Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 Mei 2010

Kurangi Campur Tangan Pemerintah dalam Kegiatan Keagamaan

Oleh: Wayan Miasa

Setiap agama memiliki hari suci atau hari-hari khusus yang dirayakan secara meriah, baik dalam lingkungan minoritas maupun mayoritas. Setiap hari keagamaan tersebut mempunyai makna yang sangat spesial bagi para pemeluknya. Begitu pula agama Hindu, walau dalam sekala nasional jumlah pemeluknya minoritas, tetapi di Bali Hindu merupakan agama mayoritas.


Agama Hindu yang ada di kepulauahn Nusantara ini memiliki budaya khas masing-masing di daerahnya. Begitu pula perayaan keagamaannya bila dibandingkan dengan daerah asal ajaran Hindu itu (Bharata warsa) sedikit agak berbeda. Hal ini terjadi, karena agama Hindu yang ada di Nusantara ini merupakan kumpulan penyesuaian budaya, akulturasi atau perpaduan dari berbagai tradisi, adat istiadat serta kebiasaan yang dihubungkan dengan kegiatan keagamaan.

Kalau kita bandingkan dengan perayaan ajaran Hindu Dharma (sanatana dharma) di India, di mana kegiatan perayaan keagamaan lebih tertuju pada aspek-aspek lila Tuhan yang ber-awatara, seperti Rama Nawami, Dipavali Wyasa Puja, Krishna Janmastami, Ratha Yatra Jaganatha, Mahasiwaratri dan sebagainya. Berbeda dengan di Bali yang lebih menonjolkan aktifitas yang berhubungan dengan pendirian tempat suci tersebut, seperti kapan pura itu diresmikan. Hari peresmian pura itu akan menjadi tegak odalan atau ulang tahun berdasarkan wuku. Tambahan pula, saat ulang tahun tempat suci itu, kita jarang memfokuskan persembahan kepada dewa yang disthanakan di tempat suci tersebut. Contohnya, Pura Desa tempat bersthananya Dewa Brahma, Pura Puseh tempat bersthana Dewa Wisnu dan Pura Dalem tempat berstahana Dewa Siwa. Tetapi saat doa dikumandangkan di masing-masing pura tersebut, nama beliau tak pernah disebut.

Begitu pula dengan keadaan jaman kini, di mana peradaban manusia yang semakin maju, komunikasi lancar maka ide-ide pelaksanaan hari raya pun berkembang serta sering melibatkan pemerintah. Hal ini pun menjadi kebiasaan, di mana hampir setiap ada aktifitas keagamaan selalu kita melibatkan pejabat. Bila hal ini terus terjadi, bukan hal yang mustahil bila suatu saat kegiatan ritual tersebut lebih diisi oleh pesan “sponsor” atau disesuaikan dengan kebutuhan sang sponsor.

Suatu contoh saat hari raya Nyepi ada suatu ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya. Misalnya saat Nyepi jatuh menjelang pemilu untuk memilih anggota DPR, dengan alasan tertentu pawai ogoh-ogoh ditiadakan. Tetapi saat akan dilakukan Pilkada, baik untuk pemilihan bupati maupun wali kota, pawai ogoh-ogoh justru dilombakan.

Sehubungan dengan kegiatan hari keagamaan di Bali, kita sering kebablasan. Kita sering melibatkan pemerintah dalam beberapa hal, terutama saat Nyepi. Hal ini menunjukkan egoisme kedaerahan yang mana bisa berakibat luas bagi kita sendiri. Secara tak sadar kita mengklaim, bahwa Pulau Bali milik orang Hindu, padahal kenyataannya pulau ini sudah dihuni oleh banyak orang non Hindu. Jadi, aktifitas-aktifitas keagamaan yang dilaksanakan oleh warga Hindu seharusnya mencerminkan rasa toleransi, terutama saat penyepian. Jangan sedikit-sedikit melibatkan pemerintah, seperti melarang televisi dan radio siaran. Pelaksanaan Brata Penyepian itu tidak harus dipaksakan kepada orang non Hindu. Toh mereka juga sudah bertoleransi dengan kita, di mana mereka sudah mau diam di rumahnya masing-masing saat hari tersebut. Tidak ke luar rumah, berarti mereka juga tidak bekerja dan bepergian. Tentu hal ini harus diapresiasi. Tetapi jangan kemudian wilayahnya diperluas dengan melarang orang-orang non Hindu nonton televisi atau mendengarkan radio. Padahal menyalakan radio atau televisi masih mungkin volume suaranya bisa disesuaikan supaya tidak mengganggu saudara-saudara Hindu.

Umat Hindu di Bali saatnya berpikir lebih luas untuk menafsirkan kata-kata “toleransi” itu. Bayangkan saja, bila warga non Hindu memaksa warga Hindu di luar Bali untuk ikut puasa di bulan Ramadhan atau setidaknya orang Hindu juga tidak boleh jualan makanan saat bulan puasa, lantas bagaimanakah keadaan selanjutnya?
Penutupan jalan, pelabuhan laut dan bandara udara saat Nyepi masih bisa diterima oleh warga non Hindu di Bali, namun hak mereka untuk sekadar nonton televisi di dalam rumahnya sendiri yang hilang tentu perlu pemikiran lebih arif. Campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama di Indonesia nampaknya memang diperlukan, tetapi tetap dalam batas-batas kewajaran, karena beragama adalah hak pribadi masing-masing warga negara.

Aktifitas-aktifitas keagamaan yang bersifat ke dalam diri, jangan dipaksakan pelaksanaannya kepada pihak lain. Lebih tepat melakukan introspeksi diri saat hari raya tinimbang melibatkan pihak-pihak luar yang tidak ada sangkutpautnya dengan hari raya itu.

Akan sangat memalukan bila saat perayaan hari suci, terlebih saat Brata Penyepian, ternyata kemudian umat kita sendiri yang melanggarnya. Tentu bila ini terjadi, maka usaha-usaha seperti menutup jalan, bandara dan meniadakan siara televisi menjadi mubasir. Mungkin masih ada kesibukan lain bagi orang-orang tertentu saat Nyepi, semisal sembunyi-sembunyi berjudi ceki, domino, blok kiu, bola adil dan sejenisnya. Kalau hal ini memang terjadi, maka jangan salahkan warga non Hindu sering mencibir kita.

Ada kemudian peristiwa unik, di mana sejumlah umat Hindu yang mungkin mapan secara ekonomi justru memilih tinggal di hotel saat Nyepi. Bahkan ada yang pergi ke luar pulau supaya bisa terhindar dari kesunyian Nyepi. Hal ini bisa dilihat di sebuah hotel di dekat pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, warga manakah yang banyak menginap di sana menjelang Nyepi?

Untuk menghindari hal-hal semacam itu, hendaknya kita lebih memfokuskan pada pembinaan rohani umat sendiri. Kita perlu tingkatkan peranan lembaga keagamaan untuk membina umat Hindu, sehingga suatu saat kita memiliki warga yang memiliki kesadadran tinggi tanpa harus mengutak-atik warga non Hindu saat Nyepi.

Seperti dinyatakan di atas, janganlah kita terlalu sering melibatkan pemerintah dalam aktifitas ritual yang sesungguhnya hal itu lebih ditujukan untuk ke dalam diri. Dengan demikian umat Hindu akan terhindar juga dari “paksaan” yang mungkin akan dikembangkan oleh agama-agama lain yang bisa memasuki wilayah pribadi kita. Sebab bisa dibayangkan, warga Muslim misalnya yang mayoritas di Indonesia, bila kemudian melibatkan pemerintah dalam urusan puasa, dengan memberikan himbauan bernada harus kepada semua warga Indonesia, tentu keadaannya akan semakin runyam.
Karena itu, untuk menghindari benturan-benturan yang mungkin terjadi di kemudian hari, marilah kita mengurangi ego kedaerahan, belajarlah bertoleransi yang benar. Mari kita tingkatkan SDM umat, sehingga kita bisa beragama secara seimbang, baik dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Dengan demikian tak terjadi suatu saat nanti, di mana upacaranya meriah, bangunan sucinya megah, namun warganya hidup semakin parah, karena sibuk ngayah.

Suatu catatan, bahwa dalam kehidupan beragama, kita memang tak bisa bebas dari campur tangan pemerintah. Tetapi sebaiknya campur tangan itu lebih pada tataran fisik, maupun mengatur tata teknis, supaya semuanya bisa berjalan baik, tetapi tidak dalam tataran pelaksanaan ritual. Pemerintah berkewajiban melindungi kegiatan keagamaan secara hukum, memberikan pembinaan dengan bantuan material sesuai kebutuhan. Misalnya menyediakan guru-guru agama, membantu pembangunan tempat suci, sekolah agama ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Mudah-mudahan di masa mendatang kita bisa melaksanakan ajaran agama tanpa harus mengusik kebebasan warga non Hindu lainnya.

Selanjutnya......

Campur Tangan Pemerintah Perlu Karena Umat tak Mampu

Oleh: Ida Ayu Tary Puspa

Tatanan hidup beragama dalam Hindu secara sederhana tertuang dalam tiga kerangka dasarnya. Salah satu di antara yang tiga itu adalah upacara. Percakapan seorang murid yang disebut Sang Suyasa dengan gurunya, yaitu Rsi Dharmakirti dalam kitab Upadesa memberikan tuntunan kepada umat Hindu dalam memahami upacara termasuk bagaimana menjalankannya. Dari sudut filsafatnya, upacara diartikan sebagai cara-cara melakukan hubungan antara atman dengan paramaatman, antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa.

Dalam melaksanakan upacara sehari-hari, yaitu nitya karma, umat Hindu sudah dapat menjalankannya secara mandiri, tetapi untuk upacara pada hari-hari tertentu akan ada pengaturan dari pemerintah. Pada zaman dulu pada saat bentuk pemerintahan di Bali adalah kerajaan, maka Rajalah yang berkuasa untuk menentukan pelaksanaan ritual rakyatnya. Tentunya Raja tidak akan bekerja sendirian, melainkan akan ada kerja sama dengan Bagawanta/Purohita dalam menentukan upacara mana yang boleh hanya dilakukan oleh Raja dan upacara mana yang boleh untuk rakyat. Dengan demikian, maka sejak dulu umat Hindu di Bali telah menggantungkan diri dalam urusan agama kepada pemerintah. Sejatinya beragama adalah menyangkut sisi pribadi atau individual yang ada pada hati setiap umat dalam mencapai religius spiritual, tetapi secara sosiologi kemasyarakatan umat akan diatur sedemikian rupa dalam menjalankan ritualnya.

Di Indonesia pemerintah memang mengatur kehidupan beragama umatnya terbukti dengan adanya Kementrian Agama dalam sebuah kabinet. Di balik kuasa pemerintah mengatur urusan beragama umatnya, ada hal yang seharusnya dicermati karena itu merupakan sebuah tanda, bahwa umat belum bisa secara mandiri menjalankan ritual pada hari-hari tertentu. Sebut saja misalnya pelaksanaan upacara Panca Bali Krama yang digelar di Pura Besakih setiap sepuluh tahun sekali yang pelaksanaan pada tahun 2009 ternyata telah menghegemoni umat Hindu di Bali. Bagaimana tidak umat Hindu akan menjalankan aturan-aturan dari pemerintah sebagai sebuah konsensus. Oleh karena ada aturan yang dirasakan cukup berat dalam hal menghadapi upacara kematian yang tidak boleh dilakukan dengan pengabenan sampai batas waktu tertentu (selama satu bulan). Dari pemerintah dikatakan hal tersebut sebagai wujud yasa kerti umat dalam menyukseskan upacara tersebut. Cuntaka yang dikenakan kepada umat yang memiliki kematian terasa terlalu lama dan berlaku di seluruh Bali. Hal ini perlu mendapat catatan karena sekarang Bali bukan hanya dihuni oleh sedikit penduduk seperti krama, tetapi telah dipenuhi oleh krama tamiu maupun tamiu.

Pada era global ini perpindahan penduduk (ethnoscape) memang pasti terjadi, sebuah tantangan baru mesti dihadapi Bali dalam menata penduduknya yang beragam alias multikultur. bagaimana cara mencapai satu kesamaan antara keragaman dan keberagamaan untuk mencapai kedamaian. Hal ini penting dipahami karena satu ritual dalam tahun 2010 ini yang perlu mendapat perhatian adalah pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Bagi umat Hindu sendiri kita sudah terbiasa melaksanakan upacara tersebut dari tahun ke tahun. Sebagai umat Hindu yang taat menjalankan ajaran agamanya Nyepi dirayakan sehari setelah Tileming kesanga, yaitu pada penanggal 1 sasih kedasa. Pada Tileming kesanga atau pada bulan mati, yaitu peralihan pergantian Tahun Icaka (Isakawarsa) adalah hari pengrupukan, diadakan upacara Butha Yadnya untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Sehari setelah itu umat Hindu melaksanakan Brata Penyepian baik itu amati geni, amati karya, amati lelungaan, dan amati lelanguan. Pelaksanaan brata penyepian inilah yang diatur oleh pemerintah Bali untuk umat Hindu, keempat brata itu sedangkan untuk krama tamiu dan tamiu adalah amati lelungaan. Secara tidak langsung mereka pun menjalankan tidak menyalakan televisi karena pada saat Nyepi siaran televisi diputus, tidak boleh menyalakan lampu walaupun listrik tetap ada. Oleh karena Nyepi adalah sepi atau sipeng, maka jalanan menjadi lengang karena seluruh penduduk di Bali dilarang keluar rumah, kecuali pecalang. Dengan demikian krama tamiu dan tamiu mesti bersiap-siap menghadapi Nyepi ini termasuk pasokan pangan serta kesiapan mental. Bagi pendatang baru di Bali perlu diketahui tentang aturan-aturan Nyepi ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti rasa kenyamanan.

Ternyata umat Hindu di Bali sendiri belum mampu dalam menjalankan brata penyepian itu karena ideologi pasar pun telah merambah tubuh privat yang bernama agama. terbukti begitu banyak penawaran merayakan Nyepi di Hotel dengan paket Three in one misalnya. Hal ini telah melanda keluarga Hindu menengah ke atas. Mereka rela merogoh kocek demi di hotel bisa bebas melakoni hidup termasuk beraktivitas dengan segala kegiatan. Inilah potret baru wajah umat Hindu di Era Global. Selain itu umat Hindu menghabiskan waktu seharian dengan maceki atau mainan yang sejenis untuk itu, tentu ada taruhannya, atau pecalang yang berkeliaran di jalan untuk mengawasi umat Hindu yang ketahuan ke luar rumah. Dari fenomena itu ternyata umat Hindu di Bali belum mampu untuk melakukan pengendalian terhadap diri sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Jadi perlu campur tangan pemerintah yang berakibat umat lain jadi ikut terkena. Masalahnya, bagaimana kalau dalam ritual keagamaan umat lain, misalnya berpuasa bagi umat Islam, pemerintah juga ikut campur tangan, apakah umat Hindu mau ikut berpuasa sebulan lamanya? Apakah umat Hindu di luar Bali yang minoritas mau dipaksa berpuasa sebulan, seperti halnya umat Islam di Bali yang minoritas mau Nyepi? Ini perlu direnungkan.

Masalahnya, kalau pemerintah Bali tidak menetapkan aturan-aturan yang diberlakukan bagi Bali, niscaya akan terdapat banyak pelanggaran. Seperti halnya pecalang yang jelas beragama Hindu, tugas yang diberikan kepadanya ternyata mengebiri agamanya sendiri, karena mereka tidak melaksanakan brata penyepian itu sendiri. Ke depan menumbuhkan kesadaran akan hakikat sebuah perayaan hari suci agama perlu lebih ditingkatkan yang tertuju kepada pengendalian diri pada pribadi masing-masing yang apabila sudah dimiliki akan tercermin dalam berperilaku di masyarakat. Mungkin saat ini karena belum sepenuhnya tumbuh kesadaran dalam pengendalian diri untuk sebuah ritual masih diperlukan kehadiran pecalang. Pecalang dapat mencatat setiap ada pelanggaran dari krama setelah itu dengan memanggil mereka ke paruman banjar tentu dengan dikenakan sanksi, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Yang jadi masalah, janganlah hal itu dipaksakan juga kepada umat non-Hindu, karena kita sadar umat Hindu di luar Bali akan kena getahnya sebagai balasan.

Pada suatu saat apabila kesadaran pengendalian itu muncul dari diri sendirfi, kita akan dapat melaksanakan hari raya Nyepi dengan penuh santih. Bukankah amati geni yang dimaksudkan adalah untuk mengadakan Samadhi, pembersihan batin dari segala dosa serta menerima anugerah kekuatan dan sinar baru untuk perjuangan selanjutnya dalam tahun-tahun berikutnya. Oleh karena pada waktu sepilah kita akan berhasil mawas diri, menyatukan pikiran dan mengumpulkan kekuatan rohani berdasarkan kesucian. Pada keesokan harinya pada waktu ngembak geni umat saling memaafkan akan kesalahan yang pernah diperbuat. Semoga damai.

Selanjutnya......

Kamis, 15 April 2010

Bali yang Multikultur

Ida Ayu Tary Puspa

Kita yang mengklaim diri sebagai orang Bali yang masih suntuk dengan kebalian tidak bisa hanya melihat kehidupan bertumpu pada masa kini, karena sejatinya kita adalah orang Bali dataran yang nota bena bukan penduduk asli Pulau Dewata ini.
Bila merunut sejarah, penduduk asli Pulau Bali adalah yang kini kita kenal sebagai mereka yang tergolong ke dalam Bali Aga, seperti di Trunyan, Sembiran dan desa lainnya. Dengan demikian, maka kita adalah orang yang rarud dari Jawa saat Majapahit runtuh seiring dengan masuknya agama Islam ke Majapahit.

Bagi orang Bali, istilah Jawa diartikan sebagai di luar Bali. Para tetua kita memahami seperti itu, biar pun ada orang dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatra pasti dikatakan uling Jawa. Demikian pula kehidupan ritual kita menjelang Galungan yang disebut dengan Sugihan Jawa. Jawa di sini bukan dimaksudkan sebagai Pulau Jawa melainkan di luar Bali yakni alam semseta ini yang berada di luar diri kita (Bali). Dengan demikian tidak akan ada pemahaman dari orang Bali yang mengaku beragama Hindu, bahwa mereka merayakan dua hari raya itu, yakni Sugihan Jawa dan Sugihan Bali dengan memilih salah satunya. Hal tersebut seyogyanya dirayakan keduanya karena Sugihan Jawa adalah pembersihan buana agung dan Sugihan Bali adalah pembersihan diri pribadi kita, yaitu buana alit. Dengan demikian diharapkan bahwa ritual yang kita laksanakan sebagai implementasi ajaran Hindu dapat dicapai dengan permohonan kesucian lahir batin dunia dan akhirat.

Bagaimana fenomena dewasa ini dalam memandang Jawa? Tidak dapat dipungkiri kita memang tergantung pada Jawa. Kenapa kita manampik dan ketakutan pada orang Jawa yang banyak melakukan aktivitas, baik itu ekonomi, politik maupun yang lainnya. Pada era global ini kita tidak dapat menutup diri. Era kesejagatan yang ditandai dengan perpindahan orang (ethnoscape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape) maupun pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape, Appadaruai dalam Ardika, 2005:18).

Sebelum sutet diterima masuk Bali, kita sangat tergantung pada listrik Jawa. Sebenarnya Bali sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan ritualnya akan upakara, karena upakara yang dilaksanaan oleh umat Hindu di Bali sebagai wujud Bhakti dalam Catur Marga, yaitu Bhakti Marga dilaksanakan dengan persembahan. Janur, kelapa, bebek, ayam, telur, ibus/ibung, jeruk diterima masuk Bali yang berasal dari Jawa maupun Sulawesi. Kenapa tidak dotolak dengan memberdayakan kemampuan pasokan dari hasil bumi Bali sendiri atau menolak buah impor yang harganya murah dengan rasa yang enak yang ternyata untuk ritual meprani pada Pura Kahyangan dalam sebuah Desa Pakraman oleh panitia piodalan diwajibkan krama istri untuk membuat gebogan yang akan diusung dengan buah yang ditentukan berwarna merah, kuning, krem, putih, dan hijau yakni, apel USA, jeruk Sunkist, pear yanglie, pear Australia, dan telur asin. Tidak ada keharusan dari panitia untuk menghaturkan salak Bali, manggis, sentul, mundeh, jeruk Kintamani, mangga Singaraja yang ternyata buah lokal tersebut adalah musiman dalam arti tidak dapat dibeli setiap saat.

Orang Bali selalu cupet berpikir, bahwa orang Jawa dicurigai sebagai karakter negatif, tetapi pada saat terjadi suatu peristiwa pencurian pratima, maka di setiap gang ditulisi “pemulung dan pedagang kaki lima dilarang masuk.” Eh ternyata kemudian yang mencuri pratima adalah orang Bali sendiri dengan dalangnya adalah orang Bali sendiri yang beragama Hindu. Di “rumah” Tuhan-nya sendiri mereka melakukan perbuatan amoral seperti itu. Kalau dirunut begitu bayak ketergantungan kita pada orang luar Bali termasuk pekerjaan di sektor informal seperti pedagang kami lima, pedagang asongan, buruh bangunan, dan buruh jalan dimana orang Bali gengsi melakukan pekerjaan seperti itu.

Di satu sisi kita tidak ingin dijajah oleh Jawa, tetapi dalam kenyataan, kitalah yang menjajah Jawa dengan ritual dan upakara khas Bali berupa Banten. Lihat saja waktu ritual di Candi Ceto bertruk-truk banten diangkut dari Bali dan penduduk lokal sekitar candi Ceto terbengong diam menyaksikan semua itu tanpa bisa berbuat banyak. Kenapa kita tidak biarkan bagaimana local genius masyarakat setempat untuk berkembang sesuai acara agama Hindu yang mereka lakukan secara tradisi.

Briyuk siyu, suryak siyu sebagai karakter orang Bali ternyata merugikan Bali sendiri. Oleh karena kalau ada ide cemerlang dari seseorang untuk solusi demi kemajuan Bali ke depan baru sebatas ide sudah langsung dipangkas sebagai sebuah pembunuhan karakter. Padahal briyuk siyu tersebut belum tentu dimengerti akan ide atau permasalahannya. Rencana Kajian strategis perlu diadakan secara komprehensif dan hiolistik seperti pembangunan yang tidak merata di wilayah pulau kecil ini. Di mana pada alih fungsi lahan yang besar terjadi bisa saja dibangun kondominium, tentu tetap mengacu pada ajaran Hindu yang diimplementasikan dalam pengaturan tata ruang yang baik. Begitu pun kemacetan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah tentang aturan memiliki kendaraan bermotor, sehingga orang Singaraja misalnya yang tidak pernah datang ke jalan Simpang Siur, dengan demikian tidak pernah merasakan bagaimana macetnya jalan itu janganlah berkometar briyuk siyu dalam kasus seperti itu. Bali adalah pulau suci siapa pun mengakui bukan hanya oleh penduduk Bali yang nota bena beragama Hindu. Persoalannya adalah bagaimana menjaga kesucian itu tanpa menodai hidup kita sebagai makhluk sosial. Dunia berkepentingan terhadap Bali lebih-lebih Indonesia, karena Bali adalah destinasi wisata dunia yang mendatangkan banyak devisa untuk Indonesia.

Yang terpenting dari semua itu adalah komiten dalam membangun Bali kini dan ke depan dengan selalu waspada. Hal ini mesti dilakukan oleh seluruh krama Bali secara bersama-sama dan bahu membahu. Walaupun telah terjadi pergseran di sana-sana tentang prilaku masyarakat Bali yang sudah menuju pada masa Kali Yuga dan tantangan budaya global yaitu sifat materialisme yang hedonis, menghamba pada dunia materi demi memuaskan kama, maka sudah saatnya kita selalu eling. Modal sosial yang mulai terkikis dengan ajaran tat twam asi sebagai local genius atau sekadar menyama braya dengan new comer, bukankah dalam modal sosial seperti yang diungkapkan oleh Bourddeau orang Bali menyebut orang Cina sebagai nyama kelihan, orang muslim sebagai nyama slam. Bahkan dalam setiap jamuan makan serangkaian suatu upacara yadnya kita akan membuat olahan slam, artinya tidak memakai daging Babi. Yang terpenting hidup secara damai berdampingan dengan tamiu maupun krama tamiu bukankah dalam kitab suci Veda disebutkan bagaimana seharusnya kita hidup damai berdampingan, seperti yang termuat dalam Yajur Weda, XL.6:
“Berbuatlah terhadap orang lain
sebagai kamu berbuat terhadap dirimu sendiri
anggaplah semua makhluk hidup
sebagai sahabat karibmu
karena pada semua mereka itu terdapat satu jiwa
semua merupakan jiwa semesta.”

Dalam sastra Bali lisan ada beberapa ungkapan yang memiliki konsep hubungan sosial multikultur sebagai bentuk kepercayaan akan paham keberbedaan dalam kehidupan masyarakat, seperti celebingkah beten biyu, belahan pane belahan paso. Jika setiap warga masyarakat telah percaya dan mengakui keberbedaan itu, maka akan muncul saling percaya di antara keberanekaan itu, sehingga memiliki tujuan dan cita-cita yang sama. Hubungan sosial dengan asas timbal balik, karena ada unsur saling percaya disebabkan oleh tujuan, hati dan pikiran yang sama. Hal ini disebutkan di dalam Rg Veda X.191.4 sebagai berikut:

Samani va akutih
Samana hrdayani vah
Samanam astu vo mano
Yatha va susahasati

Terjemahannya:
Samalah hendaknya tujuanmu
Samalah hendaknya hatimu
Samalah hendaknya pikiranmu
Dengan demikian , semoga semua hidup bahagia bersama-sama.


Selanjutnya......

Rabu, 14 April 2010

Tanah Impian

N. Putrawan

Kabar wangi aroma rempah Nusantara pun akhirnya sampai ke telinga orang Eropa, dan mulailah petualangan pedagang Eropa ke Asia Tenggara.

Berkat ditemukannya teknologi mesin uap oleh James Watt, berlayar dari Eropa ke Asia pun terasa lebih ringan dan cepat. Jalur perdagangan laut ini memudahkan bangsa Eropa mengambil rempah-rempah Nusantara. Tergiur keuntungan berlipat, kabar tentang kebun rempah-rempah di dunia Timur yang murah meriah pun kian merangsang saudagar Eropa untuk datang langsung membeli rempah-rempah ke Nusantara. Tak terhenti di situ, karena kemudian antarbangsa Eropa pun akhirnya saling berlomba berebut pengaruh di Nusantara, baik melalui jalan politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Belanda, Inggris, Portugal adalah deretan bangsa Eropa yang ikut dalam “perlombaan” menaklukkan bumi rempah-rempah itu.

Demikianlah, oleh suatu sebab cara pandang sebuah bangsa, mereka melihat suatu wilayah atau kawasan sebagai “tanah impian” yang dapat memenuhi hasratnya. Eropa pada zaman kolonialisme memandang Nusantara dan Asia lainnya sebagai tanah impian yang dapat memperkaya ekonomi bangsanya. Karena alasan keuntungan ekonomilah mereka datang jauh-jauh.

Fenomena ini bukanlah surut, meski status bangsa kita sudah merdeka. Kini, tetap saja Nusantara sebagai tanah impian negara-negara kaya yang memiliki ketinggian teknologi dan manajemen pasar yang hebat. Konglomerasi perusahan internasional pun berlomba berinvestasi di Indonesia untuk melakukan pengeboran tambang, industri pariwisata, perdagangan, otomotif dan lainnya. Inti dari semua aktifitas itu adalah: bagaimana mengisap keuntungan sebesar-besarnya dari bumi Indonesia. Dulu, tentara Kompeni yang membuat bangsa kita tak berdaya 350 tahun, kini investasi yang membuat kita terkapar. Bahkan modal asing itu kita undang dengan merengek-rengek supaya mau membangun ekonomi kawasan kita.

Bila melihat tayangan “Wild Life” di National Geographics, maka kita mudah dapat belajar dari hewan liar di padang luas Afrika. Bila serombongan singa menemui suatu kawasan hamparan yang banyak rusanya, maka rombongan singa ini akan berkelahi untuk mengalahkan penguasa singa yang telah ada di sana sebelumnya. Bila kawanan singa pendatang ini menang, maka menjadi penguasalah mereka atas semua potensi makanan di hamparan itu, tapi bila pertarungan itu tuan rumah yang menang, maka si pendatang harus pergi menjauh sebelum menjadi objek pembantaian. Artinya, kebutuhan akan makanan dan kebutuhan akan ruang sebagai “rumah” sebagai “Gumi” adalah bersifat insting. Ketika semua makhluk ingin mengejawantahkan instingnya, maka penyelesaian dari kepentingan yang saling bertubrukan ini adalah pertarungan.

Dalam kasus khusus di Bali, entah bagaimana cikal bakalnya, tiba-tiba saja pulau ini telah menjelma menjadi “tanah impian” dari orang-orang dengan berbagai kepentingan. Tokoh spiritual mencoba menaklukkannya, berikutnya, lusinan raja mengirim tentara untuk menjadikannya daerah taklukkan, tak ketinggalan pedagang-pedagang Cina pun berebut datang untuk menangguk untung dari pulau kecil ini.

Bicara kisah takluk-menaklukkan, cerita pulau ini menjadi sangat tua. Yang diketahui hingga sekarang, penakluk pertama secara politik adalah kerajaan asal Jawa, kemudian pada zaman-zaman berikutnya raja-raja dari Jawa yang lain kembali menaklukkan Bali dan selanjutnya menghuni pulau ini secara beranak pinak. Tak jelas, apakah tanah ini memang “tanah impian” atau “tanah pelarian” bagi manusia Jawa. Dari dulu, dari dulu.
Namun kini, orang-orang Jawa yang telah beranak pinak di Bali puluhan generasi itu telah merasa dan mengklaim dirinya sebagai “orang Bali” hanya karena satu alasan: mereka datang duluan di Bali. Tapi, kembali pada teori insting “mencari makanan” dan “mendapatkan ruang” orang-orang Bali kini merasakan adanya ancaman nyata ini. Arus pendatang luar pulau yang ikut mengais rejeki di Pulau Bali secara perlahan merangsek dominasi penduduk asli. Secara politik, para politisi dan pejabat pemerintah mungkin masih didominasi orang Bali, tetapi dalam pertarungan ekonomi semuanya belum bisa dipastikan siapa yang mendominasi. Hanya pada tataran investasi skala besar telah terbukti modal asli Bali sangat kecil perannya. Nah, bagaimana di sektor skala menengah dan sektor ekonomi informal?

Pulau kecil ini nampaknya setia menjadi saksi segala bentuk pertarungan yang terjadi sepanjang masa. Dan tanah ini pun rupanya hanya mau bersahabat dengan para pemenang. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial Belanda memenangi pertarungan atas Bali tahun 1906-1908, maka berikutnya, semua penguasa (raja-raja) lokal menjadi bawahan atau kaki tangan Belanda. Yang tak sudi tunduk, maka mereka pasti tak mendapat ruang dan makan di Bali: keselong (dibuang) ke Nusa Penida, Lombok atau Betawi adalah hukumannya.

Dan kini, ketika klan atau soroh-soroh bangkit, ternyata ditemukan kenyataan kalau konon mereka semua berasal dari Jawa. Artinya mereka semua keturunan pendatang yang pernah memiliki riwayat sebagai pemenang dalam pertarungan di pulau ini di masa lampau. Tak ada yang mau mengklaim kalau soroh-nya bernenek moyang asal Gunung Agung atau Gunung Batukaru. Mereka gengsi mengaku produk asli Bali, tapi ketika kompetitor pekerja Jawa datang, tiba-tiba saja para soroh yang konon keturunan Jawa itu mengaku sebagai orang Bali. Entah! Tapi sejarah mencatat, hanya pemenanglah yang menghuni pulau ini. Jadi kalau ingin bertahan di sini, artinya harus menjadi pemenang.

Selanjutnya......

Riwayat Bali sebagai Taklukan Jawa

Sejak dari dulu, jauh sebelum ingatan kita sanggup menampung kisah tanah ini, Bali memang telah menjadi ajang taklukkan para penguasa Jawa.
Entah penguasa itu berwujud brahmana atau ksatria, yang pasti secara politik dan budaya Bali seolah setia menjadi satelit dari Jawa.


Mulai kapan kegelisahan orang Bali muncul terhadap ancaman pendatang dari luar (Jawa)? Entah! Tapi mungkin kita lupa memeriksa rupa perjalanan sejarah nenek moyang kita yang ternyata gelombang manusia Jawa ke Bali sudah berlangsung sejak berpuluh abad lalu. Gelombang arus manusia itu pun pasti tujuannya untuk menundukkan tanah Bali. Terlepas, apakah pendundukan itu dengan cara militer atau lewat doktrin intelektual keagamaan, maka itu lain soal. Yang pasti, faktanya Bali berulang-ulang ditaklukkan kekuasaan Jawa: dari dulu hingga sekarang, hanya bajunya saja berganti-ganti. Jadi, buat apa mencemaskan Jawa?

Gelombang kecemasan orang Bali Hindu semakin musim kian kencang. Sebelumnya ada wacana penolakan pembangunan jembatan Jawa-Bali yang menghubungkan Selat Bali. Penolakan itu didasarkan atasa alas an, bahwa bila saja jembatan itu jadi dibangun, maka dikhawatirkan arus migran Jawa kian deras masuk Bali. Setelah arus migrant makin kencang, tentu orang Bali cemas pula akan meningkatnya kriminalitas, semakin kumuhnya kawasan dan semakin tidak tertibnya tata kependudukan. Setelah itu semua pastilah orang Bali khawatir akan semakin tergerusnya budaya Hindu-Bali karena mendapatkan rivalitas yang kuat dari pengaruh budaya Jawa Islam dan pengaruh budaya materialisme.

Kecemasan itu tak berakhir, sebab pernah muncul gerakan Ajeg Bali, bahkan terejawantah dalam bentuk gerakan menjual “bakso krama Bali” untuk menandingi pesatnya pertumbuhan ekonomi sektor informal dari kaum pendatang. Tapi fenomena itu kemudian menjadi sepi lagi, dan kecemasan akan “serbuan” Jawa merunduk-runduk di bawah semak-semak kalbu yang meradang.

Melihat hal ini, sejarawan UNUD, Dr. I Nyoman Wijaya mengatakan, ketundukan Bali atas Jawa sudah terjadi sejak masa silam dan ada catatan ketundukan itu atas inisiatif orang Bali sendiri. Menurut Wijaya, sebelum pemerintahan raja-raja Bali Kuno, demi perluasan wilayah kekuasaan, para kepala desa memaksa rakyatnya berperang melawan desa lain. Itulah sebabnya desa-desa yang lemah meminta perlindungan kepada raja-raja Jawa.

Nyoman Wijaya menjelaskan, bahwa para ahli sejarah purbakala menyebutkan kehadiran raja Jawa di Bali sudah dimulai sejak abad VIII. Di Jawa Tengah, pada awal abad VIII muncul seorang raja yang benama Sanjaya yang memerintah di Kerajaan Mataram. Setelah berhasil menghimpun kekuatannya, Sanjaya kemudian melakukan ekspansi sampai mengalahkan Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.

Setelah masa pemerintahan Sanjaya berakhir, ibu kota kerajaan Mataram dipindahkan ke timur, yang oleh sumber Cina disebut Po-lu-kia-sieu. Perpindahan ini terjadi pada tahun 742 dan 755 (664 dan 677 caka). Dalam prasasti Dinaya disebutkan pada abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (mungkin di Desa Kejuron sekarang), dengan rajanya bernama Dewi-simha, dan memiliki seorang putra bernama sang Liswa. Setelah dinobatkan sebagai raja, sang Liswa bergelar sang Gajayana. Menurut Pandit Shastri, kemungkinan setelah mengeluarkan prasasti Dinaya, raja Gajayana dan para pengikutnya terdesak oleh musuh-musuhnya, lalu melarikan diri ke arah timur, menetap di Bali.

Selanjutnya, dinasti Singha Mandawa digantikan oleh dinasti Warmadewa, yang diawali oleh pemerintahan Sang Ratu Sri Aji Tabenendra Warmadewa. la memerintah bersama dengan permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Raja ini diperkirakan oleh para ahli sebagai keturunan Ugrasena. Siapakah dinasti Warmadewa ini? Pandit Shastri berpendapat kedua raja ini tidak mempunyai hubungan darah. Mereka berasal dari dua dinasti yang berbeda. Berdasarkan analisisnya terhadap prasasti Blanjong, Shastri berpendapat Kecari Warmadewa adalah orang luar yang menaklukkan Bali. la adalah panglima perang yang berlabuh di Singhadwara pura bukan untuk berlindung dari terjangan ombak besar, melainkan menaklukan raja yang sedang bertahta di istana Singha Mandawa. Goris juga berpendapat Kecari Warmadewa bukan orang Bali. Sementara Bosch berpendapat bahwa Kecari Warmadewa berasal dari Kamboja.

Antara tahun 989 (911 caka) sampai 1007 (929 caka)) di Bali muncul nama Sang Ratu Luhur Sri Gunapriyadarmapatni dan Sang Ratu Maruhani Cri Dharmodayana Warmadewa. Krom berpendapat Udayana adalah ksatria Jawa, menantu raja Jawa yang diberikan kekuasaan sebagai wakil raja di Bali.

Keturunan Mpu Sindok yang bernama Makutawangsawardhana memiliki seorang putri bernama Mahendradatta, yang kemudian dikawinkan dengan seseorang dari pulau lain untuk kepentingan politik. Saat itu kerajaan Jawa Timur sangat berkepentingan dengan Bali, sebagai kerajaan terdekat secara geografis, namun berlawanan secara politik, karena hubungannya yang dekat dengan musuh utamanya, yakni kerajaan Sriwijaya.
Demikianlah, tiga dinasti besar di atas, bukan berasal dari orang-orang Bali, melainkan dari para pendatang, yakni dinasti Singha Mandawa dari kerajaan Sanjaya, dinasti Warmadewa dari kerajaan Sriwijaya, dan dinasti Udayana, yang merupakan percampuran dinasti Sanjaya dan Sriwijaya. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari dinasti Dalem Kepakisan, yang merupakan tangan tangan penguasa Majapahit, yang berhasil merebut kekuasaan raja-raja Bali Kuno.

Kemudian pada era Majapahit, setelah tahun 1309 Raden Wijaya meninggal, ia digantikan oleh putranya yang bernama Kala Gemet, yang setelah naik tahta bergelar Sri Jayanegara. Tidak lama kemudian terjadi sejumlah pemberontakan. Pada tahun 1328 raja Jayanegara meninggal dunia dibunuh oleh Tanca, seorang tabib kerajaan. Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.

Pada 1343, jadi hanya enam tahun sesudah Cri Astasura Ratna Bhumi Banten menjadi raja di Bali, patih Gajah Mada melakukan ekspansi ke Bali. Setelah Gajah Mada menyerang Bali, maka berdirilah kerajaan yang yang dihuni oleh para deputi kerajaan Majapahit di Bali.

Para bangsawan kerajaan sebelumnya, yang masih bisa menyelematkan berdiri bersama-sama pengikutnya, mengungsi dan menyembunyikan idintitas dirinya di daerah-daerah pengunungan, sehingga kebudayaan non-Majapahit dan agama-agama di luar aliran Siwa Sidhanta, masih bisa bertahan di Bali pegunungan, yang akhirnya secara pelan-pelan sejak zaman Orde Baru ditundukkan oleh penguasa Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Kekuasaan kerajaan Bali bentukan Majapahit berlangsung sangat lama, sampai akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara kolonial Belanda pada awal abad XX. Dengan melihat perjalanan sejarah yang sangat panjang itu, dapat dijelaskan bahwa dalam sejarah politik Bali antara abad VIII sampai dengan awal abad XX, tidak ada orang-orang Bali yang menjadi penguasa tertinggi. Artinya, orang-orang Bali selalu menjadi objek kekuasaan orang-orang luar. Orang-orang Bali juga menjadii objek kekuasaan orang-orang spiritual, seperti terlihat dari sejarah kedatangan para Mpu ke Bali.

Bagaimana para tokoh spiritual menundukkan Bali, selanjutnya Nyoman Wijaya yang baru saja meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dengan predikat cumlaude mengatakan, bahwa pada abad VII, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Rsi Markandeya kembali ke Bali disertai sekitar 400 pengikut, mengangkut bale agung dari Raung. Jejak perjalanan Rsi Markandeya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang, Gianyar.

Orang suci kedua yang disebutkan datang ke Bali adalah Mpu Sidhimantra. Mpu Sidhimantra dikaitkan dengan Segara Rupek, nama lain Selat Bali. la disebut sebagai tokoh yang memisahkan daratan Bali dan Jawa. Para intelektual masa kini berpendapat, bahwa Mpu Sidhimantra adalah putra kedua Mpu Bahula dari hasil perkawinannya dengan Ratna Manggali. Mpu Bahula adalah putra Mpu Bharadah dan Ratnamanggali adalah putri Mpu Kuturan. Mpu Bharadah dan Mpu Kuturan adalah dua dari lima orang mahasri bersaudara yang disebut sebagai Panca Pandita. Tiga yang lainnya adalah Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, dan Mpu Ghana. Keluarga Besar Bendesa Mas Gading Wani-Malkangin (Tabanan-Bali), meyakini bahwa Panca Pandita itu adalah lima bersaudara yang berasal dari India.

Pada suatu hari, Mpu Gnijaya mengajak empat orang adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah dan Mpu Gana menghadap Raja Airlangga di Kediri. Ke hadapan raja Airlangga mereka melaporkan maksud kedatangan mereka ke wilayah Nusantara adalah terutama untuk membina Pulau Bali atas perintah Bhatara Pacupati. Tiga orang di antara mereka meneruskan perjalanan ke Bali, yakni Mpu Semeru yang menetap di Besakih, Mpu Gana yang menetap di Dasar Bhuwana, Gelgel, dan Mpu Kuturan di Silayukti, Padang; sedangkan yang tinggal di Jawa adalah Mpu Pradah (Bharadah) di Pajarakan, Kediri dan Mpu Genijaya. Dengan melihat masa pemerintahan Raja Airlangga (tahun 1019), maka dapat diketahui tahun kedatangan anggota keluara Panca Pandita itu ke ke Jawa.

Para mpu itu tentu berbicara agama untuk mewakili kelompoknya masing-masing, sehingga terjadi persaingan di antara mereka. Persaingan itu masuk ke ranah politik, memperkuat pragmatisme politik, seperti yang dapat dilihat pada zaman kolonial Belanda.

Pragmatisme Politik Pada Masa Kolonial

Pada tahun 1920-an, tantangan eksternal yang dihadapi oleh Belanda adalah meningkatnya nasionalisme dan radikalisme Islam. Bali lalu dijadikan sebagai benteng untuk meredam meluasnya gerakan kemerdekaan nasionalis dan radikalisme Islam ke wilayah Hindia Belanda bagian timur. Keinginan itu muncul dalam sebuah konferensi pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1922. Dalam konferensi itu, Residen Bali dan Lombok, H. T. Damste meminta supaya Bali dijaga supaya tidak terkena pengaruh Jawa.

Pada tahun 1929, sistem pemerintahan langsung yang dipraktekkan mulai tahun 1917 digantikan dengan sistem pemerintahan negarabestuur. Pada tahun itu, Residen J.J. Caron mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengangkatan para keturunan raja di Bali sebagai Negara Bestuurder. Peraturan ini terdiri dari 18 pasal yang isinya menyangkut kekuasaan dan kewajiban kepala pemerintah daerah atau regent. Tercantum pula tatacara pengangkatan, pemberhentian, kewenangan, dan kewajiban seorang regent. Pada pasal dua disebutkan seorang kepala daerah (negara bestuurder) harus bersumpah di hadapan residen atau asisten residen. Naskahnya ditulis dalam bahasa Bali, sebagai berikut:

"Titiang ngupasaksiang dewek, wantah piteher dreda bakti ring Ida Sri baginda maharadja Wolanda, sang djumeneng maka gustin titiang sedjati, miwah titiang maupasaksi piteher ngasor tur ngiring saperentah Ida Sri Paduka Tuan Besar Gubemur Djendral ring djagat Hindia Belanda, sang meraga suksukan Ida Sri baginda Majaradja Wolanda" (Sasatan Para Agung Ring Djagat Bali kamanggahang antuk Sri Paduka Tuan Besar Residen ring Bali Miwah Lombok). Artinya:
"Kami bersaksi bahwa kami akan benar-benar hormat dan patuh kepada Tuanku Baginda Maharaja Belanda, sebagai tuan junjungan hamba yang sejati, dan kami bersaksi benar-benar akan tunduk dan menuruti segala perintah Baginda Tuan Besar Gubernur Jendral di Negara Hindia Belanda, yang menjadi wakil Tuanku Maharaja Belanda." (Instruksi para raja atau pejabat teras di Pulau Ball yang dikukuhkan oleh Baginda Tuan Besar Residen Ball dan Lombok).

Selanjutnya, beradasarkan Staatsblad No. 165 dan 21 Tahun 1938, sejak tanggal 1 Juli 1938 diberlakukan sistem pemerintahan zeifbestuur. Daerah Bali dibagi menjadi delapan landschap: Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, dan Karangasem. Pada setiap landschap diangkat seorang kepala daerah yang disebut zeifbestuurder, dengan jabatan gelar masing-masing. Zeifbestuurder Bangli, Gianyar, dan Jembrana diberi gelar Anak Agung; Tabanan dan Badung disebut Cokorda; Klungkung disebut Dewa Agung, sedangkan Karangasem, Anak Agung Agung.

Sementara para para keturunan raja diberikan kekuasaan sebagai regent, para bangsawan tingkatan menengah, yang pada umumnya tidak memperoleh kekuasaan, memilih melakukan perang posisi dengan keturunan para mpu, terutama soroh Pasek dan Pande yang juga tidak memperoleh kekuasaan. Mereka memperebutkan kepemimpinan moral dan intelektual di Bali, melalui organisasi Suryakanta dan Bali Adnjana. Perang posisi adalah perang merebut kekuasaan yang dilakukan bukan melalui serangan fisik melainkan dengan mengenyahkan ideologi, norma, politik, dan kebudayaan lawannya.

Bagaimana sebaiknya orang Bali masa kini menyikapi fakta sejarah di atas?. Peristiwa di zaman kerajaan menunjukkan bahwa semua penguasa, yang memegang kekuasaaan tertinggi dalam dunia politik adalah bukan orang Bali asli. Demikian pula orang-orang memegang kekuasaan di bidang spiritual juga bukan orang-orang Bali Asli. Dengan demikian pertanyaannya adalah siapakah orang Bali asli itu?

Jawabannya, tentu bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang terjajah.
Jejak-jejak mereka sudah sangat sulit ditemukan, karena sekarang ini masyakarakat Bali hanya diklasifikasi menjadi dua, yaitu golongan triwangsa dan sudrawangsa, yang kemudian menyebut diri sebagai jabawangsa. Golongan triwangsa terpecah dua, yaitu kelompok yang berasal dari garis keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan dan kelompok Arya Kepakisan. Kelompok pertama berasal dari keturunan para mpu yang dinobatkan menjadi raja, sedangkan yang kedua berasal dari keturunan Airlangga.

Sementara, kelompok kedua setidaknya terpecah menjadi lima bagian, yaitu Pasek, Pande, Bujangga, Dukuh, dan Bendesa. Tidak ada satu pun orang jabawangsa sekarang ini mau disebut sebagai wongkesamen atau rakyat jelata, padahal secara historis ada tiga golongan sudra di Bali, yaitu sudra utama, sudra madya, dan sudra nista. Kelompok yang terakhir itu yang disebut wong kesamen atau rakyat jelata. Dengan tidak adanya rakyat jelata, masyarakat Bali sekarang ini hanya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kesatria dan kelompok rohaniawan, jadi hanya kumpulan orang-orang besar. Pertanyaannya adalah dimanakah wongkesamen atau rakyat jelata itu bersembunyi.

Setiap kelompok hanya berpikir, berkata, dan bertindak untuk kelompok masing-masing. Dengan demikian, di mana dan dalam lembaga apapun selalu muncul perang posisi. Dalam perang posisi tu, mereka sering kali tidak memperhitungkan etika. “Agama Hindu yang sering dianggap sebagai sumber etika dalam kehidupan orang Bali ternyata tidak banyak berfungsi menyelesaikan persoalan itu. Sebaliknya, agama Hindu malahan dijadikan sebagai bahan berdebatan dalam perang posisi itu,” pungkas Nyoman Wijaya.

N. Putrawan


Selanjutnya......

Rsi Markandeya: Bagian dari Politik Ekspansi Raja Sanjaya ke Bali?

Samsubur

Bila bersumber lontar Markandeya Purana, di tanah Jawa Timur, tepatnya di lereng Gunung Rawang (Rawung, Rahung) ada seorang yogi yang sedang bertapa di pasramannya.
Beliau bernama Resi Markandeya. Beliau berasal dari tanah Shindu-India. Karena itu ia lebih dikenal sebagai Bhatara Giri Rawang kang sakti lan sidhi pangucap. Beliau telah bertapa berpindah-pindah seusai mendirikan pasraman Hindu yang berpindah-pindah pula. Mulai dari Wukir Demalung (Purwalingga, sekarang kota Purbalingga-Jawa Tengah) kemudian ke Gunung Hyang (Iyang) yang termasuk wilayah Prabhalingga, sekarang kota Probolinggo di Jawa Timur. Selanjutnya ke Gunung Rahung, tepatnya di hulu sungai Paralingga (banyak laingga) di wilayah Banyuwangi. Kemudian beliau mendirikan pasraman dan membuka desa di lereng Gunung Agung (lingga acala).

Tatkala Resi Markandeya dari Gunung Rahung pindah ke Gunug Agung, ia disertai para pengiringnya. Pada keberangkatannya yang pertama ini ia diiringi pengikut berjumlah 4000 orang (mungkin 400 atau 40 maksudnya?). Sesampai di Gunung Agung, rombongan ini berkemah dan merabas hutan. Pada kesempatan tersebut banyak pengiringnya yang meninggal karena serangan wabah penyakit. Namun Resi Markandeya tidak berputus asa, beliau kembali ke Gunung Rahung untuk kemudian balik lagi ke Bali membawa 8000 (mungkin 800 atau 80) pengikutnya. Keberangkatan beliau yang kedua ini disertai pula niat untuk melangsungkan upacara Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya yang ditandai dengan penanaman Panca Datu. Setelah menyelenggarakan upacara ini ternyata kemudian beliau berhasil membuka lahan di Bali. Para pengikutnya lantas dibagi dalam puak-puak (bagian atau petak-petak) pakuwuan atau tempat tinggal (perkampungan). Seperti kenyataan sekarang di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Gianyar.

Berdasar tinjauan sejarah, sekitar tahun 500 M rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah Sumatra Utara yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari, Pali, Malayu-Sriboja dan lainnya. Antara tahun 682-686 M Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan ekspansi wilayah dari Malayu Sriboja ke selatan dan utara wilayah Sumatra. Termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Resi dari kerajaan Pali yang nota bene keturunan India ini menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa Goh (Pulau Sapi). Di sini mereka mendirikan kerajaan yang bermula dari desa kecil. Namanya kerajaannya sama dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-lama menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 M (Radya-radya ri Bhumi Nusantara I.1. 1984: 64). Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R. Goris dalam buku “Bali Kuna” , ternyata ada korelasi yang sejalan, bahwa peninggalan purba di Bali bercirikan agama Budha.

Pada tahun 732 M prasasti canggal yang diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa minus tanah Sunda. Walau pun sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh (Tasikmalaya) dari ayahnya yang bernama Sanna (Sena, Bratasenawa). Setelah Sanjaya berhasil menewaskan pamannya bernama Purbasora yang sebelumnya Purabasora ini merebuat tahta Sanna. Tahun 730 M Sanjaya berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor (Thailand), Hujung Medini (Malaysia Barat). Dan Sanjaya pula yang berhasil menghindukan kerajaan Bali tahun 730 M.

Sang Ratu Sanjaya gemar memelopori dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu dalam bentuk bangunan lingga yoni. Termasuk prasasti Canggal yang didirikannya. Kiranya dia pula yang menugaskan purohita (Pandita kerajaan), Resi Markandeya pada tahun 730 M pergi ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga (banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung (lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.

Di lereng Gunung Rahung juga banyak ditemukan barang peninggalan purba di sekitar Girimulya, Kecamatan Glenmore dan di sekitar Tirta Empul Resi Markandeya berupa arca-arca kecil pratima. Di antaranya meliputi, arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984, arca Resi Msarkandeya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, wadah tirta berupa cupu manik dari perunggu, bokor perunggu dua buah, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, gentha pandita dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian ditemukan juga batu untuk mengolah obat dari batu andesit. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun gamelan kuna.


Selanjutnya......

Bali Pulau Sorga bagi Pendatang

Wayan Miasa

Menurut kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali, bahwa mereka ini tinggal di pulau sorga.
Anggapan itu mungkin benar saat pulau ini penduduknya masih homogen. Seiring perkembangan zaman, maka percampuran atau pembauran penduduk tak bisa dihindari. Menengok ke sejarah masa silam, memang Bali memiliki daya tarik tersendiri dalam segala hal. Seperti pada zaman Majapahit, mahapatih Gajah Mada terus berusaha untuk menaklukkan Bali dan patih Bedahulu, Kebo Iwa yang perkasa ditaklukkan dengan siasat tersendiri, di mana kejadian seperti itu masih berlangsung sampai saat ini.
Pengalaman masa lalu itu sebenarnya terus terulang dari masa ke masa, baik dalam politik, kebudayaan, tradisi dan lainnya. Bahkan sampai saat ini pun dalam dunia politik, kita masih memilih pemimpin dedngan terlebih dahulu meminta restu dari “bos” yang tinggal di tanah Jawa (Jakarta-red). Hal ini mungkin terjadi, karena faktor sejarah masa lalu.

Disadari atau tidak, bahwa sebagian dari warga Hindu Bali memang berasal dari Jawa. Mereka datang ke Bali dan menetap di Bali dengan mempertahankan agama Hindunya, dan selanjutnya mereka kita beri cap sebagai orang Bali. Kenyataannya akan berbeda bila orang tersebut datang ke Bali dengan kepercayaan berbeda, maka kita akan tetap menyebut suku asal mereka itu. Hal ini bisa dilihat di Pulau Serangan, di Cupel (Negara), Kecicang (Karangasem), Pegayaman (Buleleng), dan lain-lain. Walau mereka itu sudah tinggal di Bali begitu lama, bahkan dari beberapa generasi, tapi kita tetap menyebut mereka dengan suku asalnya. Pertanyaan akan muncul bilamana ada warga kita yang dulunya Hindu, tetapi sekarang sudah pindah agama, tapi mereka tetap mempertahankan adat kebiasaan masa lalunya dalam kehidupan beragamanya.
Hal ini bisa kita lihat di Abianbase daerah Kapal, Badung dan di Palasari, Jembrana. Mereka adalah orang Bali yang sudah beralih kepercayaan, tetapi mereka tetap memenjor, membuat gebogan saat ada perayaan hari besar keagamaannya, tetapi kita tetap menyebut mereka orang Bali.

Terlepas dari sebutan, entah Bugis Bali, Selam Bali, Kristen Bali dan lain sebagainya, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membuat pendukungnya, agar Pulau Bali bisa tetap bertahan. Tidak dipungkiri lagi, bahwa Bali memang sorga bagi pendatang, entah mereka itu wisatawan, pencari kerja, misionaris dan lain-lain. Mereka akan merasa nyaman di Bali. Hal ini dipengaruhi oleh karakter penduduk Bali yang masih percaya dengan karmaphala. Jadi setiap aktifitasnya akan dihubungkan dengan karmaphala. Begitu juga akibat dari karakter kita yang masih dipengaruhi buaian pujian, maka kita lupa akan tantangan zaman. Sehingga menjadi wajar, bila Pulau Bali semakin berat dengan berbagai serbuan.

Terlebih lagi di zaman ini pariwisata menjanjikan banyak lapangan kerja, sehingga menarik para pencari kerja untuk datang kembali. Mereka datang, baik dengan keahlian atau tidak, pokonya Bali adalah sorga. Hal ini bisa terjadi, karena faktor internal di Bali itu sendiri terutama pada lingkungan masyarakat Bali Hindu. Walau mereka memiliki skill, tetapi karena aturan tradisi yang ketat, maka peraasaan was-was akan sanksi sosial lebih dipentingkan, sehingga mereka terpaksa bergumul dengan tradisinya, sehingga kesempatan kerjanya diambil oleh pendatang. Apalagi sekarang ada kecenderungan masyarakat kita untuk memilih-milih pekerjaan, sehingga pekerjaan kasar itu lebih diisi kaum pendatang. Cobalah tengok di berbagai lapangan pekerjaan, seperti tukang batu, tukang gali jalan, tukang got, tukang panen padi dan seterusnya. Mereka itu ulet dan kreatif memanfaatkan peluang kerja, sementara kita masih gengsi-gengsian. Bila toh orang Bali yang jualan canang, dagang nasi, dagang klontong dan lainnya, maka bila saudara kita itu sukses, maka akan ada oknum-oknum orang lokal juga yang berusaha menjatuhkannya. Hal inijauh berbeda dengan para pendatang dari luar daerah, di mana mereka memiliki solidaritas yang tinggi antarsesamanya. Mereka saling tolong menolong, bahu membahu antarmereka, sehingga bisa kuat bertahan. Dan hal ini memungkinkan mereka bisa terus berkembang dan maju di Bali. Hal ini semakin didukung oleh karakter sebagian warga kita, di mana kita saling bertengkar atau bermusuhan antarsesama, tetapi begitu bersikap baik terhadap pendatang. Konyolnya lagi dengan membuat aturan yang begitu ketat antarwarga sendiri, tetapi longgar terhadap kaum pendatang.

Bukanlah hal yang mengherankan jadinya dalam segala hal kita harus mengimpor dari luar. Konsekuensinya, pertambahan penduduk migran melebihi pertambahan penduduk yang disebabkan oleh proses kelahiran. Bila ini terjadi, maka bukan hal yang mustahil dalam kehidupan masyarakat kita bila suatu saat kita akan tersingkir dari Pulau Bali. Hal ini bisa terjadi seandainya dalam percaturan politik jumlah penduduk pendatang akhirnya melebihi jumlah penduduk Bali, maka hal ini sangat menentukan dalam kebijakan politik. Lihat saja menjelang Pilkada, para kandidat tentu mencari dukungan ke kantung-kantung penduduk pendatang. Kenyataan ini menjadikan Bali bagai sorga bagi para warga pendatang yang sudah menetap di Bali.

Agar Bali tak kelebihan beban dari segala permasalahan, maka perlu rasanya kita beradaptasi dengan keadaan serta perkembangan zaman. Faktor-faktor penghambat atau rintangan yang selama ini menjadi momok warga kita seharusnya diadaptasikan sesuai kebutuhan. Selama ini kita di Bali terus berkonflik internal, bertradisi dengan ruwet, gengsi gede-gedean, tidak meningkatkan sumber daya manusia warga, maka jangan heran semua kesempatan akan disisi oleh pendatang, penjajahan dalam bentuk baru akan terjadi, seperti prolog N. Putrawan dalam buku, “Babad Bali Baru.”

Sebagai warga Bali yang bertanggung jawab atas kelangsungan keajegan Hindu, maka marilah kita membangun tatanan kemasyarakatan yang modern sesuai keadaan perkembangan zaman. Begitu pula praktik-praktik keagamaan yang terlalu menjelimet disesuaikan dengan keadaan ekonomi masyarakat, agar Bali benar-benar menjadi pulau sorga bagi warganya sendiri, bukan sebaliknya menjadikan Bali sebagai sorga kaum pendatang tapi menjadikannya neraka bagi warga tuan rumah. Bila sudah demikian, maka barulah akan muncul penyesalan. Seperti sesonggan orang Bali, “tain belek tain blenget-mara jelek mara inget.”

Suatu harapan bagi pemuka agama dan pemimpin-peminpin Bali yang masih peduli akan kelangsungan kehidupan masyarakat Bali, marilah kita sadarkan masyarakat Bali dari keterlenaannya, agar terbangun dari tidurnya di pulau sorga. Mari bangun SDM warga Bali, sehingga kita tidak menjadi penonton atau budak di tanah sendiri.


Selanjutnya......

Dari Tri Rna ke Panca Yadnya Sebuah Apresiasi yang Dinamis

I Gusti Ngurah Samiadnyana

Agama Hindu mengenal tatwa, susila, dan upacara sebagai kerangka dalam rangka keberagamaan umatnya.
Pada tataran tatwa dijelaskan substansi inti dari ajaran agama, hakikat esensial dari agama itu sendiri. Pada tataran susila dikembangkan nilai-nilai dalam berperilaku, dan pada tataran upacara diurai tentang sarana dan prasarana kelengkapan berperilaku dalam berkeyakinan. Hindu yang utuh adalah Hindu yang mencerminkan kesatuan dari ketiga tataran tersebut.

Umat Hindu memiliki pemahaman hidup yang resiprokal dalam upaya mewujudkan keseimbangan, pemahaman hidup yang "saling": saling memberi, saling mengisi, dan "saling-saling" yang lain dalam arti berbalas. Dan bahkan kata saling juga dimaknai sebagai sesuatu yang sejajar, sejalan dengan aktualisasi konsep "hak dan kewajiban".
Kita umat manusia adalah hasil ciptaan-Nya. Beliau telah menciptakan alam beserta segenap isinya, termasuk kita umat manusia. Maka, tentu amat-amat wajar kalau kita umat manusia, khususnya umat Hindu, merasa wajib melakukan sesuatu atas jasa-Nya yang telah menciptakan alam beserta segenap isinya. Apa yang dapat dilakukan oleh umat? Seribu macam bisa diperbuat sesuai dengan kedalaman rasa keagamaan mereka. Sementara itu, sejarah telah pula mencatat, bahwa para bijaksana (para Maha Rsi) telah dengan tekun dan tak kenal lelah, selalu dan selalu memberikan pencerahan tentang kehidupan beragama kepada umatnya. Dengan pencerahan ini, kesadaran dan rasa syukur pun semakin berkembang, dan pemahamannya memastikan, bahwa mereka mesti berbuat sesuatu untuk jasa para bijaksana tersebut. Dan pada sisi lain umat pun menyadari, bahwa jasa-jasa para leluhur kita tidak dapat dinomorduakan. Para leluhur kita telah melakukan apa saja demi keberlangsungan hidup para sentana (keturunan) mereka. Sebagai generasi yang merupakan keturunan (sentana) beliau, tentu tahu mesti berbuat apa.

Dalam agama Hindu kita kenal konsep Tri Rna, utang yang jumlahnya tiga, yakni: Pertama, utang kepada Sang Maha Pencipta. Beliau telah menciptakan kita sebagai makhluk yang sempurna, sempurna dalam arti lengkap (sekaligus) dengan ketidaksempurnaannya. Konsep ini dalam Hindu dikenal dengan Dewa Rna. Kedua, umat manusia memiliki utang pada para bijaksana, para maha rsi yang telah berjasa menyebarkan pengetahuan dalam memberi pencerahan kepada umat. Konsep ini dalam Hindu dikenal dengan Rsi Rna. Ketiga, umat manusia berutang kepada setiap leluhur mereka. Para leluhurlah yang nyata-nyata secara langsung berbuat apa saja demi sentana (keturunannya). Konsep ini dikenal dengan Pitra Rna.

Konsep Tri Rna adalah konsep yang mendasar, yang merupakan pegangan bagi umat Hindu. Dewa Rna, yaitu kesadaran berutang kepada Tuhan atas yadnya-Nya kepada manusia dan alam semesta ini. Pitra Rna adalah kesadaran berutang kepada orang tua (ibu-bapak) dan leluhur atas jasanya yang telah beryadnya menurunkan, memelihara, dan mendidik kita dari sejak dalam kandungan sampai kita bisa mandiri. Adapun Rsi Rna adalah kesadaran berutang kepada para rsi atau orang-orang suci yang beryadnya menyebarluaskan ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan suci (Panca Yadnya, 1995: 10 -11). Untuk membayar tiga jenis utang itulah kita melakukan panca yadnya. Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan Buta Yadnya, yaitu beryadnya kepada Tuhan dan kepada alam ciptaanNya. Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya (Panca Yadnya, 1995: 11).

Bahkan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasihnya, umat bahkan memunculkan pemahaman yang berkembang atas hal ini, tetapi tetap dalam bingkai substansi tatwa keagamaan. Hal ini tentu dapat dipahami sebagai hasil dari apresiasi yang dinamis dan positif. Misalnya saja, ada ungkapan sastra yang menyatakan: ''Utang dadi wang tonggwanya empat: utang ring hyang bhakti ring hyang, utang ring bapa-indung sahur teng suputra, utang ring guru sahur teng swasisya, tanpepegatan ngawe btustaning rat. Yang atinya lebih kurang, "Tempat orang berutang ada empat: utang terhadap Tuhan dibayar dengan bakti kepada Tuhan, utang kepada ibu-bapak dibayar dengan berbuat baik terhadap orang tua, utang terhadap guru dibayar dengan menjadi murid yang baik, utang kepada masyarakat dibayar dengan berbuat baik secara terus-menerus kepada masyarakat.

Dari pemahaman konsep Tri Rna, karena rasa syukur, rasa terima kasih, rasa keagamaaan, serta apresiasi yang dinamis, muncullah keyakinan akan utang yang keempat. Utang terhadap masyarakat muncul dari apresiasi dan keyakinannya, bahwa kehidupan bersama dalam bermasyarakat, masyarakat amat berperan dan menentukan. Apresiasi, bahwa siapa pun tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain dalam arti masyarakat, siapa pun tidak dapat menyangkalnya. Maka muncullah sebuah rasa "berkewajiban" untuk berbuat sesuatu untuk hal-hal yang dianggap telah berjasa.
Dewa Rna dalam konsep Panca Yadnya dimaknai sebagai utang kepada Tuhan atas yadnya-Nya yang telah menciptakan manusia dan alam dengan segenap isinya. Pemahaman yang terjadi di kalangan umat Hindu adalah, bahwa menghargai Sang Pencipta dapat pula diwujudkan melalui penghargaan terhadap ciptaan-Nya. Maka terkait dengan jasa dari yadnya Tuhan, umat pun memberikan penghargaan berupa korban suci kepada ciptaan-ciptaan Beliau yang lain (sarwa bhuta) dalam bentuk buta yadnya.

Pada sisi lain, Hindu memiliki dasar-dasar kepercayaan yang jumlahnya lima, yang disebut Panca Sradha, yakni: Brahman, Atman, Karman, Samsara, dan Moksa (Tim Bali Age, 2006: 53). Salah satu dari Panca Sradha itu, yakni samsara dimaknai sebagai kelahiran yang berulang-ulang. Keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh leluhur yang telah meninggal dapat terlahir kembali) membawa konsekuensi bahwa penghormatan terhadap leluhur dapat pula diwujudkan melalui penghormatan terhadap manusia (anak keturunannya). Karena di dalam diri manusia diyakini bersemayam (terlahir kembali) roh leluhur yang telah meninggal. Muncullah pengorbanan suci terhadap leluhur yang ada di dalam diri manusia, yang digolongkan ke dalam Manusa Yadnya.

Yadnya dalam Hindu dipahami sebagai sebuah korban suci, sebuah persembahan untuk menciptakan keseimbangan. Sesuatu yang dipersembahkan oleh umat (semacam kewajiban) karena umat merasa telah memperoleh sesuatu (semacam hak). Jadi semacam "balasjasa", "bayar utang", untuk melengkapi kehidupan yang "saling".

Umat Hindu yakin, bahwa kehidupan di alam bhuh, di alam bhuwah, dan di alam swah (konsep triloka) ada dalam keadaan saling membutuhkan dan (atau) saling mempengaruhi untuk terwujudnya sebuah keseimbangan. Kehidupan tidak akan seimbang bilamana kehidupan di satu alam mengganggu kehidupan di alam lain. Dan keseimbangan yang terjadi pastilah diapresiasi sebagai sebuah hasil dari kontribusi kehidupan di seluruh alam, baik alam bhuh, bhuwah, maupun alam swah. Maka, amatlah wajar apabila umat Hindu mewujudkan rasa terima kasihnya berupa sebuah pengorbana suci kepada kehidupan di ke semua alam kehidupan.

Konsep utang terkadang disejajarkan pula dengan konsep kewajiban (tanggung jawab). Sastra menyatakan, bahwa secara moral kewajiban orang tua adalah membentuk anak-anaknya menjadi manusia yang utuh. Dari segi prosesi tahapan kehidupan, orang tua punya kewajiban untuk melakukan tahapan upacara--upakara dari sejak anak lahir (bahkan sejak masih ada di dalam kandungan) sampai dewasa. Karena tanggung jawab itu dipahami sebagai sebuah kewajiban, maka kewajiban itu sendiri diapresiasi sebagai sebuah utang yang harus dibayar. Maka, Manusa Yadnya adalah wujud pembayaran utang tersebut.

Ya, pikiran umat berkembang. Dengan konsep Tri Rna sebagai acuan tanggung jawab dalam menciptakan keseimbangan, bukan saja konsep persembahan (sebagai wujud bayar utang) yang dikembangkan, tetapi rna (utang) itu sendiri juga dikembangkan. Itu disebabkan - sekali lagi - oleh rasa terima kasih, rasa syukur, dan oleh rasa keagamaan (religiusitas) yang tinggi, sehingga memunculkan apresiasi yang dinamis. Apresiasi yang dinamis berkembang tanpa harus lepas dan menyimpang dari substansi yang hakiki. Apresiasi dinamis ini dapat dinilai positif karena justru membawa dan menciptakan keragaman pekerti dalam mengejawantahkan konsep-konsep keagamaan dalam peri kehidupan.

Memang ada hal-hal yang perlu dipertahankan dan diajegkan keseragamannya, tapi ada sesuatu yang perlu dilepas untuk membentuk ke-beragam-an sendiri, asalkan tetap dalam ikatan yang esensial dan hakiki. Konsep kehidupan yang resiprokal, hidup "saling" dalam arti positif perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman dan keyakinan keagamaan kita. Sekecil apa pun pemahaman kita, perlu kita kembangkan sesuai dengan konsep saling berbagi. Apan widya yan tan limbakakna, kadi angganing padyut tinukuping dyun, tan kawedar juga padangitya.


Selanjutnya......

Permasalahan Sampah Sisa Upacara di Bali

Laporan Putrawan

Pada umumnya, masyarakat di Bali memiliki kesadaran, bahwa pariwisata memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Bali.
Namun, masa depan Bali mulai dipertanyakan apabila kondisi lingkungan hidup semakin rusak. Kini, pencemaran lingkungan menjadi ancaman besar bagi masa depan Bali. Gangguan kebersihan dapat menyebabkan dampak terhadap perkembangan pariwisata akibat kesan negative wisatawan terhadap pemandangan Bali yang dikotori oleh sampah.
Demikian antara lain dipaparkan Dr. Ketut Gede Dharma Putra, M.Sc dalam pada seminar yang diadakan pada 26 Februari 2009 lalu bertempat di kantor PHDI Bali, Denpasar. Dharma Putra menambahkan, apresiasi yang rendah dari masyarakat terhadap pengelolaan sampah dapat dilihat dari ketidakpeduliannya terhadap sampah pada saat melakukan kegiatan upacara keagamaan. Ada kecenderungan peningkatan timbulan sampah setelah masyarakat Bali melaksanakan upacara keagamaan. Keadaan ini dapat dilihat pada saat suatu kegiatan perayaan keagamaan selesai, tumpukan sampah dibiarkan teronggok dalam waktu yang lama, sehingga menimbulkan pemandangan yang kotor. Kondisinya semakin parah karena sampah-sampah sisa upacara bercampur dengan sampah plastik yang tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme dalam waktu yang lama.

Untuk mengatasi permasalahan sampah yang semakin dirasakan dampaknya bagi kehidupan, perlu diketahui beberapa konsep terkait dengan timbulan sampah dan sumber sampah. Timbulan sampah adalah sampah yang dihasilkan dari sumber sampah/penimbul sampah, seperti rumah tangga, perkantoran, toko/ruko, pasar, sekolah, tempat ibadah, jalan, hotel, restoran, industri, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya.

Sumber penghasil sampah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, meliputi (1) sampah rumah tangga, yang sering disebut sampah domestik sebagian besar terdiri atas sampah organik berupa sisa makanan, daun-daunan, dan sampah plastik; (2) sampah yang dihasilkan dari kantor, toko, pasar, dan sekolah sebagian besar berupa kertas dan plastik; (3) sampah jalan adalah yang dihasilkan dari jalan pada umumnya didominasi dari potongan dahan dan daun-daunan; (4) sampah hotel dan restoran biasanya terdiri dari pembungkus makanan (kertas, plastik), tisue, botol minuman, dan sisa makanan; dan (5) sampah rumah sakit dan industri merupakan sampah yang komposisinya lebih kompleks, yakni berupa sampah organik dari sisa makanan, kertas, plastik, jarum suntik bekas, sarung tangan bekas operasi, kapas bekas luka, hingga sampah B-3 (bahan berbahaya dan beracun).

Kebijakan pemerintah yang tidak terpadu dalam pengelolaan persampahan mengakibatkan selalu muncul permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah. Kebijakan pengelolaan persampahan tidak menarik perhatian swasta karena ikiim investasi yang kurang kondusif untuk menarik keikutsertaan pihak swasta dalam bidang pengelolaan persampahan. Kondisi tersebut selain disebabkan oleh nilai ekonomi sampah yang rendah, juga disebabkan oleh peran birokrasi pemerintahan yang kurang siap menerima keikutsertaan swasta dalam pengelolaan persampahan.

Fenomena semakin besarnya timbulan sampah setelah kegiatan upacara keagamaan menjadi menarik untuk dicarikan jalan keluarnya karena berkaitan dengan budaya masyarakat Bali beryadnya. “Tentu kita harus berbangga melihat begitu besarnya hasrat masyarakat dalam menjalankan ibadah agama. Namun, seharusnya ada kebijakan pemerintah yang terpadu dalam mengatasi dampak dari timbulan sampah sisa upacara sehingga tidak menjadi kontra produktif dengan keyakinan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan yadnya,” sebut Dharma Putra.

Sebenarnya dalam filosofi Hindu, sisa persembahan disebut prasadam yang idealnya dapat dinikmati habis oleh umat, karena prasadam atau surudan dipercaya memiliki tuah spiritual. Di sisi lain, banten sebenarnya memiliki dua fungsi, yakni sebagai nyasa(simbol) dan sebagai persembahan. Artinya secara harfiah sisanya setelah dilaksanakan upacara merupakan anugrah yang dapat dinikmati oleh manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dalam artian ini, seharusnya fenomena sampah sisa upacara tidak harus merugikan, karena apapun bentuknya sisa upacara tersebut harus diperlakukan dengan baik dengan mengolahnya menjadi sesuatu yang tetap berguna, baik bagi manusia maupun bagi kegiatan lainnya.

Strategi Rekayasa Budaya

Bagi Pulau Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia, fenomena pencemaran lingkungan hidup merupakan sebuah ironi. Sebagai kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Bali yang menjadi lokasi hotel, restoran, dan beragam fasilitas perdagangan dan bisnis yang berkelas dunia, seharusnya kawasan tersebut menampilkan kualitas daerah yang sesuai dengan citra daerah tujuan wisata internasional. Namun, fakta-fakta yang menunjukkan peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan yang telah berkembang menjadi segitiga emas pertumbuhan ekonomi Bali tersebut sangat memprihatinkan. Apalagi, masyarakat Bali sebagai pendukung budaya setempat dikenal luas memiliki konsep nilai yang mengedepankan keharmonisan dengan alam; sangat menghargai keindahan; dan nilai-nilai spiritual seharusnya memberikan kontribusi yang besar pada pembentukan citra kawasan yang baik.

Diskursus pembangunan fasilitas kepariwisataan akan menciptakan lapangan kerja yang akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Akhirnya, menjadi jargon politik. Pembangunan pariwisata disebutkan sebagai satu-satunya pembangunan yang tidak bertentangan dengan budaya masyarakat dan sangat ramah lingkungan. Jargon tersebut yang disampaikan secara terus-menerus oleh aparat pemerintah, dibantu kelompok intelektual organik yang digaji investor untuk kepentingan bisnisnya. Berbagai upaya dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada wisatawan yang diharapkan akan membawa berkah ekonomi bagi Bali. Pembangunan resor, hotel, dan fasilitas pariwisata memerlukan lahan yang luas, sehingga berbagai cara dilakukan untuk memenuhi tuntutan investor. Lahan-lahan milik negara atau tanah adat diberikan hak pengelolaan kepada kelompok konglomerat. Bahkan, cara-cara kekerasan dan intimidasi tidak segan-segan dilakukan.

Konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang) untuk setiap bidang kehidupan masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan dalam semua hal mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, dan ritual.
Strategi rekayasa budaya untuk membangun kesadaran masyarakat Bali dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali dapat dilaksanakan secara efektif dengan mulai menawarkannya dalam kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi (reduce) pemanfaatan sarana upacara/upakara yang berlebihan dalam aktivitas ritual dan lebih banyak meningkatkan pemahaman terhadap esensi sradha agama melalui penerapan Catur-marga secara seimbang dalam pencapaian kesempumaan rohani.

Catur-marga terdiri atas (1) Bhakti-marga, ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih yang setulus-tulusnya dengan cara berbakti, biasanya dilaksanakan dengan sarana upacara dan upakara; (2) Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan/imbalan, biasanya dilaksanakan dengan tekun bekerja di bidang masing-masing; (3) Janana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan, biasanya dilaksanakan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan kepada yang memerlukan; dan (4) Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-berata yang tekun dan disiplin, biasanya dilaksanakan dengan kegiatan meditasi, yoga, maupun penyucian diri.

Melalui pelaksanaan ajaran Catur-marga yang seimbang, penggunaan bahan-bahan konsumsi dalam pelaksanaan ritual keagamaan perlu lebih disederhanakan pada hal-hal yang pokok saja atau diupayakan untuk pemanfaatan kembali (reuse) sarana upakara yang masih mungkin digunakan kembali yang disesuaikan dengan ketentuan sastra agama. Selanjutnya, kalau memungkinkan dilakukan aktivitas daur ulang (recycling) sarana upakara tersebut sebagai langkah yang sangat tepat dalam rangka pelestarian sumber daya alam. Strategi rekayasa budaya dapat diwujudkan dengan memberikan porsi yang lebih besar terhadap peran tokoh masyarakat dan intelektual setempat untuk mengimplementasi nilai-nilai keselarasan hidup yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.


Selanjutnya......

Ratusan Warga Hadiri Pagendu Wirasa Ida Bhujangga Rsi di Geriya Sangsit

Laporan Arjana

Gendu Wirasa Ida Bhujangga Rsi berawal dari kesepakatan dalam pertemuan di Bedugul yang dilangsungkan pada 11 dan 12 Maret 2006, yang waktu itu dihadiri oleh dua belas Ida Bhujangga Rsi dan keluarga Bhujangga Waisnawa Batan Getas.
Dalam pertemuan itu disadari adanya kebutuhan untuk mengadakan pertemuan secara teratur di antara Ida Bhujangga Rsi untuk mempererat hubungan kekeluargaan, temu wirasa, diskusi masalah yang dihadapi dan memberikan pencerahan.

Atas dasar tujuan itu, diputuskan waktu yang baik adalah di hari raya Saraswati, sebagai hari pengetahuan dan tempat megendu wirasa ketika itu direncanakan diadakan secara bergilir. Pemilihan tempat atas permintaan atau kesepakatan di antara Ida Bhujangga Rsi.

Grya yang telah pernah menjadi tempat megendu wirasa ini, yaitu, Grya Mas-Tumbakbayuh, Grya Batur Bhujangga Waisnawa-Tegalcangkring, Grya Sindhu Manik Mas-Kramas, Grya Anyar Sari-Sembung, Grya Taman Sunia- Karang Suwung dan bulan Februari ini dialngsungkan di Grya Sangsit, Buleleng.

Gendu Wirasa di Grya Sangsit, Kecamatan Sangsit, Buleleng, dilangsungkan pada 28 Februari 2010. Ida Bhujangga Istri Kertiyasa bertindak selaku tuan rumah dan dihadiri oleh sepuluh Ida Bhujangga Rsi: Ida Rsi Hari Dantam, Istri Buana Swari, Rsi Waisnawa Kemenuh, Ida Rsi Istri Wangining, Ida Rsi Istri Gandawati, Ida Rsi Istri Putri Laksmi, Ida Rsi Esti Guru, Ida Rsi Dwija Santa, Ida Rsi Dwija Santi, Ida Rsi Adi Guru. Selebihnya hadir pula (angga grya) keluarga grya dan walaka dari Buleleng sendiri, dan Batan Getas.

Seperti diketahui dalam setiap kesempatan, Ida Bhujangga Rsi bersama walaka selalu meluangkan waktu untuk diskusi. Pada waktu ada upacara potong gigi di Grya Taman Wangining, Temukus, 21 September 2009, terjadi diskusi menyangkut angga grya, agar tidak putung. Pembahasan ini berlangsung beberapa kali antara lain dalam kesempatan dharma yatra ke Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis, Gunung Wilis, Nganjuk, pada 25 Oktober 2009 lalu. Pembicaraa serupa juga dilakukan saat pertemuan di Grya Batur Sari, Batan Buah, Kesiman, pada 29 Oktober 2009, juga di Grya Anyar Sari, Sembung, pada 6 Desember 2009 dan terakhir, di rumah Guru Made Pugeg, Jl. Arjuna No. 14, Denpasar, pada 20 Februari 2010.

Sebagai hasil dari pembicaraan itu dicapai kesepakatan, yaitu, pertama, angga grya membentuk wadah “Suka_Duka Angga Grya.” Kedua, angga grya belajar untuk meneruskan jejak Ida Bhujangga Rsi. Ketiga, menempatkan sebelas Ida Bhujangga Rsi sebagai Guru Waktra. Keempat, pengangkatan dilaksanakan pada setiap acara Gendu Wirasa, yaitu saat hari Saraswati.

Sisya yang disiapkan untuk di-diksa pada kesempatari ini, yaitu, Guru I Nyoman Putra, Guru Agus Sari, Guru Gede Putra Suwetra, Guru Gede Putu Wirawan, Guru Nyoman Sunarya, Guru Gede Oka Adnyana, Guru Bagus Sandi, bersama dengan istri masing masing.
Dengan adanya rencana ini, maka acara Gendu Wirasa berubah menjadi: Temu Wirasa Ida Bhujangga Rsi, Pembukaan, Sembahyang bersama, Pelantikan sisya calon sulinggih, Istirahat, Wejangan Guru Waktra. Kemudian dilanjutkan dengan dharma wacana, diskusi, dan penutup. Mendahului acara tersebut, sisya calon sulinggih melaksanakan persembahyangan yang dipimpin oleh Ida Bhujangga Rsi Waisnawa Kemenuh.

Dalam acara Dharma Wacana, Ida Bhujangga Rsi memberikannya secara bergiliran. Ida Bhujangga Rsi Istri Kertiyasa selaku tuan rumah menekankan pentingnya makna dari merayakan Saraswati. Jangan mengabaikan pengetahuan kalau ingin maju serta bangkit dari keterpurukkan indria dan dapat menjadi manusia yang berbudi. Dan yang lain dengan penekanan keluarga Bhujangga Waisnawa sebagai penganut Wisnu hendaknya memelihara dengan lebih arif alam semesta, di mana sekarang ini disadari perubahan cuaca berkaitan dengan ulah manusia sendiri. Hal ini telah disadari oleh pemerintah kita sendiri maupun dunia, dan salah satu di antaranya adalah menerapkan “car free day” di kota kota besar.

Gendu Wirasa ini dirasakan sangat bermanfaat oleh keluarga, menambah wawasan, mempererat tali kekeluargaan. Pada kesempatan ini dihadiri cukup banyak keluarga. Sekitar 200 orang dari Sangsit, Temukus, Batan Getas, Kramas, Batan Buah, Tumbakbayuh, Bheda, Karang Suwung dan Sembung memadati Grya Sangsit hari itu.


Selanjutnya......

Nyepi di Desa Kembang Mertha, Sulawesi Utara

Laporan I Dewa Ayu Made Indrayani

Perayaan Nyepi di Desa Kembang Mertha, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara kali ini terasa berbeda dari sebelumnya.
Ini dikarenakan oleh antusiasme dari para siswa-siswi SMA Budi Luhur yang didirikan sejak 2 tahun yang lalu, yang mengusulkan kepada Ketua PHDI Kembang Mertha untuk membuat suatu kegiatan seni. Hal inilah yang menjadi nuansa baru dalam rangka memeriahkan hari raya Nyepi tahun saka 1932. Selain itu, pagelaran seni juga bertujuan untuk membangkitkan dan melestarikan budaya Hindu yang merupakan warisan dari nenek moyang kita.

Kegiatan ini dipelopori oleh siswa-siswi SMA Budi luhur Kembang Mertha sebagai panitia pelaksana, dengan I Wayan Sucipto sebagai Ketua Panitia dan PHDI sebagai fasilitatornya. Kegiatan ini berlangsung dari 12 Maret hingga 17 Maret 2010. Adapun kegiatan yang di lakukan dalam rengaka nyejer Ida Bhatara, yaitu, pada 12 Maret dilaksanakan lomba darma wacana untuk tingkat SD hingga Remaja. Ada pun jumlah pesertanya 12 orang. Selanjutnya pada tanggal 13 Maret dilaksanakan lomba puisi keagaman dengan jumlah peserta 11 orang. Berikutnya, pada 14 Maret dilaksanakan Lomba Tari Panyembrahme tingkat SD dan Remaja, selain itu juga di isi dengan atraksi yoga, tari panji semerang, joged gila, topeng dan lawak.

Dengan kebaya dan kamben yang membalut tubuh para penari (anak-anak SMA Budi Luhur) mereka terlihat sangat cantik nan anggun, meski mereka tidak menggunakan pakaian menari yang semestinya digunakan, seperti halnya peserta lain. Dan walaupun mereka merasa minder, tapi dengan tekad yang kuat dan semangat yang membara mereka terus maju melangkah untuk pentas dan menghibur seluruh umat Hindu yang menyaksikan penampilan mereka. Karena, bagi mereka yang terpenting adalah melestarikan budaya Hindu yang selama ini hampir saja pudar dan mereka yakin suatu hari nanti mereka pasti akan memiliki pakaian menari yang semestinya. “Sungguh jiwa yang mulia.”
Begitu sorak sorai umat Hindu dalam menyaksikan alotnya perjalanan lomba dengan wajah yang berseri-seri. Hal ini membuktikan, bahwa dengan seni budaya mampu membuat hati yang gundah menjadi tenang tanpa beban. Bahkan salah satu umat ada yang mengatakan, “Yening sai-sai ade pagelaran seni, jeg liang hatine sebilang wai.”

Rangkaian Hari Raya Nyepi

Tujuan utama hari raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Hyang Widhi Wasa untuk menyucikan buana alit dan buana agung serta untuk introspeksi diri bagi umat Hindu.
Sebelum menjelang hari raya Nyepi, terdapat rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di Kembang Mertha. Salah satunya adalah melasti yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 13 Maret 2010. Umat Hindu setempat melakukan penyucian buana agung dan buana alit dengan melaksanakan upacara melasti di Pura Giri Amertha (Pura Tirta) yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa. Semua sarana dan prasarana persembahyangan diarak ke Pura Giri Amertha untuk disucikan. Walupun perjalanan menuju pura lumayan jauh, tapi dengan semangat yang membara umat Hindu terus menempuh perjalanan untuk ngiring Ida Bhatara.

Upacara Bhuta Yadnya

Kegiatan lain yang digelar sehari sebelum Nyepi adalah, yaitu pada tilem sasih Kasange umat Hindu melaksanakan upacara mecaru di perempatan agung, masing -masing banjar, pura dadia dan lain sebagainya. Mecaru diikuti oleh upacara ngerupuk, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobor-obori sekitar rumah dan seluruh pekarangan, menyembur rumah dan pekarangan dengan jangu, serta memukul benda-benda (kentongan), sehingga terdengar suara gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir para bhuta kala dari lingkungan rumah dan pekarangan.

Pada sore harinya diadakan pawai ogoh-ogoh, yang diikuti oleh seluruh banjar dan juga oleh anak-anak ogoh-ogoh, di mana SMA Budi Luhur selaku pengusul. Sebelum mengelilingi kampung seluruh ogoh-ogoh diperciki tirta dan setelah itu masing-masing ogoh-ogoh diberikan kesempatan untuk beratraksi selama tiga menit mengelilingi perempatan agung. Setelah itu barulah ogoh-ogoh diarak mengelilingi kampung dengan tujuan mengusir bhuta kala dari kampong, supaya pada saat Nyepi tiba tidak ada hal-hal negatif yang terjadi. Selesai mengelilingi kampong, ogoh-ogoh dibakar sebagai simbol untuk memusnahkan seluruh kejahatan yang ada di muka bumi.

Puncak Acara Nyepi

Pada tanggal 16 Maret 2010 tibalah puncak dari hari raya Nyepi. Pada hari ini suasana seperti mati tanpa aktifitas apa pun dan umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian, yang terdiri dari: amati geni (tidak menyalakan api/lampu), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak mendengar hiburan), yang ada hanyalah introspeksi diri untuk membuka suatu lembaran baru yang putih bersih tanpa noda dan didasarkan pada dharma. Sehingga dalam mengawali tahun baru saka 1932 dilandasi pada kesucian lahir dan batin. Sang wruhing tatwajnana (tiap orang berilmu), mengekang hawa nafsu, menghubungkan jiwa dengan paramatman, tapa (latihan ketahanan), dan smadhi (merenenung kepada Hyang Widhi. Semua itu dilakukan oleh umat Hindu untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun baru saka dan dengan jiwa yang baru nan suci senantiasa berada di jalan dharma (kebenaran).

Upacara Ngembak Geni

Rangkaian terakhir dari hari raya Nyepi adalah Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal kedua sasih Kadasa. Pada hari ini dilaksanakan persembahyangan di Pura Puseh Kembang Mertha dan sekaligus juga pengumuman pemenang lomba dharma wacana, puisi keagamaan dan tari panyembrama dan penyerahan hadiah untuk para pemenang. Yang menjadi pemenang adalah anak-anak terbaik dari yang terbaik. Tapi yang terpenting bagi mereka bukanlah menang ataupun kalah melainkan bagaimana apresiasi mereka dalam memaknai suatu hari raya dengan mengikuti lomba seni budaya Hindu dengan tujuan melestarikan budaya Hindu agar tidak punah. Meski Desa kembang Mertha jauh dari Pulau Bali tapi budaya akan selalu melekat pada masyarakat Kembang Mertha.

Dalam sambutannya Ketua PHDI mengutarakan mottonya, yaitu, “Sepi ing pamrih rame ing pengabdian." Yang artinya: jangan mengharapkan imbalan tapi perbanyaklah mengabdi, sedikit bicara tapi banyak bekerja." Dan Ketua PHDI, I Dewa Rai Sastrawan menjelaskan latar belakang dari kegiatan seni adalah untuk mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu juga untuk mengantisipasi tekanan dari daerah ini yang dari tahun ke tahun tidak menutup kemungkinan dampaknya dapat mengusir nilai-nilai seni dan budaya Hindu yang adi luhur. Karena itulah ajang ini bertujuan untuk menggali, memelihara dan melestarikan kesenian Hindu yang merupakan warisan dari leluhur. Selain untuk menyalurkan minat dan bakat seni para generasi muda secara berkesinambungan dan bisa tampil untuk menghibur masyarakat pencinta dan penikmat kesenian, khususnya di bidang pariwisata. Sehingga ini tentunya menjadi motivasi bagi masyarakat Hindu yang ada di Desa Kembang Mertha untuk selalu ikhlas dalam bekerja dan senantiasa bersama-sama melestarikan budaya Hindu.

Ketua PHDI juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siswa-siswi SMA Budi Luhur yang telah mengusulkan kegiatan pentas seni.

Berikut kutipan puisi yang menjadi pemenang dalam lomba puisi keagamaan tingkat remaja putri yang dibawakan oleh NiLuh Sukriani, siswi kelas XI SMA Budi Luhur Kembang Mertha.

Sekuncup Bunga Teratai Bunga Ilmu yang Suci

Di saat fajar menyingsing, diselimuti embun pagi
Langit yang biru dengan awan putih dihiasi sinar sang mentari
Suara burung berkicau seakan menghibur seisi alam ini
Dan saat itulah ilmu pengetahuan diturunkan dari sang Dewi yang amat cantik
nan bijaksana.

Lewat para guru yang berhati mulia
Ilmu pengetahuan yang suci diberikan kepada para siswanya
Yang ingin merasakan indahnya ilmu pengetahuan l
Lewat kata-katanya yang lembut
Serta langkah yang bijaksana
Membuat hati tersentuh
Dengan sikap yang tegas dan penuh kasih sayang
Membawa kami ke masa depan yang cemerlang dan hidup yang abadi Ilmuku yang aku sucikan
Engkau seperti mekarnya kuncup bunga teratai
Yang wanginya kian semerbak
Ketika terbukanya setiap kelopak bungamu secara periahan-lahan dan pasti Hingga ia mekar dengan sempurnanya nan indahnya
Dengan bunganya yang wangi
Rasanya yang manis dan bentuknya yang indah
Membuat semua kumbang ingin mengisap madunya Demikian juga setiap insan ciptaan yang kuasa
Yan ingin memiliki dan menuntut ilmu tanpa ada hentinya Bagaikan air yang mengalir benih dan bersih
Tanpa ada batasannya.



Selanjutnya......

Memuja Leluhur, Bukan Sesuatu yang Salah

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Sesekali ada pertanyaan yang mengusik kita, bagaimanakah para leluhur kita di masa lalu mengajarkan masalah moral, budi pekerti, keyakinan agama, dan ritual-ritual yang ada?
Apakah mereka memberikan dharma wacana sambil mengutip buku-buku suci yang selalu dibawanya? Mungkin tidak, teknik penyampaiannya pasti sederhana dengan cara bercerita.

Sekarang, guru atau tokoh agama mengutip kitab-kitab suci dalam melakukan dharma wacana. Maklum, pendengarnya juga kritis, semua hal yang bersifat anjuran, pantangan, dan sebagainya, selalu dimintai rujukannya di kitab suci. Namun, ada pula pendharma wacana yang sebentar-sebentar mengutip sloka suci supaya kelihatan lebih keren.

Padahal, orang-orang di desa begitu polos menjalankan ritual agama dan juga memaknai kehidupan beragama. Kalau ada piodalan di pura, mereka datang tanpa rumit memikirkan apakah yang akan mereka puja di pura itu leluhur atau dewa atau Hyang Widhi. Istilah bethara, dewa, dan Tuhan masih rancu di kalangan orang-orang yang polos itu. Banyak sekali umat Hindu di pedesaan tak tahu dan tak perlu tahu apa beda difinisi bethara, dewa dan Tuhan. Kalau piodalan di pura ada orang yang kerauhan (trance) dan orang yang kerauhan itu menyebutkan kelinggihan Ida Bethara tertentu, umat sulit menjelaskan siapa Ida Bethara tertentu itu. Kalau ada yang bertanya apakah Ida Bethara itu Tuhan, mereka dengan mudah saja menjawab: ya.

Ini yang sering sekali membuat orang non-Hindu bingung, kalau jawabannya seperti itu kenapa agama Hindu masih tegas menyatakan Tuhan itu Esa? Kenapa Hindu masih menyebut agama monotheisme? Bahkan beberapa buku sejarah dan sosial menyebutkan Tuhan umat Hindu itu ada banyak.

Berjalanlah ke desa-desa tua di Bali, tua dalam pengertian warga setempat mempertahankan tradisi dengan baik. Misalnya ke Desa Sembiran di Buleleng. Di sini pemujaan kepada leluhur mendapatkan tempat yang utama. Barangkali warga di sini tak perlu rumit dan ruwet mendefinisikan soal leluhur itu. Bagi mereka memuja leluhur sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka menjalankan ritual agama, tentu saja agama Hindu. Dengan hanya memuja leluhur, mereka tetap yakin sebagai bagian yang sah dari orang Bali, dan juga tidak ragu untuk menyebutkan agama mereka, yakni Hindu.

Salahkah mereka yang hanya memuja leluhur? Perlukah kita mencibir mereka sebagai “terbelakang” atau “kurang paham ajaran agama” atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolah-olah kita lebih tahu masalah agama dibandingkan mereka? Jangan cepat-cepat melontarkan tuduhan seperti itu. Tradisi yang mereka pelihara dan mereka pertahankan itu pastilah dulunya ditanamkan dengan penuh keyakinan oleh leluhur mereka yang paham soal agama.

Kalau sekarang kita melakukan “pengecekan” apakah penduduk desa kuno di Bali menjalankan ritualnya sesuai kitab suci atau tidak (jangan bicara benar dan salah), banyak sekali sloka-sloka suci yang menyebutkan pemujaan kepada leluhur. Saya ingin mengutip dari kitab suci Bhagawadgita, karena kitab ini paling banyak beredar dibandingkan Rg Weda. Tak perlu bahasa aslinya, cukup terjemahannya saja.

Sloka VII-21 mengatakan, “apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtra”. Sloka ini adalah kelanjutan dari penjelasan bagaimana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewata. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pemujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

Pada sloka IX-25 disebutkan. “Yang memuja dewata pergi kepada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur mereka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, tetapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”

Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik.

“Yang terbaik” tidak harus diartikan itulah jalan satu-satunya. Apalagi diartikan itu jalan yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dalam kepercayaan Hindu, seseorang yang telah meninggal dunia, rohnya (atman) menyatu dengan Tuhan. Bukan seperti kepercayaan agama lain, “berada di sisi Tuhan”. Karena roh atau atman menyatu dengan Tuhan, mereka yang memuja leluhur otomatis memuja Tuhan juga. Ibarat pepatah, sambil berenang minum air, sambil memuja leluhur, kita memuja Tuhan.

Dengan pemahaman seperti ini, tradisi yang mengutamakan pemujaan kepada leluhur bukanlah sesuatu yang salah. Yang penting adalah kita tahu di mana posisi kita berada dalam melakukan pemujaan, apakah itu kepada leluhur (bethara), dewa, atau Tuhan. Leluhur menyatu dengan Tuhan, dewa adalah sinar sucinya Tuhan, jadi sesungguhnya obyek yang dipuja sama saja.

Jika kita tidak ingin membuat persoalan jelimet, jangan bikin ruwet. Kalau kita mampu mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi, dan didukung oleh sarana yang ada, lakukan hal itu. Namun, jangan mudah menyebutkan “jalan” orang lain itu salah.


Selanjutnya......

PELECEHAN SEKSUAL

Agus S. Mantik

Ketika pertama kali saya meninggalkan rumah untuk mencari sekolah di Jawa, ibu saya tidak terhitung banyaknya memberi nasihat, agar saya menjauhi tempat atau orang yang menurut dia akan memberikan resiko yang berbahaya.
Yang pertama tentu saja nasihat, agar saya tidak mengunjungi tempat tempat ‘lokalisasi’ sebab seperti ceritanya, jangankan berhubungan badan; kamu buang air kecil di WC tempat seperti itu kuman dan bakteri akan naik melalui air senimu dan kamu akan ketularan berbagai penyakit yang sulit disembuhkan! Ibu saya juga menasihati agar saya menjauhi perempuan yang agresip, yang suka menguber-uber cowok, sebab, “Salah sedikit saja kamu akan dituduh yang bukan-bukan. Jangankan berhubungan badan, kamu towel dia atau kamu cium, dia akan berkoar bahwa dia sudah kamu hamili,“ nasihat ibu saya.

Pada mulanya saya anggap ibu saya terlalu berlebihan sampai suatu saat saya memiliki teman gadis yang mau saya ajak nonton bioskop. Ketika pada kesempatan itu saya pegang tangannya, dia malah menangis dan ketika saya tanya apa sebabnya, dia menceritakan bahwa ibunya suka wanti-wanti dia supaya jangan mau dipegang cowok sebab bisa menyebabkan hamil. Ternyata bukan ibu saya saja yang berlebihan, akan tetapi barangkali semua ibu yang khawatir (worried, tangar bahasa Bali) telah melepas anaknya di hutan belantara yang namanya kota besar.

Cerita di atas ini kelihatannya tidak ada hubungannya dengan judul tulisan ini, akan tetapi kekhawatiran itu ada alasannya dan setiap orang diharapkan hati-hati. Tuduhan akan pelecehan seksual bisa terjadi terhadap siapa saja dan orang yang dituduh bisa saja memang benar atau tidak melakukan pelecehan, akan tetapi sudah menjadi semacam alat penghancur (karakter, character assasination) yang berdaya guna. Pelecehan seksual (sexual harassment) bisa saja dilakukan oleh laki-laki, akan tetapi tidak terkecuali yang dilakukan oleh perempuan, seperti kabar baru-baru ini mengenai pesohor sepakbola David Beckham yang onderdil-nya diremas bahkan dimuka umum.
Pelecehan seksual bisa berupa sekedar usikan yang bersifat badaniah seperti rabaan, remasan, dipegang-pegang dalam pengertian, bahwa orang yang menjadi korban tidak senang akan perbuatan seperti itu. Jadi berlainan dengan hubungan intim yang suka sama suka, dimana pihak lain menikmatinya dan malah memberikan response yang setimpal. Apabila seseorang tidak menyukai pelecehan ini, akan tetapi dilecehkan terus agresif sampai terjadi hubungan badan, maka hal ini sudah bisa dikategorikan sebagai perkosaan.

Dalam kejadian sehari-hari perbedaan di antara pelecehan dengan suka sama suka (bisa saja sesaat waktu itu saja) sangatlah sulit untuk dipisahkan. Bisa saja terjadi pelecehhan karena pihak yang tetuduh (kebanyakan orang laki) membela diri dengan mengatakan, bahwa mereka merasa ter-provokkasi oleh sikap maupun cara berbusana pihak perempuan. Kasus besar mengenai hal ini pernah terjadi di Amerika di pabrik mobil (asembly line) Mitsubhisi Motor, di mana sekelompok perempuan karyawan perakitan menuntut karena terjadi pelecehan berjamaah. Dan di dalam pembelaannya para pekerja laki (melalui pengacara mereka) menyatakan, bahwa mereka diprovokasi (dirangsang) oleh busana pekerja perempuan yang memakai pakaian yang minim, tidak memakai BH dan sebagainya. Hakim akhirnya memutuskan denda yang besar kepada Mitsubhisi Motor dan sejak itu pelecehan dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius. Hal ini tentu saja berhubungan dengan adanya persamaan hak di dalam hampir semua kegiatan manusia bahkan sampai kepada peranan tempur yang tidak berbeda kepada kaum perempuan. Mereka beranggapan, bahwa persamaan hak akan berjalan dengan baik apabila ada saling penghormatan di antara semua jenis kelamin.

Yang paling sering terjadi adalah pelaporan kasus yang menunggu lama sesudah pelecehan yang sesungguhnya terjadi. Di sini terjadi dua kemungkinan di mana pada mulanya semuanya terjadi karena suka sama suka, akan tetapi belakangan karena satu dan lain alasan, satu pihak berasa bahwa selama ini telah terjadi pelecehan. Atau mungkin juga karena berbagai alasan korban tidak melaporkannya. Sai Baba pernah mengalami kasus pedophilia kurang lebih satu dasa warsa yang lalu dan yang paling termashur mengenai kasus seperti ini adalah yang menimpa almarhum Michael Jackson. Di Amerika belum lama berselang terjadi class action terhadap beberapa pendeta Katholik (yang dituduh pedophilia) yang akhirnya diselesaikan dengan settlement jutaan dollar oleh gereja di samping secara terbuka gereja menyampaikan permintaan maaf.

Bagaimana mungkin rohaniawan tertimpa kasus seperti ini? Bukankah mereka selama bertahun-tahun dilatih untuk mengendalikan diri? Memang benar demikian, akan tetapi bagi pelaku rohani godaan semakin besar memang terjadi. Barangkali hal ini memang semacam ujian yang harus mereka lewati sebelum mereka sampai kepada pembebasan. Di dalam Purana, kisah seperti ini juga tidak sedikit. Contoh Bhagavan Wiswamitra dengan Menaka yang sampai melahirkan Shakuntala, kisah Bhagavan Sukra sampai kisah Renuka, istri Bhagavan Jamadagni (salah seorang saptarsi) yang birahi ketika melihat gandarva bercumbu. Atau kisah Dewi Suprabha yang menggoda (melecehkan) Arjuna yang sedang melakukan tapa dan ternyata tidak tergoyahkan.

Saya pernah bertanya kepada beberapa orang bhiksu, apakah mereka pernah mengalami ereksi dan semuanya menjawab, bahwa hal itu adalah alamiah, akan tetapi setiap saat mereka berjuang untuk mengalahkan nafsu mereka. Saya juga pernah diberitahu, bahwa dalam pelatihan untuk melawan nafsu para calon biarawan memang di-tes apakah mereka bisa ereksi, sebab adalah tidak dibenarkan seorang yang impoten atau homo menjadi rohaniawan. Hal ini artinya sebuah pelarian dan yang dikemudian hari akan menimbulkan masalah besar.

Satu hal yang sering dilupakan orang dan jarang dibahas adalah bahwasannya atman tidak dapat ditemukan oleh orang yang tidak mempunyai kekuatan atau energy, nayamatma balahinena labhyah, seperti yang dikatakan dalam Chandogya Upanisad. Atau seperti kata Rohit Mehta (Bertemu Tuhan Dalam Diri), Universitas-Universitas Hutan mempersiapkan para siswa mereka untuk memiliki energi yang kuat melalui tapa dan brahmacharya.

Energi yang terkunci dalam kerangka (sistim raga) yang dikenal dilepaskan dan dikonservasi. Dalam kondisi inilah kepercayaan itu lahir – ini adalah kepercayaan dari yang kuat bukan dari yang lemah. Dalam orientasi inilah para siswa terjun ke dalam studi-studinya dengan energi fisik dan mental yang sangat besar.Tidak mengherankan, bahwa siswa itu dapat belajar dengan cepat tetapi juga dengan sangat berdaya guna. Ini berarti, bahwa para penekun kerohanian melalui konservasi energi mereka yang besar sudah pasti memiliki magnetisme yang lebih dari orang biasa. Energi yang dikonservasi ini juga bisa dikonversi atau digunakan untuk tujuan lain dan hal ini tentulah berbahaya.

Konservasi energi dan kemungkinan konversi ini mungkin sangat dimengerti oleh orang-orang seperti Sri Caitanya Mahaprabhu dan Mahatma Gandhi dan kedua orang suci ini mengambil pendekatan yang berbeda di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sri Caitanya tidak memperbolehkan kaum perempuan terlalu dekat dengan beliau. Mereka yang datang untuk memberi hormat atau untuk memohon berkah dianjurkan untuk berada pada jarak tertentu. Berlainan dengan Gandhi, ketika beliau bersumpah bersama istrinya (dalam usia 38 tahun) untuk menjalankan hidup selibat. Gandhi malah senantiasa tidur bareng bersama dengan para gadis di dalam ashram-nya dan membuktikan dirinya memiliki kepribadian yang kuat dan lolos dari segala macam godaan. Gandhi pantas disebut sebagai salah satu orang suci di jaman modern ini.
Memang tidak semua orang yang menjalani kehidupan rohani (apalagi yang pura pura menjalaninya) memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten seperti Gandhi. Ketermasyuran maupun status sebagai orang yang terkenal (atau agak dikenal) sering menyebabkan banyak orang yang berkerumun di sekitar orang-orang ini. Bahkan menurut cerita orang-orang dekatnya, di lingkungan Gus Dur sendiri (di dalam puncak ketenarannya) terdapat beberapa wanita yang saling bersaing untuk memperoleh kepercayaan dan kedekatan. Keinginan untuk dekat, untuk berfoto atau sekedar berbicara sulit dihindari.

Di Bali ada cerita mengenai pedanda baka atau cangak meketu, tentang orang-orang yang munafik, yang berpenampilan dengan busana rohani atau tutur kata lemah lembut,akan tetapi ternyata predator yang memangsa bukan saja gadis, tetapi perempuan yang sudah bersuami. Dan jangan lupa juga dengan kecenderungan memangsa korban sejenis (baik yang homo maupun yang pedophil) yang juga sangat berpotensi pelecehan seksual. Orang-rang jahat seperti ini mengatasnamakan agama untuk mencari korban mereka. Mereka ada di lingkungan kita. Di dalam keadaan yang tidak menentu seperti sekarang di mana segala rekayasa adalah mungkin, kita hanya khawatir, bahwa berbagai expose keadaan ini bisa menyudutkan Hindu. Publisitas mengenai Anand Krishna (yang belum tentu benar) saja sudah sering menyudutkan kita apalagi kalau beruntun ada publisitas serupa.


Selanjutnya......