Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 Mei 2010

Kurangi Campur Tangan Pemerintah dalam Kegiatan Keagamaan

Oleh: Wayan Miasa

Setiap agama memiliki hari suci atau hari-hari khusus yang dirayakan secara meriah, baik dalam lingkungan minoritas maupun mayoritas. Setiap hari keagamaan tersebut mempunyai makna yang sangat spesial bagi para pemeluknya. Begitu pula agama Hindu, walau dalam sekala nasional jumlah pemeluknya minoritas, tetapi di Bali Hindu merupakan agama mayoritas.


Agama Hindu yang ada di kepulauahn Nusantara ini memiliki budaya khas masing-masing di daerahnya. Begitu pula perayaan keagamaannya bila dibandingkan dengan daerah asal ajaran Hindu itu (Bharata warsa) sedikit agak berbeda. Hal ini terjadi, karena agama Hindu yang ada di Nusantara ini merupakan kumpulan penyesuaian budaya, akulturasi atau perpaduan dari berbagai tradisi, adat istiadat serta kebiasaan yang dihubungkan dengan kegiatan keagamaan.

Kalau kita bandingkan dengan perayaan ajaran Hindu Dharma (sanatana dharma) di India, di mana kegiatan perayaan keagamaan lebih tertuju pada aspek-aspek lila Tuhan yang ber-awatara, seperti Rama Nawami, Dipavali Wyasa Puja, Krishna Janmastami, Ratha Yatra Jaganatha, Mahasiwaratri dan sebagainya. Berbeda dengan di Bali yang lebih menonjolkan aktifitas yang berhubungan dengan pendirian tempat suci tersebut, seperti kapan pura itu diresmikan. Hari peresmian pura itu akan menjadi tegak odalan atau ulang tahun berdasarkan wuku. Tambahan pula, saat ulang tahun tempat suci itu, kita jarang memfokuskan persembahan kepada dewa yang disthanakan di tempat suci tersebut. Contohnya, Pura Desa tempat bersthananya Dewa Brahma, Pura Puseh tempat bersthana Dewa Wisnu dan Pura Dalem tempat berstahana Dewa Siwa. Tetapi saat doa dikumandangkan di masing-masing pura tersebut, nama beliau tak pernah disebut.

Begitu pula dengan keadaan jaman kini, di mana peradaban manusia yang semakin maju, komunikasi lancar maka ide-ide pelaksanaan hari raya pun berkembang serta sering melibatkan pemerintah. Hal ini pun menjadi kebiasaan, di mana hampir setiap ada aktifitas keagamaan selalu kita melibatkan pejabat. Bila hal ini terus terjadi, bukan hal yang mustahil bila suatu saat kegiatan ritual tersebut lebih diisi oleh pesan “sponsor” atau disesuaikan dengan kebutuhan sang sponsor.

Suatu contoh saat hari raya Nyepi ada suatu ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya. Misalnya saat Nyepi jatuh menjelang pemilu untuk memilih anggota DPR, dengan alasan tertentu pawai ogoh-ogoh ditiadakan. Tetapi saat akan dilakukan Pilkada, baik untuk pemilihan bupati maupun wali kota, pawai ogoh-ogoh justru dilombakan.

Sehubungan dengan kegiatan hari keagamaan di Bali, kita sering kebablasan. Kita sering melibatkan pemerintah dalam beberapa hal, terutama saat Nyepi. Hal ini menunjukkan egoisme kedaerahan yang mana bisa berakibat luas bagi kita sendiri. Secara tak sadar kita mengklaim, bahwa Pulau Bali milik orang Hindu, padahal kenyataannya pulau ini sudah dihuni oleh banyak orang non Hindu. Jadi, aktifitas-aktifitas keagamaan yang dilaksanakan oleh warga Hindu seharusnya mencerminkan rasa toleransi, terutama saat penyepian. Jangan sedikit-sedikit melibatkan pemerintah, seperti melarang televisi dan radio siaran. Pelaksanaan Brata Penyepian itu tidak harus dipaksakan kepada orang non Hindu. Toh mereka juga sudah bertoleransi dengan kita, di mana mereka sudah mau diam di rumahnya masing-masing saat hari tersebut. Tidak ke luar rumah, berarti mereka juga tidak bekerja dan bepergian. Tentu hal ini harus diapresiasi. Tetapi jangan kemudian wilayahnya diperluas dengan melarang orang-orang non Hindu nonton televisi atau mendengarkan radio. Padahal menyalakan radio atau televisi masih mungkin volume suaranya bisa disesuaikan supaya tidak mengganggu saudara-saudara Hindu.

Umat Hindu di Bali saatnya berpikir lebih luas untuk menafsirkan kata-kata “toleransi” itu. Bayangkan saja, bila warga non Hindu memaksa warga Hindu di luar Bali untuk ikut puasa di bulan Ramadhan atau setidaknya orang Hindu juga tidak boleh jualan makanan saat bulan puasa, lantas bagaimanakah keadaan selanjutnya?
Penutupan jalan, pelabuhan laut dan bandara udara saat Nyepi masih bisa diterima oleh warga non Hindu di Bali, namun hak mereka untuk sekadar nonton televisi di dalam rumahnya sendiri yang hilang tentu perlu pemikiran lebih arif. Campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama di Indonesia nampaknya memang diperlukan, tetapi tetap dalam batas-batas kewajaran, karena beragama adalah hak pribadi masing-masing warga negara.

Aktifitas-aktifitas keagamaan yang bersifat ke dalam diri, jangan dipaksakan pelaksanaannya kepada pihak lain. Lebih tepat melakukan introspeksi diri saat hari raya tinimbang melibatkan pihak-pihak luar yang tidak ada sangkutpautnya dengan hari raya itu.

Akan sangat memalukan bila saat perayaan hari suci, terlebih saat Brata Penyepian, ternyata kemudian umat kita sendiri yang melanggarnya. Tentu bila ini terjadi, maka usaha-usaha seperti menutup jalan, bandara dan meniadakan siara televisi menjadi mubasir. Mungkin masih ada kesibukan lain bagi orang-orang tertentu saat Nyepi, semisal sembunyi-sembunyi berjudi ceki, domino, blok kiu, bola adil dan sejenisnya. Kalau hal ini memang terjadi, maka jangan salahkan warga non Hindu sering mencibir kita.

Ada kemudian peristiwa unik, di mana sejumlah umat Hindu yang mungkin mapan secara ekonomi justru memilih tinggal di hotel saat Nyepi. Bahkan ada yang pergi ke luar pulau supaya bisa terhindar dari kesunyian Nyepi. Hal ini bisa dilihat di sebuah hotel di dekat pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, warga manakah yang banyak menginap di sana menjelang Nyepi?

Untuk menghindari hal-hal semacam itu, hendaknya kita lebih memfokuskan pada pembinaan rohani umat sendiri. Kita perlu tingkatkan peranan lembaga keagamaan untuk membina umat Hindu, sehingga suatu saat kita memiliki warga yang memiliki kesadadran tinggi tanpa harus mengutak-atik warga non Hindu saat Nyepi.

Seperti dinyatakan di atas, janganlah kita terlalu sering melibatkan pemerintah dalam aktifitas ritual yang sesungguhnya hal itu lebih ditujukan untuk ke dalam diri. Dengan demikian umat Hindu akan terhindar juga dari “paksaan” yang mungkin akan dikembangkan oleh agama-agama lain yang bisa memasuki wilayah pribadi kita. Sebab bisa dibayangkan, warga Muslim misalnya yang mayoritas di Indonesia, bila kemudian melibatkan pemerintah dalam urusan puasa, dengan memberikan himbauan bernada harus kepada semua warga Indonesia, tentu keadaannya akan semakin runyam.
Karena itu, untuk menghindari benturan-benturan yang mungkin terjadi di kemudian hari, marilah kita mengurangi ego kedaerahan, belajarlah bertoleransi yang benar. Mari kita tingkatkan SDM umat, sehingga kita bisa beragama secara seimbang, baik dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Dengan demikian tak terjadi suatu saat nanti, di mana upacaranya meriah, bangunan sucinya megah, namun warganya hidup semakin parah, karena sibuk ngayah.

Suatu catatan, bahwa dalam kehidupan beragama, kita memang tak bisa bebas dari campur tangan pemerintah. Tetapi sebaiknya campur tangan itu lebih pada tataran fisik, maupun mengatur tata teknis, supaya semuanya bisa berjalan baik, tetapi tidak dalam tataran pelaksanaan ritual. Pemerintah berkewajiban melindungi kegiatan keagamaan secara hukum, memberikan pembinaan dengan bantuan material sesuai kebutuhan. Misalnya menyediakan guru-guru agama, membantu pembangunan tempat suci, sekolah agama ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Mudah-mudahan di masa mendatang kita bisa melaksanakan ajaran agama tanpa harus mengusik kebebasan warga non Hindu lainnya.

Selanjutnya......

Campur Tangan Pemerintah Perlu Karena Umat tak Mampu

Oleh: Ida Ayu Tary Puspa

Tatanan hidup beragama dalam Hindu secara sederhana tertuang dalam tiga kerangka dasarnya. Salah satu di antara yang tiga itu adalah upacara. Percakapan seorang murid yang disebut Sang Suyasa dengan gurunya, yaitu Rsi Dharmakirti dalam kitab Upadesa memberikan tuntunan kepada umat Hindu dalam memahami upacara termasuk bagaimana menjalankannya. Dari sudut filsafatnya, upacara diartikan sebagai cara-cara melakukan hubungan antara atman dengan paramaatman, antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa.

Dalam melaksanakan upacara sehari-hari, yaitu nitya karma, umat Hindu sudah dapat menjalankannya secara mandiri, tetapi untuk upacara pada hari-hari tertentu akan ada pengaturan dari pemerintah. Pada zaman dulu pada saat bentuk pemerintahan di Bali adalah kerajaan, maka Rajalah yang berkuasa untuk menentukan pelaksanaan ritual rakyatnya. Tentunya Raja tidak akan bekerja sendirian, melainkan akan ada kerja sama dengan Bagawanta/Purohita dalam menentukan upacara mana yang boleh hanya dilakukan oleh Raja dan upacara mana yang boleh untuk rakyat. Dengan demikian, maka sejak dulu umat Hindu di Bali telah menggantungkan diri dalam urusan agama kepada pemerintah. Sejatinya beragama adalah menyangkut sisi pribadi atau individual yang ada pada hati setiap umat dalam mencapai religius spiritual, tetapi secara sosiologi kemasyarakatan umat akan diatur sedemikian rupa dalam menjalankan ritualnya.

Di Indonesia pemerintah memang mengatur kehidupan beragama umatnya terbukti dengan adanya Kementrian Agama dalam sebuah kabinet. Di balik kuasa pemerintah mengatur urusan beragama umatnya, ada hal yang seharusnya dicermati karena itu merupakan sebuah tanda, bahwa umat belum bisa secara mandiri menjalankan ritual pada hari-hari tertentu. Sebut saja misalnya pelaksanaan upacara Panca Bali Krama yang digelar di Pura Besakih setiap sepuluh tahun sekali yang pelaksanaan pada tahun 2009 ternyata telah menghegemoni umat Hindu di Bali. Bagaimana tidak umat Hindu akan menjalankan aturan-aturan dari pemerintah sebagai sebuah konsensus. Oleh karena ada aturan yang dirasakan cukup berat dalam hal menghadapi upacara kematian yang tidak boleh dilakukan dengan pengabenan sampai batas waktu tertentu (selama satu bulan). Dari pemerintah dikatakan hal tersebut sebagai wujud yasa kerti umat dalam menyukseskan upacara tersebut. Cuntaka yang dikenakan kepada umat yang memiliki kematian terasa terlalu lama dan berlaku di seluruh Bali. Hal ini perlu mendapat catatan karena sekarang Bali bukan hanya dihuni oleh sedikit penduduk seperti krama, tetapi telah dipenuhi oleh krama tamiu maupun tamiu.

Pada era global ini perpindahan penduduk (ethnoscape) memang pasti terjadi, sebuah tantangan baru mesti dihadapi Bali dalam menata penduduknya yang beragam alias multikultur. bagaimana cara mencapai satu kesamaan antara keragaman dan keberagamaan untuk mencapai kedamaian. Hal ini penting dipahami karena satu ritual dalam tahun 2010 ini yang perlu mendapat perhatian adalah pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Bagi umat Hindu sendiri kita sudah terbiasa melaksanakan upacara tersebut dari tahun ke tahun. Sebagai umat Hindu yang taat menjalankan ajaran agamanya Nyepi dirayakan sehari setelah Tileming kesanga, yaitu pada penanggal 1 sasih kedasa. Pada Tileming kesanga atau pada bulan mati, yaitu peralihan pergantian Tahun Icaka (Isakawarsa) adalah hari pengrupukan, diadakan upacara Butha Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Sehari setelah itu umat Hindu melaksanakan Brata Penyepian baik itu amati geni, amati karya, amati lelungaan, dan amati lelanguan. Pelaksanaan brata penyepian inilah yang diatur oleh pemerintah Bali untuk umat Hindu, keempat brata itu sedangkan untuk krama tamiu dan tamiu adalah amati lelungaan. Secara tidak langsung mereka pun menjalankan tidak menyalakan televisi karena pada saat Nyepi siaran televisi diputus, tidak boleh menyalakan lampu walaupun listrik tetap ada. Oleh karena Nyepi adalah sepi atau sipeng, maka jalanan menjadi lengang karena seluruh penduduk di Bali dilarang keluar rumah, kecuali pecalang. Dengan demikian krama tamiu dan tamiu mesti bersiap-siap menghadapi Nyepi ini termasuk pasokan pangan serta kesiapan mental. Bagi pendatang baru di Bali perlu diketahui tentang aturan-aturan Nyepi ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti rasa kenyamanan.

Ternyata umat Hindu di Bali sendiri belum mampu dalam menjalankan brata penyepian itu karena ideologi pasar pun telah merambah tubuh privat yang bernama agama. terbukti begitu banyak penawaran merayakan Nyepi di Hotel dengan paket Three in one misalnya. Hal ini telah melanda keluarga Hindu menengah ke atas. Mereka rela merogoh kocek demi di hotel bisa bebas melakoni hidup termasuk beraktivitas dengan segala kegiatan. Inilah potret baru wajah umat Hindu di Era Global. Selain itu umat Hindu menghabiskan waktu seharian dengan maceki atau mainan yang sejenis untuk itu, tentu ada taruhannya, atau pecalang yang berkeliaran di jalan untuk mengawasi umat Hindu yang ketahuan ke luar rumah. Dari fenomena itu ternyata umat Hindu di Bali belum mampu untuk melakukan pengendalian terhadap diri sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Jadi perlu campur tangan pemerintah yang berakibat umat lain jadi ikut terkena. Masalahnya, bagaimana kalau dalam ritual keagamaan umat lain, misalnya berpuasa bagi umat Islam, pemerintah juga ikut campur tangan, apakah umat Hindu mau ikut berpuasa sebulan lamanya? Apakah umat Hindu di luar Bali yang minoritas mau dipaksa berpuasa sebulan, seperti halnya umat Islam di Bali yang minoritas mau Nyepi? Ini perlu direnungkan.

Masalahnya, kalau pemerintah Bali tidak menetapkan aturan-aturan yang diberlakukan bagi Bali, niscaya akan terdapat banyak pelanggaran. Seperti halnya pecalang yang jelas beragama Hindu, tugas yang diberikan kepadanya ternyata mengebiri agamanya sendiri, karena mereka tidak melaksanakan brata penyepian itu sendiri. Ke depan menumbuhkan kesadaran akan hakikat sebuah perayaan hari suci agama perlu lebih ditingkatkan yang tertuju kepada pengendalian diri pada pribadi masing-masing yang apabila sudah dimiliki akan tercermin dalam berperilaku di masyarakat. Mungkin saat ini karena belum sepenuhnya tumbuh kesadaran dalam pengendalian diri untuk sebuah ritual masih diperlukan kehadiran pecalang. Pecalang dapat mencatat setiap ada pelanggaran dari krama setelah itu dengan memanggil mereka ke paruman banjar tentu dengan dikenakan sanksi, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Yang jadi masalah, janganlah hal itu dipaksakan juga kepada umat non-Hindu, karena kita sadar umat Hindu di luar Bali akan kena getahnya sebagai balasan.

Pada suatu saat apabila kesadaran pengendalian itu muncul dari diri sendirfi, kita akan dapat melaksanakan hari raya Nyepi dengan penuh santih. Bukankah amati geni yang dimaksudkan adalah untuk mengadakan Samadhi, pembersihan batin dari segala dosa serta menerima anugerah kekuatan dan sinar baru untuk perjuangan selanjutnya dalam tahun-tahun berikutnya. Oleh karena pada waktu sepilah kita akan berhasil mawas diri, menyatukan pikiran dan mengumpulkan kekuatan rohani berdasarkan kesucian. Pada keesokan harinya pada waktu ngembak geni umat saling memaafkan akan kesalahan yang pernah diperbuat. Semoga damai.

Selanjutnya......