Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 November 2011

Kilas Balik Keberadaan Umat Hindu di Kota Palu

Laporan Wayan Pariatni

Kini, keberadaan umat Hindu di berbagai daerah di Sulawesi sudah lumayan eksis. Mereka tersebar dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Tapi tentu belum banyak yang mengetahui, bagaimana awal mula kehadiran umat Hindu di tempat tersebut.

Keberadaan umat Hindu di kota Palu untuk pertama kalinya pada tahun 1966 yang dirintis oleh Bapak Nyoman Edy, B.BA, dan I Gede Widnya (mendiang) yang waktu itu sebagai polisi aktif sekaligus sebagai pinandita pertama. Selanjutnya pada tahun 1968 mereka mendapat tambahan seorang teman, sehingga ada 3 orang Hindu di kota itu. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1977 umat Hindu di sana sudah mencapai 31 KK. Untuk memenuhi kebutuhan rohani, seperti untuk persembahyangan, maka umat Hindu kota Palu menyiasatinya dengan melaksanakan persembahyangan bergilir dari rumah ke rumah. Maklum, ketika itu mereka belum memiliki pura.

Karena belum memiliki pura, maka timbullah keinginan bersama untuk mendirikan bangunan Padmasari di rumah kelurga Bapak Nyoman Edy. Keinginan ini direspon positif oleh umat dan pemuda yang saat ini dimotori oleh Putu Sukarsa, Made Redita (mendiang) dan Made Kondro, hingga akhirnya bangunan tersebut terwujud dan difungsikan. Setelah era itu, tentunya masih perlu proses yang sangat panjang, hingga akhirnya umat Hindu memikirkan untuk memiliki rumah ibadah yang representatif dan harapan itupun terwujud.

Umat Hindu dikota Palu awalnya hanya memiliki sebuah Pura yang bernama Pura Agung Wankertha Jagatnatha Provinsi Sulawesi Tengah yang lokasinya terletak diketinggian bukit Jabal Nur kelurahan Talise dengan posisi menghadap ke arah laut (nyegara gunung). Keberadaan pura tak terlepas dari sejarah panjang yang menyertainya. Berdasarkan penjelasan dua orang tokoh sesepuh Hindu setempat, Bapak Nyoman Edy, B.BA dan pinandita Drs. Ida Bagus Wijakusuma serta seorang organ organisasi pemuda saat itu I Putu Sukarsa, berawal ketika tahun 1981 pengurus menghadap Bupati Donggala Dr. M. Kaleb dengan maksud untuk memohon bantuan tanah lokasi pura. Niat ini langsung direspon oleh Bupati dengan merealisasikan satu hektar tanah untuk pembangunan pura dan satu hektarnya lagi untuk lokasi pekuburan. Sejumlah nama tokoh umat Hindu kota Palu di antaranya dapat disebutkan antara lain, I Gde Mertawan, S.Sos, M.Si, Drs. Negare Widiasa, I Nyoman Dana, BA, dan lain-lain.

Kebahagian umat saat itu tak terbendung dan pada tahun yang sama panitia pembangunan yang diketuai oleh Dr. A.A.Ngurah Gde Djaja yang akrab disapa Dr. Djaya (beliau wafat bulan januari 2011) mulai mengumpulkan pengurus untuk merancang pembuatan turus lumbung, penyengker dan ruang ganti. Meskipun jumlahnya sedikit, ternyata peran pemuda saat itu sangat kompak dan luar biasa yang dimotori oleh I Putu Sukarsa, I Made Kondro, I Gede Kandita, Made Redita, I Nyoman Kormek dan I Wayan Budiarta.

Dalam perjalanan berikutnya, setelah adanya rencana pembukaan lokasi seleksi tilawatil qur’an, maka lokasi pura di tambah lagi menjadi dua hektar. Seiring berjalannya waktu, umat Hindu kota palu semakin berkembang sehingga panitia memulai memikirkan pembangunan pura permanen pada tahun 1984 dengan dana berasal dari umat Hindu kota palu dana punia umat dari Desa Tolai dan sumbangan dari pemerintah. Mendiang Dr. Djaja juga sempat mengadakan penggalangan dana dalam acara yang bertajuk Bali Night.

Sembahyang Dikerubungi Lalat
Perlahan namun pasti akhirnya bangunan pura berdiri dengan megah. Masalah kecil pun muncul mengingat lokasi pura merupkan bekas tempat pembuangan sampah, sehingga umat yang melaksanakan persembahyangan sedikit terganggu dengan adanya serangan lalat yang mengerumuni banten, sehingga setiap persembahyangan umat yang membawa banten harus menyiasati dengan cara membungkus menggunakan plastik. Demikian juga halnya pada malam hari serangan nyamuk terasa sangat mengganggu.

Panitia pembangunan tak pernah surut dalam berusaha hingga dibangunlah sebuah kori agung yang menurut keterangan Putu Sukarsa-tokoh pemuda saat itu- dan Nyoman Edy, seluruh biaya pembangunan kori agung disumbangkan oleh ketua panitia mendiang Dr. Djaja dari hasil penjualan sebuah mobil kijang merah kesayangannya.

Ditunjuknya Sulawesi Tengah sebagai tuan rumah MTQ, ternyata saat itu membawa berkah bagi umat Hindu karena lokasi MTQ yang melintasi jalur pura. Karena itu, akhirnya pada tahun 1995 akses jalan mulai ditata, jalan mulai diaspal demikian juga penerangan listrik. Mengingat Pura Jagatnatha ditata sesuai konsep tri mandala, maka panitia mulai menata kawasan madya mandala. Dua buah bangunan permanen berupa balai agung dan balai gong akhirnya berdiri berkat sumbangan pimpinan Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Palu, yaitu I Gede Dharmada. Sementara itu, pagar keliling di sekitar madya mandala pun rampung berkat dana punia umat yang secara spontan dengan sistem lelang, di mana umat ber-dana punia satu meter atau lebih.

Pada tahun 1997 Made Suparta yang belum lama dipindahtugaskan di PT. Nindya Karya memiliki gagasan, bagaimana jika lokasi pura yang berbukit-bukit ini ditata sehingga menyerupai Pura Besakih. Gayung pun bersambut, di mana Ketua PHDI saat itu-mendiang Dr. Djaja-bekerja sama dengan komponen organisasi terjun langsung. Dengan dukungan penuh Made Suparta, alat berat pun dikerahkan dari pagi hingga malam hari. Akhirnya lokasi pura yang dulunya berbukit dan terjal disulap menjadi indah seperti yang terlihat saat ini.

Tahun 1997 tercetuslah ide untuk membuat gedung sekretariat bersama organisasi-organisasi Hindu yang diberi nama Milana Graha Sabha diketuai oleh Drs. I Ketut Donder (saat ini sedang menyelesaikan study S3 di India). Lokasi gedung sekretariat terletak sebelah timur bagian depan lokasi pura yang kini berdampingan dengan bangunan Rumah Bersalin Siti Fadilah milik Muhamaddiyah. Meski pembangunannya sempat lama terhenti setelah alih kepengurusan, kini gedung Milana Graha Sabha pembangunannya mengalami peningkatan.

Gong Sumbangan Gubernur Terbakar Habis
Prosesi ritual keagamaan terasa kurang mantap jika tanpa dilengkapi dengan suara gamelan. Mendiang Dr. Djaja bersama sekertaris PHDI Provinsi Sulawesi Tengah, I Ketut Suasana, SH memohon bantuan seperangkat gong kepada gubernur Bali pada saat itu. Belum lama berselang usai di-plaspas, asrama pura tempat di mana gong tersebut disimpan terbakar dan menghanguskan seluruh isinya. Kejadianya tepat pada tanggal 1 Mei 1999 (Penulis sebagai saksi saat itu, atas perintah mendiang Dr. Djaja akhirnya proses penyelidikan pihak kepolisian dihentikan). Tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan, mendiang Dr. Djaja, Ketut Suasana beserta jajarannya kembali mengupayakan untuk bisa mendapatkan seperangkat gong, dan akhirnya seperangkat gong baru pun teruwjud sebagaimana yang digunakan hingga saat ini.

Puing-puing asrama pura pun dibongkar untuk dibangun kembali kali ini bangunan asrama yang konsep awalnya difungsikan sebagai ruang ganti dan peristirahatan para pinandita ini sepenuhnya disumbangkan oleh keluarga Made Suja, S.Sos yang pada waktu itu menjabat sebagai pimpinan Bank Indonesia. Sebagai wujud rasa terimakasih maka bangunan asrama tersebut diberi nama Suja Graha. Sebuah papan nama kecil pun diletakkan pada bagian depan bangunan, kini papan nama tersebut sudah hilang dan berganti dengan papan nama yang lain.


Selanjutnya......

Umat Hindu Palu Saling Berbaur Sampradaya Diterima Secara Terbuka

Laporan Wayan Pariatni

Kota Palu merupakan bagian kecil dari wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yang begitu luas. Secara geografis kota Palu terletak pada 0,360 – 0, 560 Lintang Selatan dan 119o,45 - 121o,1 Bujur Timur dengan luas wilayah 395,06 kilometer persegi terdiri dari 4 kecamatan dan 43 kelurahan. Berdasarkan data badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 yang berhasil dihimpun oleh Ketua PHDI Kota Palu yang juga Kepala Kantor BPS Kabupaten Donggala, Ir. Nyoman Dwinda, jumlah penduduk yang beragama Hindu di Kota Palu mencapai 3.747 jiwa. Di antaranya terdiri dari 1.881 orang laki-laki dan 1.866 orang perempuan dengan persebaran di masing-masing: Kecamatan Palu Timur 1.127 jiwa, Palu Selatan 2.241 jiwa, Palu Utara 228 jiwa dan Palu Barat 151 jiwa.
Dari data tersebut diketahui lebih dari 50 persen umat Hindu di Kota Palu tercatat sedang menempuh pendidikan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa umat Hindu sangat mengedepankan pendidikan sebagai modal dasar dalam meningkatkan kwalitas sumber daya manusia, sehingga dapat meningkatkan kwalitas hidup di masa mendatang.

Dalam hubungannya dengan model interaksi dan komunikasi di antara umat Hindu di Kota Palu, serta meningkatkan peran dan tanggung jawab hak dan kewajiban masing-masing, terutama dalam hal pelaksanaan suka duka, sesuai awig-awig Krama Adat Kertha Winangun, Kota Palu pada Bab VIII yang menguraikan tentang wilayah, hubungan kerja dan kesekretariatan. Pada pasal 24 awig-awig itu berbunyi: ”Wilayah kerja karma desa adat dibagi menjadi lima. Wilayah ini diorganisir untuk mempermudah koordinasi.” Menurut ketua krama adat Kertha Winangun Kota Palu, Drs. I Made Sukarta, M.Si, kelima banjar ini dibagi sesuai dengan pendekatan wilayah, di mana tiap banjarnya diketuai oleh kelian banjar.

Hingga kini umat Hindu yang terdaftar aktif mengikuti kegiatan suka duka tercatat sebanyak 378 kepala keluarga yang terdiri dari Banjar Tunjung Sari 80 kk, Banjar Ratna Sari 62 kk, Banjar Sandat Sari 72 kk dan Banjar Cempaka Sari 86 kk. Memperhatikan teritorial wilayah masing-masing banjar yang begitu luas dan terpencar-pencar, maka peran pengurus banjar dituntut lebih maksimal dalam memberikan pelayanan kepada anggota banjarnya yang sebagaian besar berprofesi sebagai pegawai dan wiraswasta. Demikian halnya dalam menterjemahkan awig-awig dituntut kebijaksanaan seorang pemimpin banjar, sehingga tidak terjadi kasus seperti kesepekang banjar, sebagaimana yang kerap kali terjadi di Bali.

Keberadaan krama selain menaungi banjar juga mengayomi keberadaan Seke Gong, Seke Shanti, dan sarathi banten. Kegiatan krama seperti ngayah di pura berlangsung efektif setiap hari Minggu dan moment-moment tertentu lainnya. Dalam perayaan tertentu, ciri khas Bali-Hindu sangat tampak di sebuah komplek, tepatnya di daerah Tanggul Birobuli, dimana bermukim 78 kk warga Hindu. Keberadaan bangunan bale banjar dan sanggah di rumah penduduk setempat menunjukkan miniatur masyarakat Bali. Krama adat juga pernah memfasilitasi upacara pengabenan massal dan Awignamastu, Desember mendatang krama kembali menggelar upacara yang sama.

Sampradaya di Kota Palu

Pada tahun 1997, di era kepemimpinan Parisada terdahulu, Kota Palu sering menjadi tujuan perjalanan guru spiritual dari garis perguruan kesadaran Krishna dari berbagai negara. Hingga saat ini kota Palu masih menjadi tempat transit bagi penyebaran ajaran dharma, terbukti beberapa kali para Maharaj dari berbagai Negara berkesempatan memberi wejangan di Pura Jagatnatha dan uniknya kedatangan mereka justru didukung langsung oleh pemuda dan mahasiswa di Kota Palu. Ini sekaligus membuktikan bahwa gejolak kebangkitan spiritual itu justru berada pada tataran pemuda.

Kelompok pengkajian spiritual seperti Sai Study Group (SSG) sudah sejak tahun 1991 berkembang di Kota Palu. Berawal dari kegiatan bhajan di rumah Putu Suardana (sudah pindah ke Bali) di daerah Tanggul, saat ini bernama Banjar Sandat Sari, selanjutnya pindah di rumah Silaartha di Jalan Purnawirawan. Seiring berjalannya waktu, jumlah bhakta Sai di Kota Palu mengalamai peningkatan, sehingga pengurus mulai memikirkan untuk mencari lokasi yang lebih luas dan strategis.

Melalui pertimbangan yang matang maka disepakati untuk membeli lokasi center yang terletak di Jalan Purnawiran II berdekatan dengan kawasan elit Metro Regency seluas 12 are. Pembanguna berupa ruang bhajan dilaksanakan secara gotong royong. Didepan sebelah kanan bangunan center berdiri sebuah patung Ganesha yang cukup besar. Setelah ada penambahan lokasi seluas 6 are, maka di sebelah barat bangunan juga dilengkapi lapangan serba guna yang cukup luas yang pada waktu-waktu bhajan dapt difungsikan sebagai tempat parkir. Lokasi Sai Center diperkuat dengan terbitnya sertifikat pada bulan Juni 2011. Demikian dijelaskan Ketua SSG Kota Palu, Putu Mudita dan Ketua Yayasan Shri Satya Sai, Palu, dr. Dewa Ketut Sukarta, SPOG.

Sesuai amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Sai Study Group Indonesia (SSGI), maka SSG Palu pada tanggal 28 Pebruari 2002 mendirikan Yayasan Shri Satya Sai Palu dengan akte pendirian yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palu dengan nomor: 121/2002/PN. PL.

SSG Palu dalam menjalankan program kerja mengacu kepada tiga sayap organisasi yakni bidang pendidikan, pelayanan masyarakat dan spiritual yang berpegang pada lima pilar utama, yaitu Satyam (kebenaran), Dharma (kebajikan), Shanti (kedamaian), Prema (Kasih sayang) dan Ahimsa (Tanpa kekerasan). Motor penggerak organisasi Sai adalah para yuwana vikas atau pemuda Sai yang sangat tanggap dan gesit dalam menjalanankan misi pelayanan. Di bidang pendidikan, para youth secara terjadwal seminggu sekali memberikan pendidikan nilai-nilai kemanusiaan kepada Balvikas (Anak-anak) model pengajarannya melalui duduk hening, berdoa, bercerita, bernyanyi dan bermain yang semuanya dijalankan dengan sangat menyenangkan.

Di bidang pelayanan, SSG memiliki program tetap yang diperuntukkan bagi masyarakat di sekitar Sai Center berupa pelayanan kesehatan gratis. Program medicare juga ditujukan kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti pemberian vaksin Hepatitis serta bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia membantu mengatasi ketersediaan stok darah, khususnya di saat bulan puasa. SSG Palu telah lama bekerja sama dengan pihak PMI untuk menjadi donor setiap saat dibutuhkan. Bidang pelayanan lainya yang rutin dilakukan adalah memberikan santunan kepada Panti Asuhan, pemberian sembako kepada para pemulung dan penyapu jalan (diberikan di waktu menjelang pagi) dan tak ketinggalan pelayanan di pura. Prinsip utama dalam melakukan pelayanan sebagaimana diajarkan oleh sad guru Bhagawan Shri Sathya Sai Baba adalah Manawa seva is Madawa Seva, pelayanan kepada manusia adalah pelayanan kepada Tuhan.

Di bidang spiritual, SSG secara rutin menyelenggarakan Bhajan setiap hari Kamis di Sai Center dan bhajan khusus pada perayaan tertentu. Peningkatan kwantitas dan kwalitas Bhakta Sai di Kota Palu menunjukkan perkembangan yang semakin bagus. Semakin bnyak para pemuda yang bergabung dalam wadah ini menunjukkan, bahwa pemuda saat ini sedang mencari jati diri melalui pendalaman spiritual. Pengurus terus berbenah di samping terus meningkatkan kwalitas intelektual para bhakta, pengurus juga sedang berupaya membangun sarana fisik seperti ruang belajar bagi Balvikas, ruang peningkatan SDM para youth, kamar khusus untuk para tamu dari daerah. Mengingat ruang bhajan yang semakin sempit seiring bertambahnya bhakta, maka pengurus berupaya memperluas bangunan ruang bhajan, sehingga mampu menampung jumlah bhakta lebih banyak lagi.

Selanjutnya......

Ir. Wayan Suyasa Berawal dari Berjualan Telur Kini Sukses dengan Bisnis Elektronik dan Property

Wayan Suyasa, putra sulung dari dua bersaudara ini lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Desa Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati, Gianyar pada 45 tahun silam. Tumbuh di tengah keluarga yang sangat sederhana, sejak kecil ia dididik menjadi anak yang mandiri, bekerja keras dan bertanggung jawab. Sebelum dan setelah pulang sekolah ia harus membantu orang tua jualan daging keliling ke warung di sekitar kampungnya dan membantu bekerja di sawah.
Selepas bangku SMA ia nekat mengikuti jejak pamannya merantau ke Kota Palu dan melanjutkan studi pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Subsidi dana yang kurang lancar dari orang tua, ditambah jauhnya jarak ke kampus mendorongnya untuk mencari pekerjaan paruh waktu dengan berjualan telur dari warung ke warung. Setelah tamat dan menjadi sarjana dengan gelar Insinyur tahun 1993, selanjutnya ia bertekad mengembangkan jiwa bisnisnya yang sejak kecil sudah ditanamkan oleh orang tuanya.

Berawal dari penjual telur, Suyasa mulai berkreasi merakit mesin tetas telur puyuh dengan dana bantuan kampus sebesar seratus ribu rupiah. Meja belajar kesayangannya pun menjadi korban dan disulap sebagai perangkat mesin tetas. Usahanya membuahkan hasil dan berkembang menjadi peternakan ayam potong (Broiler).

Seiring perkembangan teknologi dan informasi, sejak tahun 1996 mulailah ia melirik bidang jasa pengetikan computer, photo copy dan penjualan alat tulis dengan menyewa sebidang tanah yang saat ini sudah menjadi miliknya. Buah perkawinannya dengan Ni Putu Srinadi, S.Pd seorang guru di SMA Biromaru, mereka dikarunia seorang putra,Vaisya Aryshandyka, yang kini duduk di kelas dua SMP dan seorang putrid bernama Prayas Dharani Prashanti tengah duduk di SD kelas empat. Dua buah hatinya ini menjadikannya semakin termotivasi dalam mengembangkan usaha.

Dengan selalu bercermin pada kekurangan dan kelebihan dirinya, ia tak pernah bosan untuk belajar, termasuk belajar memahami karakteristik entrepreneurship, di mana seorang pengusaha berangkat dari beragam tipe, dan sukses yang ia raih ini adalah kolaborasi dari beragai tipe yang ada. Menjaga kepercayaan partner dan costumer tetap menjadi fokusnya, sehingga bisnisnya pun merambah ke unit usaha seluler di saat meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi. Tidak lama berselang, produk elektronik dan penjualan computer mulai meramaikan show room-nya yang terletak di kawasan Tanjung Santigi Kota Palu.

Dengan menggandeng leasing lembaga pembiayaan seperti FIF Spektra, Kredit Plus dan Adira, semua ini memberi kemudahan kepada konsumen untuk mendapatkan layanan baik dengan cara cash maupun kredit. Sebagai pemilik sekaligus pimpinan perusahaan, mantan pengurus Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) dan Majelis Pertimbangan KNPI Sulteng ini selalu menyempatkan diri berkecimpung dalam organisasi sosial dan keagamaan, seperti sebagai sekretaris pada Koperasi Sanjiwani, Peradah dan Parisada serta seabrek organisasi lainnya.

Kerajaan bisnisnya yang bernaung di bawah bendera Medion Elektronik ini beberapa kali meraih prestasi penjualan tertinggi, sehingga berhak atas reward yang mengantarkannya berkeliling dunia. Di antaranya ke Meulbourne, Beijing, Sidney, Tianjin dan banyak lagi negara lainnya. Sebagai generasi muda, ia bertekad semakin mengembangkan usahanya, supaya semakin banyak bisa berpartisipasi meringankan beban pemerintah dalam hal membuka lapangan kerja baru yang seluas-luasnya. Apalagi saat ini ia sedang mengembangkan sayapnya di bidang properti berupa tanah dan ruko. Satu moto yang dipegangnya adalah: setiap orang berpeluang menjadi pengusaha yang sukses dengan modal kejujuran dan jeli melihat peluang, berani mengambil sikap serta jangan pernah kehilangan motivasi.
(Wayan Pariatni)

Selanjutnya......

STAH Dharmasentana Palu, Sebuah Harapan

Umat Hindu dikota Palu pada tahun 1987 pernah memiliki lembaga pendidikan yang bernama SMA Swastyastu yang berada di bawah naungan Yayasan Swastyastu dengan meminjam lokasi milik mendiang Dr. Djaja yang terletak di Jalan Gunung Timombala, Kelurahan Talise. Pinandita Ida Bagus Wijakusuma ditunjuk sebagai kepala sekolah dan salah seorang tenaga pengajar merangkap penjaga sekolah I Putu Sukarsa. Sekolah ini sempat menamatkan 21 siswa. Kurangnya dukungan umat saat itu dan kurangnya minat untuk masuk di sekolah swasta mengakibatkan sekolah Swastyastu ditutup dan siswa lainnya dipindahkan ke sekolah lain.
Saat ini umat Hindu kota Palu memiliki lembaga Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-Kanak Widyalaya yang terletak di Jalan Zebra III di bawah naungan PHDI Kota Palu. Menurut penjelasan Ketua Yayasan Dharma Kerthi, Dr. Ketut Suarayasa, M.Kes, awal tahun 2008 ada sinyal dari Dirjen Bimas Hindu Kementrian Agama tentang pembangunan SDM di Kota Palu. Sinyal ini kemudian ditindaklanjuti berupa diskusi. Atas saran Dirjen Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, Ms, maka dibukalah kelas jauh Program Magister Kajian Budaya dan Agama bekerja sama dengan UNHI Denpasar dan menghasilkan 19 orang lulusan.

Berbekal lulusan S2 yang siap membantu sebagai tenaga dosen, hal ini semakin memperkuat keinginan untuk membuka program S1 Yayasan Dharma Kerthi, akhirnya membentuk tim perumus dan menunjuk I Wayan Suarsa, S.Pd ,M.Pd sebagai ketua tim. Setelah statuta STAH dan kelengkapan lainnya dipenuhi, akhirnya turunlah tim supervisi dari Dirjen untuk berdiskusi dan sosialisasi terkait kesiapan umat Hindu Kota Palu terhadap pendirian STAH. Sebagai langkah awal, MoU bersama PHDI Sulawesi Tengah, Pembimas Hindu Kemenag Sulteng dan Yayasan Dharmakerti pun dilaksanakan.

Tepat pada bulan Juni 2008 Yayasan Dharma Kerthi Sulawesi Tengah mendapat kepercayaan dari Menteri Agama RI C.q Dirjen Bimas Hindu Kementrian Agama untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Sulawesi Tengah melalui Surat Keputusan Dirjen Hindu No.DJ.V/73/SK/2008. Surat ijin ini menjadi babak baru bagi pengembangan SDM Hindu di Sulawesi Tengah dengan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Hindu ( STAH) Dharma Sentana.

Sebagai langkah awal, aktivitas akademika STAH terpusat di Nista Mandala Pura Agug Wanakertha Jagatnatha dengan menunjuk Prof. Dr. Ir. Made Antara, MP sebagai Ketua. Atas partisipasi beberapa tokoh umat Kota Palu akhirnya pihak Yayasan berhasil membeli sebidang tanah yang terletak di Bumi Roviga, Kelurahan Tondo untuk lokasi kampus yang baru dimana saat ini pembagunannya sedang berjalan atas bantuan Dirjen Bimas Hindu.

Minat generasi muda untuk menempuh studi agama, baik dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat cukup tinggi. Dari tahun ke tahun jumlah mahasiswa menunjukkan peningkatan. Untuk angkatan pertama jumlah mahasiswa STAH 42 orang, angkatan kedua 66 orang, angkatan ketiga 39 orang dan sekarang sudah memasuki angkatan ke empat dengan jumlah mahasiswa 61 orang.

Di penghujung tahun 2010, tepatnya 14 Desember 2010, STAH Dharmasentana untuk pertama kalinya berkesempatan mewisuda 46 lulusan S1 program khusus penyetaraan dengan gelar Sarjana Pendidikan Hindu (S.Pd.H) yang dihadiri oleh Dirjen Bimas Hindu, Yudha Tri Guna. Di samping dosen luar biasa, kini STAH memiliki 6 orang tenaga dosen tetap dan sedang berkonsentrasi pada proses Akreditasi. Ke depannya diharapkan pihak akademisi dapat membentuk jurusan yang relevan untuk wilayah Sulawesi Tengah, sehingga output yang dihasilkan bisa diterima di tengah masyarakat.
(Pariatni)

Selanjutnya......

Di Palu, Sangkep Banjar pun Diisi Dharmawacana Tiga Jenis Derma yang Bisa Disumbangkan

Rapat Banjar Cempaka Sari, Kota Palu yang dilaksanakan secara rutin setiap bulan ini nampak sedikit berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. Selain bekerja keras menata kembali validasi data base keanggotaan banjar, pengurus juga sibuk mengintensifkan berbagai format baru dalam setiap kegiatan banjar. Di antaranya meningkatkan porsi waktu untuk kegiatan spiritual, seperti Dharma Wacana.
Bertepatan dengan rapat banjar pada Minggu 28 September 2011 yang bertempat di bale gong Pura Agung Wanakertha Jagadnatha Sulawesi Tengah, ruang dharma wacana diisi oleh sekretaris Banjar cempaka sari I Nyoman Setiartawan, S.Pd yang mengangkat tema pentingnya mengembangkan sikap murah hati dan berderma.

Mengawali dharmawacananya, Setiartawan menguraikan, bahwa dalam ajaran agama Hindu tidak pernah disebutkan, bahwa Hyang Widhi membenci umatnya, tetapi ada tiga tipe orang-orang yang tidak disukai oleh Hyang Widhi. Ketiga tipe orang tersebut adalah orang yang miskin tetapi sombong, orang yang kaya tapi sombong dan orang yang kaya tetapi pelit. Agar kita menjadi orang yang disukai oleh Tuhan, maka kita harus bisa mengubah ketiga hal buruk itu. Jika belum dianugrahi kekayaan yang berlebih, maka tetaplah bersikap rendah hati. Jika kita dianugerahi materi yang berlebih, maka jadilah orang kaya yang rendah hati dan pemurah.

Dari penjelasan ini sesungguhnya kita diajarkan untuk mengembangkan sikap dermawan atau murah hati, karena mempraktikkan kedermawanan dan murah hati adalah implementasi dari ajaran dharma. Bapak dari dua orang anak yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala SDN 15 Palu ini mengutip pernyataan Swami Vivekananda tentang tiga hal yang patut didermakan, yakni Dharma dana seperti memberikan pendidikan budi pekerti yang luhur, Vidya dana yaitu sumbangan berupa ilmu pengetahuan dan Artha dana, yaitu sumbangan berupa materi kepada orang yang yang membutuhkan. Setiap orang yang dianugerahi kemurahan rejeki maka wajiblah membaginya kepada orang-orang yang kurang beruntung sebagaimana diperintahkan oleh sastra suci kitab Atharwaveda III.24.5 yang berbunyi: wahai umat Manusia perolehlah kekayaan dengan seratus tangan dan dermakanlah itu dalam kemurahan hati dengan seribu tanganmu. Dalam RegVeda X 107.2 juga menegaskan, bahwa orang-orang yang dermawan menghuni tempat yang tinggi di alam surga. Orang-orang yang tidak picik yang mendermakan benda bertempat tinggal bersama Sanghyang Surya.

Selain derma dalam bentuk benda, Hindu juga mengajarkan berderma dengan cara mengembangkan sifat-sifat mulia dan manis dengan cara mentaati aturan-aturan dan ajaran-ajaran suci. Misalnya dengan berbicara lemah lembut karena orang yang santun dan ramah tamah akan memperoleh simpati dari pendengarnya sebagaimana ditekankan dalam Reg Veda VIII.24.20: “Wahai umat Manusia berbicaralah dengan kata-kata yang lebih manis dari pada mentega dan madu yang dijernihkan.” Demikian setiartawan menutup Dharma wacananya.
(Niwayan Pariatni)

Selanjutnya......

Hindu Sultra Susun Grand Design Persiapkan Diri Menjadi Pusat Hindu Terbesar Setelah Bali

DR. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Ketua PHDI Prov. Sultra)

Perubahan adalah sesuatu yang kekal di dunia ini. Demikian penjelasan filsafat hidup, kalau tidak berubah tentunya melawan kodrat hidup dan hukum Tuhan. Demikian halnya sejarah masa lalu di mana Hindu pernah mencapai puncak kejayaannya pada zaman keemasan kerajaan Majapahit, apakah Hindu akan bangkit lagi dan mencapai zaman keemasannya itu lagi, apakah keemasan Hindu hanya dapat kita lihat di Bali saja sekarang? Mari kita mencoba berencana menyongsong keemasan itu lagi dalam sebuah Grand Design di Pulau Celebes (Sulawesi) khususnya di Sulawesi Tenggara. Untuk merencanakan dan mewujudkan cita-cita serta harapan dengan melihat berbagai potensi dan peluang yang ada. Bagaimana umat Hindu di Sulawesi Tenggara terkini? Dan apa harapan yang diinginkan sampai di Tahun 2050. Kita mencoba sesaat untuk memejamkan mata, seraya melepaskan lelah dengan sebuah ilusi mimpi dan khayalan untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu Hindu Sulawesi Tenggara yang humanis, sejahtera dan profesional di tahun 2050.
Diawali dengan sebuah pertanyaan, apakah umat Hindu di Indonesia secara umum pernah mendengar keberadaan umat Hindu di Pulau Sulawesi (Celebes) dan secara khusus Provinsi di Sulawesi Tenggara? Apakah umat Hindu di Indonesia tidak ingin mengetahuinya? Apakah juga umat Hindu yang berdomisili di Sultra mengetahui sesungguhnya keberadaanya, dan pernah memikirkan potensi yang dimilikinya? Apakah benar Sulawesi Tenggara akan menjadi pusat perkembangan Hindu kedua setelah Bali? Apakah dalam kancah Nasional umat Hindu di Sulawesi Tenggara pernah diperhitungkan? dan tentunya masih sangat jelas dalam ingatan bersama bahwa pelaksanaan Utsawa Dharma Gita tingkat Nasional X tahun 2008 yang sukses terselengara dimana? Pasti umat Hindu di Indonesia akan mengatakan ”sudah pasti di Sulawesi Tenggara” atau di bumi anoa tercinta, dengan ciri masyarakat yang terkenal dengan sebutan Pan Putulaki alias Tolaki.


Targetkan Kejayaan Hindu Sultra Tahun 2050

Bila kita menerawang bak orang pintar (balian) secara seksama nampak secara defakto, bahwa sesungguhnya potensi Hindu di Sulawesi Tenggara sangat besar. Mengapa besar, karena saat ini umat Hindu di Sulawesi Tenggara bermukim pada 10 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara, yaitu Kota Kendari, Kota Bau-Bau, Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Buton, Muna, Buton Utara, Bombana, tersebar dan mendiami lebih dari 200 desa/kelurahan dengan jumlah umat Hindu adalah 10 persen dari sekitar 2,3 juta penduduk Sulawesi Tenggara, yang secara riil merupakan pemeluk agama kedua terbesar setelah pemeluk Islam.

Keberadaan umat Hindu di Sulawesi Tenggara saat ini secara ekonomi semakin baik dan merata, karena telah tinggal selama 30 tahun lebih menjadi warga transmigrasi, yang tetap tekun melaksanakan keberagamaan Hindu dengan bingkai lascarya di setiap ranah pelaksanaan yadnya, dan tidak pernah terdengar di telinga bahwa umat Hindu di Sulawesi Tenggara sebagai penyebab disharmoni selama ini.

Dengan melihat potensi umat yang ada sekarang, tidak ada salahnya kalau kita membuka kelopak mata, mengedipkannya dan melebarkan sesaat daun telinga untuk secara bersama-sama melihat peluang emas di tengah ladang garapan yang luas dan subur itu. Dengan kondisi umat yang ada, sudah pastinya harapan kita tidak muluk-muluk karena berdasarkan kenyataan, peluang dan potensi umat Hindu yang ada. Khayalan yang super tinggi itu jauh-jauh hari kita tancapkan untuk dapat men-starter-nya dari sekarang sehingga puncak finis sejarah kejayaan di tahun 2050 dapat di wujudkan. Apa saja harapan Hindu Sulawesi Tenggara sampai di tahun 2050 nanti? Bagaimana potret Hindu Sultra yang kita inginkan dengan modal yang telah ada ini?
Bagi yang pesimis pasti mengatakan angkuh dan sombong, akan tetapi bagi yang optimis pasti mengatakan itu sudah pasti menjadi kenyataan! Namanya sebuah harapan dan cita-cita yang dibarengi khayalan boleh dan sah-sah saja, yang penting tidak ada yang iri dan tentunya tidak ada yang cemburu, iri dan cemburu merupakan jentik penghambat kemajuan. Khayalan itu merupakan sebuah bibit atau benih untuk motivasi sehingga lahir produk unggul yang dapat bermanfaat untuk kita semua.

Harapan yang pertama yang diinginkan Hindu di Sulawesi Tenggara tahun 2050 adalah peningkatan Sumber Daya Manusia, seperti; 10 persen umat Hindu di Sultra adalah pengusaha sukses, 10 persen berpendidikan tinggi, 3 persen PNS, 1 persen miskin, secara Nasional memiliki keterwakilan: 2 legisltaif, 2 senator, di tingkat Provinsi: 2 di eselon II, 3 persen menjadi PNS, 50 umat Hindu di Sultra menjadi tenaga dosen bergelar Doktor, 25 profesor, 10 orang dokter spesialis, memiliki keterwakilan di setiap Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.

Targetkan Aset Lembaga Rp 10 Triliun

Secara ekonomi di tahun 2050 umat Hindu di Sultra diharapkan memiliki aset kekayaan dan aset lembaga yang melimpah minimal 10 Trilun rupiah, memiliki pelaba pura 1000 hektare, memiliki pendapatan rata-rata 5 kali PDRB perkapita, memiliki yayasan pendidikan yang berkualitas dari TK, SD, SMP, SMA dan PT, adanya Bank Perkreditan Rakyat 5 buah, telah mampu memiliki Rumah Sakit Umum berkualitas sebanyak 3 buah yang tersebar di tiga Kabupaten/Kota, dan seluruh umat Hindu sebagai peserta asuransi jiwa dan kesehatan.

Dari segi Sosial-Budaya, umat Hindu di Sulawesi Tenggara diharapkan memiliki pura pada setiap desa dengan kualitas standar dan megah, diharapkan berkembangnya pesantian di setiap desa. Selalu menduduki 3 besar dalam setiap event keagamaan di tingkat Nasional. Minimal umat Hindu di Sultra memiliki 5 buah pustaka suci di setiap rumah tangga Hindu, setiap remaja Hindu menamatkan membaca 2 pustaka suci utama seperti: Bhagawad Gita dan Saracamuccaya. Dalam ranah Spritual umat Hindu di Sultra di tahun 2050 diharapkan memiliki 40 orang pandita terdidik minimal master agama, adanya sebuah maha asrham yang menjadi pusat pengkajian Hindu, berdiri dan hadirnya pasraman berkulitas pada setiap desa, The Hindu Centre yang menjadi andalan pusat diskusi Hindu, dan terwujudnya kehidupan beragama yang santih (intern dan ekstern), serta sampradaya yang semakin berkualitas. Di Tahun 2050 kondisi pemerintah dan kemasyarakatan adalah adanya kerukunan yang kondusif antar umat beragama (paling tidak, bukan sebagai penyebab disharmoni), yang di mulai dari Sueca-Bakti ke Tresna-Asih. Mendapat fasilitas dan perlindungan dari pemerintah pada berbagai aspek kehidupan.

Selanjutnya......

Umat Hindu Sultra Harus Siap Mengubah Mental Tingkatkan Jiwa Kewirausahaan dan Daya Saing

DR. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Ketua PHDI Prov. Sultra)

Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya kita harus dapat menguji secara klinis dengan sebuah analisis yang sudah terkenal sangat manjur yaitu analisis SWOT. Diawali dengan Strenght, yaitu kekuatan umat Hindu di Sulawesi Tenggara. Bagaimana kekuatan umat Hindu di Sulawesi Tenggara itu, jawabanya jelas jumlah penganut nomor dua terbesar, memiliki motivasi yang tinggi selaku pekerja keras, jujur, sabar dan hemat yang merupakan identitas Hindu Bali sebagai aflikasi ajaran Karma Marga dari penganut ajaran sanatana dharma. Telah memiliki pengalaman dalam mengadopsi budaya lokal karena telah tinggal sudah 40 tahun lebih. Selalu mencerminkan perilaku hidup yang sesuai dengan potensi daerah (ekonomi dan budaya). Umat Hindu di Sulawesi tenggara terkenal mudah bergaul dan mudah berasimilasi, kemudian dalam ranah agama terpuji sebagai penganut agama yang taat dan kompak serta nrimo.
Setelah mengetahui kekuatan yang unggul tentunya dalam hukum binari atau rwa bhineda tentunya juga terdapat kelemahan, (weeknesess) umat Hindu di Sulawesi Tenggara, di antaranya, cenderung imperior (koh ngomong), kurang kokoh secara intern, senantiasa mengedepankan perasaan, kurang belajar, dan sulit untuk berubah. Kemudian secara turun temurun umat Hindu di Sultra kurang percaya pada lembaga dana, dapat menilai atau memvonis terlalu cepat, kaku dan percaya diri rendah, mudah curiga dan berprasangka secara intern, dan sebaliknya secara ekstern, serta kurang kompak secara sosial.

Kemudian Peluang (opportunities) dapat diketahui berupa, penerimaan secara ekstern, potensi ekonomi secara umum, dukungan dan fasilitasi pemerintah, ketersedian hukum dan peraturan perundangan, pendidikan dan teknologi semakin maju, demokrasi semakin baik. Kemudian secara klinis ancaman (threat): diantaranya, narkoba, pergaulan bebas, altruis dari setiap kelompok budaya yang terus berbenah, demokrasi praktis, dan kepentingan sesaat, serta konversi agama

Untuk itu Visi umat Hindu di Sultra di tahun 2050 adalah terwujudnya Umat Hindu yang humanis, sejahtera dan profesional. Humanis adalah menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi hubungan sosial yang berimbang, sejahtera berupa pendapatan cukup (kelompok 40 persen) dengan memiliki sraddha dan bhakti. Profesional yaitu pendidikan cukup, pekerja keras, pengembangan diri terus menerus, advokasi dan mendorong kemajuan sesama. Sebagaimana amanat kitab Sarasamuccaya 27, “Karenanya perilaku seseorang; hendaklah digunakan sebaik-baiknya masa muda, slagi badan sedang kuatnya, hendaklah digunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilimu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda, contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi”. Kemudian untuk memperoleh visi tersebut tentunya harus dilakukan dengan gerakan dengan menggunakan amunisi yang tepat agar mengenai sasaran dalam bentuk sebuah misi, yaitu: Peningkatan Sraddha dan Bhakti umat Hindu, peningkatan ekonomi dan peningkatan pendidikan umat Hindu pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan.



Strategi meningkatkan kualitas dan kuantitas pembina umat Hindu, yaitu meningkatkan kesempatan berusaha dan pengembangan investasi serta lembaga ekonomi dan sosial umat Hindu yang ada di Sultra, mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan dan kependidikan Hindu. Tujuan meningkatkan moral dan budi pakerti umat Hindu adalah dengan meningkatkan swadana dan jiwa wirausaha (Interpreneurship) umat Hindu, meningkatkan kualitas, ketangguhan dan daya saing umat Hindu pada berbagai aspek. Program dan kegiatan peningkatan sraddha dan Bhakti umat Hindu berupa; kegiatan pediksaan 100 orang pandita, penyediaan pustaka Suci 5 buah pada setiap rumah tangga, pembangunan pura dan ashram, pembentukan dan penumbuhan dharma gita.

Program Peningkatan ekonomi Umat Hindu yaitu pelaksanaan IWUH (iyuran wajib umat Hindu) dan dana punya secara konsisten. Pembentukan BPR dan koperasi pada setiap kabupaten/kota dan kecamatan. Pembentukan Rumah Sakit, hotel dan jasa lainnya, pemasaran bersama, penyediaan saprodi dan bibit unggul. Penerapan manajemen bisnis/modern dalam pengelolaan aset dan potensi lembaga. Program peningkatan pendidikan umat Hindu adalah dengan cara pendidirian yayasan pendidikan, peningkatan pendidikan formal dan non formal umat Hindu dan penyediaan beasiswa pada setiap jenjang pendidikan, dan peningkatan pendidikan politik umat Hindu.

Dengan sebuah motto umat Hindu Sulawesi Tenggara yang bermoral dalam kekaryaan, dermawan dalam persahabatan, jujur dan tulus mewujudkan kebahagian bersama. Untuk mewujudkan motto tersebut apa yang diperlukan? Ini yang mesti direnungkan, diapresiasi dan diaktualisasikan dalam sebuah action oleh seluruh lapisan umat Hindu di Sulawesi Tenggara, yaitu terwujudnya konsolidasi umat dari tingkat desa sampai ke provinsi, terkumpulnya modal dan pendanaan yang kuat, adanya pengembangan manajemen modern, dan yang terpenting adalah umat Hindu di Sultra harus siap secara mental untuk berubah, serta tidak kalah ketinggalan sebagai garda terdepan adalah adanya pemimpin umat yang visioner. Untuk melancarkan khayalan tersebut tahapan pencapain Grand Design adalah: tahap pemantapan (2011-2021, tahap gerakan (2012-2032, tahap kemapanan (2033-2043), tahap pencerahan (2043-2050), tahap paripurna (2050-seterusnya):

Untuk mencapai keberhasilan itu tentunya tidaklah mudah, berbagai hambatan dalam bentuk puing-puing rintangan dan cobaan pasti datang menghadang sebagai ujian dalam meraih keberhasilan dan kesuksesan itu. Hambatan yang terjadi di tahun 2050 diantaranya, persaingan mendapatkan figur pemimpin, dari tresna-asih ke sueca-bakti, menurunnya kepercayaan umat akibat manajemen yang tidak bersih, adanya motif pribadi, perkembangan lembaga tidak seimbang dengan peningkatan SDM, dan terjadinya kecemburuan sosial.

Bagaimana profil manusia Hindu yang menjadi impian dalam menyongsong Hindu Sulawesi Tenggara di Tahun 2050? Untuk panduan jawaban adalah, Sri Krisna adalah manusia utama, Gayatri Mantram adalah mantram utama, Madu adalah rasa manis utama, Homa Yadnya adalah yadnya utama, Bhagawad Gita adalah gita yang utama. Manusia utama adalah manusia yang memiliki artha dan menguasai ilmu pengetahuan. Jadi pemimpin yang dibutuhkan oleh umat Hindu di Sulawesi Tenggara adalah pemimpin yang memiliki ilmu pengetahuan, penuh wibawa dan bijaksana, dilengkapi harta dengan ciri kedermawanan serta memiliki semangat ngayah yang tinggi. Untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan itu, tentunya harus dimulai dengan usaha yang gigih, karma baik dan penciptaan lingkungan yang kondusif dengan terkonsolidasinya umat Hindu di Sulawesi Tenggara dengan baik.

Demikian sekilas mimpi indah dan khayalan kelas tinggi yang dituangkan dalam Grand Design Hindu Sulawesi Tenggara 2050. Semoga dapat memberikan sebuah gambaran singkat tentang peluang dan potensi umat Hindu di Sulawesi Tenggara saat ini dan yang akan datang, yang jika di potensialkan akan menjadi gaung dan gema Hindu terbesar kedua setelah Pulau Dewata –Bali, dan akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi seluruh umat Hindu di Indonesia. Semoga tercapai cita-cita, harapan dan tujuan terwujudnya Hindu humanis, sejahtera dan profesional dalam nuansa santih dan jagadhita di Sulawesi Tenggara 2050.

Selanjutnya......

Menatap dari Jauh Kebangkitan Umat Hindu Di Sulawesi (Sebuah Analisis Pemikiran)

I Nyoman Tika

Kehidupan umat Hindu di Sulawesi sungguh sangat menarik, dan lama menjadi kenangan indah saya, ketika lebih dari lima tahun silam saya diundang sebagai pembicara di Sulawesi Tenggara dalam kaitan Loka Saba Parisada Tingkat provinsi Sultra. Paling tidak ada beberapa hal yang saya rasa perlu dicermati berkenaan potensi keumatan dan kebangkitan agama Hindu di Sulawesi secara keseluruhan. Cara pandang ini menarik untuk membangun sebuah tatanan baru dalam ranah berpikir pluralis, bahwa umat Hindu bagian dari kehidupan bernegara dan sangat terkait dengan komunitas umat lain di negara ini, untuk bersama-sama membangun harmonisasi kehidupan dengan konsep “Adveshta sarva bhutanam" (Jangan membenci sesama makhluk).
Penjelasan lebih lanjut adalah, pengabdi Tuhan yang sejati tidak mengenal sifat buruk seperti kebencian, iri hati, amarah, dan ketagihan. Bila memasuki diri kita, sifat-sifat semacam itu menjadi hambatan utama bagi pengabdian. kita harus menumbuhkan rasa kesatuan dengan setiap orang. Bila kita benci terhadap seseorang, berarti kita membenci Tuhan sendiri yang kita puja. Karena rasa keakuan serta keangkuhan maka kita bertindak terhadap orang lain yang sekaligus menimbulkan kebencian, kedengkian, dan kemarahan.

Dalam bingkai seperti itu, maka tujuan tulisan ini adalah memberikan analisis alternatif dalam membangun potensi serta membangun SDM Hindu dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia, serta bagaimana umat Hindu di Bali harus berperan dan bersikap, sebab Bali menjadi senter Hindu Indonesia. Umat Hindu di Bali bisa belajar banyak tentang bagaimana mengelola keumatan dan harmonisasi, dan harus belajar banyak bahwa adat dan desa pekraman di Sulawesi relatif jarang mengalami konflik.

Dalam kacamata saya, tentu asumsi ini masih perlu diteliti ulang, bahwa umat Hindu di Sulawesi dan khususnya di Sultra. Ada berapa hal yang menarik untuk diungkapkan, pertama, kebangkitan Hindu di Sulawesi harus menjadi tonggak pembinaan yang sekaligus menjadi pencitraan jati diri Pulau Sulawesi, bahwa umat Hindu juga dapat soko guru dalam menjaga kedamaian. Dalam etos kerja umat Hindu menjadi teladan dalam bidang kerja keras, dan untuk meningkatkan sektor ekonomi masyarakat sekitarnya yang non Hindu. Umat Hindu haruslah menjadi contoh dalam pengabdian dan rasa nasionalisme, yang sekarang lagi menurun. Oleh karena itu, maka umat Hindu akan terhindar dari konfik adat antara pendatang dan pribumi, yang sering menguat seiring dengan meningkatnya otonomi daerah. Saya banyak mendapatkan informasi ketika ke Sultra, bahwa kasus tanah marak, yakni penduduk lokal yang awalnya peladang berpindah-pindah, kemudian meninggalkan ladang tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah untuk lahan transmigarsi, lalu setelah baik, digugat kembali, dengan alasan bahwa tanah itu adalah tanah leluhurnya. Kondisi ini tentu sangat tidak mengenakkan bagi umat Hindu transmigarasi. Kondisi seperti ini harus diadvokasi oleh tokoh Hindu, juga umat Hindu yang ada di pemerintahan dan advokasi di ruang politik. Oleh sebab itu, umat Hindu yang ada dirantau jangan segan-segan berpolitik, jangan ragu-ragu untuk meningkatkan kompetensi diri dalam berbagai bidang lewat pendidikan. Ketika SDM Hindu mumpuni maka segala urusan-urusan strategis di Sulawesi tentuanya akan sangat tergantung pada SDM Hindu. Kondisi ini akan meningkatkan nilai tawar umat Hindu di mata masyarakat Sulawesi.

Masalah kedua, politik dan ekonomi, bahwa umat Hindu di Sulawesi yang jumlahnya terus bertambah besar, maka merupakan potensi besar pada ruang politik, karena jumlah konstituen dalam kaitan pemilihan langsung, sungguh sangat berperan. Hal ini penting untuk menggolkan calon anggota DPR, Pemerintah daerah maupun DPD RI. Untuk itu umat Hindu di Sulawesi dituntut bersatu, memiliki persepsi yang sama dalam menyikapi pinangan suara. Saran saya adalah, taruhlah kepentingan agama dan negara lebih tinggi, dan secara bulat menyatukan diri. Jangan contoh Bali, sebab Bali sedang terkurung oleh hegemoni sektoral, feodalisme, serta warisan adat yang tak jarang, mempertahankan konflik antarsesama umat Hindu, dari aspek ekonomi.

Masalah ketiga, keberadaan guru agama sungguh sangat strategis. Guru agama dan pembinaan umat Hindu di wilayah rantau termasuk Sulawesi memang menjadi kendala yang sangat penting, sebab banyak guru agama yang lulusan Pendidikan Tinggi Agama Hindu dari Bali, enggan untuk ditempatkan di rantau, meskipun itu ada, kalau sudah menjadi PNS biasanya tidak sedikit yang ingin cepat-cepat pindah ke Bali. Artinya, daya jelajah serta ngayah masih perlu ditingkatkan. Perlu disikapi dengan rasa bakti, bahwa pahala orang-orang yang mau berkorban demi tegaknya dharma lebih baik dari pada ngaturang yadnya dalam bentuk lain. Kata bijak berucap, menegakkan agama adalah membangun dan ibaratnya, tanpa menyiangi rumput di ladang dan menyiapkan tanahnya untuk ditanami, benih yang ditebarkan tidak akan menghasilkan panen yang baik. Demikian pula tanpa menghilangkan rerumputan liar egoisme dari dalam diri kita, segala usaha pengamalan spiritual akan sia-sia. Guru agama dan penyuluh agama adalah sosok yang menyiangi dan juga merawat tumbuhan yang kelak dapat menjadi tempat kita berlindung.

Masalah ke empat, aspek diskriminasi. Ada dikotomi antara pendatang dan putra daerah dalam pegangkatan pegawai negeri, menjadi isu yang sulit ditampik saat ini, di wilayah rantau. Banyak kasus yang saya amati, ketika datang di Sulawesi, ada satu desa transmigrasi yang hampir disetiap KK ada sarjananya, namun kerap tidak bisa menembus untuk menjadi pegawai negeri, kalah bersaing dengan mereka yang dari penduduk lokal atau sengaja dikalahkan. Kalah bukan karena kemampuannya, namun lebih banyak karena bukan seagama, dan bukan penduduk asli. Kita masih dianggap pendatang. Cara-cara yang diskriminatif memang. Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan menguatkan visi politik dan peningkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas, sehingga umat Hindu memiliki nilai tawar yang tinggi. Untuk keperluan ini perlu dibangun Sekolah Hindu(TK sampai Perguruan Tinggi Hindu ) dan Balai pengobatan dan Rumah Sakit Hindu di Sulawesi. Untuk urusan ini umat Hindu pasti bisa dan mampu, tinggal miliki niat khusuk untuk beryadnya demi umat dan agama Hindu.

Masalah kelima, membangun jalur Tirta yatra ke Sulawesi. Selama ini fokus tirta yatra itu, ke Jawa, India dan Bali. Mari kita bangun sebuah jalur baru ke tempat Suci Sulawesi. Aspek ini sangat strategis dengan beberapa alasan, (1) keaneka ragaman etnis Hindu di Sulawesi lebih beragam. (2) Kunjungan antara saudara sedharma dapat meningkatkan rasa memiliki dan meningkatkan bakti yang kuat pada Hyang Widhi. Kebangkitan umat Hindu Sulawesi, selain berasal dari etnis Bali juga berasal dari etnis lain yang ada di Sulawesi, kondisi ini juga menambah wawasan keanekaragaman pola dan bentuk ritual Hindu. Oleh karena itu, untuk meningkatkan persaudaraan Hindu perlu dibangun paket tirta yatra ke pura atau tempat suci yang terletak di Sulawesi. Artinya, di masa mendatang kita akan mempelajari cara mengembangkan keyakinan, dan melalui perbuatan yang baik, mensucikan hidup kita. Dengan mengembangkan sifat-sifat yang terpuji ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, niscaya kita umat Hindu akan memperoleh kasih dan rahmat Hyang Widi.
Om Nama Siwaya.

Selanjutnya......

Spirit Hindu dari Selebes

Ida Ayu Tary Puspa


Pulau Sulawesi dalam sejarah Hindu Nusantara yang termuat di dalam kitab Ramayana karya Maha Rsi Walmiki, pada Kiskindhakanda (XI.30) disebutkan nama Javadvipa dan Saptarajya. Menurut Nabin Chandra Das, Saptarajya ada tujuh tempat, yaitu Svarnadvipa (Sumatera), Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Selebes) Irian Jaya (West New Guinea), Bali, Java, dan Malaya. Mendengar kata Selebes terbayanglah sebuah pulau yang sangat terkenal sebagai sebuah pulau tempat orang-orang buangan pada penjajahan Belanda, termasuk orang-orang dari Bali yang menentang penjajah saat itu.
Pada saat ini Pulau Sulawesi terbagi menjadi beberapa provinsi seperti Sulawesi Utara, Selatan, Barat, Tenggara, dan Tengah. Pada hampir setiap provinsi ada transmigran asal Bali yang tentunya beragama Hindu. Setidaknya kehadiran transmigran telah memperluas Hindu sampai ke tanah Sulawesi, bahkan di Unima (Universitas Manado) terdapat pula program studi Pendidikan Agama Hindu. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan, karena sebuah universitas umum memiliki prodi Hindu. Di Palu Sulawesi Tengah pun ada STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) . ISI Denpasar pun membuka S1 di Palu Sulawesi Tengah. Dalam kerangka pikir seperti itu, maka ajaran Hindu dapat disebarkan ke masyarakat melalui kesenian sebagai sebuah media yang ampuh. Untuk jenjang pendidikan seperti di Sulawesi Tenggara (Kendari) telah pula ada yang mengikuti kuliah sampai strata dua yang diikuti oleh para guru, penyuluh, bahkan pegawai Telkom. Namun itu baru diikuti sekitar 15 orang, ke mana lagi umat Hindu kita yang lain, ternyata hanya sedikit umat Hindu yang menjadi PNS, kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bertani terutama bertanam jambu mete, jeruk, rambutan, dan kelapa sawit.

Khusus untuk Sulawesi Tenggara, semenjak tahun 1960-an menjadi daerah kedatangan transmigran termasuk yang berasal dari Bali yang beragama Hindu. Kabupaten yang terdapat di provinsi ini, seperti Konawe, Kabupaten Buton Utara. merupakan kabupaten termuda yang dimekarkan dari Kabuparen Muna sejak tahun 2007. Empat kecamatan di Buton Utara yang terdapat umat Hindunya adalah Kecamatan Kalisusu, Kalisusu Barat, Bonedunu, dan Kambowa. Desa di Kecamatan Bonegunu yang ada umat Hindunya adalah Desa Wa Ode, Gunung Sari, dan Ensumala. Di desa Gunung Sari inilah terdapat umat Hindu transmigran asal Bali.

Kehidupan komunitas Hindu di daerah ini mayoritas sebagai petani sawah, petani kebun, dan hanya sebagian kecil mereka menjadi PNS. Taraf pendidikan sangat rendah, sebagian besar tamat SD, sebagian kecil tamat SMA, dan yang tamat sarjana bisa dihitung dengan jari. Pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah kurang berjalan dengan baik karena hanya satu, dua sekolah yang melaksanakannnya. Bahkan penyebaran buku-buku agama Hindu pun minim, walaupun telah disiapkan oleh Kementrian Kantor Agama Sultra ternyata jarang yang sampai di kantung-kantung Hindu dengan kendala akses jalan yang kurang bagus, sehingga akan menambah beban transportasi yang tidak sedikit. Pelaksana Pembimas pun belum ada, hanya kantornya telah diresmikan tanggal 5 Maret 2011.

Oleh karena umat Hindu di Sultra kebanyakan mata pencahariannya adalah petani, maka penyebaran agama Hindu kurang berhasil karena komunikasi terbatas dengan sesama saja. Sedangkan bila dibandingkan pada zaman dulu saat bahasa Melayu yang akhirnya diangkat menjadi bahasa Indonesia memiliki daerah sebar hampir di seluruh Indonesia dengan ditemukannya dialek Melayu di Nusantara karena penuturnya berprofesi sebagai pedagang. Akan tetapi kehadiran transmigran asal Bali di Sulawesi ini telah pula memberikan warna, bahwa agama Hindu itu masih tetap ada, bukan hanya di Bali keberadaannya. Oleh karena kebanyakan umat Hindu di Sulawesi berasal dari transmigran Bali, maka tentu mereka masih lekat dengan kebaliannya. Dalam arti bahwa apa pun yang ada di Bali dengan segala aspek kehidupan ingin pula diterapkan di daerah tujuan.

Umat Hindu yang berada di Sulawesi seperti di Sulawesi Tenggara menginginkan membangun tempat suci seperti Pura Kahyangan Tiga di Bali, padahal di sana tidak ada Desa Pakraman layaknya di Bali. Bisa dibayangkan seandainya itu terwujud dengan jumlah umat yang sedikit ngemong banyak pura, bisa juga dibayangkan berapa biaya yang mesti ditanggung oleh masing-masing keluarga. Hal ini pernah dituturkan oleh Ketua PHDI Sultra, Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP saat penulis berkunjung ke Kendari tanggal 23-25 September 2011. Pernah terjadi silang pendapat di antara umat mengenai konsep pembangunan Pura Tri Kahyangan. Pada akhirnya dengan adanya Tentara Masuk Desa (TMD) pada akhir 2009, masyarakat akhirnya sepakat membangun konsep Eka Kahyangan Jagat, karena alokasi bantuan dari TMD hanya untuk satu pura. Pura Eka Kahyangan Jagat yang dimaksud adalah Pura Amertasari di Desa Gunung Sari.

Para transmigran asal Bali di tanah rantau menginginkan kondisi seperti di Bali. Kerinduan mereka akan tanah kelahiran telah pula mendorong untuk mendirikan tempat suci seperti Pura Sakenan di Desa Jati Bali, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan Sultra. Darmayatara peletak sendi kehidupan dalam beragama Hindu yaitu Dang Hyang Nirartha telah menuntun umat Hindu untuk mendirikan sebuah pura, yaitu Pura Sakenan.

Para Transmigran asal Bali yang notabena beragama Hindu walaupun mereka lebih banyak bekerja sebagai petani baik itu di sawah maupun di kebun telah pula memberi spirit Hindu bagi para petani nonHindu, karena budaya pertanian yang religius telah pula memberi suatu tatanan kehidupan yang berbudaya dalam memperlakukan seorang Sakti Dewa sebagai lambang kemakmuran, yaitu Dewi Sri. Sistem subak yaitu irigasi ala Bali telah pula memberi masukan bagi petani setempat dalam memperlakukan air sebagai simbol dari sang pemelihara, yaitu Dewa Wisnu. Secara tidak langsung ternyata para petani tranmigran asal Bali telah mengenalkan kepada masyarakat setempat betapa berbudaya dan religiusnya orang Hindu dalam berkehidupan termasuk dalam melakoni pekerjaan, karena semuanya mengandung simbol sesuai ajaran Hindu. Tanah yang dijadikan sebagai tempat mengusahakan pertanian adalah Dewi Pertiwi yang selalu dihormati dan diperlakukan secara bijak. Budaya bertani yang religius selalu diterapkan oleh masyarakat Hindu transmigran untuk memohon, agar apa yang telah ditanam akan mendapat karunia pula dengan harapan bahwa hasil panen akan berlimpah dan anugerah dipanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifstasi sebagai Dewa Tri Murti dengan masing-masing Saktinya.

Selanjutnya......

Anak Muda Hindu Sulawesi yang ke Bali Mengapa Tak Mau Kembali?

Gede Agus Budi Adnyana

Sebagian besar umat Hindu yang berada di Sulawesi adalah orang-orang asal Bali yang dahulu bertransmigrasi ke daerah itu. Ada yang transmigrasi ikut program pemerintah, ada juga yang memang berniat merantau ke sana untuk mencari hal baru, dan ini tentu saja akan membawa dampak yang kuat terhadap perkembangan sosioreligius masyarakat Hindu yang bermukim di sana. Sebatas pengamatan yang dapat dilakukan, terhadap orang Bali yang bermukim di sana, Hindu berkembang dengan jalan yang sedikit susah, namun hari ini sudah semakin terlihat baik.
Jika kita berbicara masalah Hindu yang benar-benar pure Sulawesi, maka kita akan menemukan ada banyak geguat yang mendasari agama Hindu di sana memiliki tata cara berbeda dengan di Bali, sama seperti kitab Panaturan yang menjiwai Hindu Kaharingan. Sulawesi juga memiliki Lontara dan juga Laga-ligo, dan ini sudah tumbuh sumbur dengan baik di bumi sana dari leluhur mereka sampai anak cucunya sekarang.

Jika kita berbicara Hindu Bali yang bermukim di sana, maka lain lagi kisahnya. Sebab, geguat agem-ageman Hindu Bali dibawa ke Sulawesi dan berjalan di sana layaknya umat Hindu Bali. Mereka harus mendak Dewa Hyang, Ngenteg Linggih, ala Bali. Dan Pura-pura di bangun juga dengan ala Bali. Tetapi yang menjadi keheranan dan tampaknya harus ditiru oleh umat Hindu Bali, adalah umat Hindu Sulawesi jauh lebih bisa menghargai tempat suci (Pura) dengan tetap memperhatikan suci lan cemer dengan proporsi yang ideal. Sebut saja contoh di Pura Agung Jagat Natha Palu, Sulawesi Tengah. Di Pura itu, bahkan laki-laki dan wanita diatur sedemikian rupa duduknya agar dapat berkonsentrasi dengan lebih baik.

Hampir sebagian besar pura yang terdapat di Sulawesi tidak kita temukan permainan judi seperti di Bali. Pura di Bali ramai dengan judi bola adil, blok kiu, ceki, spirit, mong-mongan dan tajen. Bahkan terkadang, orang dengan entengnya masuk pura sambil menyusui anaknya. Di Bali sangat jarang odalan diisi dengan kegiatan dharma wacana, tetapi di Sulawesi, dharma wacana rutin dilakukan. Ini untuk memperdalam keyakinan dan pemahaman umat Hindu tentang ajaran mereka. Dengan demikian, keselarasan dapat dimaknai lewat sebuah upacara sekaligus tattwanya.

Kemudian setiap desa di Sulawesi yang memiliki umat Hindu, seperti Sidrap, Tolai, dan yang lainnya juga rutin mengadakan kegiatan yang berbau pemahaman untuk perdalaman keyakinan ajaran agama Hindu. Lomba dharma wacana tiap desa sering dilakukan, begitu juga dengan Utsawa Dharma Gita. Suatu ketika, guru-guru agama Hindu Sulawesi dari berbagai daerah sempat datang ke Bali, dan di Bali mereka membeli banyak buku-buku agama Hindu yang tujuannya disebarkan nanti setibanya di Sulawesi. Kemudian adanya STAH Dharma Santana Palu, merupakan satu bentuk wujud nyata untuk memajukan agama Hindu di sana. Dengan demikian, generasi muda Hindu yang ingin memperdalam ajaran agamanya ataupun yang bercita-cita menjadi guru agama dan dhama duta yang lainnya, tidak perlu-jauh jauh datang ke Bali.

Datang Tak Kembali

Permasalahannya sekarang adalah, masih banyak generasi muda Hindu di Sulawesi yang datang ke Bali untuk belajar agama Hindu dan tidak pernah pulang lagi ke daerahnya di Sulawesi. Oleh sebab itulah, untuk memajukan Hindu Sulawesi kita harus melakukan sebuah perubahan paradigma, dengan mengirimkan tenaga pengajar dari Bali, baik yang berkualifikasi Sarjana ataupun Magister untuk ditempatkan di lembaga-lembaga pendidikan agama Hindu di sana. Dari pada berebut lahan di Bali yang sudah sempit, mengapa anak muda Bali tidak hijrah ke Sulawesi dan membangun spirit Hindu di tanah Sulawesi?

Ada banyak cara yang sebenarnya dipergunakan untuk mempersipkan dharma duta dari Sulawesi untuk belajar dan menimba ilmu di Bali dengan harapan, suatu ketika nanti, ketika dinyatakan telah tamat menempuh pendidikan di Bali, maka mereka akan pulang kembali ke Sulawesi untuk menjadi dharma pracaraka di sana. Tetapi malangnya, hampir sebagian besar anak muda Hindu yang mencari ilmu dan menempuh pendidikan di Bali tidak pulang kembali ke Sulawesi, karena banyak alasan, dan yang paling umum karena cinta.

Penulis tidak menyalahkan sebuah hubungan yang diatur demikian, tetapi jika kita ingin membuat sebuah perubahan menuju Hindu yang baik di Sulawesi dan maju dari yang sekarang, maka orientasi datang ke Bali adalah untuk belajar dan pulang untuk dikembangkan di sana. Penulis sempat mengadakan beberapa wawancara dengan salah seorang anak muda Hindu asal Sulawesi yang bernama Ni Putu Marianti, ia menyatakan bahwa umat Hindu di sana sangat kekurangan buku-buku pelajaan agama Hindu. Kemudian kekurangan tenaga yang benar-benar memiliki kualifikasi dan keterampilan seperti tembang (kidung), membaca pustaka Veda dan kebudayaan yang lainnya.

Kemudian guru-guru agama Hindu untuk semua tingkat pendidikan formal, juga sangat dirasakan kurang. Bahkan ada guru matematika mengajar agama Hindu karena memang di sekolah tersebut tidak ada guru agam Hindu-nya. Jika pembesar dan petinggi lembaga pendidikan Hindu mau serius untuk memajukan Hindu, maka rasio untuk pengangkatan tenaga pendidik agama harus terus ditingkatkan. Adanya moratorium PNS tidak mesti harus menjurus pada tidak diangkatnya tenaga pengajar dan pendidik, dan jika kita boleh jujur, maka di pelosok desa dan daerah terpencil, tenaga pendidikan seperti guru agama memang sangat langka. Maka inilah yang harus diperhatikan untuk memajukan Hindu.

Jika kita komparasikan dengan perbadingan tenaga pengajar pendidik agama Hindu yang tersedia, di Bali saja, maka kita sudah over loade. Kemana mereka harus dibawa? Mereka bingung, dan entah mau kemana? oleh sebab itulah, formasi yang harus diperhitungkan adalah penempatannya harus berada di daerah terpencil di luar Bali seperti Sulawesi untuk tenaga pendidik agama Hindu. Jangan sampai pendidikan agama Hindu terabaikan dan terbengkalai, sedangkan program pemerintah sendiri memajukan kehidupan bangsa yang seimbang antara pembangunan fisik dan rohani.

Jika formasi itu sudah tersedia, maka ada banyak tenaga pendidik agama Hindu yang ada di Bali akan hijrah ke sana dan menjadi dharma duta di sana. Jauh lebih baik demikian. Alangkah konyolnya, jika moratorium harus dilakukan untuk tenaga pendidik, sedangkan ada banyak daerah terpencil yang sangat dan bahkan tidak ada tenaga pengajarnya. Apalagi tenaga pengajar pendidikan agama Hindu. Dengan adanya tenaga pendidik agama Hindu yang berkualifikasi sarjana atau yang lainnya datang ke Sulawesi, maka lambat laun kita akan menemukan kemajuan pemahaman agama Hindu yang jauh lebih baik dari yang sekarang.

Oleh sebab itulah, untuk memajukan agama Hindu di Sulawesi, maka kita harus memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, tenaga pendidik, baik pendidik formal dan informal, untuk ditempatkan di sekolah-sekolah atau lembaga yang lain seperti pasraman dan gurukula. Setelah itu yang ke dua adalah sarana, seperti bangunan sekolah, tempat pasraman. Contoh baiknya seperti di jaba Pura Agung Jagat Natha Palu Sulawesi Tengah. Kemudian yang terakhir adalah buku-buku agama Hindu. Jadi alangkah baiknya, jika umat Hindu di Bali juga ikut mepunia, baik materi ataupun buku-buku untuk kemajuan saudara kita yang ada di Sulawesi.

Selanjutnya......

Pura Penataran Agung Dalem Jawa Pertautan Aktifitas Hindu dan Islam

Laporan Roni Purna Bagus Haryono

Orang Bali, tidak perlu diajarkan toleransi beragama. Sejak dahulu, kerukunan antarumat sudah terjalin sedemikian apik. Hal ini bisa terlihat di sebuah pura yang terletak di Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Bangli. Hindu- Muslim satu wadah dalam memuja leluhur di sebuah bangunan yang berdiri artistik di dalam Pura Penataran Agung Dalem Jawa.
Sebuah pertanyaan sering terlontar dari guru-guru saban hari dalam pelajaran agama. Pertanyaan multiple choice yang sering menanyakan, di manakah bersembahyang umat. Pilihan jawaban yang ada pastilah, masjid, pura, gereja, wihara. Namun ketika Anda menyambangi Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Bangli, pertanyaan itu bisa saja menjadi nyaplir alias keliru. Mengapa? Di daerah tersebut terdapat sebuah pura yang kerap didatangi umat Islam. Tak hanya didatangi, umat yang notabene seharusnya melakukan persembahyangan di masjid, di situ melakukan shalat dan mengambil wudhu di sebuah pancuran yang semuanya berada di dalam areal pura.

Terletak kira-kira 20 kilometer dari Kota Denpasar, Pura Penataran Agung Dalem Jawa ini menebarkan aroma kesejukan yang dikelilingi kolam. Pekik burung menyambut berlomba dengan senyuman anak-anak kecil yang terlihat memainkan air kolam.
Sepintas terlihat dari depan, Pura Penataran Agung Dalem Jawa normal-normal saja seperti pura-pura lainnya di Bali. Candi bentar dan ukiran-ukiran yang sangat rumit, tidak menampakkan sedikit pun aroma Islami.

Namun, melangkahkan kaki memasuki utamaning mandala, tampak sebuah bangunan bersegi empat berukuran 6 meter x 6 meter. Bangunan ini agak unik, bentuknya agak berbeda dari bangunan umumnya di sebuah pura. Mirip sebuah bale. Mirip juga sebuah meru, namun bangunan yang penuh ukiran di setiap sudutnya ini memiliki pintu di setiap sisinya, mencirikan tempat bersembahyang umat Islam. Sementara bangunan meru umumnya hanya memiliki satu pintu di bagian depan.

“Bangunan tersebut bernama Langgar, istilah tempat persembahyangan umat Islam namun berukuran kecil”, ujar Ida I Dewa Ketut Raka, Penglingsir Puri Agung Bunutin. Di bangunan itulah, keyakinan multikultur sampai kini tetap terjaga. Tak hanya umat Hindu yang memuja, namun umat Islam juga menelungkupkan tangan dan berdoa menurut keyakinannya dengan menghadap bangunan yang disebut Langgar tersebut.

Dewa Mas Wilis dan Laskar Mengwi

Keberadaan Langgar ini kemudian dituturkan Ida I Dewa Ketut Raka dimulai sekitar abad 16 silam. Pria tua berkacamata ini lantas menceritakan, ada saudara kembar yang tertua bergelar Pangeran Mas Sepuh dan adiknya bergelar Wong Agung Wilis. Kedua saudara kembar ini merupakan putra mahkota dari Kerajaan Blambangan yang sedang melakukan perjalanan kembali pulang dari Kerajaan Gelgel guna melaporkan kekacauan yang ditimbulkan pihak Belanda sebagai pihak penjajah di daerah timur Jawa tersebut.
Dalam perjalanan kembali, rombongan terhenti di Desa Seseh, Badung dikarenakan mereka mendapat kabar bahwa perahu yang rencananya akan membawa mereka menyeberang menuju tanah Blambangan belum tiba. Pangeran Mas Sepuh kemudian memerintahkan sang adik untuk bermalam di salah satu rumah penduduk di desa setempat.

Di tengah kepekatan malam, sebuah petaka yang memilukan terjadi. Kedua bersaudara kembar beserta rombongan tersebut diserbu oleh Laskar Kerajaan Mengwi yang berjumlah sangat banyak. Dalam pertempuran sengit dan tidak berimbang tersebut, Pangeran Mas Sepuh beserta tiga orang pengikutnya tewas. Bukti tewasnya Pangeran Mas Sepuh bisa terlihat di Pura Keramat Ratu Mas Sepuh yang berada di pantai Seseh. Di sana terdapat sebuah batu nisan yang diyakini sebagai makam sang pangeran.

Mengetahui sang kakak telah tewas terbunuh, Wong Agung Wilis beserta 8 orang pengikut yang masih tersisa berusaha menyelamatkan diri. Dalam pelariannya, sang adik berkeinginan melaporkan penyerangan yang dilakukan Laskar Mengwi tersebut kepada Raja Dalem Waturenggong yang saat itu memerintah Kerajaan Gelgel.

Perjalanan terhenti di Desa Bunutin, Bangli dikarenakan Wong Agung Wilis beserta rombongan dihadang oleh penduduk desa. Penduduk desa kemudian menanyakan asal muasal mereka. Warga desa yang mendengarkan penuturan Wong Agung Wilis menjadi iba atas musibah yang terjadi. Atas permintaan sesepuh desa, rombongan pun dipersilahkan menetap dan memberikan jaminan keselamatan kepada mereka semua.

Karena Wong Agung Wilis merupakan keturunan raja, maka penduduk desa menobatkannya sebagai raja yang bergelar I Dewa Mas Wilis dan berkedudukan di Puri Agung Bunutin. Sebagai raja yang telah dipercaya oleh rakyat desa, ia kemudian membuat sebuah pura yang dinamakan Pura Merajan Agung Bunutin. Di pura ini, ia serta seluruh penduduk desa melakukan pemujaan.

Di tengah masa kekuasaanya, I Dewa Mas Wilis wafat. Sang raja meninggalkan seorang permaisuri dan seorang selir. Dari permaisuri, sang raja memiliki dua putra, I Dewa Mas Blambangan dan I Dewa Mas Bunutin. Sementara dari selir memiliki tiga orang putra yang masing-masing bernama, I Dewa Wayan Mas, I Dewa Made Mas dan I Dewa Nyoman Mas.

Untuk mengisi kekosongan kursi raja, maka diangkatlah I Dewa Mas Blambangan sebagai seorang raja. Malapetaka kemudian menimpa. Tak lama setelah memerintah, putra tertua I Dewa Mas Wilis ini jatuh sakit. Sakit yang menimpa I Dewa Mas Blambangan sangat aneh. Berbagai upaya penyembuhan oleh beberapa balian, akan tetapi tak kunjung sembuh. Akibatnya, pemerintahan pun menjadi lumpuh.

Sakit berkepanjangan yang diderita sang kakak membuat I Dewa Mas Bunutin tidak tega dan berinisiatif melakukan tapa semadi di Pemerajan Agung Pura Bunutin. Di tengah malam saat I Dewa Mas Bunutin khusyuk melakukan tapa semadi, sebuah pawisik terdengar bersamaan dengan penampakan seorang pria yang memakai busana serba putih. Pawisik tersebut sangat mengejutkan.

“Wahai Mas Blambangan, Mas Bunutin dan semua anggota keluarga yang berada di tempat ini. Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah. Aku minta supaya dibuatkan pelinggih Langgar tempatmu sembahyang kepadaKu. Jikalau tidak membuat sebagaimana permintaanKu, maka terus menerus secara turun-temurun semua anggota keluarga akan menderita sakit berat tetapi tidak mati (gele-gele). Yang menolak permintaanKu, sudah pasti tidak akan bertahan menghadapi siksaan lahir batin bahkan sampai jatuh kawangsan (patita) keluar dari puri. Sebaliknya, kalau mau membuat Langgar sesuai perintahKu, sudah pasti sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dan akan terus berbahagia serta penuh kewibawaan,” kisah Ida I Dewa Ketut Raka.

Sesuai pawisik yang diperoleh, I Dewa Mas Bunutin kemudian membangun sebuah Langgar di tengah-tengah pemerajan puri. Di sinilah keajaiban terjadi, I Dewa Mas Blambangan mendadak sembuh dari penyakit yang selama ini menggerogotinya. Sejak itulah, keberadaan bangunan Langgar ini dipelihara dan dirawat sampai sekarang oleh keturunan puri dan penduduk Desa Bunutin.

Ida I Dewa Ketut Raka meyakini, pawisik tersebut besar kemungkinan berasal dari Pangeran Mas Sepuh dan diduga saat kedatangannya ke Bali telah memeluk agama Islam. Di tempat ini, semakin ditegaskan bahwa para pendahulu kita mengerti bagaimana tata cara saling menghormati kehidupan beragama. Ajaran yang mungkin bisa membebaskan kita dari pengkotak-kotakan dalam sebutan sebuah nama: agama. Di pura yang lebih dikenal oleh penduduk desa dengan sebutan Pura Langgar ini dapat disaksikan dan semakin mempertegas bahwasannya Tuhan itu Satu. Terlepas umat mau bersembahyang dimana pun, yang penting dari proses tersebut adalah tujuannya bukan aturan yang baku.

BOX: Kebiasaan Islam dan Idul Adha ala Pura Penataran Agung Dalem Jawa

Kisah terus berlanjut. Sebuah keyakinan multikultur di pura ini masih terjaga utuh hingga kini. Sebuah keyakinan untuk tidak menghaturkan sesajian makanan yang berupa daging babi di lokasi pura. Serta cara pengurbanan yang dilakukan umat Islam dapat dijumpai di pura ini.

“Tradisi kurban dilakukan saat Tilem Kawulu dan hewan yang harus digunakan adalah seekor godel (anakan sapi) yang berwarna merah bang,” ungkap pemangku pura, Ida I Dewa Gede Mangku.

Langgar yang berada di dalam pura yang di-empon 200 kk ini tidak boleh dimasuki sembarang orang. Umat Hindu dan Islam hanya boleh melakukan persembahyangan dan pemujaan di luar bangunan. Hanya pemangku setempat yang diperkenankan untuk memasuki bangunan megah di antara bangunan lainnya di dalam areal Pura Penataran Agung Dalem Jawa.

Selanjutnya......

Umat Hindu Malang Membangun Diri Mohon Dukungan Dana untuk Pengembangan Pesraman

Dari segi kuantitas jumlah umat Hindu di Kabupaten Malang, kurang lebih 23.871 orang (survey tahun 2006). Persebaran umat Hindu di kawasan Kabupaten Malang umumnya berpola enclaves atau mengantong di antara umat heterogen. Kantong-kantong umat Hindu di Kabupaten Malang adalah di daerah Wagir, Pakisaji, Ngajum, Kalipare, Ampelgading, Kasembon, Singosari.
Dari segi sosial ekonomi, secara umum sebagian besar umat Hindu di Kabupaten Malang masih hidup secara sederhana dan bekerja di sektor pertanian, sebagian kecil telah memasuki sektor modern, seperti sektor birokrasi, militer, pendidikan dan swasta. Tingkat pendidikan dari umat Hindu rata-rata ialah SD.

Aktivitas kerohanian Hindu di Kabupaten Malang didukung oleh sarana prasarana spiritual, yaitu Pura dan Sanggar Pamujaan yang jumlahnya mencapai kurang lebih 50 bagunan pura dan sanggar. Dengan kondisi fisik bangunan rata-rata masih memerlukan pemeliharaan. Sedangkan aktivitas pendidikan Hindu secara formal ditunjang oleh keberadaan 5 TK, 2 SMP dan 1 SMA yang berbasis Hindu. Untuk pendidikan informal ditunjang dengan kegiatan pasraman di kantong-kantong umat Hindu.

Sementara itu, sebagaimana diketahui, bahwa pembentukan karakter seseorang yang berwawasan global dan berkepribadian lokal bisa dilakukan melalui pendidikan yang berjenjang, berkualitas, berkelanjutan. Dengan pendidikan seseorang mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas. Pendidikan bisa didapatkan melalui lembaga pendidikan formal, informal dan nonformal. Kualitas manajemen lembaga pendidikan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan. Tersedianya fasilitas yang memadai juga bisa memberikan nilai tambah terhadap kualitas pendidikan yang diberikan.

Pasraman Dharma Widya
Pembentukan Pasraman Dharma Widya dimotori oleh sekelompok generasi muda Hindu Desa Jedong yang independent dan mempunyai kepedulian terhadap perkembangan dan peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Hindu serta keinginan untuk berbuat yang nyata dan bermanfaat bagi sesama.

Akhirnya generasi muda Hindu Desa Jedong ini membentuk sebuah wadah yang bisa mewadahi lembaga pendidikan Hindu nonformal dalam bentuk perkumpulan Dharma Siddhi Group. Lembaga yang dimaksud adalah lembaga yang memberikan layanan pembinaan pendidikan Hindu berupa Pasraman. Setelah melakukan rapat koordinasi dan sosialisasi akhirnya disepakati sebuah nama untuk pasraman yang ada di Desa Jedong. Nama pasraman tersebut adalah Pasraman Dharma Widya.

Adapun makna dari Pasraman Dharma Widya adalah: Kata “Pasraman “ berasal dari kata “Asrama” (sering ditulis dan dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Kata Asrama mendapat awalan “pa” dan akhiran “an”, di dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali berarti tempat berlangsungnya pendidikan, yang maknanya sama dengan kata Ashram di atas. Pendidikan Pasraman menekankan pada disiplin diri, pengembangan pemikiran mulia dan sifat – sifat rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar menolong orang lain.

Konsep Pasraman diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India sebagaimana disuratkan dalam kitap suci Veda. Sistem ashram menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya (sisyanya), bagaikan dalam keluarga, oleh karena itu sistem ini dikenal pula dengan nama sistem pendidikan “gurukula”. Proses pendidikan Pasraman itu masih tetap berlangsung sampai saat ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni Sampradaya atau Parampara, yang di Jawa dan Bali dikenal dengan istilah Padepokan atau Aguron – guron. Kata Dharma mempunyai arti kebenaran dan kewajiban. Sedangkan kata Widya mempunyai arti ilmu pengetahuan suci. Jadi Pasraman Dharma Widya mempunyai makna tempat mendidik dan mendapatkan ilmu pengetahuan suci berdasarkan Dharma.

Pasraman Dharma Widya diresmikan oleh Bapak Sujud Pribadi selaku Bupati Malang, Bapak Agus Supriyono selaku Pembimas Hindu Propinsi Jawa Timur dan Bapak Ida Bagus Suardika selaku Ketua PHDI Kabupaten Malang pada tanggal 25 Oktober 2007.

Untuk menjalankan aktifitasnya, Pasraman Dharma Widya memiliki 9 orang dewan guru yang mengajar berbagai mata pelajaran, seperti, Agama Hindu, Moderator dan Dharma Wacana, Bahasa Inggris, Bahasa Sanskerta, Karawitan, Upakara, Pengkajian Weda, Mantra, Bahasa Jawa, dan lain-lain.

Sehubungan dengan semakin meningkatnya kebutuhan, mengingat Pesraman ini kini mendidik takkurang dari 91 siswa, maka direncanakan melakukan pengembangan prasarana Pesraman. Di antaranya meliputi pengadaan, ruang belajar, komputer, internet, koperasi, bangku, gamelan, dan lain-lain. Diperkirakan pengembangan ini membutuhkan dana sekitar Rp 156.550. 000. Maka melalui kesempatan ini, umat Hindu Malang berharap uluran tangan umat se dharma untuk ikut bahu membahu menyukseskan yadnya ini. Untuk informasi lebih lanjut saudara se dharma bisa mengontak: Pasraman “ DHARMA WIDYA” Wiyata Graha Dharma Widya. Sekretariat: Dusun Sawun RT 01 RW 03 Desa Jedong Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur 65158. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP): 31.186.363.3-654.000. Nomor Rekening BRI: 6368.01.006281.531 An. Pasraman Dharma Widya. Telephone : (0341) 863-2010 CP 081-555-217-91. Email: pasraman_dharmawidya@yahoo.co.id

(Dimas Sujono)

Selanjutnya......

Perayaan Gita Jayanti 6 Desember 2011 Mengenang Disabdakannya Bhagavadgita

Wayan Ngarayana

Salah satu bagian dari kitab suci Veda yang paling banyak dibaca dan dimiliki baik oleh umat Hindu maupun para pengemar filsafat di seluruh dunia adalah Bhagavad Gita. Meski dalam penggolongannya, Bhagavad Gita dimasukkan ke dalam Veda Smrti yang dikatakan sebagai “ingatan” dan penjabaran dari Veda Sruti, namun pada dasarnya Bhagavad Gita juga merupakan “sruti” atau wahyu langsung dari Tuhan sendiri sebagaimana ditegaskan dalam sloka Bhagavad Gita 15.15; “Vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cäham, Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; memang Akulah yang menyusun Vedanta, dan Akulah yang mengetahui Veda”. Dari sloka ini kita dapat mengetahui bahwa penyabda Bhagavad Gita adalah sama dengan penyabda Veda-Veda itu sendiri, yaitu Krishna, Tuhan Yang Maha Esa.
Kenapa Bhagavad Gita digolongkan dalam Veda Smrti? Tidak lain karena Bhagavad Gita juga merupakan penggalan Bhisma Parwa dari kitab Suci Mahabharata, di mana secara umum kitab Mahabharata dan juga Ramayana merupakan penceritaan kembali sejarah kepahlawanan dan “lila” Tuhan yang tergolong Smrti.

Hari pewahyuan Bhagavad Gita dikenal sebagai Gita Jayanti yang diperingati setiap tahunnya oleh milyaran umat Hindu di dunia pada hari ke-11 saat Shukla Paksha (bulan mati menuju purnama) pada bulan Margashirsh yang juga merupakan hari Ekadasi. Pada tahun 2011 ini, Gita Jayanti akan jatuh pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2011.

Bhagavad Gita disampaikan oleh Krishna kepada Arjuna tepat di tengah-tengah medan perang Kuruksetra (Dharmaksetra). Saat ini, di tempat tersebut disebut sebagai Jyotisar Tirtha dan di sana didirikan monument, di mana Krishna sebagai Parthasarati (supir kereta) dari Arjuna. Di dekat bangunan tersebut terdapat sebuah pohon yang sangat tua yang diyakini sebagai saksi bisu pewahyuan Bhagavad Gita enam ribu tahun silam. Pada saat hari Gita Jayanti biasanya orang-orang bertirtayatra ke tempat tersebut dimulai sejak pagi hari. Mereka melakukan arati/pemujaan, pembacaan Bhagavad Gita, shobha yatra dan juga mimbar tentang Gita. Kegiatan ini biasanya baru berakhir pada pagi berikutnya.

Menurut kitab suci Mahabharata, dikisahkan malam sebelum perang berlangsung, Maha Rsi Vyasa datag ke Astinapura menemui Drstaratha untuk memberikan wejangan dan kekuatan magis agar Drstaratha yang buta sejak lahir dapat melihat anak-anaknya pada detik-detik terakhir hidup mereka. Namun Drstaratha menolaknya, karena dia tidak sanggup melihat kematian anak-anaknya yang sudah pasti akan terjadi. Karena itulah akhirnya Maha Rsi Vyasa memberikan kemampuan penglihatan batin tersebut kepada Sanjaya, sais yang setia mendampingi Drstaraha selama perang Bharata berlangsung. Dengan anugerah tersebut, Sanjaya dapat mengetahui apa saja yang terjadi di medan perang, baik siang maupun malam. Bahkan dia mampu membaca pikiran orang-orang dalam medan perang tersebut.

Jadi dalam perang Bharata ini, terdapat tiga pribadi yang dapat mengetahui jalannya perang secara lengkap, yaitu Sanjaya, Maha Rsi Vyasa dan Krishna, Tuhan yang Maha Esa penyabda Bhagavad Gita. Mungkin muncul pertanyaan, kenapa Maha Rsi Vyasa dapat menganugerahkan kemampuan seperti itu kepada Sanjaya dan beliau sendiri dapat menuliskan Mahabharata dan mengkodifikasi Veda secara lengkap? Karena Maha Rsi Vyasa bukanlah manusia atau Rsi biasa, namun beliau adalah Avatara Tuhan sendiri sebagaimana dijelaskan dalam Visnu Purana skanda 3 bab 3, Tattva-sandarbha (16.2), dan juga dalam Bhagavata purana 1.3.21 dan 2.7.36.

Dalam Dharma Yudha (peperangan yang didasarkan atas Dharma) ini ada beberapa aturan dasar yang harus disepakati oleh kedua belah pihak dan sama sekali tidak boleh di langgar, yaitu; pertarungan hanya diperkenankan secara duel atau satu orang lawan satu, tidak diperkenankan untuk membunuh tentara yang sudah menyerah, tidak diperkenankan menyerang kusir, tentara tanpa senjata dan juga membunuh hewan-hewan. Tentunya peperangan pada jaman sekarang ini tidak seperti ini kan? Karena itulah semua peperangan yang terjadi pada jaman Kali ini tidak dapat dikatakan sebagai dharma yudha.

Menjelang pewahyuan Bhagavad Gita, tentara Pandawa mengambil sisi sebelah barat dan menghadap ke timur yang terletak di dekat sebuah danau. Sementara pasukan Korawa yang menggunakan umbul-umbul putih terletak tepat berlawanan dan saling berhadap-hadapan. Masing-masing pasukan meniupkan sankakala dan menabuh genderang sebagai tanda kesiapan mereka untuk berperang.

Pasukan Korawa yang diatur oleh Duryodana terdiri dari 11 Akshauhini, di mana satu Akshauhini angkatan darat terdiri dari 21. 870 kereta perang, 21.870 gajah, 65.610 kuda dan 109.350 prajurit pejalan kaki. Pasukan-pasukan Korawa ini mengikuti prinsip Danur Veda yang menerapkan teknik Vyuha, atau pembagian pasukan ke dalam kesatuan-kesatuan tempur. Satu Akshauhini pasukan dipimpin langsung oleh Bhisma yang juga sebagai pengendali utama pasukan-pasukan yang lain. Beliau mengendarai kereta perak berbendera berlambangkan matahari terbit berwarna emas dan dengan diarik oleh kuda-kuda putih. Semua prajurit utama, seperti Ashwatama, Salya, Burishwara dan lain-lain berada di dekat Bhisma.

Pada pertempuran hari pertama ini, satu-satunya prajurit yang menolak untuk ikut bertempur karena adanya perjanjian tertentu sebelumnya adalah Karna, yang sebenarnya adalah kakak tertua para Pandawa. Yudistira sendiri kebingungan menyaksikan pasukan Korawa yang sangat besar dengan 11 Akshauhini, sementara Pandawa hanya memiliki 7 Akshauhini pasukan. Karena itulah mereka menerapkan strategi perang Vyuha bernama Vajra yang dikatakan merupakan stategi perang favoritnya Dewa Indra. Di mana pertahanan difokuskan pada kedua sisinya dan bagian tengah adalah penyerang.

Namun sesat sebelum perang dimulai, di saat Arjuna meminta Krishna membawa keretanya ke area antara kawan dan lawan, dia menyaksikan Bhisma, yaitu kakeknya memimpin pasukan lawan. Arjuna menjadi lemas dan kehilangan semangat bertempur. Pada saat-saat inilah detik-detik pertama Bhagavad gita disabdakan.

Penyabdaan Bhagavad Gita ini merupakan momen yang sangat penting bagi sebagian besar umat Hindu di dunia, karena Bhagavad Gita merupakan sabda kesimpulan dan juga ringkasan dari jutaan sloka-sloka Veda. Bahkan Siva dalam kitab Gita Mahatmya juga menyanjung keagungan Bhagavad Gita dengan mengatakan bahwa dengan hanya mengerti dan melaksanakan ajaran Bhagavad Gita dengan baik, setiap orang sudah pasti dapat mencapai pembebasan.

Bagaimana cara mengerti Bhagavad Gita? Bhagavad Gita harus dipelajari dalam suasana hati Arjuna saat menerima ajaran suci tersebut. Kenapa Arjuna yang dapat menerima ajaran Bhagavad Gita yang dikatakan sebagai pengetahuan yang paling utama ini? Jawabannya terdapat dalam Bhagavad Gita 4.3 dan 13.19, ”bhakto’si me sakha ceti rahasyam hy etad uttamam”, “mad bhakto etad vinaya mad bhava yo papadyate”. Karena Arjuna adalah penyembah dan kawan Krishna yang tidak iri hati. Jadi Bhagavad Gita hanya dapat dimengerti secara tepat jika setidaknya seseorang membaca Bhagavad Gita dengan memposisikan penyabda Bhagavad Gita, yaitu Krishna sebagai Tuhan Yang Maha Esa, tidak memiliki egosime, tidak bersikap spekulatif dan dengan sikap tunduk hati.

Pesan keuniversalan Bhagavad Gita yang mengakibatkannya dapat dibaca oleh setiap orang tanpa pengkotak-kotakan agama, suku atau golongan, namun untuk menghindari sikap spekulatif dan tafsir-tafsir keliru, Sri Krishna dengan tegas mengatakan bahwa untuk mengerti Bhagavad Gita, haruslah dipelajari dan diterima dari Guru kerohanian (Acarya) melalui proses parampara dalam garis perguruan (sampradaya) yang sah sebagaimana tertuang dalam Bhagavad Gita 13.8, 4.2 dan 4.34.

Selanjutnya......

Bhisma dan Rasa Nasionalisme

Luh Made Sutarmi

Bhisma dalam perbaringan, dikitari anak panah. Matanya mulai kabur, namun tajam menatap Hastina. Pergantian penguasa telah terjadi. Kini Yudistira telah diangkat menjadi Raja Hastina yang baru. Duryodana dan Sakuni telah musnah karena otaknya dibebani oleh pikiran penuh korupsi dan kekuasaan yang ingin mengambil hak orang lain. Otak demikian, telah lama diracuni oleh simpton-simpton yang meresahkan. Dan dibutuhkan tantangan kognitif untuk membersihkannya.
Saat ini, ketika tantangan kognitif makin tinggi dan resep jitu untuk meningkatkan daya otak masih terus dicari, sebagian mencoba mendapatkan daya konsentrasi dan motivasi melalui pendekatan tradisional dan modern. Nikotin dan kafein juga sempat disinggung dalam laporan Newsweek selain stimulan seperti Adderall dan Ritalin. Dua produk terakhir diciptakan untuk meningkatkan level dopamin otak. Ini cairan yang melahirkan motivasi dan perasaan dihargai.

Kearifan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah di satu sisi merupakan keinginan sah untuk menjadi lebih pintar, tetapi di sisi lain hal itu secara ilmiah juga menghadapi kendala. Jalan tengah yang dapat diambil lebih kurang adalah terus berusaha meningkatkan kepintaran, tetapi di sisi lain setiap insan juga bijak menerima bakat yang telah dianugerahkan kepadanya. Seseorang yang kenyataannya lebih memiliki kecerdasan musikal bisa saja memendam keinginan untuk menjadi seorang atlet. Namun, mungkin ia harus mengeluarkan upaya ekstrabesar untuk mencapai keunggulan (excellence). Itu pun kalau memang bisa.

Dalam renungan kali ini, kita hendak melihat rasa penasaran Bhisma akan keheningan menyendiri dalam keremangan pagi, dia merindukan kasih para ibu, untuk ikut mencerdaskan para bayi yang lahir, agar memiliki semangat nasionalisme untuk mengabdi seperti dirinya. Merindukan kebahagiaan rakyat dan keajegan tatanan negara.

***
Pagi yang cerah itu, seorang ibu datang menghampiri Bhisma di padang Kuruksetra, bayang-bayang tubuhnya yang tertepa sinar matahari pagi melesat menimpa wajah Bhisma. Bhisma tersenyum, serta berkata, “Siapa gerangan dirimu wahai, Ibu?”

“Hormatku padamu kakek, hamba adalah sosok yang selalu mengagumimu? Lalu apa yang Anda inginkan kepadaku?. Hamba ingin berbakti pada kerajaan dan ingin menjadi warga negara yang baik, bagamaimana caranya, kakek?”

Bhisma tersenyum, “Nak engkau harus memupuk dalam pikiran dan kecerdasanmu tentang bakti, sebab orang yang berbhakti dengan mantap dan tidak tergoyahkan kepada-Ku, dialah yang amat Kucintai, demikian Krishna berucap anakku.”

“Lalu bagaimana caranya kakek?” kata wanita itu. Bhisma berkata lagi, “Anakku, engkau adalah penerus di kerajaan ini, dari rahimmu akan lahir putra dan putri yang bijak, manakala engkau selalu ingat kepada Tuhan, misalnya,” Bhisma menarik napas dalam-dalam dan berkata kembali, “engkau dapat memetik bermacam-macam buah di dunia. Engkau dapat mengumpulkan kekayaan, emas, dan harta benda. Dapat pula engkau meraih kehormatan, kedudukan, dan kewibawaan. Tetapi, Tuhan telah mengatakan bahwa semua hal ini bersifat sementara, nilainya tidak kekal. Satu-satunya hal yang permanen dan mempunyai nilai sejati yang dapat kau peroleh di dunia ini ialah kasih Tuhan. Cinta Tuhan ini luar biasa, tidak ternilai. Merupakan harta yang nilainya tidak dapat dihitung. Engkau harus berusaha keras menemukan cara-cara untuk memperoleh kasih Tuhan yang sangat berharga ini.”

Wanita itu mengangguk, lalu bertanya kembali, “Dalam keadaan jaga seperti sekarang ini pengaruh pikiran dan indera sangat kuat, bagaimana mengatasi ini, kakek?”

Bhisma menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Ya, memang anakku, dalam keadaan jaga pengaruh pikiran dan indera sangat kuat. Namun dalam keadaan mimpi mungkin indera tidak berpengaruh, tetapi pengaruh pikiran tetap ada. Dalam keadaan tidur nyenyak (sushupi) ketika kesadaran berada pada tingkat kausal, pikiran lenyap.”

Bhisma menambahkan, “Anakku, engkau tidak dapat selamanya mendasarkan pengalamanmu hanya atas prinsip ketuhanan yang diwujudkan dengan nama dan rupa. Aspek wujud dan aspek tanpa wujud sama pentingnya bagi seorang bhakta. Ibarat kedua sayap burung atau kedua kaki untuk berjalan. Tujuan dapat dicapai dengan kedua kaki itu, yaitu dengan wujud dan tanpa wujud. Dengan meletakkan satu kaki di depan yang lain, kaki yang melambangkan wujud ditopang oleh kaki lainnya yang melambangkan tanpa wujud. Perlu kita sadari bahwa penjelmaan Tuhan dengan wujud hanya bersifat sementara, sedangkan aspek ketuhanan tanpa wujud bersifat kekal, ada di mana-mana dan tak berubah.”

Wanita itu, termenung, dan diam, lalu berbisik pelan. “Terimakasih kakek, hamba telah mendapat pencerahan yang abadi, semoga engkau bahagia.” Om gam ganapataye namaha

Selanjutnya......

Sri Sri Ravi Shankar Anda Menunggu Kalki Awatara

I Made Dwija Nurjaya

The Art of Living Foundation adalah Non-Government Organization (NGO) berdiri sejak 1982 di Kota Bangalore, India. Pendirinya Sri Sri Ravi Shankar atau akrab dipanggil Sri Sri seorang humanis spiritual yang dengan kehadirannya saja seseorang akan merasakan ketenangan dan kegembiraan. Sri Sri mengajarkan nilai-nilai pendidikan dan kesehatan, yang terkenal karena sangat mendalam dan unik, kesederhanaan, kasih dan keterampilan dalam mengelola emosi negative. Melalui pelatihan Sudarshan Kriya, seseorang akan memiliki pemahaman yang mendalam tentang jati dirinya dan pengalaman mengalami transformasi di dalam dirinya, hanya dalam waktu 6 hari.

Kharisma yang cemerlang dari Sri Sri mulai kentara sejak balita, kerap duduk bermeditasi, dan pada usia tiga setengah tahun masuk sekolah, ketika tes wawancara, gurunya mengatakan, “Anak ini tahu lebih banyak dari saya, tolong bawa dia ke kelas 2.” Guru kelas dua mengatakan, “Oh tidak, pengetahuan anak ini lebih banyak dari yang saya tahu, bawa dia ke kelas 3.” Jadi dalam sehari dari pagi sampai sore, Sri Sri kecil naik 3 tingkat. Pendidikan formal Sri Sri adalah sarjana Fisika, sedangkan pendidikan tradisi adalah belajar Weda dalam bahasa Sansekerta, keduanya diselesaikan dalam usia 17 tahun.

Dari kecil Sri Sri telah mengatakan kepada teman-temannya, bahwa keluarganya ada di seluruh dunia, di Inggris, Perancis, Italy, Jerman, Amerika, Afrika, Indonesia, dan lain-lain. Teman-temannya tidak percaya dan mengolok-olok Sri Sri dengan menuliskan London, Jerman, Amerika di dinding tembok toilet dan mengatakan, “Sana pergi temui saudaramu, ha…ha...”

Saat ini The Art of Living telah berkembang di lebih dari 160 negara di 5 benua. Menginspirasi dan mentransformasi penduduk dunia mengatasi suku, bangsa dan agama/kepercayaan. Ajaran Sri Sri bahkan dapat diterima oleh Negara-negara yang memiliki latar belakang budaya yang kuat seperti Arab Saudi, Irak, Palestina, Israel, Uni Sovyet, Afganistan, Paskistan, Argentina, Kongo, Bali, dan lain-lain. Pada Festival Budaya Dunia (The World Culture Festival) yang diselenggarakan oleh The Art of Living di Berlin, Jerman tanggal 2-3 Juli 2011 yang lalu hadir 70 ribu orang lebih dari seluruh dunia memenuhi stadion olimpiade Berlin. Ini merupakan festival budaya terbesar di Eropa.

Kiprah The Art of Living adalah hadir dengan program nyata, seperti prison smart untuk para tahanan di penjara di Amerika, India, dan beberapa negara lainnya termasuk di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogya, Bali). Pusat rehabilitasi AID/Hiv di India dan Negara-negara lain. Pada pertemuan Asia-Pacific untuk AID/HIV (ICAAP) di Nusa Dua, Bali pada tahun 2009, The Art of Living mendapat 2 jatah, 1 sebagai pembicara dan 1 sebagai peninjau. Ini menunjukkan pengakuan atas kemajuan yang dicapai oleh penderita yang ditangani.

Sri Sri secara pribadi juga berperan dalam mendamaikan berbagai konflik di belahan dunia, seperti Irak baru-baru ini. Saat itu wawancara dengan CNN menunjukkan, bahwa dalam situasi gawat Sri Sri hadir langsung di Red zone perang Irak untuk memberikan semangat perdamaian. Konflik Palestina dan Israel dilakukan pendekatan dengan hadir langsung di Israel, dan bahkan ada pelatih dari Palestina mengajar Sudarshan Kriya di Israel untuk 280 ibu-ibu penderita berbagai macam kanker. Dalam polemik pemerintah India dengan Macan Tamil, Sri Sri hadir di markas besar NLTTE di Sri Lanka membawa misi perdamaian. Di Afganishtan beberapa pejabat Negara telah mengikuti pelatihan Sudarshan Kriya. Demikian juga kehadiran Sri Sri secara langsung di Pakistan sangat mencengangkan, karena pertama kalinya ada tokoh Hindu yang berkunjung ke sana.

Dengan berbagai program nyata yang mendunia, maka PBB memberikan status konsultan khusus untuk WHO dan UNICEF kepada The Art of Living. Bank Dunia melalui World Bank University pun telah memakai program dari The Art of Living untuk melatih para stafnya dan saat ini sedang dirancang untuk level supervisor.

Sri Sri adalah salah satu penggagas pendirian Asosiasi Dunia untuk peningkatan nilai-nilai kemanusiaan (International Association for Human Value/IAHV), dimana anggotanya adalah mantan-mantan kepala Negara, dan posisi Sri Sri sebagai penasehat. Program IAHV memberikan beasiswa kepada pelajar berprestasi yang kurang mampu di dunia. Di Jakarta ada 100 anak mendapat beasiswa ini untuk SMP/SMA.

Progam pemberdayaan ibu-ibu di desa bernama Rural Development Project aktif di negara-negara berkembang, dimana kaum wanita menjadi tulang punggung keluarga dengan beban yang luar biasa, namun sangat sedikit penghargaan/perhatian dari lingkungannya terutama keluarganya sendiri. Ini karena kecendrungan hegemoni laki-laki. Komentar mereka setelah mengikuti program ini, “Sekarang saya lebih sehat dan gembira, karena anak-anak bisa sekolah dan makan yang cukup, suami saya lebih menghargai saya.” Komentar ini mewakili masalah nyata di pedesaan yang segera mesti diatasi dengan program nyata juga, dan The Art of Living telah menangani 33.000 desa di India, satu desa ditangani minimal oleh satu relawan yang di didik sebelumnya dengan program pemberdayaan anak muda (Youth Leadership Training Program/YLTP) selama tiga bulan sebelum diterjunkan di desa. Bayangkan jika program ini dijalankan di Indonesia dengan 26 provinsi, 1.000 desa per provinsi, akan ada 26.000 desa binaan, tanpa biaya dari negara. Karena anak-anak muda ini membiayai sendiri program pendidikannya, The Art of Living hanya memfasilitasi dengan jaringan dan mendidik.

Di Bali prototipe program ini yang sudah ada di wilayah abu-abu, kompleks Carik, Lumintang, Denpasar, dimana wilayah ini dari dahulu dikenal dengan lingkungan prostistusi, judi, miras/mabuk, premanisme, dan pendidikan rendah dan perumahan kumuh. Atas inspirasi Art of Living, kini di kawasan tersebut para relawan membuka unit usaha pembuatan dupa dengan melibatkan ibu-ibu dengan keluarganya, dimana jam kerja bebas tidak tergantung pada hari Minggu dan libur/tanggal merah, mereka hanya libur jika ada acara adat dan kepentingan keluarga. Dengan prinsip pengelolaan usaha yang fleksibel, para pekerja dapat mengambil libur pada hari-hari yang mereka butuhkan, seperti saat kegiatan upacara agama dan lain-lain. Karena itu para pekerja biasanya tetap bekerja pada hari Minggu maupun hari-hari libur nasional lainnya.

Selain memperoleh penghasilan dari hasil pekerjaannya, para pekerja juga dapat mengikuti yoga secara rutin setiap pagi menjelang memulai aktifitas. Dengan kegiatan ini, mereka dapat meningkatkan kesehatan dan wawasannya dan bekerja pun menjadi menggembirakan, sehingga produktifitas meningkat.

Sebuah TK juga didirikan oleh para penggiat Art of Living, di mana TK ini memiliki kekhasan dengan menambahkan pelajaran bahasa Inggris dan learn scape (Belajar mengenai alam langsung di alam). Ini adalah jawaban dari aksi-aksi sosial di tataran lokal untuk mengejawantahkan keinginan Sri Sri untuk lebih banyak berbuat bagi kemanusiaan.

Memang apa yang dilakukan di Bali belum berarti apa-apa, karena di India, The Art of Living telah membangun 133 sekolah gratis di India, yang dananya sepenuhnya dari kegiatan mengajar Sudarshan Kriya dari 40.000 lebih relawan di seluruh dunia. Saat wawancara media, Sri Sri ditanya,” Anda memiliki banyak kegiatan sosial, dari mana mendapatkan dana,” Sri Sri menjawab, “We work for charity, we don’t do charity with charity.” Artinya kami bekerja untuk membiayai kegiatan sosial, kami tidak melakukan kegiatan sosial untuk mendanai kegiatan sosial kami.

Jadi kita akan menunggu kedatangan awatara kalki, agar semua persoalan kesehatan dan pendidikan yang rendah, kemiskinan, perselisihan, persaingan tidak sehat, korupsi, dan lain-lain selesai, atau kita mulai mewujudkan apa yang digambarkan dalam sifat-sifat kalki awatara. Jangan-jangan Kalki Awatara itu anda sendiri. Ayo…!

Selanjutnya......