Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 24 Januari 2011

Kebaktian Hanuman

Oleh: Luh Made Sutarmi

Kebaktian adalah sebuah kreativitas jiwa dan raga manusia dalam sebuah narasi kehidupan untuk melakukan pengabdian yang berjuluk “total surrender”. Zone kreativitas itu menampakkan sosok manusia untuk menciptakan sesuatu yang esthetis. Manusia demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya ”indah” dan cantik. Sosok itu telah masuk ke wilayah yang dikenal sebagai “Sang kinahananing kaprajnan ngaranira,” ungkap Sarasamuscaya. Di sanalah karakter berbunga. Atas dasar sebuah pertahanan akan keindahan karakter itulah sosok Hanuman yang mengabdi demi sebuah pencapaian hidup hadir di setiap bakta yang tulus kepada Tuhan.


Di titik itu kebahagiaan sejati dapat dinikmati oleh sesama manusia, sesuai dengan ungkapan, “Harta hanya bisa menghias rumahmu, tapi hanya kebajikan yang bisa menghias dirimu, baju hanya bisa menghias badanmu, sedangkan hanya perilaku yang bisa menghias dirimu.” Itulah kata bijak yang tepat untuk memberikan gambaran kepada Hanuman, seekor kera yang tetap dikenang dan dihormati melebihi manusia, karena kebajikan yang dia lakukan untuk mengabdi dan membahagiakan awatara Rama. Oleh sebab itu, ruang renungan yang sempit ini mengabarkan, bahwa jiwa kita selalu mesti hadir sebagai Hanuman dalam mengabdi kepada yang maha memiliki.
****
Pagi yang cerah dalam kekusukan doa pagi di taman Argasoka, di wilayah kerajaan Alengka, adalah taman kerajaan tempat di mana Shinta disekap, dihambat jiwanya dan dipaksa untuk mengeluarkan sebuah perasaan cinta untuk Rahwana, serta agar cintanya hilang pada Rama. Rahwana hendak mengganti sosok Rama yang lemah lembut itu. Taman Argasoka, menjadi tempat untuk menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Pengharapan lewat doa itu tak pernah sia-sia.

Dalam Argasoka Shinta ditemani oleh Trijata, kemenakan Rahwana. Rahwana juga berusaha membujuk Shinta untuk bersedia menjadi istrinya. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa’ Shinta menjadi istrinya, tetapi ditolak, sampai-sampai Rahwana habis kesabarannya, yaitu ingin membunuh Shinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Dewi Shinta selamat, namun Dewi Shinta selalu berdoa kepada pujaan hatinya, Rama sebagai suami dan utusan Dewata kedunia untuk menghancurkan kejahatan.
Deraian angin selatan yang sejuk tidak mampu menghapuskan kesedihan Shinta di taman Argasoka. Ketika membayangkan wajah Rama yang tampan, maka hatinya menjadi berbunga, kesedihan terhapus sementara. Namun, saat mata terbuka, sang pujaan hati ternyata tak ada di sampingnya, Sang Dewi bersedih, dalam kesedihan itu ia mendengar sayup-sayup sebuah lantunan lagu yang indah “ Rama-Rama hatimadura Rama-rama” tembang dengan dawai hati suci mengalun merdu. Suara merdu itu ternyata dilantunkan oleh seekor kera putih yang sedang mengintainya. Setelah kehadirannya diketahui Shinta, segera Hanuman menghadap untuk menyampaikan maksud kehadirannya sebagai utusan Rama.
Hanuman berdiskusi dengan Dewi Shinta. Dewi bertanya, “Hai kera putih, siapa namamu, mengapa engkau rela berjalan jauh dan mengabdi kepada Sri Rama untuk menengok Aku?’
“Oh Ibu,” kata Hanuman berseru sambil bersujud menganggap Dewi Shinta sebagai Ibu, “Aku adalah Hanuman, putra Anjani, hamba menaruh hormat dan mengabdi kepada Sri Rama, karena beliau mampu mendamaikan perang saudara Paman hamba Subali dan Sugriwa dari kerajaan Kiskinda.
Dewi Shinta bertanya, “Apa bukti dan alasan mengabdi dengan tulus kepada Rama?” Hanuman berkata, “Ini ada cincin Sri Rama, ini pasti ibu mengenalnya. Hamba datang ke sini adalah untuk tugas dan kebaktian diriku dan untuk merangsang hasrat mengetahui dan keasyikan Rahwana, serta hamba ingin mengubah realitas sosok Rahwana ke dalam imajinasi, sehingga dapat hamba kalahkan. Itulah pendapat hamba Ibu. Hamba ingin mengabdikan diri pada sosok yang memiliki sifat ketuhanan. Dan itu dalah Sri Rama, kemanapun hamba diutus hamba akan laksanakan.”
Hanuman menambahkan, seseorang yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang tampil dalam pikiran, perasaan, dan sebagainya, maka ia (benar-benar) hidup. Sebaliknya, jika seseorang mencemarkan selubungnya yang suci (tubuh) dengan menggunakannya untuk tujuan-tujuan tidak suci guna mengikuti kesenangan yang bersifat sementara, dan dengan demikian mengabaikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahakuasa, maka hal itu harus dicela sebagai pengingkaran yang sengaja pada sifat kemanusiaannya sendiri.
“Pengalaman apa yang engkau sudah laksanakan?” tanya Dewi Shinta kembali.
Hanuman melanjutkan, “Jenis pengalaman kita tergantung pada jenis jalan (hidup) yang kita tempuh. Karena itu, kita harus bergaul dengan orang-orang yang baik, mendapatkan nama baik, dan menempuh hidup yang baik. Penuhi hatimu dengan perasaan yang murni dan suci. Inilah sifat-sifat yang dimiliki Buddha. Buddha menyatakan, Dharmam sharanam gachchhami,-Aku berlindung pada darma. Satyam sharanam gachchhami-Aku berlindung pada kebenaran. Segala kegiatan kita harus dilandaskan pada satya dan darma. Seandainya pun engkau berjumpa dengan orang yang jahat, lihatlah hanya hal-hal yang baik dalam dirinya. Tuhan yang sama, Yang Maha Esa, bersemayam dalam segala makhluk.”
Dewi Shinta bertanya lagi, “Apa yang mendasari engkau memuja Rama, dan mengorbankan dirimu sangat serius dalam pencarian diriku?”
Sambil tersenyum Hanuman berkata: Ibu yang mulia, hamba tidak mampu menatap wajahmu karena aku bisa terbakar akan kemarahanMu, namun hamba dengan Sri Rama tidak terpengaruh oleh nama dan wujud lain. Pesan Rama padaku, adalah percayalah pada prinsip atma yang tidak berwujud. Atma adalah perwujudan kebahagiaan jiwa. Nityaanandam, parama sukhadam, kevala jnaanamuurtim, dvandvaatiitam, gagana sadrisham, tattvamasyaadi lakshyam, ekam, nityam, vimalam, achalam, sarvadhii saakshiibhuutam, bhaavaatiitam, trigunarahitam, ‘atma adalah perwujudan kebahagiaan abadi, kebijaksanaan mutlak, melampaui pasangan sifat-sifat yang bertentangan, tidak terbatas dan meliputi segala sesuatu bagaikan angkasa, tujuan yang ditunjukkan oleh pernyataan agung (mahaavaakya) tat tvam asi, kekal, murni, tidak berubah, saksi segala fungsi akal budi, melampaui segala keadaan mental, dan melampaui ketiga sifat ( sattva, rajas, dan tamas ).Itulah yang ada dalam diriku, Ibu.
“Bagaimana pandanganmu terhadap Rama sebagai perwujudan Yang Maha Kasih?” Tanya Dewi Shinta kembali. Hanuman berkata: Rama dan Tuhan sulit dibedakan, jiwaku telah menganggap dia satu, Ibu. Sebab Rama adalah perwujudan kasih dan melampaui segala sifat. Hamba menganggap Rama mempunyai berbagai sifat, karena imajinasi mereka belaka. Hawa nafsu, kemarahan, kebencian, ketamakan, kedengkian, dan kesombongan, semuanya manusia timbulkan sendiri; sifat-sifat buruk itu tidak berasal dari Rama. Rama selalu memberkati hamba dan manusia yang lain dengan kasih. Manusia melihat suatu objek dan ingin memilikinya. Itu karena ketamakan manusia. Rama tidak ada hubungannya dengan hal itu. Rama sama sekali tidak mempunyai keinginan. Beberapa orang bahkan mencoba memperdayakan Rama, termasuk Rahwana dengan memproyeksikan aneka keinginan mereka pada Beliau. Mereka menuduh Rama dengan menganggap Rama mempunyai berbagai sifat yang sebetulnya tidak ada dalam diri Beliau. Meskipun demikian, Rama selalu mengasihi manusia Dapatkan kasih Rama melalui kasih. Demikian pula dapatkan kebenaran melalui kebenaran. Bila manusia menempuh hidupnya dengan cara tersebut, itu merupakan latihan rohani (saadhana) sejati.
Dewi Shinta mengangguk dan berkata, “Hanuman, walau engkau bangsa kera namun engkau telah mencapai kesadaran atma, oleh karena itu engkau harus terus memupuk semangat kemenunggalan ini. Jangan menyamakan diri dengan nama yang diberikan kepada tubuhmu. Namamu yang sebenarnya adalah aku, aku, aku. Aku adalah kenyataan asasi dirimu selama-lamanya. Selama engkau mempunyai badan, orang-orang akan memanggilmu dengan namamu. Bila badan binasa, lalu apa yang terjadi dengan nama itu? Sesungguhnya engkau bukan satu orang, engkau adalah tiga: engkau sebagaimana anggapanmu sendiri, engkau sebagaimana anggapan orang lain, dan engkau yang sebenarnya. Selamat berjuang Hanuman, semoga Rama memberkatimu. Om Gam ganapataye namaha

Selanjutnya......

Perputaran Uang dalam Ritual Keagamaan

Oleh: N. Putrawan

Wacana yang lebih sering mengemuka dalam isu-isu keagamaan di Bali adalah menyangkut penyederhanaan banten dan pernak-pernik ritual lainnya. Istilah penyederhanaan barangkali tidak tepat untuk menjelaskan bagaimana banten itu bisa diperkecil porsinya, dengan alasan karena boros biaya dan juga menguras sumber daya alam. Apa pun istilah yang tepat untuk itu, yang jelas ada sebagian masyarakat yang berkeinginan untuk dapat mengatur manajemen keluarganya lebih tepat guna. Salah satu yang mereka rasa perlu untuk kaji ulang adalah pengeluaran sektor upacara agama.



Banyak alasan mengapa wacana itu sampai muncul. Sebut saja beberapa alasan di antaranya, seperti hadirnya sektor-sektor lain sebagai implikasi berubahnya jaman agraris ke sektor industri dan jasa yang menuntut tiap rumah tangga mengalokasikan dana cukup untuk terselenggaranya kebutuhan yang semakin variatif itu. Kemudian, keinginan penyederhanaan itu muncul, karena memang sedikit sekali orang yang paham, apa makna dan fungsi dari banten-banten itu. Dan bahkan, apakah sulinggih mengerti secara detail fungsi masing-masing banten itu? Kegamangan inilah yang menyebabkan orang ingin memformat ulang mindset-nya, bahwa pengeluaran upacara tidak perlu sebanyak itu. Ada juga alasan, karena terbatasnya waktu. Panggilan Karma Yoga yang tidak memungkinkan petani meninggalkan sawahnya lama-lama, apalagi pegawai yang tidak bisa cuti lama hanya untuk ngurusin banten. Alasan berikutnya adalah semakin sulitnya sumber daya alam sebagai pendukung sarana upakara itu untuk diperoleh. Syak wasangka pun muncul. Bila banyak bahan didatangkan dari luar Bali, tidakkah itu berasal dari tempat yang cemer? Dari kuburan misalnya atau bahan bekas. Kemudian muncul pertimbangan baru: daripada membuat upakara besar tapi bahannya cemer, lebih baik membuat sedikit tapi sukla, suci. Alasan selanjutnya silakan tambahkan…
Nah, di antara hiruk pikuk lalu lintas pikiran yang mewacanakan penyederhanaan banten, di sisi lain terjadi juga hiruk pikuk lain: kesibukan kaum wesya. Pedagang (usahawan) adalah kaum yang selalu dapat berdiri tegak dan bersiul manis pada saat apa pun. Bahkan saat perang pun, kaum wesya ini selalu menjalankan swadharmanya dengan tekun: menjual baju anti peluru, jualan senjata atau kalau memungkinkan membuka penyewaan bunker bawah tanah bila perang nuklir meletus. Demikian pula saat umat Hindu Bali repot membahas reformasi di bidang pelaksanaan upacara, kamu wesya tak terpengaruh oleh hal itu. Diam-diam mereka mencetak pis bolong imitasi untuk dijajakan di pasar.
Supply and demand, itulah “ayat suci” kaum wesya, di mana ada permintaan, di sana ada penawaran.Ketika permintaan pis bolong untuk banten terus membumbung tinggi, maka suplai harus atau terpaksa diadakan. Apa boleh buat, ketika pis bolong tidak lagi dicetak, maka orang-orang Bali pun menjadi pengusaha pis bolong untuk mencukupi permintaan pasar. Hasil industri sederhana ini lumayan: lumayan bisa jualan dan upacara lumayan bisa tetap berjalan berkat pis bolong palsu.
Sungguh berjasa juga kaum wesya ini, karena di saat orang-orang Bali menghabiskan banyak energinya untuk berdebat tentang penyederhanaan banten, kaum wesya ini dengan jeli membaca peluang. Saat krama Bali sudah tidak bisa lagi ngayah berhari-hari saat upacara ngaben, maka mereka ini menjual wadah (bade, bale-balean) yang sudah jadi dan karyanya laris. Saat budaya instant semakin merasuk, kaum wesya pun menyuguhkan desain udeng siap pakai biar tidak ribet lagi mengikatkannya waktu persiapan kondangan atau ke pura. Bahkan, manakala para pelancong dan akademisi ramai-ramai membicarakan kesucian sungai Gangga, keagungan kharisma tanah Bharata warsa, kemudian saat umat kian terpesona dan terhipnotis, diam-diam kaum wesya membuat travel wisata tritayatra ke India. Hm!
Perputaran uang dalam dunia ritual memang luar biasa. Cobalah hitung berapa ton dupa dibakar setiap hari di Bali, berapa duitnya, terus siapa penjualnya, siapa pemilik pabriknya, apakah wesya Bali atau pengusaha luar? Selanjutnya berapa janur, selepahan, ron, nyuh daksina, don ental, bunga, buah untuk keperluan yadnya yang harus tersedia setiap hari di Bali? Adakah kita menghitungnya dengan cermat dan kemudian menggunakan peluang itu untuk berusaha dan menolong diri sendiri untuk bertambah kaya atau minimal tidak nganggur lagi?
Pis bolong palsu telah bercerita, bahwa rasionalisme mati telak dalam tradisi. Jika rasionalisme ingin menang dalam ranah keagamaan, maka satu-satunya jalan adalah membaca peluang ekonomi yang ditimbulkan oleh praktik keagamaan itu dan jalankan swadharma wesya sebaik-baiknya: jangan malu cari untung banyak. Dengan jalan tersebut, seseorang bisa memerankan pelayanan (seva) sekaligus Karma Yoga. Berbuat kecil dan sederhana tapi bermanfaat, jauh lebih baik daripada perdebatan tinggi tanpa aksi apa-apa.

Selanjutnya......