhagavad Gita. Orang-orang yang datang ketempat tersebut biasanya melakukan Arati/pemujaan dari pagi, membaca Bhagavad Gita, Shobha Yatra dan juga mimbar Gita.

Menurut Gerejeg yang juga tercatat sebagai karyasiswa di fakultas terkenal di Bali menguaraikan, bahwa perayaan Gita Jayanti ini menceritakan kisah malam sebelum perang Kuruksetra dimulai di mana Maha Rsi Vyasa datang ke Astinapura menemui Drstaratha untuk memberikan wejangan dan kekuatan magis agar Drstaratha yang buta sejak lahir dapat melihat anak-anaknya pada detik-detik terakhir hidup mereka. Namun Drstraratha menolaknya, karena dia tidak sanggup melihat kematian anak-anaknya yang sudah pasti akan terjadi, karena itulah Maha Rsi Vyasa memberikan kemampuan penglihatan batin itu kepada Sanjaya, sais yang setia mendampingi Drstraratha selama perang berlangsung. Dengan anugerah tersebut Sanjaya dapat mengetahui apa saja yang terjadi di medan perang, baik siang maupun malam bahkan Sanjaya mampu membaca pikiran orang-orang dalam medan perang tersebut. Jadi dalam perang Bharata ini ada tiga pribadi yang dapat mengetahui jalannya perang secara lengkap, yaitu Sanjaya, Maha Rsi Vyasa, dan Krshna (Tuhan Yang Maha Esa penyabda Bhagavad Gita.

Menurut Gerejeg sebagai seorang Praktisi Kesadaran Krsna dan penekun spiritual, perayaan ini dimaksudkan sebagai satu rangkaian yang erat kaitannya dengan perayaan hari raya Umat Hindu, yaitu Galungan dan Kuningan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Untuk itu kegiatan ini sebagai wujud dan cerminan kemenangan masyarakat Hindu dan kemenangan ini bukan sekedar simbol. Perayaan ini merupakan sebuah aplikasi ajaran agama Hindu sesuai dengan kitab suci Veda. Dan sebagai umat Hindu yang merupakan bagian integral dari umat lain di Indonesia adalah sebuah komunitas intelektual yang memiliki tugas, tanggung jawab serta kewajiban dalam mengaplikasikan ajaran agama sesuai dengan kitab suci Veda.
Pada perayaan kali ini mengambil tema “Melalui Gita Jayanti kita tingkatkan Sradha Bhakti kepada Tuhan dan Memperkokoh Persatuan Menuju Masyarakat Hindu yang Harmonis.” Untuk persiapan acara perayaan telah dipersiapkan semenjak tiga bulan sebelumnya. setelah Homa Yadnya dan pembacaan 700 sloka Bhagavad Gita kemudian dipersembahkan Gaguritan yang dibawakan masing-masing pasraman acara dimulai dari pukul 09.00 pagi kemudian pada acara resminya dipersembahkan tari Panyembrahma sebagai tari pembukaan yang dibawakan oleh anak-anak Asram Gurukula Nitai Gaurangga Asram Mengwi. Acara dilanjutkan dengan Doa Puja Trisandhya, yang dilanjutkan dengan laporan-laporan, kemudian dilakukan manggala carana/pemujaan dan diisi lagu Gita Jayanti. Kemudian ada acara bhajan, yaitu pengulangan nama-nama suci yang terakhir semua peserta undangan dan panitia perayaan sama-sama menikmati prasadam. Ada pun undangan adalah Gubernur Bali, PHDI Pusat DPR , Wali Kota, dan Kanwil Kementerian Bali serta umat Hindu.

Selanjutnya......

Hindu Kolaka Gelar Ritual Nangluk Merana

Laporan Nyoman Sarasuniyasa

Upacara nangluk merana yang telah umum dilaksanakan di kalangan umat Hindu di Bali adalah tergolong dalam jenis Bhuta Yadnya. Hal ini secara berkesinambungan dilaksanakan setiap tilem sasih Kenem bagi umat Hindu etnis Bali yang kini bermukim di wilayah Kolaka bagian selatan, Sulawesi Tenggara. Warga umat Hindu yang berada di wilayah tersebut terdiri dari empat kecamatan setelah pemekaran sebagai kecamatan induk Watubangga, Tanggetada, Polinggona dan Kecamatan Toari. Yang terbanyak umat Hindunya terdapat di Kecamatan Watubangga.

Pertama program ini berjalan di tiga desa, yaitu Peoho, Kukutio, Pundongi. Setelah ditinjau oleh Ketua PHDI Kecamatan sejak tiga tahun yang lalu ritual itu dipusatkan di tingkat kecamatan dengan penanganan upakara bergilir setiap desa adat. Sama seperti kegiatan melasti sudah sejak lama bergabung di kecamatan.

Mengacu pada sumber sastra dalam hubungan dengan upacara nangluk merana di antaranya bersumber Purana Bali Dwipa. Pada intinya sumber itu mengatakan, ketika Raja Sri Aji Jayakasunu mendapat petunjuk dari Hyang Maha Kuasa berbunyi sebagai berikut: “Malih aja lali ring tatawur ring sagara, manca sanak, nista Madhya, uttama, nangken sasih kanem, kapitu, kaulu, pilih tunggil wenang maka panangluk mrana aranya. Yan sampun nangluk mrana, gring tatumpur tikus, walang sangit, mwah salwiring mrana ring desa, mwang ring sawah tan pa wisya, apan sampun hana labanya, wetning salwiring mrana saking samudra datengnya.”

Artinya, Dan jangan lupa melaksanakan kurban (tawur) di laut amanca sanak, tingkat kecil, sedang, utama, tiap-tiap bulan Desember, Januari, Februari salah satu di antaranya dapat dipilih untuk dilaksanakan sebagai penolak hama dan bencana. Bilamana sudah melaksanakan upacara nangluk merana, penolak hama dan penyakit di sawah, maka tikus walang sangit, segala bentuk hama di tingkat desa maupun sawah tidak akan berbahaya, karena sudah dibuatkan upacara. Oleh karena segala wabah dari laut sumbernya.

Demikian salah satu sumber mengatakan dan rupanya masih banyak sumber sastra yang dapat dijadikan acuan untuk melaksanakan yadnya asal didasari atas hati yang tulus ikhlas.

Selanjutnya marilah atau bagaimana pelaksanaan nangluk merana yang dilaksanakan pada tilem Kenem, 5 Desember 2010 yang baru lalu. Upacara di Kolaka Selatan itu di awali pecaruan manca sanak yang dipimpin oleh Jro Mangku Rimpen dan didampingi oleh para pemangku tingkat kecamatan. Acara ini tidak banyak melibatkan umat, tetapi cukup perwakilan dari masing-masing desa adat dan tidak sama waktu pelaksanaan melasti berjalan. Kali ini sebagai pelaksana yadnya Desa Kukutio yang sangat antusias bekerjasama yang erat dengan para serati. Usai melaksanakan yadnya (tawur) atau sebelum persembahyangan dilaksanakan pemaparan secara singkat terkait pelaksanaan upacara nangluk merana disampaikan oleh saya sendiri (Pinandita Nyoman Sarasuniyasa) sebagai Ketua PHDI tingkat kecamatan dan sebagai penanggung jawab terselenggaranya ritual ini.

Dalam pemaparan tersebut saya tegaskan, bahwa tujuan dilaksanakan upacara ini untuk nyomya bhuta, menetralisir unsur-unsur Panca Maha Bhuta. Lebih-lebih 4 tahun belakangan ini, iklim di negara kita sangat ekstrim, sehingga banyak petani gagal panen terutama hasil perkebunan jambu mete yang seharusnya, setiap tahun panen, namun dengan musim hujan berkepanjangan, maka segalanya gagal.

Nah mudah-mudahan dengan adanya upacara yang sederhana dan didasari dengan hati yang tulus segala rintangan gangguan hama-penyakit tanaman serta bencana alam yang melanda bangsa dan negara kita umumnya semoga berakhir dan kita sebagai petani bisa menikmati hasil panen.

Setelah melaksanakan persembahayangan bersama, saat hening sejenak, saya memimpin doa untuk keselamatan pribadi, keluarga, masyarakat serta bangsa Indonesia, umumnya semoga tidak terjadi bencana alam di mana-mana. Semoga para pemimpin kita dalam menunaikan tugasnya senantiasa mendapat tuntunan dari Hyang Kuasa.

Selesai nunas tirta dan bija, para pemedek yang sempat tangkil membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing tepat pukul 13.00. Sementara itu pelaksanaan peringatan hari raya Galungan di Peoho diisi dengan acara Dharma Santi Galungan pada hari Kamis, Umanis Galungan bertempat di jaba tengah Pura Siwa Krama Desa peoho. Acara ini dimotori oleh anggota WHDI Desa Peoho yang dikoordinir oleh Sugiarti yang selama ini sangat aktif dalam kegiatan WHDI, baik di tingkat kecamatan maupun desa. Kendatipun sebelumnya ia merupakan penganut agama lain. Tetapi karena faktor perkawinan dan atas kehendaknya sendiri yang bersangkutan secara ikhlas telah menjadi penganut Hindu dan sudah banyak berperan aktif dalam kegiatan yang bernuansa Hindu.

Adapun rangkaian Dharma Santi itu dimeriahkan beberapa jenis lomba, di antaranya paling menonjol adalah lomba kidung suci keagamaan yang terbagi dalam tiga regu dan tiap regu terdiri dari enam orang. Yang menarik adalah, dalam dua regu itu terdapat dua orang anggota dari etnis Jawa yang kini sudah resmi sebagai penganut Hindu.
Mengenai pembinaan keagamaan dalam WHDI lewat sekar madya kemudian melangkah menuju utsawa dharmagita adalah adanya kendala, yaitu kurangnya motivasi dari pihak suami. Toh demikian menurut Sugiarti, hal itu bukan menjadi penghalang, karena dengan berbagai upaya akhirnya ibu-ibu juga mampu tampil memukau dalam lomba tersebut.

Selanjutnya......

Drs I Ketut Wiana M Ag Purna Bhakti

Pada Jumat, 5 Januari 2011 lalu, IHDN Denpasar melepas salah seorang tenaga pengajarnya untuk memasuki masa purna bhakti. Dosen yang secara resmi memasuki masa pensiun itu adalah Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., yang juga salah seorang tokoh Hindu Indonesia yang telah malang melintang melakukan pengabdian keagamaan, baik di tingkat formal maupun nonformal.

Pada upacara perpisahan yang digelar oleh IHDN Denpasar bertempat di aula kampus IHDN Denpasar, JL. Ratna Denpasar diluncurkan juga sebuah buku yang dipersembahkan khusus kepada Ketut Wiana. Buku berjudul, “Puspamanjari: Persembahan Purna Bhakti Drs. I Ketut Wiana, M.Ag.” berisi kumpulan artikel dari para dosen IHDN Denpasar dan kolega dari Ketut Wiana.

Ketut Wiana sebenarnya sudah pensiun pada 31 Desember 2010, tetapi upacara pelepasannya di kampus IHDN, baru diselenggarakan tanggal 5 Januari 2011. Dalam acara pelepasan yang dihadiri seluruh dosen dan staf IHDN tersebut, Rektor IHDN Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., menyampaikan kesan-dan pesannya melepas salah satu tenaga pendidik yang andal. Pada kesempatan tersebut Titib menyampaikan ucapan terimakasihnya atas pengabdian dan sumbangsih dari I Ketut Wiana selama mengabdi sebagai dosen di IHDN. Menurutnya, Wiana adalah sosok seorang guru sekaligus bapak baginya. Selama kebersamaan di IHDN maupun di Parisada tentunya dua tokoh ini telah mengalami banyak kenangan bersama, sehingga acara pelepasan itu pun banyak berisikan nostalgia di antara mereka.

I Ketut Wiana mengawali karirnya sebagai guru di PGA Hindu Negeri Denpasar tahun 1970, saat mana ia mulai berstatus calon pegawai negeri, meskipun ia sejak tahun 1966 sudah mengajar di PGA. Pada tahun 1971 ia diangkat menjadi anggota DPRD Badung mewakili Golkar dari unsur Prajaniti. Bahkan tahun 1975 lelaki kocak asal Bualu, Nusa Dua ini sempat dicalonkan sebagai calon Bupati Badung sebagai calon pendamping, karena I Dewa Gde Oka sudah ditetapkan sebagai calon jadi (istilah jaman itu). Hasil pemilihan tersebut sudah jelas, Wiana tidak terpilih, karena cuma sekadar melengkapi, supaya calonnya tidak tunggal.

Pada tahun 1982, Ketut Wiana berhenti sebagai anggota DPRD Badung, sehingga ia dapat berkonsentrasi di PGAHN Denpasar, mengingat dirinya sudah diangkat sebagai kepala sekolah di lembaga tersebut sejak tahun 1980. Selain sebagai guru di PGAHN Denpasar, Wiana juga banyak mengabdi sebagai tenaga pendidik di STP Nusa Dua, UNHI, STIA Denpasar, AKPAR Denpasar, Universitas Warmadewa, STKIP Amlapura, STKIP Tribuana Surabaya dan menjadi dosen STAHN Denpasar sejak 1996, setelah sebelumnya sempat sebagai tenaga ahli di Bappeda Bali.

Kini di masa purnabhaktinya, Ketut Wiana mengaku masih akan melanjutkan aktifitasnya, seperti menulis buku dan mengisi kolom di surat kabar, memenuhi undangan untuk mengisi ceramah. Selain itu di masa tuanya, ia telah menyumbangkan 5 are tanah warisannya di Bualu untuk dijadikan centre Sai Baba, dan sekarang sudah terwujud bangunan di atas lahan tersebut yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan spiritual.

Lalu apa harapan Wiana terhadap almamater tempatnya selama ini mengabdi? Menurutnya, jika IHDN Denpasar bisa bertambah maju, maka harus memperhatikan tiga hal. Pertama, SDM IHDN bekerja di lembaga tersebut sebagai ajang mencari nafkah. Kedua, setelah memperoleh nafkah, selanjutnya harus mau memperjuangkan sesuatu supaya umat dapat hidup lebih baik. Cara yang dapat ditempuh IHDN adalah dengan menggerakkan SDM-nya supaya melakukan kajian-kajian terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat, selanjutnya hasil kajian tersebut dirumuskan dan hasilnya bisa dijadikan masukan kepada pemerintah. Wiana menilai, bidang penelitian dan kajian yang menjadi interest publik ini masih kurang disentuh oleh IHDN, oleh karena itu ia memandang perlu kepedulian semua pihak, termasuk pemerintah yang nantinya mau mengapresiasi hasil kajian perguruan tinggi, sehingga hasil penelitian tidak berhenti di rak buku kampus. Kemudian yang ketiga menurut Wiana, SDM IHDN setelah mendapat nafkah dan memiliki kepedulian terhadap masalah umat, juga perlu meningkatkan rasa pengabdian, tidak hanya bekerja atas motif ekonomi. “Sebilang mekijapan harus maan pipis, susah kalau begitu,” celetuknya saat dijumpai Raditya pada Rabu, 12 Januari 2011 di Gedung Pascasarjana IHDN Denpasar.

Selain itu, penulis buku Hindu yang produktif ini juga menyarankan supaya kampus dikelola dengan manajemen vertikal dan horizontal. Manajemen horizontal maksudnya, sebelum mengambil suatu kebijakan supaya berbagai komponen dalam kampus dikumpulkan untuk memberikan masukan sesuai bidangnya masing-masing. Jika keputusan sudah diperoleh, barulah dalam tahap pelaksanaannya menggunakan manajemen vertikal, yaitu sistem komando yang struktural. “Ini belum dilakukan di IHDN, sehingga kesannya berbagai pihak dalam kampus saling tidak kenal dan tidak mau tahu urusan yang bukan menjadi bidangnya dan sebagainya. Kita berharap di masa mendatang hal ini terus dibenahi, supaya IHDN semakin lebih bermanfaat bagi umat” pungkasnya.

Selanjutnya......

Bunculan versus Dampukan

I Dewa Gede Alit Udayana

Bunculan, oh bunculan. Ini dia salah sebuah kata dalam bahasa Bali yang sudah sangat jarang didengar, apalagi digunakan. Bahkan anak-anak muda kini sudah tidak mengenalnya (lagi), alih-alih mengakrabinya. Kata unik ini seolah sudah mati dan menjadi masa lalu. Namun syukurlah, kata itu masih bisa ditemukan dalam kamus bahasa Bali, antara lain yang disusun oleh I Wayan Simpen (1985) maupun yang disusun Wayan Budha Gautama (2009).
Tidak mudah mencari padanan dari kata (Bali) bunculan dalam bahasa Indonesia. Walaupun dapat, mungkin tidak akan pas benar dengan "rasa" kata yang sebenarnya. Mungkin hanya mendekati. Bahkan yang ditulis dalam kamus-kamus bahasa Bali itu juga mungkin tidak klop benar dengan "rasa" kata yang sebenarnya.

Nasib yang sama dialami oleh banyak kata dalam bahasa Bali, yang sulit dicari padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Cobalah cari padanan kata-kata berikut ini: nenggel, tuukin, dan dangla. Sulit bukan? Kondisi ini mirip seperti menceritakan rasa buah pisang kepada orang yang belum pernah makan pisang. Manis seperti gula? Lembek seperti mentega? Tidak juga Yang paling pas, tentu merasakan sendiri rasa buah pisang itu, dengan memakannya. Demikian juga dengan kata bunculan ini. Bagi orang Bali yang lahir dan dibesarkan di Bali tempo dulu dapat dengan mudah memahami kata yang mulai jarang digunakan ini. Kini, seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, saya tidak yakin, apakah para muda masih mengenal arti kata ini (seperti juga "nasib" banyak kata dalam bahasa Bali yang juga "terancam punah").

Bunculan terkait erat dengan masalah keberuntungan, khususnya dalam masalah perolehan rezeki. Mereka yang sudah bekerja keras dengan sangat keras, pontang-panting, toh sangat sulit mendapatkan rezeki, di"cap" sebagai bunculan. Lawannya, dampukan. Orang yang dampukan dapat dengan mudah memperoleh rezeki, meski tidak perlu berusaha terlalu keras. Di Bali, bunculan mudah dikaitkan dengan hari kelahiran yang jelek dari seseorang. Untuk menetralisisr keadaan buruk ini biasanya dilakukan ruwatan, di Bali dikenal sebagai bayuh, terhadap hari kelahiran, atau wetuan (oton). Jadilah yang lebih dikenal sebagai bayuh oton (ruwatan untuk menetralisir pengaruh buruk dan hari kelahiran).

Bunculan, dipercayai juga dapat disebabkan oleh sebab-sebab yang lain. Sebab-sebab lain tersebut misalnya ambah dan padewasan (hari baik) yang tidak cocok. Ambah artinya arah. Dalam wariga (semacam kalender, tuntunan mengenai hari baik) diatur arah (ambah) ke mana sebaiknya pada hari tertentu. Artinya, bila pada hari tertentu ambah-nya ke timur tetapi kita melakukan perjalanan ke arah sebaliknya (barat) maka boleh jadi kita akan gagal dalam pencapaian tujuan kita. Bunculan, kata orang, soal salah pedewasan, penjelasannya begini. Bagi orang Bali, segala aktivitas untuk melakukan sesuatu harus pada dewasa yang sesuai (baik). Ini dikenal sebagai dewasa ayu (hari baik). Umumnya, kegiatan yang berbeda akan mempunyai dewasa yang berbeda pula. Misalnya, dewasa ayu untuk membuat saluran air akan berbeda dengan dewasa membuat perahu. Demikian halnya, sehingga ada dewasa ayu untuk: ngaben, pawiwahan (perkawinan), membangun ramah, dan lain sebagainya. Untuk memulai usaha-usaha yang berkaitan dengan perolehan rezeki (usaha), ada dewasa khusus untuk itu.

Bunculan menunjuk kepada keadaan yang sial secara berkesinambungan. Menurut Kamus Indonesia-lnggris-Bali karangan I G. M. Sutjaja (2004), bunculan diartikan sebagai sial (bahasa Indonesia) dan unlucky/unfortunate (Inggris). Sedangkan, I W. Simpen dalam Kamus Bahasa Bali (1985) memadankan kata bunculan dengan pocol, kado, atau tuara asi. llustrasi berikut ini diharapkan dapat lebih memudahkan pemahaman itu.

Untuk lebih membuat terang soal ini ada baiknya ditampilkan sebuah ilustrasi, seperti ini. I Wayan Kisid misalnya, hanya nama rekaan, adalah seorang pedagang. Di manapun Kisid menggelar dagangannya, meskipun Kisid sudah memilih tempat yang strategis, tidak akan mendapat pembeli, atau kalaupun dapat, pastilah tidak sebanyak yang didapatkan pedagang lain yang dampukan. Bila ini menimpa Kisid terus-menerus, biasanya Kisid diminta untuk mebayuh oton, atau beralih profesi. Karena dia dianggap bunculan.

Kalau seseorang mengeluh dirinya bunculan, biasanya orang-orang segera menasihatinya: ente hanya kurang bekerja keras, kurang usaha saja. Bukankah usaha memerlukan kerja keras? Para praktisi bisnis kerap menyarankan bahwa keberhasilan yang mereka peroleh biasanya telah melalui berbagai kegagalan terlebih dahulu. Dalam benak para pebisinis, tidak ada istilah bunculan. Yang ada hanyalah belum waktunya saja. Dalam bahasa hebatnya: kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda. Namun, percaya atau tidak bunculan memang ada, dapat dirasakan bagi yang mengalaminya.

Dalam pemahaman Hindu, itu dapat dipahami. Bukankah itu bagian dari karma kita yang pahalanya mungkin baru dinikmati sekarang? Oleh karenanya, agar dalam kehidupan yang akan datang tidak mengalami hal-hal buruk, maka berbuatlah yang benar dalam kehidupan sekarang ini. Itu nasihat para tetua. Bukankah perbuatan baik dalam kehidupan sekarang ini selain dapat dinikmati hasilnya saat ini, juga merupakan "tabungan" untuk kehidupan yang akan datang? Tabungan baik itu setidaknya dapat mengurangi utang perbuatan buruk yang masih tersisa. Bukankah senantiasa berbuat baik merupakan tuntunan dari srada karma phala?

(/ Dewa Gede Alit Udayana, tinggal di Bangli, Bali).

Selanjutnya......

PERSEMBAHAN ILMU PENGETAHUAN LEBIH MULIA DARI PADA PERSEMBAHAN MATERI

Ketut Nerta

Sreyan drawya mayad yajnaj
Jnanayajnah Parantapa
Sarwam Karma Kilam Parta
Jnane parisama pyate (Bhg.IV.33)

Artinya:
Persembahan berupa ilmu pengetahuan, o Arjuna, lebih mulia dari pada persembahan materi, dalam keseluruhannya semua kerja ini akan mendapatkan, apa yang diinginkan dalam ilmu pengetahuan, o Parta.

Demikian sabda Sri Kresna bahwa persembahan berupa ilmu pengetahuan (Jnana), lebih mulia dari pada persembahan materi. Pernyataan ini identik dengan seorang guru mendidik mengajar para siswa dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran. Pendidikan secara umum berarti usaha sadar merupakan kewajiban (swadarma) bagi guru untuk mencerdaskan anak didik, baik dari segi intelektual maupun moralitas. Dewasa ini dunia pendidikan banyak menjadi sorotan publik, terutama sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan aspek intelektual dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain, yang seharusnya juga menjadi lahan garapan bagi para pendidik. Ranah kognitif yang lebih banyak dibidik, sementara ranah emosional dan spiritual banyak ditinggalkan. Hasilnya terjadi degradasi moral siswa yang dapat kita saksikan saat ini, dan sangat sulit diperbaiki. Padahal siswa adalah juga manusia, yang tidak hanya mempunyai kecerdasan intelektual, tetapi juga mempunyai bentuk-bentuk kecerdasan yang lain.

Para siwa adalah anugrah yang luar biasa dari Hyang Widhi, yang merupakan titipan dari Hyang Widhi pula. Di sinilah peran guru sebagai pendidik sangat penting, sebab mendidik lebih mengarah kepada bagaimana sikap dan perilaku guru dalam keseharian. Guru akan menjadi model bagi peserta didik. Mendidik merupakan proses menyadarkan manusia agar mengubah dirinya minjadi manusia yang seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan sosial. Proses penyadaran itu tidak dapat dilakukan dengan pengajaran saja, tapi harus melalui pendidikan. Lantas bagimana caranya menjadi seorang pendidik dengan sepenuh hati.
Sri kresna bersabda sebagai berikut:

"Pelajarilah itu dengan sujud disiplin,
Dengan bertanya dan dengan kerja berbakti,
Orang yang berilmu, mereka melihat kebenaran,
Akan mengajarkan kepadamu pengetahuan itu
(Bhg. IV. 34)

Jadi menurut Sri Kresna, pelajarilah ilmu itu dengan penuh disiplin (Prani Patena) baik bagi siswa maupun guru (proses belajar mengajar). Siswa diwajibkan untuk bertanya (Pari Prasnena) secara kritis menanyakan pelajaran yang belum dipahaminya. Dan dengan melatih (Sewaya) siswa agar menjadi terampil bidang ilmu yang digelutinya. Sehingga siswa benar-benar memahami ilmu pengetahuan (jnana) dan dapat melihat kebenaran (tatwa darsinah). Dengan demikian guru dapat menguasai ilmu pengetahuan tersebut, dan lebih berpengalaman di bidangnya. Pada akhirnya dapat mengembangkan atau mentransfer ilmu pengetahuan kepada para siswa dengan benar dan dapat pula melihat kebenaran.

Guru juga perlu menemukan jati dirinya, dan juga jati diri para siswa yang unik dengan berbagai latar belakang. Selain itu perlu juga sikap keteladanan sang guru. Sehingga kita mampu mendidik dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran, bahwa apa yang kita lakukan adalah merupakan punia yang akan mendapatkan pahala kelak.

Demikianlah sabda Sri Kresna, bahwa persembahan berupa ilmu pengetahuan lebih mulia dari pada persembahan materi. Ini identik dengan guru mendidik dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran. Wahai, para guru marilah kita sediakan hati kita dengan sepenuhnya untuk mendidik anak-anak bangsa ini, sehingga mereka akan menjadi generasi penerus yang cerdas secara intelektual dan juga bermoral mulia.

Selanjutnya......

Oh Iblis, Aku Tak Mau Menyesatkanmu

N. Putrawan

Sebuah pohon mangga yang berbuah lebat, dengan dedaunannya yang rimbun, pada musim panas ini dia adalah kedermawanan bagi pendamba kesejukan, para pencari keteduhan. Seorang lelaki separo baya duduk berteduh di bawahnya, nampaknya ia juga telah mencuri sebuah mangga setengah matang untuk dinikmatinya di tempat itu. Tak ada sesuatu istimewa pada peristiwa tengah hari yang dipenuhi cahaya matahari terik dan miskin hembusan angin itu.

Kemudian pada satu kesempatan, hembusan angin kecil semilir dari sela pohon pandan di tepian sungai berhembus ke bawah pohon mangga itu, hembusan yang mengalir ringan kemudian bergulung di hadapan si pencuri mangga tadi. Dalam sekejap gulungan angin lembut itu sudah berubah menjadi sesosok makhluk menyerupai manusia dan menjura kepada lelaki pencuri mangga itu.

“Terimalah salamku, wahai Maharsi, maafkanlah aku yang telah mengganggu dan mengagetkan istirahat siangmu!” sebut sosok makhluk mirip lelaki tua berjanggut putih panjang dan rambut bergelung seperti pedanda.

“Siapa Anda Tuan? Aku bukanlah seorang Maharsi, melainkan manusia duniawi biasa yang sedang mencuri sebiji buah mangga di kebun orang,” sahut lelaki itu tenang.
“Wahai sang bijak, wahai pribadi yang telah sempurna, wahai yang menyamar dalam kesederhanaan, dalam kerendah-hatian, Paduka dapat menipu jutaan mata manusia dengan penampilan dan kelahiran Paduka sebagai manusia biasa, sebagai manusia yang bahkan di kampung saja tidak terkenal, tidak pula kaya, apalagi pintar dan memiliki jabatan. Penyamaran kelahiran Paduka sungguh sempurna, tetapi aku adalah makhluk yang berasal dari alam bawah yang telah bertapa ribuan tahun. Hamba tahu siapa Paduka, karena hamba telah dianugerahi pandangan mata bathin sakti,” ucap setan dari alam bawah itu.

“Hm! Lupakanlah kesaktian mata bathinmu itu, ini adalah dunia nyata, Tuan sebuatkan saja apa keperluan Tuan menemuiku di sini dan aku pastikan akan meresponnya dengan cara-cara duniawi.”

“Oh Paduka yang telah selesai dalam pencarian, mohon berkenanlah Paduka menolong hamba. Pertapaan hamba ribuan tahun bertujuan untuk meningkatkan kesucian diri. Suatu masa, hamba berharap bisa terlahir sebagai manusia supaya bisa mencapai moksa. Mohon berkenanlah menunjukkan jalan pada hamba, bermurah hatilah Paduka, anggap saja hamba ini muridmu!”

“Wahai Tuan yang telah susah payah naik dari alam bawah untuk sekadar bertemu manusia biasa sepertiku ini, aku bukanlah Guru, bahkan untuk menjadi murid pun aku tak layak. Ide gila macam apa yang engkau kembangkan, sehingga ingin berguru padaku? Pergilah ke Himalaya atau ke Ashram-Ashram para Rsi, di sana Tuan akan mendapat tuntunan yang Tuan cari!

“Oh Paduka yang telah mampu berguru pada angin dan rumput teki, engkau yang telah sanggup berguru pada nyamuk dan lolongan anjing, yang dapat mendengar sabda ilahi dari suara halilintar dan suara jangkrik, mohon berkarunialah pada hamba, janganlah menghindar lagi!”

“Duhai Tuan yang dipenuhi gairah dan hasrat membara! Harapanmu seperti bara api berkobar yang akan membakar kesadaranmu. Jika gunung-gunung ingin menjadi lautan, jika samudra bercita-cita menjadi angin dan angin berharap menjadi akasa, lalu bagaimanakah jadinya nasib ciptaan ini? Assura berjuang untuk menjadi manusia utama, manusia bermimpi untuk moksa, kemudian penghuni kahyangan diturunkan kembali menjadi manusia di muka bumi. O Tuan! Pertimbangan apakah yang membuatmu berpikiran, bahwa menjadi manusia lebih beruntung daripada menjadi iblis? Lihatlah pohon mangga ini Tuan! Jika semua berebut menjadi buah, karena buah itu dipuji-puji banyak orang, lalu siapa yang mau menjadi akar, batang, daun dan bunga? Sebenarnya adakah buah tumbuh bila batang tiada, adakah langit berarti tanpa awan-awan, adakah tanah berarti tanpa panas matahari dan air? Siapakah yang paling mulia dari semua itu? Siang harikah yang lebih perkasa dari malam atau usus berisi kotoran itu lebih hina dari kepala? O Tuan, O saudaraku, O yang diamuk gelisah, Aku tak akan menyesatkanmu dengan mengajakmu menjadi sesuatu yang fungsinya lain sesuai yang telah diperuntukkan oleh yang mencipta kita. Lakukanlah fungsimu, berbahagialah dalam keberadaanmu. Kesempurnaan dan tujuan itu tidak di sana tidak di sini. Semuanya sudah ada pada dirimu!”

“Oh Paduka, pertapaan panjang hamba menjadikanku sulit menerima kebiasaan masa laluku, kebiasaan kaumku, berilah petunjuk!

“O makhluk yang dikasihi Sang Pencipta, apa yang dapat engkau nikmati itulah dunia dan tujuanmu, sebagaimana kumbang kotoran berbahagia dengan kotoran kerbau dan kupu-kupu berbahagia dengan sari bunga. Objek-objek luar dan identitas fisik, identitas makhluk bukanlah penentu kebahagiaan itu, melainkan ditentukan oleh kecenderungan alamiah yang dianugerahkan Tuhan kepada semua ciptaan, karena itu jangan melawannya. Jika pertapaanmu menjadikanmu bahagia, menjadilah iblis pertapa, mengapa engkau pusing dengan identitas keiblisanmu?”

“Matur suksma Paduka, wejanganmu membuatku tenteram.”

Selanjutnya......

Pluralisme dan Pendidikan Agama

I Nyoman Tika

Ketika kita hendak menatap wajah Indonesia, belakangan ini, masih tampak wajah muram tanpa cahaya kejernihan dalam aspek berbangsa. Negara yang berdasarkan ketuhanan, yang mewajibkan warga negaranya beragama, tetap saja sepi dan khusut dalam etika, moral dan karakter, yang semestinya nihil bagi penganut agama. Apa pun agamanya, dia mesti takut berbaut dosa, namun kenyataannya masih didominasi “karakter layaknya negara tanpa agama.”

Kenapa demikian? Banyak kasus yang menggurita pada dimensi kehidupan masyarakat kita. Contoh, kebebasan beragama masih hanya retorika, kasus korupsi semakin mewabah, TKI sering jadi korban di negara tujuan, anehnya di negara yang mengukuhkan dasar negara adalah agama, birokrat yang masih pongah menelikung hukum. Serta kasus-kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penganiayaan pemerkosaan, DPR dan penegak hukum sudah tidak ada yang takut berbuat dosa, tokoh masyarakat ikut menurunkan moralitas di masyarakat. Agama semestinya di dada pengikutnya mengubah sifat hewani manusia menjadi sifat ketuhanan yang merupakan nafas agama seakan diterjang angin, sepi tanpa bekas. Itu sebabnya Pendidikan Agama sebagai penyangga moral, etika dan karakter digugat?

Sebagian besar agama telah menjadi ritual, sepi pemahaman untuk dipraktekkan, sehingga bagi umat yang tidak cukup paham, akan berperilaku fanatik agama dan emosional. Dalam keadaan seperti ini, kerjasama multi agama tidak akan bertahan lama. Sulit juga bagi kelompok multi etnis yang berbeda budaya, agama dan saling menghormati bisa terwujud, nada pesimisme ini muncul di kalangan tokoh agama. Apa yang salah? Hanya satu yang dituding saat ini Pendidikan agama harus direvisi.

Para tokoh agama mengharapkan agar pendidikan agama mendorong penghargaan pada pluralisme dan toleransi (Bali Post, 9 Januari 2011). Sebab selama ini telah terjadi penyimpangan di tataran kehidupan, tidak sesuai dengan roh pembelajaran agama. Pendidikan agama seperti yang termasuk dalam Permendiknas RI NOMOR 24 TAHUN 2006, tentang Standar Isi sudah jelas dan bernas. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Oleh karena itu paradigma baru pendidikan agama mulai dicanangkan. Paradigma baru pengelolaan kurikulum nasional dengan pendekatan dan desain baru, yaitu KTSP dan semangat otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna dan tagihan baru dalam pembelajaran agama. Warna dan tagihan yang dimaksud adalah, bahwa guru dituntut untuk mampu memerankan dirinya sebagai kreator dan fasilitator pembelajaran yang kreatif bagi kepentingan belajar siswa, serta mampu menjadikan siswa sebagai waga negara yang berkualitas, mandiri, cerdas, dan mampu bermasyarakat. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2005), pembelajaran Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1.) Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama (2). Membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya.

Guru agama Hindu dalam KTSP diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas siswa sehingga dapat membuat perubahan paradigma. Proses pembelajaran yang cenderung pasif, teoritis, dan berpusat pada guru mengalami perubahan paradigma menuju proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif yang mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk menemukan kembali dan membangun pengetahuannya sendiri. Pemerintah juga melakukan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, memperbaiki metode pengajaran para guru melalui pengadaan penataran guru, seminar kependidikan, hingga pelaksanaan sertifikasi guru sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru yang akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan.

Bagi pendidik agama, yang menarik perlu dilakukan adalah pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh siswa/kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.

Kemudian Model Pendidikan agama dengan pembelajaran inovatif menjadi solusi yang sangat mendesak, sebab pluralisme telah terancam, ketika masyarakat telah berkembang ke arah sosok masyarakat yang terfragmen ke dalam bentuk post society, meminjam kosep Rajendra Singh, dalam buku “ Social Movement Old and New”(2010). Post society, adalah sebuah agregat dari kelas-kelas, kelompok-kelompok dan komunitas yang tersatukan dalam suatu jalinan yang sosial yang besar, dengan ikatan yang lemah satu dengan yang lain. Indonesia nampaknya telah memasuki kondisi post society, sehingga harus ada tema-tema baru untuk memperkuat tenunan keindonesia-an itu dalam satu agregat kebangsaan yang multi etnis dan multi agama.

Indonesia adalah sebuah kapal yang mudah gawat, memijam konsep Adlai Stevenson (1965), Pidatonya yang terkenal layak kita simak, “Kita bepergian bersama, menumpang pada perahu angkasa yang kecil, yang bergantung pada udara dan tanah yang mudah gawat, semuanya memperhatikan keselamatan kita untuk mencapai ketentraman, dan kedamaian yang hanya dapat diselamatkan dari kemusnahan dengan perhatian, kerja dan - ingin kukatakan –kecintaan yang kita berikan pada pesawat yang gampang pecah. Artinya bisa jadi dalam konteks ke-Indonesia-an yang beraneka, konsep pluralitas menjadi sesuatu keniscayaan, yang harus terus dibina dan kesadaran akan pluralisme dalam beragama dapat dimulai proses pendidikan agama.

Hal ini didasari pada pendidikan agama adalah panduan untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni dan hidup bahagia, sehingga dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana dan konflik. Jika agama hanya fokus pada ritual tanpa pemahaman yang mendalam dari esensi kitab suci, maka pemahaman ini sangat mudah membuat masyarakat menganggap bahwa agama adalah takhayul. Begitu juga sebaliknya, jika semua pemeluk agama dibimbing oleh pemuka agama dan tekun mempelajari ajaran agama universal yang kaya moralitas, etika, karma, serta bisa mengkonfirmasikan pada bukti-bukti ilmiah filosofi agama, maka bencana dan konflik dunia akan terurai dan dapat diselesaikan secara efektif, karena semua dinaungi oleh pohon kasih-sayang.

Di bawah pohon yang rindah itulah kita bangun pendidikan agama yang baik, yang kita amalkan dari rumah diri kita sendiri, dari diri kita menjadi contoh buat anak-anak kita, contoh bagi keluarga, bagi teman sekantor, se RT dan seterusnya. Dari itu semua, maka wajar jika pendidikan moral etika agama dimulai dari kedua orang tua dan para guru di sekolah. Bagaimana kita membimbing dan mengawasi serta memberi teladan mereka. Kemudian di sekolah. Bagaimana sistem dan pengguna sistem tersebut berhasil memberikan pemahaman etika moral yang teresapi oleh si anak. Barulah faktor lain berperan kemudian. Om Nama Siwaya****

Selanjutnya......

Pluralisme dan Pendidikan Agama

I Nyoman Tika

Ketika kita hendak menatap wajah Indonesia, belakangan ini, masih tampak wajah muram tanpa cahaya kejernihan dalam aspek berbangsa. Negara yang berdasarkan ketuhanan, yang mewajibkan warga negaranya beragama, tetap saja sepi dan khusut dalam etika, moral dan karakter, yang semestinya nihil bagi penganut agama. Apa pun agamanya, dia mesti takut berbaut dosa, namun kenyataannya masih didominasi “karakter layaknya negara tanpa agama.”

Kenapa demikian? Banyak kasus yang menggurita pada dimensi kehidupan masyarakat kita. Contoh, kebebasan beragama masih hanya retorika, kasus korupsi semakin mewabah, TKI sering jadi korban di negara tujuan, anehnya di negara yang mengukuhkan dasar negara adalah agama, birokrat yang masih pongah menelikung hukum. Serta kasus-kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penganiayaan pemerkosaan, DPR dan penegak hukum sudah tidak ada yang takut berbuat dosa, tokoh masyarakat ikut menurunkan moralitas di masyarakat. Agama semestinya di dada pengikutnya mengubah sifat hewani manusia menjadi sifat ketuhanan yang merupakan nafas agama seakan diterjang angin, sepi tanpa bekas. Itu sebabnya Pendidikan Agama sebagai penyangga moral, etika dan karakter digugat?

Sebagian besar agama telah menjadi ritual, sepi pemahaman untuk dipraktekkan, sehingga bagi umat yang tidak cukup paham, akan berperilaku fanatik agama dan emosional. Dalam keadaan seperti ini, kerjasama multi agama tidak akan bertahan lama. Sulit juga bagi kelompok multi etnis yang berbeda budaya, agama dan saling menghormati bisa terwujud, nada pesimisme ini muncul di kalangan tokoh agama. Apa yang salah? Hanya satu yang dituding saat ini Pendidikan agama harus direvisi.

Para tokoh agama mengharapkan agar pendidikan agama mendorong penghargaan pada pluralisme dan toleransi (Bali Post, 9 Januari 2011). Sebab selama ini telah terjadi penyimpangan di tataran kehidupan, tidak sesuai dengan roh pembelajaran agama. Pendidikan agama seperti yang termasuk dalam Permendiknas RI NOMOR 24 TAHUN 2006, tentang Standar Isi sudah jelas dan bernas. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Oleh karena itu paradigma baru pendidikan agama mulai dicanangkan. Paradigma baru pengelolaan kurikulum nasional dengan pendekatan dan desain baru, yaitu KTSP dan semangat otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna dan tagihan baru dalam pembelajaran agama. Warna dan tagihan yang dimaksud adalah, bahwa guru dituntut untuk mampu memerankan dirinya sebagai kreator dan fasilitator pembelajaran yang kreatif bagi kepentingan belajar siswa, serta mampu menjadikan siswa sebagai waga negara yang berkualitas, mandiri, cerdas, dan mampu bermasyarakat. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2005), pembelajaran Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1.) Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama (2). Membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya.

Guru agama Hindu dalam KTSP diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas siswa sehingga dapat membuat perubahan paradigma. Proses pembelajaran yang cenderung pasif, teoritis, dan berpusat pada guru mengalami perubahan paradigma menuju proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif yang mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk menemukan kembali dan membangun pengetahuannya sendiri. Pemerintah juga melakukan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, memperbaiki metode pengajaran para guru melalui pengadaan penataran guru, seminar kependidikan, hingga pelaksanaan sertifikasi guru sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru yang akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan.

Bagi pendidik agama, yang menarik perlu dilakukan adalah pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh siswa/kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.

Kemudian Model Pendidikan agama dengan pembelajaran inovatif menjadi solusi yang sangat mendesak, sebab pluralisme telah terancam, ketika masyarakat telah berkembang ke arah sosok masyarakat yang terfragmen ke dalam bentuk post society, meminjam kosep Rajendra Singh, dalam buku “ Social Movement Old and New”(2010). Post society, adalah sebuah agregat dari kelas-kelas, kelompok-kelompok dan komunitas yang tersatukan dalam suatu jalinan yang sosial yang besar, dengan ikatan yang lemah satu dengan yang lain. Indonesia nampaknya telah memasuki kondisi post society, sehingga harus ada tema-tema baru untuk memperkuat tenunan keindonesia-an itu dalam satu agregat kebangsaan yang multi etnis dan multi agama.

Indonesia adalah sebuah kapal yang mudah gawat, memijam konsep Adlai Stevenson (1965), Pidatonya yang terkenal layak kita simak, “Kita bepergian bersama, menumpang pada perahu angkasa yang kecil, yang bergantung pada udara dan tanah yang mudah gawat, semuanya memperhatikan keselamatan kita untuk mencapai ketentraman, dan kedamaian yang hanya dapat diselamatkan dari kemusnahan dengan perhatian, kerja dan - ingin kukatakan –kecintaan yang kita berikan pada pesawat yang gampang pecah. Artinya bisa jadi dalam konteks ke-Indonesia-an yang beraneka, konsep pluralitas menjadi sesuatu keniscayaan, yang harus terus dibina dan kesadaran akan pluralisme dalam beragama dapat dimulai proses pendidikan agama.

Hal ini didasari pada pendidikan agama adalah panduan untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni dan hidup bahagia, sehingga dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana dan konflik. Jika agama hanya fokus pada ritual tanpa pemahaman yang mendalam dari esensi kitab suci, maka pemahaman ini sangat mudah membuat masyarakat menganggap bahwa agama adalah takhayul. Begitu juga sebaliknya, jika semua pemeluk agama dibimbing oleh pemuka agama dan tekun mempelajari ajaran agama universal yang kaya moralitas, etika, karma, serta bisa mengkonfirmasikan pada bukti-bukti ilmiah filosofi agama, maka bencana dan konflik dunia akan terurai dan dapat diselesaikan secara efektif, karena semua dinaungi oleh pohon kasih-sayang.

Di bawah pohon yang rindah itulah kita bangun pendidikan agama yang baik, yang kita amalkan dari rumah diri kita sendiri, dari diri kita menjadi contoh buat anak-anak kita, contoh bagi keluarga, bagi teman sekantor, se RT dan seterusnya. Dari itu semua, maka wajar jika pendidikan moral etika agama dimulai dari kedua orang tua dan para guru di sekolah. Bagaimana kita membimbing dan mengawasi serta memberi teladan mereka. Kemudian di sekolah. Bagaimana sistem dan pengguna sistem tersebut berhasil memberikan pemahaman etika moral yang teresapi oleh si anak. Barulah faktor lain berperan kemudian. Om Nama Siwaya****

Selanjutnya......

Arjuna Belajar Rahasia Kesuksesan dari Guru Drona

Luh Made Sutarmi

Ajaran agung Gita, berujar dengan manis, "Orang yang berbhakti dengan mantap dan tidak tergoyahkan kepada-Ku, dialah yang amat Kucintai." Berbakti dan berbakti, adalah ikatan hati dengan Tuhan yang Maha Memberi dan selalu berada dalam kasanah peradaban kemanusiaan yang abadi. Lalu setiap kehadiranNya di dunia dimaknai sebagai anugrah karena memberikan luapan kasih kepada baktaNya.

Di ruang yang berjibun kepetingan duniawi, selaksa cahaya masih terus terungkap bahwa hanya dengan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi dapat memenuhi tujuan utama dari kehidupan manusia. Pengetahuan yang seperti itu membuat seseorang menyadari, bahwa ia bukanlah kesadaran badan, tetapi benar-benar mewujudkan kesadaran itu sendiri sebagai perwujudan dari "Being-Awareness-Bliss" (Sat-Chit-Ananda). Ketika kebenaran ini disadari dan dialami, seseorang dibebaskan. Salah satunya adalah dibebaskan dari kabut kebodohan, (Ajnana) bahkan dalam kehidupan ini. Seseorang yang dibebaskan bahkan saat hidupnya, ia dapat menjadi muktha jivan.

****

Dalam ruang ini, menarik membahas tentang kecerdasan interaksi Arjuna dengan Drona pada dimensi pendidikan. “Sukses dapat diprediksi,” kata Guru Drona kepada Arjuna, saat mengajarkan kemahiran memanah. Sebab semua berawal dari sebuah keyakinan yang panjang. Arjuna bengong kemudian menyahut, “Apa alasan Guru, sehingga keberhasilan itu dapat dicapai?” Drona menyahut, “Arjuna, seperti halnya bila engkau mau menuju ke suatu tempat, asalkan telah memilih arah yang benar, maka apakah ditempuh dengan merangkak, jalan kaki, atau berkendaraan kuda, pasti suatu ketika akan sampai di tempat tujuan. Hanya masalah waktu yang membedakan, bukan?”

“Anakku,” kata Drona menambahkan, “Sukses adalah buah dari perilaku, karena itu bila engkau mempunyai perilaku orang sukses, pasti suatu saat menjadi sukses pula. Perilaku adalah buah dari kebiasan. Kebiasaan dimulai dari sikap. Sikap dipengaruhi oleh keyakinan. Dan keyakinan dipengaruhi oleh pengetahuan. Jadi, awalnya adalah pengetahuan. Setiap hari, pengetahuan beredar secara berlimpah ruah di sekeliling dirimu. Kemampuan menangkap pengetahuan, merasakannya, menghayatinya, dan menjadikannya sebagai aksi untuk meraih tujuan, sangat dipengaruhi oleh kecerdasan, oleh karena itu sadarilah kecerdasan dirimu.”

“Para pahlawan perkasa,” kata Guru Drona menambahkan, “Seperti telah diduga, memiliki kecerdasan yang cukup baik. Lebih penting lagi, mereka memiliki kecerdasan yang berimbang. Mereka rata-rata menjalani pendidikan dengan teramat baik. Kalaupun putus sekolah, itu dikarenakan kondisi ekonomi keluarga, bukan karena mereka tidak cerdas. Jadi para pahlawan perkasa ini memiliki kecerdasan intelektual yang baik, Arjuna.”

“Apa ciri mereka,” tanya Arjuna memotong.

Sambil menatap wajah Arjuna, Drona berkata, “Mereka menjadi pahlawan perkasa, karena mereka adalah orang-orang yang tangguh, ulet, sabar, mampu mengendalikan diri, bermasyarakat dengan baik, memiliki keluarga harmonis, dan berbagai hal lain, yang menjadi bukti bahwa mereka memiliki kecerdasan emosional yang baik. Semua dari mereka juga setuju bahwa kehidupan spiritual, pelayanan, dan sedekah adalah hal yang sangat penting. Kebanyakan dari mereka menyumbangkan penghasilan 10 persen atau lebih dari pendapatan kotor. Mereka meyakini Tuhan sebagai sumber pemberi rizki, sebagai pendamping yang tidak kelihatan, atau sering diistilahkan sebagai "silent partner". Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasan spiritual yang sangat baik.

“Guru, bagaimana caranya kita berusaha agar hidupku bisa berhasil,” tanya Arjuna lagi. Guru Drona berkata, “Jika engkau menanam benih tanpa terlebih dahulu menyiangi dan mempersiapkan ladang sebaik-baiknya, engkau tidak akan memperoleh hasil yang baik. Demikian pula dalam ladang hati kita, jika semua sifat buruk yang bersifat mementingkan diri sendiri tidak dibuang terlebih dahulu, engkau tidak akan memperoleh hasil yang baik.”

Drona menambahkan, “Engkau harus menyadari bahwa rumput liar yang terutama harus dibuang ialah keterikatan dan penyamaan diri dengan badan kasar. Sekarang pun engkau mungkin membayangkan bahwa engkau mencintai Tuhan, tetapi, sekedar memiliki pikiran semacam ini tidak akan memberikan hasil yang berguna bagimu. Sama seperti menanam benih di tanah yang tandus dan tidak dipersiapkan. Yang terpenting ialah engkau harus mengetahui apakah Tuhan mencintaimu. Walau engkau mencintai Tuhan, jika Tuhan tidak mencintaimu, pengabdianmu tidak akan berarti.” Arjuna memahami dan mengangguk setuju. Om Gam Ganapataye namaha.

Selanjutnya......